Sabtu, 05 Mei 2012

Manusia dan bekal hidupnya


Oleh; Drs. Mukhlis Denros

Ketika Nabi Adam As diturunkan Allah ke dunia ini sebagai Khalifah Allah untuk memakmurkan dunia dengan segala isinya untuk menerapkan nilai-nilai tauhid dalam seluruh asfek kehidupannya, sejak dari anak cucunya sampai akhir zaman. Sepanjang sejarah kehidupan manusia sejak dari lahir hingga alam akherat dapat diidentikasi tentang keberhasilannya sebagai hamba dan khalifah Allah yaitu;

Ada yang mampu mencapai keberhasilan dengan bahagia di dunia tapi gagal di akherat karena seluruh fasilitas hidup yang diberikan kepadanya tidak mampu difungsikan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah. Sebagian manusia ada yang hidupnya di dunia dapat dikatakan hina dipandangan manusia karena tidak punya fasilitas yang diharapkan tapi mereka mulia di akherat sebab pengabdiannya kepada Allah tidak diragukan.

Ada yang mampu meraih bahagia di dunia tapi juga bahagia di akherat, orang ini mampu meraih dua dimensi alam sekaligus karena menjadikan ladang dunia untuk mencapai kampung baqa di akherat, inilah idealnya seorang mukmin, namun tidak sedikit pula manusia yang hina di dunia dan sengsara pula diakherat, seluruh kegagalan dialaminya, sangat prihatin dan menyedihkan posisi orang ini.

Dari empat kriteria manusia diatas maka beruntunglah orang yang dapat meraih keberhasilan dunia dan akherat, paling tidak sebagai muslim kita mampu meraih bahagia di akherat walaupun derita dan kesengsaraan kita rasakan, karena memang kehidupan yang sebenarnya kehidupan adalah akherat bukan dunia, dunia hanya tempat singgah sementara bagi manusia.

Kehadiran manusia di dunia ini tidaklah dibiarkan demikian saja tapi dibekali dengan perlengkapan hidup dan modal untuk menggarap alam ini dengan ikhtiar masing-masing, Allah menciptakan manusia dan Dia mengetahui maslahat dan kebutuhannya, semua itu sebagai modal dasar hadirnya manusia, untuk saling berlomba-lomba mencari keberhasilan dengan prestasi masing-masing, memang Allah tidak menuntut keberhasilan kita, tapi yang dituntut adalah usaha maksimal kita dalam usaha dan bekerja, inilah bekal manusia yang iberikan Allah;

Pertama, Allah menciptakan jasad yang membutuhkan makanan dan minuman, agar jasad tersebut tumbuh dan berkembang sebagaimana ia juga membutuhkan pakaian dan tempat tinggal. Dia menciptakan untuknya akal yang membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan melaksanakan tugas-tugas dan menjadi kewajibannya berupaya memakmurkan bumi sebagai khalifah.

Dengan jasad yang kuat akal yang cerdas manusia dituntut untuk berbuat dan beramal untuk kemaslahatan dirinya dan masyarakat bahkan bumi keseluruhan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah berfirman dalam surat Al A’raf 7;42


”Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka Itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”

Kedua, Allah memberikan bekal kepada manusia dengan diciptakan-Nya ruh yang membutuhkan petunjuk dan hidayah, agar kehidupan manusia menjadi lurus di dunia dan akherat, karena manusia disebut sebagai manusia bukanlah karena jasadnya tapi karena ruhnya yang terpimpin oleh petunjuk Allah.

Ketiga, perangkat jasad, akal dan ruh saja tidaklah cukup maka kemudian Allah menanggung dan memenuhi seluruh kebutuhan manusia, karena memang manusia tidak memiliki sesuatupun;
”Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.”[Fushilat 41;10]

” Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.’[Saba’ 35;13]

Keempat, untuk kehidupan manusia di bumi ini perlu adanya rezeki dan Allah menjamin rezeki manusia dan menjadikannya mudah untuk didapat di atas bumi ini. Tidak ada seharusnya bagi seorang muslim rasa was-was dan khawatir tentang rezekinya, yang penting mau berusaha, sedangkan ulat di dalam batu saja selalu diberikan rezeki oleh Allah yang tidak putus-putusnya. Bila Allah menentukan jumlah manusia di dunia ini tiga milyat, tentu Dia menyediakan persediaan rezeki lebih dari itu untuk seumur dunia ini ;

”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan’’[Al Mulk 67;15].

Sebagian orang mengasosiasikan rezeki itu adalah gaji, honor atau hasil usahanya saja yang dapat diukur dengan jumlah materi, semua itu adalah bagian terkecil dari rezeki, makna rezeki itu luas sekali bahkan orang yang tidak punya gaji atau honor dan penghasilan tetap hidup dengan rezeki Allah yang datangnya tidak berpintu.

Kelima, bekal manusia di dunia ini perlu perkembangan dan dinamika hidup sesuai dengan perkembangan masanya, semua itu membutuhkan ilmu pengetahuan. Allah menjamin ilmu pengetahuan yang dibutuhkan akal serta membekali manusia alat dan sarana untuk mendapatkannya,dijelaskan dalam firman Allah surat An Nahl 16;78

” Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”



Keenam, manusia tidak bisa hidup tanpa bimbingan wahyu dan petunjuk-Nya, terlalu banyak penyimpangan yang dilakukan manusia bahkan keluar dari eksistensinya sebagai makhluk Allah ketika tidak mengacu kepada petunjuk Allah. Untuk itulah makanya dikirim nabi dan rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia, yang petunjuk tadi tidak sembarangan orang dapat menerimanya sehingga muncullah golongan kafir, fasiq dan zhalim sebagai ujud pembangkangan mereka terhadap petunjuk Allah itu.

Orang yang mampu menerima hidayah tersebut adalah manusia yang punya hati nurani yang disertai rohani yang tunduk kepada kebenaran. Dengan kekuasaannya Allah menjamin hidyah yang dibutuhkan oleh ruh. Maka diutuslah para nabi dan rasul untuk menunjuki jalan yang lurus;
”Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”[An Nahl 16;36].


Demikian banyaknya bekal yang diberikan Allah kepada manusia untuk mengelola, memimpin dan memakmurkan dunia ini dengan segala potensi yang dimiliki, selayaknya manusia tidak mengabaikan nikmat tersebut untuk mencapai keberhasilan hidup di dunia hingga akherat.

Semua nikmat yang telah diberikan Allah diatas adalah bekal hidup manusia, agar selalu berjalan di atas rel kebenaran, agar manusia memanfaatkannya dalam rangka beribadah kepada Allah dalam seluruh asfek kehidupan, wallahu a’lam [Solok, 08012001]

Tulisan ini dimuat pada tabloid Sumbar pos edisi 109

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com


Dengan Islam Hidup Akan Terarah


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Manusia disebut juga dengan ”Homo Religius” yaitu manusia dasarnya beragama sehingga cendrung kepada kebenaran sebagai pedoman hidup yang dapat membawa kepada keselamatan, dasar agama yang dimiliki manusia digambarkan Allah dalam surat Al A’raf 7;172-174,

”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman, ”Bukankah Aku Tuhanmu?” mereka menjawab, ”Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan, ”Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini”.

Dari ayat ini jelas dan tegas sekali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia ini telah dibekali dengan agama yaitu ajaran Tauhid yang siap menjadikan Allah sebagai Tuhan, sehingga layak kalau kebenaran dijauhkan atau ajaran Tauhid dicampuradukkan, manusia tetap mencarinya sampai menemukan kebenaran yang hakiki.

Menurut Ki.H.MA. Mahfudz ada empat bukti yang terdapat didalam jiwa manusia yang menyatakan bahwa manusia sewaktu di alam ruh dahulu itu sudah menyaksikan sifat-sifat Tuhan, yaitu;
1. Adanya rasa takut dalam jiwa manusia, yang disebabkan karena menyaksikan sifat-sifat kemahagagahan dan kemahakuasaan Allah.
2. Adanya rasa harap dalam jiwa manusia, yang disebabkan oleh karena menyaksikan sifat-sifat kemahapenyayangan dan kemahapengasihan Allah.
3. Adanya rasa indah dalam jiwa manusia, yang disebabkan oleh karena menyaksikan sifat-sifat kemahaindahan Allah.
4. Adanya rasa agama [bertuhan] dalam jiwa manusia, yang disebabkan oleh karena menyaksikan sifat-sifat Allah dalam keseluruhannya.

Kehadiran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah kelanjutan risalah dari nabi-nabi sebelumnya sekaligus menuntun fithrah manusia agar tetap berada pada posisi tauhid yang benar lalu melepaskan watak jahiliyah, Sayyid Qutb dalam bukunya Petunjuk Jalan, 1980 menyebutkan sebuah sistem. Manusia...sekiranya mereka hidup dengan mempraktekkan seluruh sistem Allah, mereka adalah muslim, dan sekiranya mereka hidup dengan mempraktekkan sistem-sistem ciptaan manusia, mereka sebenarnya melakukan sesuatu yang berlawanan dengan undang-undang alam, bertentangan dengan fithrah kejadian dan fithrah diri mereka sendiri, dengan sifat diri mereka sebagai sebagian daripada kejadian...pertentangan ini akan mengakibatkan kehancuran, baik cepat atau lambat...

Tuntunan kehidupan manusia tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Ilahi [GBHI] yang disebut dengan Al Qur’an serta gerak hidup, sepak terjang dan prilaku nabi Muhammad Saw dengan nama Hadits. Al Qur’an yang merupakan dasar hukum pertama bagi ummat Islam adalah pedoman yang akan mengarahkan jalan hidup manusia sampai kepada tujuan akhir yaitu akherat.

Mereka mempelajari Al Qur’an untuk menerima perintah Allah tentang urusan pribadinya, tentang urusan golongan dimana ia hidup, tentang persoalan kehidupan yang dihidupinya, ia dan golongannya. Ia menerima perintah itu untuk segera dilaksanakan setelah mendengarnya. Persis bagaimana prajurit di lapangan menerima ”perintah harian” untuk dilaksanakan segera setelah diterima. Karena itu, tidak seorangpun yang minta tambah perintah sebanyak mungkin dalam satu pertemuan saja. Karena ia merasa hanya akan memperbanyak kewajiban dan tanggungjawab di atas pundaknya. Ia merasa puas dengan kira-kira sepuluh ayat saja, dihafal dan dilaksanakan.

Dengan kehadirannya manusia di alam ini sebagai hamba Allah walaupun bekal hidup berupa agama [Islam] telah ada sejak lahir tapi godaan dan gangguan yang membawa ke jalan kesengsaraan terlalu banyak di bawah komando syaitan la’natullah. Kalau tauhid seseorang terbiming sejak kecil oleh syariat Allah [ajaran Islam] maka bagaimanapun kerasnya kehidupan, indahnya dunia tidak akan menyilaukan mata dan tidak akan mengaburkan perjalanan, semakin banyak batu ujian semakin mulus perjalanan manusia menuju kampung akherat.



Sesungguhnya cobaan yang pernah dikenakan kepada Adam di syurga sama sekali seperti cobaan yang dikenakan kepada kita,sehingga dengan ketulusan kita berhak mewarisi syurga yang kekal di akherat. Apakah yang sebenarnya menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan kita menghadapi ujian tadi?

Ada diantara kita menghadapi ujian, sedangkan ia berada di atas kursi kekuasaan atau sedang tergantung pada tiang gantungan. Ada diantara kita ujiannya dalam bentuk pangkat kekuasaan yang tinggi atau tinggal dalam gubuk reot. Semua ini merupakan keadaan sementara dalam menghadapi ujian atau cobaan, kendatipun nampak sesuai saja dengan fithrah manusia, namun manusia belum tentu berhasil lulus dan mencapai kebahagiaan, sebaliknya tidak pula memastikan, bahwa manusia pasti gagal menghadapinya.

Kebahagiaan abadi akan dicapainya dengan menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang taat dan dalam tindakannya hanya semata-mata menuntut ridha Allah, kendatipun ia berada dijana saja dan dalam keadaan apa saja. Kebenaran Islam dapat diuji dengan ilmu pengetahuan dan dijamin Allah sampai akhir zaman, kalau manusia mencari kebenaran lain sesuai dengan hawa nafsu tentu akan rusak langit dan bumi beserta segala isinya sedangkan Islam menjanjikan keselamatan hidup lahir dan bathin.

Orang yang hidupnya menyenangi seni maka kehidupan ini bagi dia adalah suatu keindahan, yang menyenangi ilmu pengetahuan maka kehidupan ini akan dilaluinya dengan mudah, agar hidup kita terarah tiada lain mengkaji, mengamalkan dan memperjuangkan kebenaran Islam, Allah berfirman, ”Allah hendak memimpin orang yang menuruti kehendak-Nya ke jalan bahagia” [Al Maidah 5;15]

”Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kebahagiaan hiduplah bagi mereka dan tempat kembali yang baik” [Ar Ra’du 13;29].

”Inilah Al Kitab [Al Qur’an] tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertawa” [Al Baqarah 2;2].

Suatu ketika Rasulullah pernah membuat suatu garis lurus pada sebuah tanah, kemudian beliau berkata,”Ini adalah syirathal mustaqim, barangsiapa yang menuruti jalan ini dia akan selamat. Di luar jalan ini banyak sekali jalan-jalan yang sesat, agar kalian berhati-hati”, syirathal mustaqim adalah Islam yang menuntun manusia agar hidupnya terarah dan bermakna sejak di dunia hingga akherat, selain itu bathil dan menyesatkan, wallahu a’lam [Solok 18052001].

Tulisan ini dimuat pada tabloid Sumbar pos edisi 108
Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Rabu, 02 Mei 2012

Arogansi datangkan bencana


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Kita sering tidak habis fikir, bencana demi bencana terus mendera negeri ini. Dari ujung Barat sampai ujung Timur, sepertinya siang dan malam kita tak pernah sepi dari bencana. Setelah diguncang bencana alam dimana-mana, kini kita diguncang kesulitan lain dengan melambungnya harga-harga. Dimana-mana orang menjerit, hingga nyaris tidak punya suara. Mereka akhirnya menyadari bahwa semua harga memang harus naik, yang turun adalah harga diri kita sebagai bangsa.

Krisis multi dimensi negeri ini semakin hari semakin parah. Musibah justru bermunculan bak jamur dimusim hujan. Membuat daftar kesengsaraan bangsa ini semakin bertambah panjang. Negeri ini tidak kekurangan pakar. Para ilmuan dari berbagai bidang ilmu sudah mencoba mengamati dari berbagai sudut. Pakar politik berfikir bahwa bencana negeri ini berawal dari politik kotor. Para ekonom menyoroti dari sisi banyaknya utang yang membebani dan manajemen yang payah.

Semua pengamatan di atas adalah pengamatan yang bersifat fisik. Sesuatu yang tampak pada lahiriah, tetapi hal-hal batiniyah, ukhrawiyah, ghaib justru mendapat perhatian lebih. Sering kali pandangan manusia hanya melulu kepada hitungan matematis di atas kertas. Padaha lada unsur ruh dalam diri manusia yang sebenarnya malah memegang kendali kehidupannya.

Banjir bandang yang menenggelamkan negeri ini misalnya lebih banyak disebabkan oleh penggundulan hutan dan bermunculannya real estate di tempat serapan air. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, kalau tidak ada kemaksiatan yang dilakukan. Mulai dari rakusnya para pemegang izin penebangan hutan atau pencurian kayu. Sampai izin mendirikan bangunan yang terpaksa keluar karena uang haram, yang sebenarnya tidak boleh didirikan di tanah resapan air.

Ketika bencana air hadir kita hanya berkata, ”Ah, itukan gejala alam, bisa diselesaikan dengan teknologi yang kita buat, bisa diatasi dengan membuat ini dan itu” tanpa kita melihatnya dari sudut pandang religius.



Pernah terjadi gempa di zaman Thabi’in [generasi sesudah masa sahabat Rasulullah], Anas bin Malik bertanya kepada isteri Nabi, Aisyah, ”Wahai ummul mukminin, mengapa sampai ada gempa?”. Aisyah menjawab, ”Jika pelacuran sudah dianggap legal, minuman keras sudah merajalela dan masyarakat kita sudh gila dengan musik, maka gempa itu sebagai nasehat an rahmat untuk orang-orang berimanh, tetapi juga sebagai azab dan murka atas orang-orang yang kafir, fasik dan zhalim”.

Maka ketika bencana datang yang harus cepat dilakukan adalah bertanya kepada diri sendiri yang harus dijawab dengan jujur, kemaksiatan apa yang telah dilakukan oleh kita yang bernaung di daerah ini, kejahatan politik apa yang kita lakukan terhadap rakyat, uang haram apa yang sudah kita nikmati, siapa orang yang sudah kita zhalimi, rakyat mana yang tidak diperhatikan kebutuhan hidupnya, arogansi apa yang kita munculkan dikala kita berkuasa.

Sebuah ungkapan mengatakan, dikala seseorang punya jabatan yang paling rendah, dia hanya mampu berkata, ”Apa makan kita sekarang?”, sudah bisa memilih lauk pauk dan pangan untuk setiap makan, statusnya mulai diperhitungkan orang dengan posisi dan fasilitas yang dimiliki, diapun bertanya lain, ”Makan dimana kita sekarang ?”, tidak puas hanya menikmati masakan isteri tersayang, tapi rumah makan dan restoran silih berganti jadi langganannya, dia sudah bisa memilih rumah makan model apa yang harus dikunjungi untuk pejabat seperti dia.

Bukan itu saja, saat posisi itu betul-betul kuat, titelnya membuat orang takut, jabatannya membuat orang salud, diapun bertindah sewenang-wenang dengan mengatakan, ”Makan siapa kita sekarang?”, tidak masalah walaupun rakyat kecil yang didera oleh kesusahan dan kepedihan hidup jadi sasaran tembaknya. Itulah gambarannya arogansi kekuasaan yang tidak dikendalikan oleh iman, bangsa sendiri dimakan, bila perlu anak kemenakan sendiri ditelan demi kekuasaan, wallahu a’lam [Solok, 08082003]. [Pernah dimuat di Tabloid Sumbar Post Edisi 99/19-25 September /Th III/2010 dan edisi 106]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Takwinul Ummah


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Keberhasilan suatu kepemimpinan cendrung diukur dari pembangunan fisik, sudah berapa buah gedung bertingkat dibangun, jembatan yang direhab, jalan yang dirintis. Masjid yang diperindah serta sekian laporan pembangunan yang selesai diresmikan. Dan itu benar,disamping dibutuhkan biaya yang tidak sedikit waktu yang relatif singkat, hal itu mudah dilakukan oleh siapa saja tapi baru satu asfek yang nampak padahal ruang lingkup pembangunan itu mencakup fisik, mental dan asfek lainnya.

Seorang Soekarno selain deklarator bangsa ini juga dikenang dengan usahanya membangun monumental yang kita kenal dengan Monas meskipun ketika itu kehidupan masyarakat menjerit dalam kemiskinan. Demikian pula keberhasilan Soeharto karena dia mampu menciptakan berbagai bangunan pencakar langit sehingga dijuluki ”Bapak Pembangunan” meskipun banyak tanah rakyat yang digusur tanpa penyelesaian yang jelas.

Kita memang membutuhkan sarana dan prasarana yang bisa ditunjang dengan pembangunan fisik yang berkesinambungan apalagi kemakmuran rakyat biasanya diukur dari tempat tinggal seseorang, di kompleks mana, gang apa dan kendaraan jenis apa yang dimilikinya. Semua itu tidak kita pungkiri, bahkan Iskandar Zulkarnain seorang raja yang beriman kepada Allah mempunyai benteng yang kokoh untuk mempertahankan rakyatnya dari serangan negara bar-bar lain. Sulaimanpun punya kerajaan yang bagus dilengkapi dengan gedung perkotaan gaya metropolitan. Tapi mereka tidak meluakan untuk membangun mental dan spiritual rakyatnya agar hidup qana’ah tawaddhu dan tidak mempertuhankan selain Allah.

Menurut konsep da’wah, dalam rangka membangun mental manusia ada tiga unsur pembangunan yang perlu dilakukan yaitu fisik, aqal dan ruhi yang kesemuanya harus diperhatikan, bila tidak akan terjadi kepincangan padahal kita harus hidup tawazun yaitu seimbang dalam membangunnya, yang selama ini kita hanya memprioritaskan pembangunan fisik dan aqal saja dengan mengabaikan ruhani sehingga terbentuk manusia gagah dan cerdas tapi tidak baik dan jauh dari aturan agama. Ruhani atau mental manusia perlu dibangun dengan nilai-nilai agama sehingga kepentingan dunia akherat diletakkan secara adil.

Pembentukan umat atau takwinul ummah artinya membentuk pribadi yang betul-betul berkualitas secara muslim yang kaffah [integral], semua itu dapat dilakukan dengan mempergencar da’wah yang tersistim bukan da’wah asal jadi sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Untuk membentuk mental manusia yang kita harapkan dengan enam cara yaitu;

Pertama, menanamkan Al Wa’yu artinya kesadaran diri untuk hidup bersama islam dengan segala suka dan dukanya melalui pengkajian islam yang intensif, sebenarnya kenapa ummat islam berbuat diluar ketentuan ajaran agamanya karena sebagian dari mereka tidak sadar tentang perannya dalam hidup ini, kewajiban dan haknya sebagai muslim masih belum mereka ketahui. Kesadaran ini perlu kita tumbuhkan karena memang banyak muslim yang tidak sadar tentang kemuslimannya.

Kedua, kita dalam membina umat ini perlu adanya Islahul Mustamirah yaitu melakukan perbaikan diri secara berkesinambungan bukan insidentil sebab musuh islam itu setiap waktu mengincar ummat ini untuk disesatkan disamping itu setiap muslim dimusuhi oleh idiologi apapun tanpa mengenal batas waktu.

Ketiga, dalam membina ummat ini kita perlu memupuk Ukhuwah Islamiyyah yaitu persaudaraan muslim yang diikat oleh aqidah, ibadah dan da’wah yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, dengan membentuk mental manusia agar terujud keimanan yang dalam [imanul amiq] sehingga iman yang dimiliki bukan sebatas kultur tapi iman yang mendiologi.

Kelima, akan terujud pembangunan mental yang kita harapkan bila kita berupaya menanamkan Taqwa Haqqa Tuqatihi yaitu ketaqwaan yang sebenar-benarnya taqwa bukan sebatas hiasan bibir saja.

Keenam, pembangunan mental manusia dapat diujudkan dengan Islamiyyatul Hayah yaitu islamisasi dalam seluruh asfekkehidupan.

Untuk melakukan semua itu memang bukan tugas ulama saja tapi tugas semua muslim melalui da’wah yang intensif dikerjakan dengan rapi dan terprogram yang hanya bisa dilakukan dengan da’wah fardiyah [rekrutmen] bukan da’wah yang cendrung seremonial dan formal.

Rasul saja dalam sejarahnya mengajak ummat ini agar menggencarkan da’wah secara pribadi tapi dalam bingkai jama’i [organisasi]. Allah menyiratkan dalam firman-Nya surat Ali Imran 3;104 , ”Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” [Tabloid Suara Solinda No 15/Januari 2002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Prestasi Hidup


Drs. St. Mukhlis Denros
Sebagai manusia yang diberi nikmat oleh Allah dengan berbagai karunia-Nya selayaknya kita bersyukur, apalagi jumlah nikmat itu tidak terkira,bahkan Allah menyatakan bahwa dikala manusia mencoba untuk menghitung jumlah nikmat yang diberikan-Nya maka sungguh tidak akan terhitung, sejak dari bangun tidur sampai kita tidur lagi, apalagi sejak lahir hingga wafat. Kita tidak akan bisa menghitung sudah berapa fasilitas hidup yang diterima dari Allah, maka nikmat hidup, kemerdekaan dan nikmat iman adalah nikmat yang besar yang perlu disyukuri. Salah satu wujud syukur itu adalah agar kita hidup berprestasi di dunia ini.

Sebagian ummat manusia terlalu sibuk dengan urusan duniawi sehingga mereka lupa bahwa mereka harus mempersiapkan bekal untuk di hari akhirat nanti. Apa yang akan kita bawa menghadap Ilahi Rabbi di kampung akherat kelak. Diperlukan kesadaran diri tentang bekal menuju hari akhir tersebut yaitu iman dan amal shaleh dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah melalui sejumlah aktivitas ibadah.

Bagi seorang muslim, yang dimaksud dengan ibadah itu bukan hanya ibadah khusus semisal shalat, puasa, zakat dan haji saja, semua kegiatan muslim yang mengacu kepada tiga hal dapat dikategorikan dengan ibadah. Pertama kegiatan ini diniatkan karena Allah semata dengan istilah ikhlas atau Lillah. Kedua manhaj yakni sistim atau cara beraktivitas itu mengacu kepada apa yang diicontohkan Allah melalui Rasul-Nya dengan istilah Ittibaur rasul, dan yang ketiga tujuan ibadah itu hanya mencari ridha Allah semata, walaupun mendapatkan ridha yang lain.

Imam Al Ghazali suatu ketika pernah berkata,”Barangsiapa yang mencari dunia semata maka ia akan menemukan dunia itu, tapi barangsiapa yang mencari akhirat maka ia akan mendapatkankan dunia dan akherat”, kegiatan apa saja yang menyeleweng dari salah satunya atau semuanya bukanlah ibadah walaupun lahirnya nampak ibadah, seperti menunaikan ibadah haji dalam rangka mencari ridha tetangga, atau semata-mata karena politik, maka ini bukanlah ibadah tapi malah dapat dikategorikan dengan maksiat kepada Allah.



Rasa tanggungjawab adalah kewajiban seorang pemimpin, bahkan Umar bin Khattab menyatakan, ”Seandainya ada keledai yang terperosok diperjalanan maka itu adalah tanggungjawabku kenapa tidak memperbaiki jalan untuknya”, Khalifah yang satu ini luar biasa wujud tanggungjawabnya terealisasi kepada rakyatnya, tapi dia juga menghabiskan waktu di depan Allah dengan munajad, do’a, shalat malam, tilawah qur’an, shaum sunnah yang intinya menenggelamkan diri dengan taqarrub kepada Khaliqnya. Demikian pula terujd kepada seorang Gubernur yang dihujat oleh rakyatnya karena tidak mau mengurus mereka di malam hari, maka disidangkanlah Gubernur ini di Madinah di hadapan Umar bin Khattab. Dengan penuh wibawa dia menjawab, ”Waktu saya untuk mengurus rakyat disiang hari, sedangkan malam hari adalah waktu saya untuk Allah”, sikap Gubernur ini dibenarkan oleh Umar, biar sibuk mengurus rakyat tapi tidak lupa mengisi rohani dengan ibadah kepada-Nya.

Dengan hidup ini kita memang dituntut untuk berprestasi, baik prestasi amaliyah dunia apalagi aktivitas untuk akherat. Dalam surat 103 Allah menjelaskan ”Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan yang berwasiat dengan kebenaran dan berwasiat dengan kesabaran”. Dari sekian tahun yang diberikan Allah untuk hidup dengan segala aktivitasnya perlu diisi hanya dengan tiga hal, pertama isilah waktu kita untuk meningkatkan kualitas iman dengan berbagai kegiatan. Kedua kita berkewajiban mengisi waktu hidup ini dengan amaliyah ibadah shalih yang idealnya memang banyak dan berkualitas, yaitu ibadah yang jauh dari syirik, bid’wah, kurafat dan tahyul sebagaimana yang dipesankan Rasul kita, ”Barangsiapa yang beribadah tidak sesuai dengan sistim yang kami ajarkan maka dia tertolak, dan mukmin yang baik itu adalah yang menggunakan waktunya seefisien mungkin”, Nabi Muhammad adalah orang yang sibuk mengurus rakyatnya, tapi dari segi ibadah tak ada diantara sahabat yang mampu menandinginya apalagi kita.

Ketiga, kita tidak termasuk orang yang merugi sebagaimana disinyalir-Nya bila waktu kita gunakan untuk berda’wah dengan metode menanamkan kebenaran dan kesabaran kepada ummat ini. Da’wah bukanlah sebatas tabligh tapi pembinaan terhadap ummat, walaupun seorang ulama sudah puluhan tahun berceramah, jika tidak membina ummat maka rugilah dia....sebagaimana sabda Rasul, ”Siapa yang karena dia seseorang memperoleh hidayah maka lebih baik dari pada dunia dengan segala isinya”. Disini tergambar bahwa da’wah mengandalkan kualitas bukan kuantitas saja. Silahkan kita sibuk dengan segala aktivitas dan urusan masyarakat, tapi jangan sampai diperbudak oleh kesibukan sehingga lupa untuk membina anak isteri untuk mengenal Allah, shalat terabaikan, mendalami agama tidak ada waktu. Sudahkah kita ummat yang berprestasi dalam hidup ? jawabannya terpulang kepada diri kita masing-masing. [Tulisan ini pernah dimuat padaa Tabloid Solinda Solok, edisi 18, April 2002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Penghuni Syurga Firdaus


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Iman dalam ajaran islam selain terucap dengan lisan, tertanam dalam hati, harus juga terbukti dengan amal perbuatan, bila sekedar iman saja yang diandalkan sementara buktinya tidak ada maka Iblis lebih beriman daripada kita. Dizaman sekarang umat islam dan islam ibarat manusia dengan kapal terbang yang melaju di di angkasa, karena islam bagi umat islam tidak masuk keseluruhan pribadinya sedangkan Allah berfirman dalam surat Al Baqarah 208, ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu keseluruhan ke dalam islam dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan karena syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.

Dalam surat Al Mukminun 23; 1-11 Allah mengabarkan bahwa yang akan mendapatkan keberuntungan dan masuk syurga Firdaus yaitu orang-orang yang mengaku beriman dengan beberapa bukti diantaranya:
Pertama, shalat yang khusyu’ dan memeliharanya, ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya”.[23;1,2,9]

Kewajiban shalat tegas diperintahkan dalam Al Qur’an, tetapi perintah itu bersifat umum, tentang detail cara dan waktu-waktunya berdasarkan atas petunjuk dan sunnah Rasul. Sistim shalat yang kita lakukan ini, adalah sistim yang telah dicontohkan nabi dahulu kepada ummat islam generasi terdahulu kemudian diwariskan secara turun-temurun tanpa mengalami perubahan, telah berjalan selama hampir 16 abad, ”Dirikan shalat itu, sesungguhnya shalat itu diwajibkan untuk melakukannya pada waktu-waktu tertentu atas sekalian orang mukmin”[ An Nisa’ 4;103].

Orang yang tetap mengerjakan shalat setiap waktu yang telah ditentukan Allah yaitu khusyu’ didalam shalatnya disamping itu pribadinya di masyarakat mencerminkan orang yang shalat yakni menjauhi perbuatan keji dan mungkar, shalatnya dipelihara dengan baik maka merekalah calon penghuni syurga Firdaus.

Kedua, berbuat dan berkata baik, ”Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna” [23;3]. Orang yang beriman dia akan memelihara tindak tanduk atau akhlaknya dengan baik karena kedudukan orang yang berakhlak berada dalam kedudukan yang tinggi, dari Abu Darda, nabi bersabda, ”Tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat, selain dari pada keindahan akhlak. Dan Allah benci kepada orang yang keji mulut dan kelakuan”[HR.Turmuzi].



Mengatakan sesuatu yang tidak perlu atau tidak berfaedah itu, termasuk mengurangi ciri kita sebagai seorang muslim yang baik. Karena menurut sebuah hadits yang diriwayatkan Turmizi dari Abu Hurairah katanya, ”Rasulullah telah bersabda, termasuk sebaik-baiknya islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak perlu baginya”.

Kesenangan berkata-kata yang tidak perlu ini, membawa kepada kesukaan berkata yang berlebih-lebihan, sehingga menjadi indah kabar dari pada rupa. Bertalian dengan itu Allah men gingatkan kita bahwa apa yang diucapkan lidah itu pasti dicatat, sebagaimana yang dapat kita baca dalam surat Qaf ayat 18, ”Setiap perkataan yang diucapkan dengan sembunyi sekalipun, pasti dihadapannya ada pengawas yang siap sedia untuk mencatatnya”.

Ketiga, membayar zakat, ”Dan orang-orang yang menunaikan zakat” [23;4]. Kewajiban berzakat adalah satu rukun dari rukun islam yang lima perkara, Allah berfirman, ”Di dalam harta benda mereka ada hak yang tertentu bagi orang fakir dan miskin” [Adz Dzariyat;19].

Mengerluarkan zakat sama halnya dengan mengerjakan shalat sedangkan hukumnya sama berat ”fardhu ain”. Di dalam shalat sering dijumpai perintah shalat digandengkan dengan perintah zakat. Salah satu hikmah zakat adalah membersihkan harta kita dari hal-hal yang subhat, yaitu penghasilan yang tidak jelas halal atau haramnya, bila zakat tidak dikeluarkan berarti harta kita belum bersih karena ada hak-hak ummat islam yang menjadi komsumsi kita.

Keempat, menjaga kehormatan. Orang yang menjaga sikap ini nampak dalam segala sikapnya, sebagai pribadi dia tidak akan berbuat merusak, melakukan penyelewengan, mendahulukan kepentingan bersama. Orang yang melakukan kekotoran seperti penyelewengan di luar nikah tentu hidupnya tidak akan tenang disamping takut diketahui oleh pasangannya juga dihantui oleh kemurkaan Allah.

Kelima, memelihara amanat, ”Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya” [23;28]. Yang dimaksud dengan amanat disini adalah suatu sikap dan sifat pribadi setia, tulus ikhlas dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yangt dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia maupun tugas kewajiban lainnya, pelaksanaan amanat dengan baik dapat disebut dengan Al Amin berarti yang mendapat kepercayaan, yang jujur, setia dan aman.

Orang yang shalat dengan khusyu’, menjaga shalatnya dengan baik, berbuat dan bertingkahlaku baik serta berbicara sebagai akhlak muslim yang diajarkan nabi, mengeluarkan zakat dan ssdaqah, menjaga kehormatan diri dan keluarga dari kemaksiatan, memelihara amanat, maka orang inilah yang akan mendapatkan tempat yang mulia yaitu ”Syurga Firdaus”.

Tinggal berpulang kepada kita, akan masuk syurga firdaus yang telah dijanjikanNya atau akan masuk neraka jahanam yang juga telah dijanjikan-Nya bagi mereka yang ingkar dan dimurkainya. Memasuki syurga firdaus memang dilakukan melalui cetusan iman dan dibuktikan dengan amaliyah ibadah, tetapi sedikit sekali orang yang mengetahuinya dan tidak sedikit yang merasa berat untuk mengerjakannya, mudah-mudahan kita mendapatkan taufiq yaitu kemampuan untuk berbuat baik dan diberi hidayah-Nya yaitu petunjuk untuk kesana, wallahu a’lam [Tabloid Solinda Suluh, Solok edisi 20/ Agustus 2002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Meningkatkan Kualitas Iman


Drs. St. Mukhlis Denros

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah bersabda, ”Iman mempunyai 77 cabang, yang pertama ialah mengucapkan Laa Ilaaha illallah dan yang paling rendah ialah menyingkirkan suatu barang yang mungkin berbahaya di jalan dan malu mengerjakan kejahaan juga salah satu cabang dari rangka iman” [Muslim].

Berangkat dari hadits tersebut dapat diambil tiga point yang merupakan cermin dari keimanan seseorang yaitu;
Pertama, iman yang tinggi; syarat seseorang dikatakan muslim bila dia telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai persaksian bahwa dia siap berada dalam pangkuan islam. Bila sekedar ucapan saja belumlah iman yang tinggi tapi masih disebut sebagai muslim. Karena itu, ketika orang-orang Arab yang baru kalah perang itu menyatakan telah beriman, karena ia telah menyatakan dua kalimah syahadat, sontak disangkal oleh Rasulullah Saw, ”Kalian sebenarnya belum beriman, tetapi kalian baru menyatakan muslim sebab iman belum meresap ke dalam jiwa kalian”. Allah berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak lagi ragu-ragu dengan keimanannya itu” [Al Hujurat 49;15].

Ucapan Laa Ilaaha Illallah, ialah pengakuan seorang hamba yang secara sadar mengakui keberadaan Allah, konsekwensi logis dari pernyataan itu ialah mengaku pula; tidak ada hukum yang wajib ditaati selain hukum Allah, tidak ada yang wajib disembah selain dari Allah, tidak ada kecintaan yang melebihi dari cinta kepada Allah, tidak ada yang ditakuti selain dari ancaman Allah, tidak ada yang dikagumi selain dari ciptaan Allah, tidak ada yang disegani, dihormati, ditaati selain dari Allah.

Dengan persaksian diatas, maka seorang telah dapat dikatakan bebas merdeka, tidak diikat oleh suatu belenggu apapun, tidak dijajah oleh suatu keterikatan kepada siapapun selain keterikatan kepada Allah Swt saja. Maka ummat islam yang telah berikrar dengan syahadat itu bebas berbuat, bebas beribadah menjalankan hukum Allah sesuai kehendak-Nya dengan segala kemampuan yang dimilikinya.

Realisasi iman sesudah diucapkan melalui lisan, dihunjamkan dalam hati maka harus pula diujudkan dalam tindakan nyata, tindakan inilah yang mengakibatkan Bilal bin Rabah disiksa oleh majikannya, Ashabul Kahfi dikejar-kejar oleh raja Delicius dan Nabi Muhammad dilecehkan, dikejar bahkan nyaris dibunuh oleh kekuasaan kafir Quraisy.

Kedua, iman yang rendah; sikap yang diperbuat oleh seorang muslim menunjukkan cetusan imannya yang digerakkan olehy hati nurani tanpa mengharapkan pamrih dari orang lain walaupun amal itu kecil. Membuang sesuatu rintangan yang ada di jalan,entah berupa kerikil, duri atau sebangsanya demi keselamatan dan kelancaran lalu lintas menunjukkan suatu gerak keimanan. Bukti iman bukan hanya memberikan derma atau sedekah sekian banyak tapi kebaikan sedikitpun merupakan derma disamping menambah tabungan pahala juga gerak hati sebagai orang yang beriman.

Ketika Rasululah Saw mengeluarkan fatwa untuk mendermakan harta di jalan Allah, terdapat seorang sahabat yang sanga papa, jangankan untuk sedekah, sedangkan untuk diri sendiri dia tidak punya, sahabat itu berkata, ”Ya Rasulullah, bolehlah Abu Bakar, Umar atau Usman bersenanghati untuk berderma di jalan Allah, tapi ini ya Rasulullah, orang miskin, apa yang harus kami berikan?”



Kemudian Rasulullah memberikan kabar gembira bahwa sedekah bukan sebatas harta yang dimiliki, salah satu sabda beliau yang diriwayatkan oleh Ahmad, setiap diri diwajibkan sedekah setiap hari tiap terbitnya matahari, diantaranya, ”Jika ia mendamaikan diantara dua orang yang bermusuhan dengan adil itulah sedekah, bila ia menolong seseorang untuk menaiki binatang tunggangannya, berarti sedekah, menyingkirkan rintangan dari jalan adalah sedekah, ucapan baik kepada orang lain dan keluarga adalah sedekah,dan setiap langkah yang dilangkahkan seseorang untuk mendirikan shalat adalah sedekah, senyummu di depan saudaramu adalah sedekah”.Disamping hadits tersebut, juga terdapat sabda nabi yang mengatakan, ”Setiap tasbih, setiap tahmid, setiap tahlil dan setiap takbir adalah sedekah”.

Keimanan seseorang kualitasnya berbeda satu sama lain, jangankan menunjukkan keimanan yang tinggi sedangkan bukti keimanan yang rendah saja tidak mampu ditunjukkan. Dengan keimanan yang rendah bila dipupuk terus menerus akan semakin mantap, kokoh lagi bernilai tinggi. Iman seseorang akan dinilai Allah melalui berbagai bentuk ujian untuk menentukan emas dan loyang, apakah sekedar ucapan lisan atau memang menghunjam di hati lalu direalisasikan dalam kehidupan, lalu siap pula menerima segala konsekwensi dari keimanan tersebut yaitu berbentuk ujian, orang yang lulus dari segala ujian kehidupanlah yang layak disebut beriman dan beroleh pahala Allah,

”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnhya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, bilakah datangnya pertolongan Allah ? ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” [Al Baqarah 2;214].

Ketiga, malu sebagian dari iman. Yang dimaksud dengan malu disini yaitu malu berbuat kejahatan, kenistaan dan perbuatan lainnya yang merendahkan eksistensi iman seseorang, bila seseorang mengaku beriman sementara kejahatan dan prilaku tidak baik dilakukan juga baik melalui tindakan atau lisan maka keimanan orang ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran. Abu Hasan Al Mawardi membagi malu menjadi tiga macam yaitu;

1. Al Haya Minallah, yaitu malu kepada Allah, bila seorang muslim malu kepada Allah maka ujud malu itu dibuktikan dengan mengikuti perintah Allah dan menahan diri dari larangan-Nya.

2. Al Haya minannas, malu kepada manusia, sikap hidup ini yaitu menjauhkan diri dari sikap yang dibenci orang lain sehingga disenangi dan menimbulkan rasa simpati dan tidak bangga dengan sikap yang tidak terpuji.

3. Al Haya menannafsi, malu kepada diri sendiri yang mendorong seseorang berbuat yang terbaik untuk dirinya tanpa mengorbankan orang lain, ia selalu berusaha menjaga diri dari berbuat jahat.

Malu merupakan alat yang dapat mendatangkan nilai positif atau nilai kebaikan, baik untuk diri sendiri, orang lain, keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan negara. Menurut orang yang bijaksana bahwa tanpa malu seseorang masih ada bila kepada yang baik didorongnya ke depan dan kepada yang mungkar ditahannya. Bila rasa malu telah hilang, manusia akan berbuat seenaknya menurut dorongan hawa nafsu yang rendah.

Agar keimanan seorang muslim tetap tertanam lalu sedikit demi sedikit kokoh mengakar dalam jiwa maka harus dipupuk, dibina dari shalat ke shalat, dari jum’at ke jum’at, dari Ramadhan ke Ramadhan dan dari detik ke detik. Tumpukan lumpur yang tidak berarti di tengah laut, dari waktu ke waktu diterpa angin dan badai, gulungan ombak, panas dingin cuaca silih berganti. Lama kelamaan menjadi batu karang yang kokoh tertancap dengan gagahnya demikian pula dengan iman.

Rasul menggambarkan bahwa iman itu mengalami fluktuasi, yaitu naik dan turun, bukti iman kita naik banyak ibadah yang dapat dikerjakan, sedangkan bukti iman sedang turun yaitu banyak maksiat yang kita gelar, perbanyaklah ibadah otomatis iman akan naik, jangan biarkan dia turun, maka stabilkan, wallahu a’lam [Tabloid Suluah Solinda no.06/ Agustus 2001].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Mendidik Amanat Allah


Oleh Drs. Mukhlis Denros





Rasulullah bersabda,”Seorang anak dilahirkan dalam keadaan suci [fithrah] maka ayah dan ibunya yang menjadikan beragama Yahudi, Nasrani atau Majudi” [HR.Bukhari]. berangkat dari hadits ini bahwa kehadiran anak di dunia ini akan dihiasi oleh coretan dari orangtuanya, baik orangtua dalam keluarga itu, guru ataupun masyarakat. Bila coretan yang diterima baik maka baiklah lukisan yang terpampang di kanvas.

Keberadaan anak merupakan hal yang sangat diharapkan kehadirannya oleh orangtua, sehingga bila seseorang telah menikah, lama tidak dikaruniai anak, mereka akan sedih, resah dan tidak tentram. Dalam Al Qur’an dikisahkan, bagaimana Nabi Zakaria merasa gundah gulana lantaran telah lanjut usia belum juga diberi keturunan, ”Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku [penerus generasi] sepeninggalku, sedang isteriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’kub, dan jadikanlah dia ya Tuhanku, seorang yang diridhoi” [Maryam ;5-6].

Ayat ini mengisahkan Nabi Zakaria yang resah karena umur telah tua, tulangnya telah lemah dan rambutnya telah beruban tapi belum diberi anak sementara isterinya mandul. Menurut Al Baidhawi, kala itu Zakaria telah berumur 60 tahun, bahkan ada yang mengatakan 99 tahun, ia khawatir tidak mempunyai anak, nantinya siapa yang akan jadi warisnya, warisan yang ditinggalkan adalah syariat agama dan ilmu.

Orangtua harus khawatir dengan generasi yang ditinggalkannya. Anak disamping karunia Allah dia juga sebagai amanah yang harus dididik dengan nilai-nilai agama agar fithrah yang dibawanya sejak lahir dapat tumbuh dan berkembang sebagai generasi yang sempurna ketaqwaannya sebagaimana Nabi Ibrahim berdoa,”Wahai Tuhanku, jadikanlah aku ummat yang mendirikan shalat dan demikian juga anak cucuku dan keturunanku. Wahai Tuhanku, perkenankanlah doaku, wahai Tuhanku, ampunilah aku dan juga kedua ibu bapakku dan bagi orang-orang mukmin pada hari terjadi perhitungan”[Ibrahim;40-41].

Do’a Nabi Ibrahim telah makbul, diterima Allah Swt, dan do’a untuk anak cucunya juga telah dikabulkan. Dari keturunan Nabi Ishaq lahirlah berpuluh nabi dan rasul seperti ; Ya’kub, Yusuf, Musa, Harun, Ayub, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Isa . dari keturunan nabi Ismail lahirlah seorang nabi terakhir, khatimul anbiya [nabi penutup] sayidul mursalin [penghulu para rarul] yaitu Nabi Muhammad Saw.



Dalam hal mendidik anak, Ibnu Khaldun maupun Ibnu Shina memberikan satu konsep, yaitu pengajaran Al Qur’an adalah sebagai basis [dasar] bagi permulaan dari berbagai kurikulum pendidikan yang mesti diajarkan dan diterapkan kepada anak-anak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, ”Didiklah anak-anakmu dengan tiga perangai; cinta kepada nabimu, cinta kepada kaum kerabatnya dan cinta dalam membaca Al Qur’an, bakal berada dalam naungan Allah kelak pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya” [HR. Thabrani].

Dalam hadits lain beliau kembali menegaskan,”Suatu pahala akan diberikan kepada orangtua yang mengajarkan Al Qur’an kepada puteranya, pada hari kiamat nanti akan mendapat mahkota di dalam syurga”[Thabrani]. Disabdakan lagi,”Rumah yang sering dibaca Al Qur’an didalamnya akan terbayang oleh penghuni langit sebagaimana bintang-bintang terbayang oleh penduduk bumi” [HR. Al Baihaqi dan Aisyah].

Peran orangtua dalam mencetak generasi qur’ani dalam rumah tangga bukan sekedar tanggungjawab saja tapi mengandung nilai ibadah disisi Allah, tak heran jika Rasulullah bersabda,” Barangsiapa yang dikarunia anak perempuan lalu ia mengajarkannya akhlak mulia dan mendidiknya dengan baik, diberi makan bergizi, kelak amalannya itu akan menjadi penjaganya dari api neraka”.

Dari hadits rasul diatas beliau mengangkat usaha orangtua dalam mendidik terutama anak perempuan, karena pada masa itu orang jahiliyyah sangat malu bila mempunyai anak wanita dan bangga dengan anak laki-laki, disini nampak bahwa Nabi Muhammad memberikan tempat tertentu bagi kehadiran wanita dalam keluarga, dia bukan makhluk kelas dua setelah pria, pada satu sisi ada kesamaan yang tidak dapat dibantah, Allah berfirman, ”Siapa saja yang berbuat kebaikan laki-laki maupun wanita sedang ia beriman, maka akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” [An Nahl 16;97].

Dalam surat Al Hujurat 49;13 pun Allah menegaskan,”Hai manusia sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang lelaki dan seorang wanita, dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Waspada”.

Perhatian islam terhadap wanita cukup serius sehingga nama kaum ini diabadikan menjadi nama surat dalam Al Qur’an, yakni An Nisa’, Al Qur’an juga sering mengistilahkan wanita dengan sebutan Mar’ah. Selaku orangtua tidak menganggap istimewa anak laki-laki lalu memojokkan anak wanita, jangan karena jenis kelamin yang berbeda laku tidak berlaku adil, Rasulullah bersabda, ”Berlaku adillah kepada anakmu walaupun dalam masalah ciuman [kasih sayang]”. Apalagi dari segi pendidikan, orangtua harus arif bahwa wanitapun mampu menyelesaikan pendidikannya pada tingkat yang lebih tinggi tidak bedanya dengan laki-laki.

Letak kehancuran ummat islam karena melalaikan dari menuntut ilmu sehingga prediket bawahan selalu disandang. Karena itu islam menjatuhkan martabat dan mencela orang yang bodoh serta menyatakan akan dimasukkan ke dalam neraka,”Sesungguhnya yang sejahat-jahatnya makhluk melata menurut pandangan Allah ialah orang-orang tuli, yang bisu dan yang tidak dapat berfikir” [Al Anfal 8;22].

Yang menyebabkan orang dapat mendengar, bicara dan berfikir itu ialah ilmu yang banyak. Semakin banyak ilmu seseorang, maka akan semakin nyaringlah pendengarannya, semakin banyak yang dapat dibicarakannya dan difikirkannya, Allah berfirman,”Dan sesungguhnya Kami sediakan untuk neraka itu, beberapa banyak dari jin dan manusia yang mempunyai hati tetapi tidak dapata mengerti dengannya, yang mempunyai mata tapi tidak dapat melihat dengannya dan mempunyai telinga tapi tidak dapat mendengar dengannya, mereka itu sama dengan hewan, bahkan lebih sesat lagi dari hewan...”[Al A’raf 7;179].

Ilmu yang dimaksud disini tentu ilmu dunia dan akherat, sebab Rasulullah memberikan suatu gambaran manusia akan berbahagia di dunia bila ia memiliki ilmu untuk meraihnya, orang akan bahagia di akherat bila ia memiliki ilmu akherat, dan orang akan bahagia di dunia dan di akherat bila memiliki kedua ilmu itu.

Untuk itu orangtua sebagai pendidik amanat Allah yang pertama dan terutama agar menggembleng generasinya kepada nilai-nilai luhur yang islami, walaupun ilmu dunia luas tapi tetap berpijak pada dasar-dasar ajaran islam sehingga dengan tegas Rasulullah mengatakan,” Didiklah anak-anakmu karena dia akan menghadapi masa yang tidak sama dengan masamu”, artinya tantangan hidup, persaingan, ujian-ujian yang dihadapi anak nanti lebih berat dibandingkan yang dihadapi orangtuanya hari ini, segala bentuk idiologi menggiringnya kepada kehancuran. Sehingga dasar islam yaitu aqidah yang istiqamah perlu sejak dini ditanamkan kepada anak kita kalau kita tidak mau generasi besok akan hancur jadinya, wallahu a’lam [Tabloid Suara Solinda Solok no. 16/ Mei 2001].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Membina Persatuan Bangsa


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Rasulullah menyampaikan risalah kebenaran kepada ummat manusia pada satu sisi agar ummat hidup dalam perdamaian, saling tolong menolong dan hidup harmonis karena permusuhan bukanlah ummat yang terbaik. Dalam surat Ali Imran ayat 103 Allah berfirman, ”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah ketika kamu dahulu masa jahiliyah bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hati kamu. Lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang bersaudara...”

Itulah keadaan ummat sebelum dipersatukan dalam tali kasih Islam. Sungguhpun demikian rupa keadaan mereka akan tetapi dengan nikmat Allah yakni dengan agama Islam, mereka telah dapat dipersatukan hatinya sehingga mereka itu menjadi ummat yang bersatu dan bersaudara lahir dan batin.

Suatu hal yang lumrah kalau manusia diciptakan Allah dalam keadaan bersuku-suku dan berbangsa bangsa serta berlainan partai serta golongan. Itu semua realitas kejadian manusia sebagaimana firman Allah dalam surat Al Hujurat 49;13 yang artinya, ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa an bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa...”

Bangsa kita yang heerogen terdiri dari berbagai suku bangsa, golongan dan kelompok, bahkan terkotak-kotak pula dalam berbagai partai. Hal itu wujud dari demokrasi, semua orang punya hak untuk masuk ke dalam sebuah kelompok manapun. Tapi hakekatnya sama-sama memperjuangkan kejayaan negeri ini. Bahkan ummat Islampun telah ternaungi oleh sekian partai Islam seperti PUI [Partai Ummat Islam], PBB [Partai Bulan Bintang], Partai Keadilan dan Partai Amanat Nasional.

Dengan tampilnya sekian partai, janganlah kita saling sikut dan sikat, saling gontok-gontokan, saling merasa hebat dengan identitasnya. Bila hal ini terjadi maka pecah dan hancurlah bangsa ini. Untuk itu ukhuwah Islamiyah perlu dipupuk, rasa solidaritas perlu ditumbuhkan. Kita satu bangsa, hanya baju saja yang berbeda. Kita lain golongan tapi satu cita-cita yaitu untuk negeri yang baldatun thaibatun warabbun ghafur.

Allah berfirman dalam Al Hujurat ayat 10, ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu tidak lain dan tidak bukan adalah satu saudara. Sebab itu damaikanlah diantara dua saudaramu yang bertikai....”

Imam Al Gazali mengibaratkan persatuan ummat Islam bahkan kesatuan bangsa Indonesia dapat kita ibaratkan seperti lima jari pada sebuah tangan. Walaupun setiap jari ada kelebihan, bila tidak bersatu tidak akan dapat mengangkat sebuah beban walaupun ringan. Ummat Islam ada yang berperan sebagai ibub jari, telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking. Antara satu dengan yang lainnya saling mendukung dan melengkapi.



Ibu jari adalah simbul penguasa atau umara/ pemerintah yang punya tugas mengayomi, membina, membimbing dan mensejahterakan rakyatnya. Tidak ubahnya sebagai seorang itu, keadilan akan ditegakkan walaupn yang melakukan orang terpandang, kebenaran akan dibela meskipun penguasa atau pemerintah.

Jari telunjuk adalah para hartawan yang dermawan, dengan hartanya dia mampu menunjuk bangunan yang terbengkalai, fakir miskin dan anak yatim dapat dia bantu. Hartawan yang dermawanlah yang dapat berperan sebagai jari telunjuk untuk menjalin kasih sesama ummat bukan hartawan yang kikir lagi bakhil.

Orang yang dilambangkan dengan jari tengah adalah para ulama yang berperan sebagai penyampai denyut nadi ummat melalui fatwanya yang berdasarkan Al ur’an dan Hadits. Letaknya di tengah mempunyai makna yang dalam artinya. Dia tidak boleh terlalu rapat dengan penguasa dan terlalu kental dengan orang kaya. Karena kehadirannya membela kepentingan rakyat dan ummat serta menegakkan kebenaran dengan ajaran Allah. Kalau dia terlalu dekat dengan penguasa dan oranga kaya dapat mengaburkan misi yang diembannya, apalagi dia rela diperalat sehingga fatwa yang disampaikannya sesuai dengan pesan sponsor dari penguasa dan konglomerat.

Ulama yang diharapkan adalah ulama yang dapat menjalin persahabatan dengan lapisan masyarakat manapun tapi tetap tegar dan tegas dengan prinsip da’wah yaitu menyampaikan kebenaran walaupun pahit dirasakannya. Dia mampu untuk mengatakan hitam walaupun dipaksa untuk mengatakan putih. Dia tidak bisa berkata haram kalau hal tersebut halal dan sebaliknya.

Jari manis adalah keindahan. Letak cincin berlian disini. Dia ibarat pemuda yang dihiasi dengan berbagai keindahan cita-cita dan harapan, baik orang tua, agama maupun bangsa. Kehadirannya di tengah masyarakat harus bermanfaat bagi kelansungan hidup suatu bangsa melalui bidang pendidikan atau keterampilan yang dimiliki.

Jari yang terakhir adalah kelingking. Kedudukannya pada urutan terakhir dan bentuknyapun paling kecil di bandingkan dengan jari lain. Tapi perannya tidak dapat diabaikan begitu saja. Dia adalah kaum ibu dan wanita. Posisinya bukan hanya segi tiga; dapur, kasur dan sumur saja, tapi pada zaman sekarang telah merambah ke dunia yang pada umumnya dilakukan oleh lelaki. Satu sisi dia disebut dengan wanita yang berperan ganda.

Sebagai pendamping suami, peran ganda wanita mengamankan kedudukan suami dari segala macam rongrongan yang dapat melemahkan keteguhan pendirian dan pengabdiannya. Sebagai ibu, peran ganda wanita dapat menyumbangkan pada negara putra-putri yang berguna dan berbudi luhur. Dan terakhir sebagai ibu rumah tangga yang harmonis, sakinah dan mawaddah yaitu rumah tangga yang tenang dan tentram.

Marilah kita jaga persatuan dan kesatuan, kekokohan dan kekuatan bangsa kita ini. Berlainan suku, bangsa dan partai serta golongan menjadikan sebuah negara yang besar dan kuat, sama-sama kita angkat ke depan dengan beban besar ini untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat bangsa Indonesia, Allah memperingatkan kita agar satu dan padu, ”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka...”[Ali Imran 3;105].

Peringatan Allah dalam surat Ar Rum 30;32, ”yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan. Tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.[Tulisan ini pernah dimuat pada Tabloid Suara Solinda, Edisi 08, Oktober 2001].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Membina diri agar ikhlas


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Ketika Rasulullah Saw mengeluarkan fatwa untuk mendermakan harta benda di jalan Allah, terdapat seorang sahabat yang sangat papa. Jangankan untuk bersedekah sedangkan untuk dirinya sendiri dia tidak punya. Sahabat itu berkata, ”Ya Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Usman bersenanghati untuk berderma dijalan Allah karena mereka orang yang kaya, tapi kami ini ya Rasul, orang yang papa dan sangat miskin, apa yang harus kami berikan?” kemudian Rasul memberikan kabar gembira dengan sabda beliau, ”Setiap diri diwajibkan bersedekah setiap hari ketika terbit matahari diantaranya; jika ia mendamaikan diantara dua orang yang bermusuhan dengan adil, itu sedekah, bila ia menolong seseorang untuk menaiki binatang tunggangannya, berarti sedekah, mengangkat barang-barang ke atas kendaraan itu juga sedekah, menyingkirkan rintangaan duri dijalan itu juga sedekah, ucapan yang baik kepada keluarga dan teman itu juga sedekah, setiap langkah yang dilangkahkan seseorang untuk mengiringkan shalat juga sedekah, senyum mu didepan saudara mu adalah sedekah’’

Disamping hadist diatas juga terdapat sabda Rasulullah ’’setiap tasbih, setiap tahmid, setiap takbir dan setiap tahlil adalah sedekah ’’Sebagai saluran nilai lebih dari yang dimiliki seorang hamba ,bila ia miskin ,maka terlebih dahulu adalah dirinya sendiri, jika ia memiliki kelebihan jalan keluar ialah buat keluarganya, untuk kaum kerabat, setelah itu barulah untuk keperluan lainnya, selama masih untuk membuktikan ketaatannya kepada Allah.

Sedekah yang diberikan tadi bukan hanya khusus ditujukan kepada manusia saja, bahkan sedekah yang diberikan kepada hewanpun akan menerima imbalan dari Allah. Nabi Muhammad Saw pernah menceritakan dalam sebuah hadits yang mengatakan bahwa pada masa dahulu terdapat seorang anjing yang sedang kehausan di pinggir perigi [kolam], dia berputar-putar di pinggir kolan tersebut dengan amat letihnya. Ketika itu juga datanglah seorang pelacur Bani Israil. Dengan perasaan tulus dan ibu dibukanya sepatunya, kemudian disauknya air dengan sepatu tersebut. Anjing itupun minum dengan senangnya, hausnya lepas, kemudian dia berlalu meninggalkan pelacur seorang diri. Kata Nabi, Allah memperhitungkan dan mengampuni dosanya”.

Dari sekian derma yang dikeluarkan di jalan Allah, maka tidaklah seluruhnya akan mudah diterima Allah, karena bila berderma bukan karena mengharapkan ridha Allah, berniat bukan karena Allah, maka batallah seluruh pemberian tadi. Secara bahasa, ikhlas berasal dari kata Kho-la-sho, artinya membersihkan. Ikhlas berarti membersihkan motivasi dalam mendekatkan diri kepada Allah dari berbagai maksud dan niat yang lain, atau mengkhususkan Allah sebagai tujuan dalam berbuat taat kepada-Nya.

Dengan kata lain ikhlas adalah memusatkan pandangan [perhatian] manusia agar senantiasa berkonsentrasi kepada Allah. Setiap mukmin senantiasa berkonsentrasi kepada Allah. Setiap mukmin senantiasa melakukan perjanjian ikhlas dengan Rabb-nya, sebagaimana sering kita baca beberapa ayat di dalam shalat, ’”Sesungguhnhya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cendrung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menserikatkan Allah” [Al An’am 6;79], ”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata”.

Ibadah yang ikhlaslah yang diperhitungkan Allah walaupun sedikit serta tidak disaksikan orang lain, ”Sekiranya kamu terangkan apa yang ada di hatikmu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah akan memperhitungkan kamu juga”[Al Baqarah 2;284].

Tidak ada artinya bila ibadah tersebut disandarkan kepada yang lain, disamping beribadah kepada Allah juga kepada makhluk, masih mencari tandingan-tandingan selain Allah, seperti yang dilakukan ummat islam di lapisan masyarakat, mendatangi kuburan dan dan dukun-dukun untuk memohon do’a dan berkah, percaya dengan batu-batu dan keris dengan segala keramatnya. Puasa dilaksanakan dengan baik ketika mertua ada di rumah, tentang amalan yang dikerjakan dengan riya’, Allah berfirman, ”Jika kamu mensekutukan Allah niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”[Az Zumar 39;65].

”Dan janganlah kamu hinakan aku dihari mereka dibangkitkan, yaitu ketika harta dan anak-anak tiada berguna, kecuali mereka yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih”[Asy Syu’ara 26;87,89].

Keikhlasan hati tidak akan tercermin kecuali pada orang yang amat dalam mahabbah [kecintaannya] kepada Allah, dan perhatiannya lebih terfokus pada akherat, tanpa tertempel di hatinya tujuan dunia. Orang seperti ini bila ia makan, minum, bekerja, bahkan buang hajat sekalipun akan tetap ikhlas. Sedangkan orang yang tidak mencintai Allah dan meyakini akherat maka pintu ikhlas tertutup baginya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah menggambarkan ada tiga kelompok manusia yang telah berbuat banyak di atas dunia, mereka adalah pejuang yang akhirnya syahid dalam perjuangannya, ilmuwan yang waktunya habis untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmunya kepada masyarakat luas, dan kelompok dermawan yang mengorbankan hartanya untuk jalan Allah, tetapi akhirnya mereka dijebloskan ke dalam neraka lantaran pejuang berbuat untuk mendapatkan julukan pejuang, sang ilmuwan agar mendapat gelar cendikiawan begitu juga dengan dermawan agar mereka mendapat popularitas.

Amal yang mereka perbuat di dunia dikira akan mendapat pahala tetapi malah sebaliknya, ibarat fatamorgana bagi musafir di padang pasir yang luas, rasa haus dan letihnya membayangi sebuah oase yang penuh dengan air tapi ketika didekati oase tadi hilang tak berujud, atau seperti debu yang menempel di batu hitam yang licin, ketika hujan datang maka debu-debu tadi luntur ke bumi tanpa meninggalkan bekas, ini ibarat bagi orang-orang yang tidak ikhlas dalam berbuat, ”Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-oran g yang menyeru Rabbnya dipagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya” [Al Kahfi 18;28].

Rasulullah bersabda, ”Berhati-hatilah terhadap amal yang kecil, siapa tahu ketika engkau melakukan amal kecil itu lansung dicatat sebagai penghuni syurga selama-lamanya”. Amal kecil yang ikhlas lebih baik dan menjaminnya untuk diterima Allah daripada yang besar tapi tidak ikhlas, idealnya adalah amal besar tetapi ikhlas, wallahu a’lam [Tabloid Solinda Suluh Kabupaten Solok, edisi 19/ Juli 2002]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Kewajiban orangtua terhadap anaknya


Drs. St. Mukhlis Denros
Anak adalah dambaan calon ayah dan ibu sebagai pelengkap kasih dalam keluarga, apalagi kehadirannya sudah lama dinantikan dengan segala kerinduan. Rumah kurang cerah kalau didalamnya tidak terdengar tangisan atau rengekan seorang bayi, bahkan karena tidak dapat menghadirkan anak bagi sepasang suami isteri sebagai penghibur keduanya, acap kali diakhiri dengan perceraian.

Setelah anak hadir di tengah-tengah mereka dengan karunia dari Allah maka timbullah berbagai tuntutan dan ketentuan hukum yaitu kewajiban orangtua untuk memenuhi segala hak anak sejak mereka lahir sampai dapat hidup mandiri, diantara kewajiban orangtua itu adalah;

Pertama, Nasab; anak dinasabkan berbangsa kepada ayahnya melalui berbagai cara; perkawinan, pengakuan ataupun surat bukti sebagai pengakuan secara formal. Sampai anak berumah tanggapun bagi wanita dia harus menempatkan nama ayahnya di belakang namanya, bukan nama suaminya sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sekarang. Contoh namanya Aminah sedangkan nama ayahnya Amir, nama tersebut layak digandengkan dengan sebutan Aminah Amir, bukan nama suaminya seperti Anwar lalu menjadi Aminah Anwar. Penggandengan nama suami bagi seorang isteri adalah suatu kekeliruan dan kesalahan yang disengaja.

Kedua, menyusukan; kewajiban menyusukan anak adalah kewajiban seorang ibu, dia adalah kewajiban yang dibebankan agama bukan yuridis artinya kalau ada ibu yang tidak mau menyusukan anaknya secara hukum ia tidak bisa dipaksakan kecuali anak itu sendiri yang enggan untuk menyusu selain kepada ibunya, barulah ibu itu boleh dipaksa. Dalam islam bila wanita itu telah diceraikan maka ayah anaknya berkewajiban memberikan upah khusus isterinya tersebut susu yang ditetekkan kepada anaknya, surat Al Baqarah 2; 233 Allah berfirman, ”Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf….jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut”.

Dari segi psikologis anak yang disusukan oleh ibunya sendiri maka kasih sayang itu sepenuhnya tercurah kepada anak dan anakpun merasakan bagaimana denyut nadi ibunya, disamping itu anak dapat dengan sepenuhnya merasakan asuhan ibu dengan belaian yang lembut.



Ketiga, memberi nafkah; orangtua terutama ayah berkewajiban memberikan makan, pakaian atau tempat tinggal yang layak kepada anaknya, tentunya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dalam surat at Thalaq ayat 7 Allah berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan [sekedar] apa yang Allah berikan kepadanya”.

Dari sekian nafkah yang dikeluarkan seseorang dalam hidupnya baik untuk keluarga, ataupun masyarakat, maka nilai yang lebih baik dan tinggi disisi Allah ialah nafkah yang dikeluarkan untuk keluarga sebagaimana sabda Rasulullah dalam shahih Muslim, “Satu dinar kamu belanjakan di jalan Allah dan satu dinar kamu belanjakan untuk [memerdekakan] seorang budak, dan satu dinar kamu sedekahkan kepada si miskin, dan satu dinar kamu belanjakan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari itu semua adalah yang kamu belanjakan kepada keluargamu”.

Keempat, perawatan; yang dimaksud disini adalah perawatan yang mencakup pada kesehatan anak, baik tentang makanan yang bergizi, obat-obatan, serta memperhatikan segala keperluannya dalam bentuk jasmani; jangan sampai orangtua membiarkan anaknya dalam keadaan sakit tanpa diusahakan mengobatinya atau membiarkannya bermain pada tempat yang kotor, juga perlu diperhatikan kebutuhan fisik lainnya seperti olah raga serta keterampilan, sebagaimana sabda Rasulullah, “Ajarilah anakmu memanah, berkuda dan berenang”, dengan maksud agar fisiknya berkembang, pertumbuhan tubuhnya sesuai dengan umur dan keterampilannya tangk seras.

Kelima, pendidikan; selain empat hal diatas maka kewajiban memberikan pendidikan kepada anak sangat penting sebagai bekal hidupnya baik di dunia maupun di akherat. Bekal di dunia tidak lain pendidikan yang berbentuk keterampilan, karena dengan adanya keterampilan seorang anak merasakan dunia ini luas baginya serta dia mampu hidup mandiri. Keterampilan yang dapat berhasil guna yaitu ahli atau profesional dalam suatu bidang; dia betul-betul mengetahui serta mampu berbuat dengan keahlian itu, sebagaimana sabda nabi Muhammad Saw, “Bila pekerjaan tidak diberikan kepada ahlinya maka tunggu saja kehancurannya”.

Disamping itu orangtua jangan lupa memberikan pendidikan agama kepada anaknya, dengan agama anak dapat melakukan segala aktivitas mencari nilai ibadah kepada Allah, bila aqidah telah mapan dia akan jadi seorang muslim yang berbuat karena Allah, dalam bidang garap apapun tidak akan melakukan penyelewengan, korupsi dan manipulasi, Allah berfirman dalam surat An Nisa’ 4;9, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatiri terhadap mereka….”

Itulah diantara kewajiban orangtua baik ayah atau selaku ibu yang harus dilakukan kepada anaknya karena semua itu adalah hak anak yang layak dituntut bila tidak diberikan, Rasulullahpun memberikan nasehat kepada kita, “Didiklah anak-anakmu karena dia akan menghadapi masa sulit yang tidak pernah kamu hadapi”. Mudah-mudahan kita mampu mempersiapkan kader shaleh berkualitas dari tangan bapak dan ibu yang shaleh dan shalehah, wallahu a’lam [ Tabloid Suara Solinda no. 23/ Desember 2002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Ghazwul Fikri


Drs. St. Mukhlis Denros
Ghazwul Fikri berasal dari bahasa Arab yang artinya secara harfiyah yaitu Perang Pemikiran, sedangkan maksudnya adalah sebuah upaya umat non muslim untuk menghancurkan ummat islam dengan berbagai cara, sistim yang tepat mereka gunakan untuk itu adalah memerangi ummat islam melalui fikiran dan idiologi mereka dengan tujuan agar seluruh tatanan kehidupan muslim tersebut mengadopsi cara hidup mereka, hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat Al Baqarah 2;120, “Yahudi dan Nasrani tidak akan ridho kepadamu sebelum kamu mengikuti millah mereka”, kata “Millah” itu maksudnya adalah cara cara pandangan hidup, idiologi dan pemikiran, semua dari ajaran selain islam. Istilah sudah ketinggalan zaman, tidak relevan lagi, perlu direvisi dan kehendak-kehendak lain untuk meruntuhkan nilai-nilai ajaran islam.

Samuel Zwemer adalah orang yang paling gencar memusuhi islam dan ummatnya, hanya dengan empat program S tapi tercapai semuanya, dalam waktu yang relatif singkat dengan dana yang minim bahkan ummat islam itu sendiri yang membiayai penghancuran dirinya tanpa disadari. Barat dan idiologi apa saja sudah kewalahan berhadapan dengan ummat islam bila peperangan hanya secara “asykari” melalui militer. Ummat islam adalah ummat yang tangguh berperang di medan jihad walaupun dengan perlengkapan seadanya, sehingga wajar ketika meletuskan Perang Bosnia, sang Presiden Elija Becovic menyatakan siap bertemput dengan Serbia hingga dua puluh tahun lagi, sementara Serbia sudah kecapaian.

Dengan ketidakberdayaan musuh-musuh islam berhadapan di medan jihad secara frontal sehingga mereka merubah strategi perang melalui pemikiran, perang idiologi dan perang urat syaraf, percaya ataupun tidak ummat islam dilumpuhkan dengan strategi perang ini sehingga berlutut menghadapi kehancuran. Program mereka tersebut hanya dengan S saja yaitu;

Pertama, mereka menggencarkan Song, yaitu lagu dan nyanyi sehingga ummat islam senang dan terlena dengan kesibukan menyanyi ini. Syair yang tampilpun banyak yang menyimpang dari aqidah islam seperti ”Kaulah segalanya, mau makan ingat kamu, mau tidur ingat kamu”, atau layakkay lagu ”Kutang Barendo” didendangkan oleh anak nagari. Bagaimana penyanyi kita hadir di layar kaca atau di panggung, pakaian dan dandanannya sungguh diluar syariat. Bukan kita tidak boleh menyanyi, bahkan kegiatan ini adalah rileknya hati manusia, tapi lagu-lagu yang mengajak kepada keimanan, yang memberikan penyadaran agar berhati-hati dalam hidup, ingin bernyanyi dan mendengarkan lagu, selain hiburan alternatif yang dibawakan oleh Raihan, Hijaj, Saujana dan Hadad Alwi dengan nasyidnya perlu dilestarikan agar tidak terjebak program ghazwul fikri.

Kedua, mereka melancarkan Sport, yaitu olah raga. Ini adalah program mendunia, bahkan Eropa telah menukar tuhannya dengan sport, khususnya sepak bola. Sehingga kegiatan gereja sudah kosong dari ritual ibadah mereka karena disibukkan oleh agama baru mereka di lapangan hijau. Kita sebagai muslim dianjurkan pula berolah raga, tapi bukan olah raga yang hari ini diikuti dan digandrungi oleh ummat ini. Sejak dari pakaian olah raga yang cendrung membuka aurat, nampaknya ketika berolah raga seorang ustadzpun sah membuka auratnya dengan celana pendek di lapangan. Bukanlah rasul kita telah menyatakan bahwa aurat laki-laki itu sejak dari pusat hingga lutut, kenapa ketika berolah raga kita mengabaikan sunnah Rasul. Apalagi pakaian renang, tennis, volley pantai sungguh tidak islami.



Sekolah sekolah bila menerima dua buah surat dari instansi atasannya, pertama untuk mengadakan pesantren kilat dan kedua untuk mempersiapkan tim olah raga, maka kepala sekolah dan pembina osis akan mengerahkan segala daya upaya, waktu dan tenaga hingga biaya untuk menanggapi surat kedua, sementara surat pertama dimasukkan ke dalam laci karena dianggap tidak begitu penting. Demikian hebatnya bius sport yang dilancarkan oleh musuh-musuh islam.

Ketiga, mereka ingin agar ummat islam itu suka dengan Story yaitu kisah dan cerita yang ditayangkan melalui media elektronik, cetak dan radio yang intinya agar umat islam sibuk dengan itu, bahkan melalui story pula nilai-nilai islam dikubur dengan menampilkan nilai-nilai yang tidak islami seperti kisah Saur Sepuh, Nenek Lampir, Pokemon, Telletubies, Superman dan sederet kisah lainnya.

Seorang anak usia 12 tahun naik ke gedung tingkat sembilan di Singapura kemudian dengan ucapan ”Superman” dia terjunkan dirinya ke bawah. Di Jakarta seorang anak menghadang modil di jalan raya sehingga mati seketika, rupanya di punggung sianak tertulis Kura-Kura Ninja. Seorang anak naik ke lemari ibunya di sebuah kamar, ketika disuruh turun dia lansung terjun dengan ucapan Satria Baja Hijam. Solusi dari semua itu , paling tidak dan ringan bagaimana anak-anak kita menyukai kisah-kisah islami dari pada kisah yang akan meracuni kehidupannya.

Keempat, musuh islam telah berupaya menanamkan kepada ummat islam agar senang dengan Sex, baik melalui ucapan, tontonan, lagu ataupun canda pengisi waktu disela-sela istirahat kerja di kantor, di sawah, di ladang dan kesibukan lainnya. Bahkan da’wahpun kita telah mengarah kepada humor yang dibumbui dengan sex, sungguh ironi dan menyedihkan. Lihatlah di pasar-pasar, kedai-kedai koran dengan berani memampangkan wajah dan tubuh mulus wanita tanpa [minim] busana, dan itu laku keras. Rental vcdpun menjamur ibarat cendawan di musim hujan, yang isinya beragam sesuai selera pelanggannya.

Sebenarnya peperangan ini susah berlansung semenjak kehadiran nabi Adam As yang berseteru dengan iblis la’natullah, dia ingin menampakkan segala dosa itu sebagai keindahan sehingga baik dan bagus dipandangan indra kita melalui empat S tersebut. Iblis berkata, ”Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menyesatkan semua ummat”. Untuk menangkal semua itu adalah Mukhlis yaitu orang yang punya kriteria Salamatul Fikrah [pemikiran yang selamat], saliimul aqidah [aqidah yang bersih], shahihul ibadah [ibadah yang benar] dan matiinul khuluq [akhlak yang solid], Wallahu a’lam [Tabloid Solinda Suluh Solok Edisi 17/ Maret 2002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Selasa, 01 Mei 2012

Jangan larut dengan pujian


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Salah satu sifat manusia yaitu senang dipuji oleh orang lain atas usaha yang telah dilakukan atau sanjungan terhadap apa yang ada pada dirinya, bisa saja berbentuk kecantikan atau jabatan dan harta yang dimilikinya.

Dalam pendidikan pujian diperlukan dalam rangka menghargai dan memberi semangat belajar anak-anak, bila tidak diberi pujian oleh guru atau orangtuanya atas pekerjaan yang dilakukan mengurangi gairah belajar dan mematikan motivasinya.

Pujian atau sanjungan pada satu sisi memang diperlukan sebagai sarana menghargai kerja keras seseorang sekaligus memotivasi dalam bergerak dan menjaga hubungan yang harmonis, seperti seseorang pimpinan memberi penghargaan kepada bawahannya dengan ucapan kebanggaan walaupun karya itu masih harus diperbaiki, ”Bagus sekali hasil kerja anda, tapi harus dibenahi lagi agar lebih baik”, seorang guru atau orangtua harus memberi penilaian kepada kerja murid/ anaknya dengan kalimat memperhatikan, ”Nilai enam cukup bagus, tapi kamu harus menaikan nilai ini tahun depan”.

Dari segi agama pujian dan sanjungan sangat berbahaya atas diri seseorang yang dipuji yaitu;

Pertama, pujian dan sanjungan itu akan menyebabkan seseorang lalai untuk mengoreksi dirinya, menjadikan lemah daya mawas diri bahkan mengakibatkan timbul rasa sombong dan angkuh serta kebanggaan terhadap dirinya, yang kesemuanya itu termasuk moral yang tercela, Rasulullah bersabda,”Hamburkanlah tanah pada muka orang-orang yang memuji itu”.

Kedua, apabila dipuji kebaikan dan keshalehannya, maka pasti menjadi senang tapi akan melemahkan kesungguhannya untuk beramal dan berbakti, bahkan dapat menghilangkan keikhlasannya, padahal beragama tanpa keikhlasan itu tidak ada artinya. Allah berfirman dalam surat al Baiyinah; 5, ”Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya”.

Syekh Musthafa Al Ghalayani berkomentar tentang orang-orang yang mabuk pujian; Seringkali kami melihat keadaan pribadi masing-masing manusia itu apabila mendapatkan pujian dan ancaman. Namun bagian terbesar dari para manusia itu jikalau tampak sekali kegembiraan hatinya, sekalipun isi pujian itu benarnya berupa suatu kebathilan yang nyata. Demikian pulalah bagian terbesar dari mereka itu jikalau dikecam atau dicela jelas sekali kemurungan atau ketidak senangan hatinya, sekalipun isi kecaman serta apa yang dikecamkan kepadanya betul-betul berupa suatu kebenaran yang nyata dan dapat dibuktikan.

Orang yang mengharapkan pujian orang lain atas amal yang dilakukan berarti dia berbuat tidak ikhlas atau niatnya tidak murni karena Allah tetapi karena riya’. Mengenai ukuran riya’, pernah dirumuskan oleh seorang ulama terkemuka bernama Fudhail bin Iyad sebagai berikut, ”Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirik, dan yang dinamakan iskhlas ialah mudah-mudahan Allah melepaskan kita dari kedua sifat tersebut”.

Maksud ucapan tersebut ialah, bahwa barangsiapa yang berniat hendak mengerjakan sesuatu ibadah kemudian ditinggalkannya [dibatalkan] karena takut dilihat manusia, maka dia telah berbuat riya’, sebab ditinggalkannya itu karena manusia, adapun kalau ditinggalkannya itu dengan maksud untuk dikerjakan di tempat sepi, maka perbuatannya itu terpuji. Dalam hal ini dikecualikan mengenai amal fardhu seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain.

Tidak termasuk kategori riya’ bila mengerjakan sesuatu amal secara terang-terangan, dilihat oleh manusia jika niatnya supaya dicontoh orang, Rasululah bersabda, ”Orang yang beramal itu mendapat dua pahala, yaitu pahala karena sembunyi-sembunyi dan pahala karena terbuka [terang-terangan]”.

Orang yang mudah larut dengan pujian dari segi Islam berarti hatinya sudah rusak, dihinggapi penyakit riya’ dan bayangan kehebatan pribadi, akhirnya tidak akan berbuat kalau tidak menerima pujian. Kelak di Padang Mashar akan di hadapkan oleh Allah tiga golongan besar manusia yaitu Pahlawan, Ilmuwan dan Dermawan. Ketiga golongan ini tidak berharga di hadapan Allah karena pahlawan melakukan perjuangan agar disebut sebagai pahlawan, mendapat penghargaan serupa bintang jasa serta dimakamkan di makam pahlawan.

Sedangkan ilmuwan habis waktunya untuk mengajar dan belajar karena ingin disebut orang cerdik pandai, ulama, cendekiawan dan julukan-julukan lain, demikian pula hartawan habis dananya untuk membangun masjid, mushalla, membantu fakir miskin, menyelamatkan ummat dari kesengsaraan agar mendapat nama dengan sebutan sebagai sang dermawan. Ketiga kelompok ini bukan dimasukkan ke syurga tapi dijerumuskan ke jahanam karena dia berbuat mengharapkan pujian manusia, sanjungan, popularitas dan tepukan.

Salah satu identitas seeoreang masuk Islam yaitu mengucapkan kalimat ”Laa Ilaaha Illallah” selain berarti ”Tidak ada Tuhan selain Allah” juga bermakna, ”Tidak ada yang layak menerima sanjungan dan pujian kecuali Allah”. Kalau seorang muslim larut oleh pujian manusia berarti dia telah keluar dari persaksian padahal dia mengetahui bahwa setiap shalat selalu membaca Al Fatihah yang intinya memuji Allah, ”Segenap puja dan puji milik Allah, Tuhan penguasa alam semesta”.

Vitamin suatu sanjungan penting dalam rangka menggairahkan kerja dan meningkatkan motivasi kita dalam berbuat dan beramal, tapi jangan larut dengan pujian, karena dapat melenakan seseorang dan mengantarkannya kepada kerusakan pribadi, amalnya tidak mendapat pahala, sombongnya semakin menjadi, hidupnyapun habis begitu saja, mudah-mudahan jadi pelajaran bagi mereka yang punya hati nurati, wallahu a’lam [Tabloid Solinda Solok, Edisi 21/ September 2002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com