Rabu, 25 April 2012

Mengenang keluarga Ibrahim As


Drs. St. Mukhlis Denros
Tanggal 10 Zulhijjah hari besar bagi ummat ummat Islam sebagai hari raya Haji serta hari raya Qurban. Dengan segala kemampujan yang dimiliki ummat Islam seluruh dunua pergi ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji yang disyariatkan Allah, “Haji, bulan-bulannya dikenal dan siapa yang telah memutuskan melakukan haji, maka pada waktu itu tidak ada lagi kata-kata yang tidak sopan, cacian dan pertengkaran” [Al Baqarah 2;197].

Pada hari inipun bagi ummat Islam yang belum ada kesanggpuan untuk datang ke ”Tanah Haram” melakukan ibadah haji diseluruh penjuru dunia, ummat Islam melakukan amalan kurban seperti kambing, sapi atau kerbau. Dagingnya dibagikan pada yang berhak menerimanya.

Walau sebenarnya daging kurban itu tidak sampai kepada Allah, melainkan keikhlasan si pengurban, tapi itu merupakan simbul yang patut diteladani dari Ibrahim dan Ismail As.

Nabi Ibrahim telah menikah dengan Sarah. Pernikahan itu tidak kunjung membuahkan generasi pelanjut. Berpuluh tahun menantikan kehadiran seorang anak dalam rumah tangganya, belum juga dikaruniai seorang putrapun. Ibrahim menjadi masqul. Melihat kesedihan suami yang dicintai, Sarah tidak tega. Ia tawarkan Hajar, budaknya untuk dinikahi dengan harapan akan memperoleh seorang putra bagi Ibrahim, Sarah rela dimadu dengan Hajar.

Allah memberikan karunianya. Hajar mengandung. Tiada terkira rasa cemburu Sarah kepada Hajar. Timbul khawatir Ibrahim akan melupakan dirinya. Rasa cemburu merupakan fithrah manusia, tidak kecuali pada Sarah. Sementara ia masih bisa menahan hati ketika Hajar masih mengandung. Namun perasaan itu tidak bisa disembunyikan lagi bila Ismail telah lahir. Suatu hari Sarah berkata, ”Suamiku Ibrahim. Berat rasa hati mengatakan hal ini, telah lama ku pendam perasaan. Sudah ku coba untuk menenangkan hati, tapi rasanya tak tahan lagi. Aku takut kau akan melupakan diriku, setelah Hajar menjadi isterimu, ia wanita yang beruntung dapat memberikan keturunan kepadamu”.

Ibrahim menaruh kasihan, ”Sarah, Hajar adalah budakmu. Kau dapat melakukan apa saja padanya. Kau dapat berbuat sesuka hatimu”. Hibur Ibrahim. Namun sebagai wanita yang beriman, Sarah tidak mau melampiaskan semua isi hatinya. Ia takut kepada Allah. Meskipun telah diberi kebebasan, dia tidak mau melakukannya. Sarah masih membolehkan Hajar tinggal di rumahnya.

Ketika Ismail lahir, apa yang dibayangkan serta dilakukan Sarah benar-benar terjadi. Perhatian dan kasih sayang Ibrahim kepada Hajar dan putranya makin bertambah. Tidak ada waktu luang yang tidak dilewatkan bersama anaknya Ismail. Tiada terkira bahagianya Ibrahim. Melihat kenyataan itu Sarah menemui Ibrahim dan berkata, ”Demi Allah aku tidak tahan lagi hidup bersama. Aku tidak tahan lagi hidup satu rumah dengannya”. Setiap hari Sarah mendesak Ibrahim agar membawa Hajar pergi dari rumahnya. Hingga suatu hari Ibrahim mendapat perintah dari Allah Swt untuk membawa Hajar ke Selatan.

Dibawanya Hajar dan Ismail ke daerah tandus lagi kosong tanpa penduduk. Daerah itu aman bagi Ismail dan ibunya. Aman pula dari Sarah yang tidak menyukai kehadirannya. Disini Ibrahim meninggalkan isteri dan anaknya dengan bekal sekarung kurma dan segentong air, setelah dibangunnya sebuah gubuk sederhana sekedar tempat berteduh. Disini Hajar harus berjuang mempertahankan hidup bersama Ismail. Hajar belum menyadari mereka akan ditinggalkan ditempat sepi ini. Ia takut dan cemas. Hari demi hari akan dilaluinya dalam kedukaan. Setelah Ibrahim mengutarakan maksud Allah, Hajar berusaha membujuk Ibrahim, tapi dengan tegar Ibrahim melangkah tanpa menoleh. Setelah agak jauh meninggalkan Hajar, terdengar teriakan Hajar. ”Ibrahim suamiku. Benarkah engkau akan pergi meninggalkan kami di tempat ini, sunyi lagi sepi ? Benarkah yang menyuruh ini Allah ?”. dengan suara tersendat bercampur dengan kepiluan Ibrahim menjawab, ”Benar, isteriku. Ini semua perintah Allah”.

Setelah mendengar jawaban dari Ibrahim, puaslah hati Hajar. Dia tenang kembali, karena yakin Allah memberikan ujian kepada mereka serta Allahpun siap menolongnya. Sebelum hilang anak dan isteri dari pandangannya, Ibrahim berdo’a, ”Ya Allah, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau [Baitullah] yang dihormati. Ya Tuhan, karena yang demikian itu agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cendrung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur” [Ibrahim;37].

Hajar begitu menyadari telah tinggal berdua saja dengan anaknya ismail kemudian merasa panik. Apalah daya anak bayi tersebut. Tidak ada yang lain tempat meminta tolong. Apalagi setelah perbekalan mereka berupa kurma dan air berangsur habis. Hajar dan anaknya terancam lapar dan dahaga. Rasa lapar dan haus tidak tertahankan lagi membuatnya bingung. Sementara rona wajah anaknya semakin pudar dari sinar kehidupan.

Hajar mencari air untuk mengembalikan cahaya Ismail. Hanya pasir kering dan batu karang yang ditemuinya. Dilayangkan pandangannya ke Shafa, seolah ada air, tetapi alangkah kecewa hatinya. Tidak ada air yang diperlukan, dilihatnya Marwa, diapun berlari kesana untuk mendapatkan air. Sia-sia saja usahanya, karena dorongan rasa sayang kepada buah hatinya, tetap dicari tanpa putus asa, tak pernah padam semangatnya.

Dari Marwa kembali ke Shafa tidak juga berhasil. Bolak balik dari Shafa ke Marwa sampai tujuh kali, akhirnya kehabisan tenaga. Hajar jatuh tersungkur ke batu karena letih. Dalam ketidakberdayaannya Hajar menyerahkan diri dan nasib anaknya kepada Allah, memohon perlindungan dan pertolongan.

Dia dikejutkan oleh tangis anaknya, diseretnya langkah menuju sang bayi, wajah pucat yang disayang terpandang olehnya. Cahaya kehidupan Ismail hampir padam sedikit demi sedikit.

Hati ibu mana yang tidak akan hancur melihat kenyataan demikian. Dikumpulkannya sisa tenaga yang ada...perlahan-lahan ditinggalkannya anaknya yang menyongsong maut itu. Tidak tega hatinya. Tangannya menutupi wajahnya yang berurai air mata, penuh kesedihan dia merintih. Dunia seakan berhenti berputar, angin seolah berhenti bertiup, turut merasakan kesedihan ibu yang menderita itu. Yang terdengar hanya nafas ibu dan desah anaknya yang kian lembut.

Tiba-tiba tanpa diketahui dariman adatangnya. Tampak sekelompok burung terbang menuju ke suatu tempat. Kemudian mematuk-matuk tanah dengan paruhnya. Hingga tampak basah, secepat kilat Hajar menuju tempat itu, digalinya tanah basah itu dengan kedua tangannya. Maka memancar air dengan derasnya. Diucapkan kata-kata ”Zam-zam” yang berarti teduhlah air, teduhlah atas kekuasaan Allah. Dibawanya air untuk membasahi bibir Ismail dengan kedua telapak tangannya, digendong serta disirami air. Kehidupan mulai tampak, cahaya muka Ismail mulai kelihatan dengan adanya air zam-zam.

Sampai Ismail menjelang dewasa, tidak pernah ditengok oleh ayahnya, hanya dalam asuhan ibunya seorang, Ismail tidak mengetahui dan mengenal ayahnya, dia diasuh dengan belaian kasih sayang seorang ibu, dengan segala beban penderitaan, hingga datang suatu hari Ibrahim menjenguk anak dan isterinya. Tetapi sayang ketika dalam kegembiraan Ibrahim mendapat ujian kembali. Belum habis rasa capeknya setelah menelusuri perjalanan yang panjang, belum terobati rasa rindunya sebuah mimpi mengusik ketenangannya, mimpi itu dari Allah agar dia menyembelih putranya.



Dapat dibayangkan betapa hancur dan pedihnya hati seorang ayah yang sudah lama memendam rasa rindu, tapi setelah bertemu anak yang baru saja tumbuh remaja harus pula disembelih. Dia tidak tega melakukannya, sehingga beberapa saat mimpi itu selalu disimpan. Tidak berani menceritakan kepada anak dan isterinya. Namun karena perintah Allah, pengorbanan apa saja dia selalu siap melaksanakannya, ”...Ibrahim berkata, ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”. Ismail menjawab, ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku orang-orang yang sabar” [Asy Syafaat;120].

Ismail walaupun masih muda belia rela serta tidak gentar menyerahkan dirinya untuk disembelih. Dia ikhlas karena dia anak yang shaleh yang telah dibina, dididik, ditempa oleh seorang ibu dengan segala beban penderitaan. Mereka sadar bahwa hidup hanyalah serentetan ujian dari Allah. Dan kini mereka sedang berada dalam ujian yang kesekiankalinya yaitu melakukan penyembelihan terhadap anak kesayangannya, belahan jiwa, penyejuk mata penenang hati. Ketika pisau akan disembelih ke leher Ismail dengan sangat hati-hati Ibrahim melakukannya, atas kuasa Allah, diganti dengan seekor domba, Allah menerima iman dan kesabarannya.

Seandainya Ibrahim, begitu menerima perintah Allah langsung mengerjakan penyembelihan terhadap Ismail, maka dia telah berpahala, namun dia tidak suka, bila pekerjaan besar ini tidak mendapat resfon dari Ismail, Ibrahim juga berharap agar anaknya mendapat pahala yang besar dari pengorbanan ini.

Dari kisah di atas nampaknya hidup memang penuh dengan rentetan ujian dan cobaan dari Allah. Pengorbanan dalam arti luas yaitu memberikan sedikit waktu, tenaga, peluang serta bentuk marena kepada yang membutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Allah tidak menerima ujud dari pengorbanan tersebut namun sebagai amal, yang sampai ialah keikhlasan dalam pengorbanan itu, wallahu a’lam [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Mimbar Minang Padang, 14022003 dan 21022003].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar