Minggu, 17 Juni 2012

Renungan IDUL FITRI 1433.H/2012.M

HASIL TEMPAAN RAMADHAN

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros


Hari ini kita berada di hari lebaran, tanggal 1 Syawal 1433.H/ 2012.M, ummat Islam bergembira mendatangi Lapangan atau masjid untuk melaksanakan shalat Id yang merupakan sunnah Rasulullah Saw, pakaian seperti baju, sepatu, kopiah, sarung, sepatu hinga mukena, dapat dipastikan semuanya baru yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum datangnya hari raya, perlengkapan rumahpun hingga kendaraan bagi mereka yang mampu diusahakan semuanya serba baru, paling tidak diperbaharui, semuanya lantaran datangnya lebaran.

Arus mudik masih sibuk diperjalanan, ada sebagian mereka sudah sampai di kampung halaman, berlebaran dengan keluarga, kegembiraan lebaran di kampung punya kesan tersendiri, sebagian lain yang mudik masih terjebak macet diperjalanan atau kendala lain, dapat diperkirakan malam nanti mereka sudah sampai, walaupun tidak sempat shalat Id bersama tapi malam hari atau besoknya suasana lebaran masih dinantikan.

Apa sebenarnya yang perlu kita lakukan ketika Ramadhan berakhir, apakah kita akan merdeka untuk berbuat apa saja atau kita punya kerja-kerja lain yang harus dan masih berkelanjutan.

Rasanya berat meninggalkan bulan Ramadhan, ingin rasanya kita terus berada di bulan nan indah dan penuh berkah ini, namun waktu tetaplah waktu yang pasti berlalu, kini saatnya kita dan seluruh umat Islam di seluruh dunia merayakan kemenangannya. Gema takbir, tahlil dan tahmid pun berkumandang dimana-mana, umat Islam di seluruh jagad raya ini, bersatu padu melantunkan irama membesarkan Allah, memuji dan mensucikan-Nya, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan. Mengungkapkan syukur atas hidayah dan inayah Allah yang begitu besar karena telah berhasil mengikuti rentetan ibadah pada bulan Ramadhan sebagai jaminan untuk mendapatkan ganjaran dan ampunan Allah SWT dan kembali kepada fitrah.


Drs Sutan Mukhlis Denros dan keluarga, mengucapkan TAQABBALALLAHU MINNA WAMINKUM, MINAL 'AIDIN WAL FAIZHIN 'SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI' 1 Syawal 1433.H/ 2012.M, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.


Di akhir Ramadhan, masih ada beberapa ibadah yang disyariatkan sebagai penutup amalan seorang hamba yang mulia ini. Di antara syari’at itu adalah:
Pertama: Istighfar. hendaklah kita memperbanyak istighfar kepada Allah Ta’ala. Istighfar menjadi penutup bagi segala amal kebaikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jika selesai melaksanakan shalat fardhu, beliau beristighfar dalam keadaan menghadap kiblat. Beliau beristighfar tiga kali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga beristighfar setiap selesai melakukan shalat malam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengakhiri hayatnya dengan istighfar. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:

”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”[An Nashr 110;1-3].

Hikmah mengakhiri amal dan menutup usia dengan istighfar yaitu berperan untuk menutupi kekurangan serta kesalahan dalam amalan sepanjang usia. Karena manusia tidak akan lepas dari kekurangan dan kesalahan.


Hikmah lainnya, agar seorang muslim tidak tertipu atau silau dengan amal ibadah yang telah dilakukannya. Hendaklah seorang muslim senantiasa menganggap dirinya kurang maksimal dalam menunaikan hak-hak Allah Ta’ala. sekalipun telah banyak amalan yang dia perbuat. Oleh sebab itu, disyariatkan beristighfar, memohon ampunan Allah Ta’ala atas kekurangan ini.

Jika yang melakukan amal shalih saja sisyariatkan untuk beristighfar, lalu bagaimana dengan orang yang senantiasa melakukan perbuatan dosa dan maksiat, namun dia enggan beristighfar?!

Diantara amal shalih kedua yang bisa dijadikan sebagai penutup bulan yang penuh barakah ini yaitu zakat fithri. Zakat fitrah merupakan syiar Islam dan kewajiban yang agung. Allah Ta’ala mewajibkannya atas seluruh kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar, merdeka maupun budak. Zakat ini sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin, agar mereka ikut serta merasakan kebahagiaan di hari Raya Idul Fitri. Zakat ini diambilkan dari makanan pokok daerah setempat. Allah Ta’ala berfirman:

“…Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,…”[Al Maidah 5;89].

Belum dikatakan menunaikan zakat, jika dia menggunakan makanan yang jelek. Allah Ta’ala berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Qs al-Baqarah/ 2:267)


Amalan lain yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala di penghujung bulan ini bertakbir, mengagungkan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang dibeRikan kepadamu, supaya kamu beRsyukuR.” (Qs al-Baqarah/ 2:185)

Takbir disyariatkan apabila telah teRlihat hilal bulan syawal sampai pelaksanaan shalat ied. TakbiR ini dilakukan di masjid-masjid, Rumah-Rumah dan jalan-jalan sebagaimana yang dilakukan Oleh paRa sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, guna menyebaRkan syiaR Islam dan mengagungkan Allah Ta’ala atas segala kaRunia dan nikmat-Nya. [AkhiRi Ramadhan Dengan Amal Shalih, Majalah As Sunnah, edisi khusus [06-07] Th XII Ramadhan-Syawal 1429.H, September-Oktober 2008.M].

Buah Ramadhan bukan hanya mampu meRedam muRka Allah subhanahu wata’ala tapi juga dapat mendatangkan kebeRkahan untuk negRi kita ini jika buah teRsebut betul-betul telah dimililiki dan diRaih Oleh semua penduduk negRi ini, sebagaimana janji Allah subhanahu wata’ala,
”Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [Al A’raf 7;96]. [Muhammad Ruliyandi Abu Nabiel Khutbah 'Idul FitRi Buah Ramadhan PeRedam MuRka Ilahi :: Compiled by oRiDo™ ::].


Kegiatan rutin yang dilakukan ummat islam selama bulan Ramadhan diantaranya puasa, shalat malam [tarawih], shalat berjamaah, membaca Al Qur’an, sedekah, pengajian-pengajian dan lain-lainnya. Kegiatan tersebut bila terbukti pula diluar bulan Ramadhan berarti pengkaderan selama satu bulan berhasil.

Puasa yang dilakukan selama bulan Ramadhan dapat diselesaikan dengan baik, menahan lapar dan dahaga, serta menjauhkan segala yang membatalkan puasa, hal ini biasa dilakukan karena bulan puasa, bila tidak nampak dilakukan diluar bulan Ramadhan dengan puas nazar, puasa sunnat dan puasa qadhanya tidak terujud kader yang baik.

Shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan dengan tarawih biasa dan wajar, tapi apakah terlihat pula shalat malam tersebut dengan tahajudnya di luar bulan Ramadhan, bila puasanya baik tentu saja kegiatan ini akan berkelanjutan bukan di bulan Ramadhan saja.

Orang mengejar shalat berjamaah di bulan Ramadhan karena pahalanya besar bahkan shalat sunat saja sama nilainya dengan shalat wajib di luar bulan Ramadhan. Tapi kerap kali bila Ramadhan berlalu tidak lagi shalat berjamaah diutamakan untuk dilakukan baik di masjid ataupun di rumah, begitu Ramadhan berlalu maka shalatpun menjadi nomor terakhir.

Tabungan Ramadhan akan penuh oleh infaq, sedekah dan santunan, orang yang memberi berbuka bagai yang puasa pahalanya sama dengan orang yang berpuasa, setelah puasa usai pula sedekah, infaq dan santunan jarang sekali terdengar, pembangunan masjid terhenti karena dana yang dihasilkan Ramadhan telah habis, terpaksa pembangunan dilanjutkan menanti Ramadhan berikutnya.

Di bulan Ramadhan syiar islam nampak memancar dengan kegiatan tilawatil qur’an yang digemakan di masjid-masjid melalui qori dan qariah, baik selesai tarawih ataupun menjelang subuh, dimana-mana diadakan pengajian dan pengkajian islam dan Al Qur’an, setelah berlalu satu bulan mulia ini Al Qur’an disimpan di lemari yang paling tinggi, sekali-kali berkumandang ayat-ayat ini melalui kaset, tidak terdengar lagi suara merdu anak-anak mengaji dan mengeja Al Qur’an.


Pengajian-pengajian semarak, dari kuliah subuh, kuliah taraweh sampai pengajian menjelang berbuka, begitu pula radio selalu mengudarakan ceramah-ceramah islam, tapi sayang hanya satu bulan, begitu Syawal menjelang Ramadhanpun tenggelam diiringi tenggelamnya segala aktivitas ummat.

Orangtuapun sibuk membawa anak-anaknya untuk shalat di masjid, menyediakan makan sahur dan berbuka keluarga karena dihiasi oleh Ramadhan, perhatian orangtua ekstra ketat dibulan ini, terpanggil ayat Allah dalam surat At Tahrim 66;6 yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargam dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.

Sehubungan dengan ayat diatas Umar bin Khattab bertanya kepada Rasulullah,”Ya Rasulullah kami telah dapat memelihara diri kami, tetapi bagaimana caranya memelihara keluarga kami?” Jawab Rasul,”Kamu laranglah mereka dari segala perbuatan yang dilarang Allah, dan perintahkan mereka mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan Allah” [HR> Al Quraisyi].


Sangat rugi orang yang tidak menjaga dirinya dari neraka, tidak terpuji orang yang hanya menjaga dirinya sementara keluarganya diabaikan, sangat bodoh orang yang menyelamatkan keluarganya sementara dirinya tenggelam dalam neraka.

Bila segala kegiatan yang berlansung di bulan Ramadhan tidak dilanjutkan di luar bulan Ramadhan berarti tempaan, pengkaderan dan latihan di bulan ini sedikit hasilnya dan manfaatnya atau tidak berhasil dan tidak bermanfaat sama sekali. Seandainya dapat pula terlaksana dengan baik di bulan lain berarti tercapailah tujuan dari puasa yaitu meraih derajat taqwa. Taqwa adalah tingkatan tertinggi dalam ajaran islam setelah seseorang disebut dengan muslim, mukmin, muhsin dan mukhlis.

Sifat yang harus tertanam setelah Ramadhan yaitu sabar, disiplin, kasih sayang,semakin dekat kepada Allah dan punya masa depan sebagai neraca pribadi, keluarga dan masyarakat,”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan hari esok” [59;18]



Renungan Hari Ke 29 Ramadhan

HALAL BIL HALAL WADAH SILATURAHIM

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Dengan selesainya puasa pada hari ini yaitu hari ke 29 maka Insya Allah besok kita memasuki hari raya Idul Fithri, hal itu sesuai dengan ketentuan dari Menteri Agama RI, malam nanti akan berkumandang takbiran di seluruh penjuru masjid, surau dan rumah-rumah ummat Islam sebagai sunnah awal masuknya hari raya, kata rasulullah, ada dua kegembiraan bagi orang yang berpuasa, kegembiraan pertama ketika berbuka, luar biasa gembiranya kita saat adzan maghrib berkumandang, dengan seteguk air dapat melepaskan segala letih, haus dan lapar yang dilanjutkan dengan menikmati hidangan selanjutnya, seolah-olah dunia mulai terang, setelah berbuka semuanya kelihatan indah dan menarik, lega dan rasanya. kebahagiaan kedua kata Rasulullah adalah ketika datangnya hari raya, semuanya bergembira dan saling menggembirakan dengan setelah satu bulan berpuasa Ramadhan.

Sumber hari raya dalam islam ada dua yaitu yang berasal dari syariat adalah Idul Fithri dan Idul Adha, sedangkan yang berasal dari sejarah dapat kita lihat seperti tahun baru Muharam, Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan Nuzulul Qur’an. Pada bulan ini kita masih berada dalam suasana Idul Fithri setelah satu bulan kita berjuang mengenyampingkan hawa nafsu dengan harapan ibadah puasa kita membuahkan taqwa.

Idul Fithri menurut bahasa artinya kembali, fithri yaitu kejadian atau kesuian, sedangkan menurut istilah artinya kembali kepada sifat-sifat asli manusia pada waktu kejadian, sebagaimana sabda Nabi yang artinya, tiap ada yang dilahirkan dalam keadaan fithrah/suci.

Adapun anjuran yang layak dilakukan dalam Idul Fithri yaitu;
1. Saling kunjung mengunjungi.
2. Bersalam-salaman.
3. Bermaaf-maafan.
4. Bersilaturahim
5. Halal bil Halal.

Peristiwa silaurahim yang dilakukan pada suatu tempat tertentu dengan rangkaian acara tertentu seiring pula dengan halal bil halal, hal ini dilakukan karena antara satu dengan lainnya tidak dapat saling mengunjungi bahkan dianggap formal bila diadakan acara halal bil halal.

Halal bil halal adalah istilah khas Indonesia dalam rangka saling menghalalkan dan memaafkan atas kekeliruan dan kesalahan yang pernah terjadi, dalam surat Al Maidah 5;13 Allah berfirman,”Maaf-maafkanlah mereka dan leburkanlah segala kesalahannya sesungguhnya Allah amat sayang terhadap orang-orang yang berbuat baik”.


Drs.St.Mukhlis Denros dan keluarga mengucapkan Selamat hari raya Idul Fithri 1 Syawal 1433.H/ 2012.M 'TAQABBALALLAHU MINNA WAMINKUM, MINAL 'AIDIIN WAL FAIZHIN' Mohon maaf lahir dan bathin.

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan,”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia menghubungkan kasih sayang”. Ujud silaurahim ini dalam islam tampak pada praktek ibadah yang dilakukan seperti;
1. Mengucapkan salam di akhir shalat.
2. Shalat yang dilakukan dengan berjamaah.
3. Melaksanakan ibadah jum’at satu kali dalam seminggu.
4. Shalat tarawih dan puasa di bulan Ramadhan.
5. Membayarkan zakat, infaq dan sedekah.
6. Mengucapkan salam ketika bertemu.
7. Konfrensi besar umat islam dalam melaksanakan ibadah haji di Mekkah.

Manusia sebagai hamba dan makhluk sosial mempunyai dua hubungan sekaligus, yaitu hubungan mendatar dengan istilah horizontal yaitu hubungan manusia dengan manusia dengan wujud silaturahim, hubungan vertikal yaitu keatas, hubungan manusia dengan Allah melalui ibadah, baik ibadah khusus atau ibadah secara umum.

Adapun makna dari ucapan manusia melalui kalika takbir, tahlil dan tahmid dalam rangka memupuk hubungan secara vertikal menurut Dr.Muhammad Al Bahy adalah;
1. Manifestasi pengulangan ikrar yang pernah diucapkan.
2. Pembulatan tekad, dengan konsistensi dan koksekwensi tidak ada yang layak dipuja selain dari Allah.
3. Pengakuan atas kelemahan diri, hanya kepada Allah tempat meminta perolongan.
4. Menguatkan ke-Esaan Allah sehingga dalam beramal dilakukan dengan ikhlas karenanya.

Ada beberapa keterangan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan silaturahim atau halal bil halal yaitu;
1. Surat Al A’raf ;199
”Sukalah memaafkan, anjurkanlah berbuat baik dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil”.

2. Hadits Riwayat Abu Daud
”Dua orang muslim yang bertemu lalu keduanya saling berjabat tangan, niscaya dosa keduanya diampni Allah sebelum mereka berpisah”.
[Harian Mimbar Minang Padang, 20122002].

Renungan Hari Ke 28 Ramadhan

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

KISAH TANGIS DI HARI RAYA



Hari ini kita melaksanakan puasa hari ke 28, sebuah prestasi yang luar biasa, mampu menahan lapar,haus, letih dan capek dalam semua aktivitas, yang lebih penting adalah menjaga agar ibadah puasa itu tidak sia-sia dengan meninggalkan segala yang merusaknya. Idul Fithri tinggal hitungan jam, sebagian besar ummat Islam sudah melaksanakan mudik dari rantau menuju kampung halaman, ingin berlebaran dengan orangtua dan keluarga, mungkin mudik itu terhalang oleh berbagai resiko tapi harus dilakukan, kesannya tidak enak dan kurang afdhal bila mencari nafkah sekian bulan antara suka dan duka lalu lebaran tidak di kampung, biarlah pencaharian selama itu habis hanya untuk mudik lebaran asal Idul Fithri ada di kampung halaman.

Lebaran, mmhh tentu disediakan hal yang serba baru, sejak dari makanan, minuman, pakaian baru, rumah baru, walaupun hanya catnya saja yang dipercaharui, kendareaan barupun jadi impian di hari raya, ah mungkin juga isteri baru, itulah kesan bagi ummat Islam, tidak seru rasanya bila hari raya tidak ada yang baru, apakah dilarang kalau kita menyediakan yang serba baru, tidak ada larangan, hal itu termasuk dibolehkan dan sunnah tapi tidak memaksakan diri dengan berbagai cara, ulama menyatakan bahwa hakekat lebaran itu adalah iman yang semakin baru dan semangat ibadah yang diperbaharui agar setelah lebaran ibadah tidak kendur sebagai mana tahun-tahun yang lalu.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Dalam menghadapi Hari Raya seperti 1 Syawal tahun ini, menurut informasi masih belum semua orang mampu mencukupi kebutuhannya, walaupun hanya untuk sehari raya itu saja.

Dalam pada itu masih terbilang sedikit jumlah orang kaya yang mau mengeluarkan derma atau mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan terhadap masyarakat yang melarat, miskin lagi papa. Sehingga detik-detik hari raya itu berlalu tak ubahnya seperti hari-hari biasa saja, penuh dengan aktivitas kehidupan yang masih terbilang belum mencukupi.

Menyambut hadirnya Idul Fithri, kita sengaja mengutipkan sebuah kisah yang menggambarkan detik-detik kehidupan yang dilalui oleh orang-orang tak mampu dalam menghadapi lebaran.

Kisah ini menceritakan seorang ibu miskin, pada malam hari raya dengan penuh haru berdiri masygul dalam sebuah toko yang menjual mainan anak-anak. Dari rumah tadinhya, ia sudah berjanji akan membelikan anaknya mainan. Karena itulah, begitu melihat sebuah boneka yang lucu, ia lansung menanyakan harga dan menawar boneka yang dipilihnya.

Tawar menawar berlansung antara perempuan itu dengan pedagang pemilik toko mainan. Tapi tak ada kecocokan, karena perempuan itu tidak cukup punya uang seharga boneka yang diinginkannya.

Namun karena keinginan memiliki dan membawa boneka itu pulang untuk anaknya tidak dapat dibendun g, akhirnya perempuan itu jadi nekad, mencuri boneka saat pemiliknya lengah. Tetapi sebaliknya, pemilik toko penjual boneka mengetahui perbuatan perempuan itu. Karenanya dengan ditemani dua orang polisi, ia segera mengikuti perjalanan perempuan itu dari belakang, sementara perempuan yang mencuri boneka tetap melanjutkan perjalanan dengan gejolak di hati.

Dalam perjalanan menuju ke rumahnya, hatinya senantiasa berdetak, karena takut, bagaimana jadinya bila perbuatannya diketahui pemilik toko. Sementara dari salah sudut relung hatinya yang lain, perempuan itu mendesis dan membayangkan betapa anaknya di hari raya itu akan dapat ikut bermain gembira dengan boneka baru dan indah.

Ketika tak lama kemudian ia sedang bercanda ria dengan anaknya bersama boneka baru di rumahnya, dua orang polisi yang mengikutinya lansung membelenggu tangan perempuan itu. Sementara itu pemilik toko penjual mainan, segera merebut boneka yang sedang digendong anaknya. Karena itu, anaknya menjerit sambil berhiba-hiba.

”Kasihanilah ibu saya pak”. Tangisnya semakin menjadi. Melihat kejadian itu, pemilik toko diam membisu, sementara di udara ketika itu lafaz takbir mulai berkumandang sahut –sahutan, menandakan masuknya hari raya. Akhirnya pemilik toko jadi pucat pasi. Sekujur tubuhnya mendadak gemetaran. Sungguh berat rasanya ia membiarkan keluarga miskin itu bersedih hati seperti berkabung pada hari raya, sementara orang lain tenggelam dalam kegembiraan.


Karena itu pemilik toko segera berkata kepada kedua polisi itu,”Maaf pak, saya keliru menuduh ibu ini mencuri barang dagangan saya. Ternyata saya tidak menjual boneka sebagus itu.” Mendengar penjelasan itu, polisi yang hadir segera melepaskan belenggu, lalu meninggalkan rumah perempuan itu. Dan sepeninggal mereka pemilik toko mendekati anaknya sambil mengusap kepalanya dan minta maaf atas kekeliruannya menuduh dan bersikap kasar kepada keluarga itu.

Perempuan itupun ikut minta maaf sambil tertunduk, sementara air matanya masih menetes karena sedih. Di mukanyapun menetes keringat karena merasa malu mengingat perbuatannya. Dan sebelum berangkat, pemilik toko sempat meninggalkan bingkisan hari raya untuk keluarga miskin itu.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd [Harian Singgalang Padang, 11041993].

Renungan Hari Ke 27 Ramadhan

DIANTARA GEMA TAKBIR

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Ramadhan telah ditunaikan, dengan segala keimanan rela menahan lapar dan haus, serta menghindarkan aktivitas seksual suami isteri yang sah di siang hari. Bagi orang yang berpuasa dia akan merasakan dan menemukan dua kegembiraan, yaitu gembira ketika berbuka puasa karena dahaga lepas setelah beberapa teguk air membasahi kerongkongan, lapar terobati setelah disuapi makanan, letih habis, capek hilang, tidak dapat dibayangkan dengan lukisan kata-kata betapa sejuknya hati ini ketika berbuka puasa.

Kegembiraan kedua, yaitu ketika bertemu dengan Allah Swt di Padang Mashar dengan segala pertanggungjawaban di hadapan Mahkamah Yang Maha Adil sebagaiana Allah memfirmankan,”Semua amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, sedangkan puasa yang dilakukannya adalah untukKu”, artinya pahalanya hanya Allah yang lebih tahu dan lansung diberikan kelak.

Akhir Ramadhan takbir bergema sejak dari surau yang berada di ujung kampung sampai masjid pencakar langit di tengah kota, berkumandang menyemarakkan Idul Fithri dengan mengagungkan Asma Allah dengan takbir. Zakat fithrahpun dikeluarkan sebagai rangkaian amaliah ibadah puasa Ramadhan dengan penyaluran kepada fakir miskin, agar dapat merasakan kegembiraan besok bersama dengan orang-orang islam lainnya.

Sebenarnya bukan sampai disini saja tugas para shaimin dan hartawan dalam menyantuni fakir miskin, berapalah harga beras sebanyak 2,5 kilogram bila dibandingkan dengan kekayaan yang diperoleh, dari keuntungan yang telah kita raih, tidaklah cukup dengan 2,5 kg beras lalu selesai tugas, bagaimana dengan anak yatim yang dalam kepiluan merintih disamping mengenang kedua orangtuanya, juga mereka berduka dengan pakaian compang camping setelah dimakan suai satu tahun, bahkan lebih, sedang gantinya belum terbayang. Bagaimana dengan biaya sekolah mereka yang terbengkalai sekian bulan, makan sehari-harinya seadanya, dirasakan kegembiraan akan ditemui karena lebaran datang dengan santunan dan uluran tangan dari saudaranya yang berada dalam harta tapi mereka hanya menerima 2,5 kg beras, itupun untung-untungan setelah antri, sedangkan untuk lauk, pakaian dan keadaan kian tahun tidak berubah.


Disela-sela gema takbir masih terdapat beberapa orang yang harus berduka karena kemalangan yang menimpa, kesedihan ini akan tergurat lebar karena lebaran datang, sedangkan anggota keluarga tidak cukup mengelilingi mereka. Bagaimana jerit pilu seorang isteri di tengah keramaian takbir sementara suami berada jauh, entah dialam baqa atau jauh merantau mengadu nasib mencari rezeki. Bagaimana keadaan janda yang ditinggal suami tercinta, atau hati seorang ibu ketika anaknya tidak ada di sekitarnya, entah karena ditinggalkan selamanya atau menuntut ilmu di rantau tidak dapat hadir pada saat ini.

Tidakkah kita tahu bagaimana keras dan sempitnya kehidupan dalam penjara dibalik terali besi, pada saat itu ingin tenaga mendobrak jeruji serta menjebol tembok penjara untuk sedetik saja melihat sanak keluarga lalu bersama mereka merayakan Idul Fithri, tapi apa daya, kungkungan begitu keras, keadaan memaksa untuk menikmati lebaran dengan getir dalam kesendirian.

Gema takbir masih memecah angkasa, kesedihan ditinggal suami dan anak tercinta, kepiluan dalam penjara, kedukaan dalam hidup dapat hilang dan luntur ditelan takbir [Allahu Akbar], tahmid [Alhamdulillah], tasbih [Subhanallah] dan tahlil [Lailaha illallah]. Kebesaran Allah dapat melepaskan diri dari kepiluan, kegetiran, kesedihan untuk ikut bersama-sama merayakan Idul Fithri dengan situasi dan kondisi apa adanya.

Bagi orang yang mengamalkan hasil Ramadhan, tentunya jiwa sosialnya semakin tinggi setelah ditempa selama satu bulan untuk merasakan bagaimana rasanya lapar dan haus, bagaimana rasanya tidak makan sekian jam, apalagi mereka yang tidak menyentuh nasi sekian hari. Sehingga layak dan pantas kalau mereka mengangkat martabat fakir miskin, yatim piatu minimal di hari raya itu sementara takbir berkumandang, bjukan sekedar dengan zakat fithrah 2,5 kg, merdekakan mereka pada hari itu dari rasa sedih dan duka, karena papa dan kesengsaraan dengan mencukupi kebutuhannya sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw..

. Rasulullah pernah terlambat menunaikan shalat Idul Fithri karena berpapasan denan seorang bocah yang bermasalah, pakaiannya kumal, rambutnya kusut dan tidak terurus,”Kenapa kamu menangis sementara teman-temanmu sibuk dengan permainannya, pakaiannyapun bagus-bagus dan di tangannya da kue yang enak, dimana orangtuamu?”.

Anak itu terkejut dengan datangnya seorang lelaki di hadapannya, dia tidak tahu kalau sedang berhadapan dengan Rasulullah,”Bagaimana saya tidak sedih, ayah saya sudah meninggal, ia syahid dalam peperangan mengikuti perintah jihad dari Rasulullah, sedangkan ibu saya sudah menikah lagi, mereka tidak memperhatikan saya...”, Keluhan lirih itu disambut oleh ajakan Rasulullah,”maukah engkau berayahkan Muhammad, beribukan Aisyah, bersaudarakan Fatimah dan bertemankan Hasan?”.

Spontan anak itu menerima tawaran itu, Rasulullah mengantarkan anak itu pulang untuk dimandikan, diberi makan, diberi baju baru dan belanja layaknya seorang anak yang sedang merayakan Idul Fithri.

Diantara gema takbir, Rasulullah telah mengangkat derajat seorang anak sebagai manusia yang mulia dengan penghormatan yang layak tanpa melecehkan keadaannya.

Kemudian seandainya para hartawan dan dermawan islam yang ada di dunia ini mau dan mampu berbuat demikian, maka akan habislah kaum gelandangan, minimal mengurangi jumlah mereka, walaupun mereka dibebaskan pada hari lebaran saja, sudah suatu usaha yang patut dipuji, dalam surat Al Ma’un Allah berfirman,”Adakah engkau ketahui orang yang mendustakan agama ? maka demikian itu adalah orang yang mengusir anak yatim dan tiada menyuruh memberi makan orang miskin”.

Orang yang mengusir anak yatim, dan tiada suka menyantuni orang miskin, dengan memberi makanan atau keperluan mereka adalah masuk golongan orang yang mendustakan hari pembalasan atau agama Allah; meskipun mereka mengaku, ia orang muslim sejati, karena tiadalah faedahnya perkataan itu, jika tiada disertai amal kebaikan.

Diantara gema takbir, terdapat dua golongan manusia yang ikut merayakan Idul Fithri atau Idul Adha, yaitu golongan hartawan dengan segala fasilitas kemewahan, serta golongan miskin yang selalu dalam kekurangan. Mereka ingin diangkat martabatnya dengan uluran tangan dan santunan dari hartawan dan dermawan, karena mereka tahu dibalik harta si kaya ada haknya yang harus dikeluarkan untuk mereka.

Biarkan takbir berlalu dengan gema dan kumandang yang Agung selama rintihan mereka dapat terobati, pengaduan mereka terjawab,kemiskinan mereka walaupun sejenak terlupakan. Derajat dan martabat merekapun terentaskan, wallahu a’lam [Majalah Serial Khutbah Jum’at Jakarta no. 153/ Maret 1994].

Renungan Hari Ke 26 Ramadhan

IDUL FITHRI DAN MAAF

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Tanpa terasa bulan Ramadhan akan berakhir, rasanya belum lama kita mengawalinya, kini kita akan mengakhirinya diiringi dengan gema takbir yang berkumandang sejak berbuka terakhir hingga khatib menyampaikan khutbahnya pada shalat Idul Fithri. Suasana ini sangat dinantikan seluruh keluarga muslim dimanapun mereka berada dengan persiapan yang kadangkala diluar kemampuannya. Semuanya ditampakkan serba baru, sejak dari hidangan, pakaian, rumah hingga bila mungkin isteri dan suami yang baru.

Ada dua kebahagiaan yang akan dirasakan orang-orang yang berpuasa dan saat bertemu Allah di akherat nanti. Tapi yang merayakan Idul Fithri tidaklah semua orang yang berpuasa. Bahkan mereka yang paling antusias merayakannya. Dengan kegiatan ini dia merasakan sudah cukup menjadi seorang muslim yang berpuasa walaupun tidak tuntas menunaikannya. Dalam hatinya dia berkata,”Saya gagal di hadapan mereka yang meraih kemenangannya”.

Suatu kegembiraan bagi orang rantau bila mereka bisa hadir di kampung halaman merayakan Idul Fithri. Karena disamping hari besar dan libur juga saat yang tepat menjalin kembali silaturahmi, memupuk ukhuwah islamiyyah diantara kalangan keluarga dan sejawat. Salah satu kewajiban mukmin menyambut Idul Fithri ialah menyambutnya dengan senang hati dan gembira. Tidak takut dan cemas apalagi sebatas faktor ekonomi. Bahkan ada di sebuah Provinsi, waktu memasuki Idul Fithri ini angka perceraian meningkat, banyak terjadi runtuh rumah tangga karena mengaitkan Idul Fithri dengan kemewahan sehingga tidak terjangkau oleh kantong keluarga. Walaupun ada kemampuan untuk itu, sebaiknya kita menahan diri untuk tetap dapat hidup sederhana.


Hal negatif yang terjadi pada hari raya ini adalah melibatkan kegiatan akhir Ramadhan dengan datang ke kuburan dengan maksud ziarah. Islam membenarkan ziarah itu dalam rangak zikrul maut [mengingat kematian] yang tidak ada kegiatan syirik di dalamnya seperti menaburkan bunga ke makam, membakar kemenyan dan mendoa kepada orang yang sudah meninggal, semua praktek itu berasal dari tradisi,”Hai anakku janganlah engkau menserikatkan Allah karena syirik itu adalah kezhaliman yang besar” [31;13].

Suasana inipun dimeriahkan dengan saling memaafkan antara satu dengan lainnya, baik kesalahan yang disengaja atau tidak, besar ataupun kecil,”Maafkanlah mereka dan leburkan segala kesalahan. Allah suka kepada orang yang berbuat baik”[5;13]. Inilah saat yang tepat untuk melebur dosa, bukan berarti kita menunggu Idul Fithri saja untuk saling memaafkan. Begitu salah terdapat dalam prilaku kita spontan perbaiki dengan saling memaafkan,”Terdapat tiga sifat akhlak disisi Allah; memberi maaf kepada orang yang berlaku zhalim kepadamu, memberi kepada orang yang sengaja memutuskan pemberiannya kepadamu dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya”[HR.Khatib].

Walaupun demikian saling memaafkan tidak mesti dengan berjabat tangan apalagi antara lawan jenis yang bukan muhrimnya, Aisyah menceritakan,”Rasulullah tidak pernah bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya”.

Ketika kita memasuki Idul Fithri,sering terlontar dari bibir kita ucapan,”Minal aidiina wal faizhiin” yang artinya ”Kita baru saja pulang dari medan perang dalam keadaan menang”, ini adalah budaya Arab yang boleh saja kita ucapkan, tapi ada yang lebih baik dari itu, ucapan ini bersumber dari Rasulullah,”Taqabbalallahu minna waminkum” maksudnya semoga Allah akan membalasi ibadah saya dan anda. Sebagai muslim tentu kita lebih baik memakai ucapan dan tingkah laku yang berasal dari Rasulullah,”Sungguh dalam pribadi Rasul itu ada contoh teladan yang baik bagimu”[33;21].

Ada baiknya berakhirnya bulan ini lalu kita masuki Idul Fithri, kita dapat dikatakan orang yang suci dari dosa ibarat anak yang dilahirkan oleh ibunya. Tapi negatifnya adalah saat itu masjid dan surau sunyi tak ada jamaahnya, masjid mulai lapang dan lengang lagi, padahal tidak demikian seharusnya. Ramadhan ibarat mobil yang butuh waktu istirahat demi awetnya kendaraan tersebut. Demikian pula fisik atau organ tubuh kita butuh istirahat, minimal satu bulan dalam satu tahun sehingga setelah itu dia siap lagi bekerja lebih keras lagi. Itulah waktu yang tepat yaitu Idul Fithri.

Sudah sering sebenarnya kita merayakan Idul Fithri dari tahun ke tahun. Tapi kepribadian kita tidak mencerminkan seorang muslimpun. Kenapa satu bulan kita ditempa dengan kegiatan prima seperti shaum, shalat, tahajud dan lain-lain tapi tidak tampak bekasnya ? padahal Ramadhan adalah bulan tarbiyyah [pendidikan] yaitu bulan untuk membina kader-kader bangsa yang istiqamah. Hari raya ini cendrung dihiasi dengan kemewahan dan kemubaziran dengan menyediakan makanan, minuman dan apa saja untuk tamu yang datang serta pengeluaran lainnya yang tidak memperhatikan skala prioritas. Bukan berarti kita tidak boleh menyediakan serba baru, hakekat Idul Fithri tersebut adalah kembali kepada fithrah [kesucian] yang ditindaklanjuti sebelas bulan berikutnya. Gema takbir sudah berkumandang, akhir Ramadhan kita masuki untuk menyongsong Ramadhan tahun yang akan datang, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang 14122001].

Renungan Hari Ke 25 Ramadhan

MENJAGA ENAM KESUCIAN

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Mendekati lebaran ini, saya masih ingat dengan sikap ibu [Alm] yang mempersiapkan masakan terlezat untuk anaknya, sambil mengaduk adonan masakan beriringan pula tetesan airmatanya turun membasahi bumi, tidak ada yang mampu untuk menegurnya karena semakin disapa tangisnya semakin menjadi, adik-adik dan kakak-kakak saya sudah maklum saja, karena masakan terlezat yang beliau buat untuk anak-anak tercinta tidak semuanya mencicipi, ada anak-anak yang jauh darinya, kesedihan itu menandakan bagaimana rindunya beliau agar dalam bulan Ramadhan dan hari raya semua anak-anaknya berkumpul bersama tapi hal itu sulit untuk bisa terjadi karena kesibukan masing-masing, hanya saling mendoakan semoga semuanya mendapat rahmat dari Allah walaupun berjauhan, semakin masuk saat Idul Fitri semakin kangen dengan orang-orang yang kita cintai, anak merindui ayah dan bundanya, ayah dan ibu merindukan anak-anaknya, semua itu terjadi secara sunnatullah.

Duapuluh lima hari berpuasa berarti tinggal lima atau empat hari lagi kita merayakan Idul Fithri yang menandakan bulan Ramadhan telah usai, tinggal kenangan dan kesan yang mendalam bagi orang-orang yang berpuasa yang hasilnya dipertaruhkan di hadapan Allah untuk diperhitungkan apakah ibadah Ramadhanya mendapat pahala atau sia-sia, untuk itu kita harus menjaga hasil Ramadhan itu agar tetap suci hingga datang lagi Ramadhan berikutnya.

Tanpa terasa bulan Ramadhan akan berakhir, rasanya belum lama kita mengawalinya, kini kita akan mengakhirinya diiringi dengan gema takbir yang berkumandang sejak berbuka terakhir hingga khatib menyampaikan khutbahnya pada shalat Idul Fithri. Suasana ini sangat dinantikan seluruh keluarga muslim dimanapun mereka berada dengan persiapan yang kadangkala diluar kemampuannya. Semuanya ditampakkan serba baru, sejak dari hidangan, pakaian, rumah hingga bila mungkin isteri dan suami yang baru.

Ada dua kebahagiaan yang akan dirasakan orang-orang yang berpuasa dan saat bertemu Allah di akherat nanti. Tapi yang merayakan Idul Fithri tidaklah semua orang yang berpuasa. Bahkan mereka yang paling antusias merayakannya. Dengan kegiatan ini dia merasakan sudah cukup menjadi seorang muslim yang berpuasa walaupun tidak tuntas menunaikannya. Dalam hatinya dia berkata,”Saya gagal di hadapan mereka yang meraih kemenangannya”

.

Suatu kegembiraan bagi orang rantau bila mereka bisa hadir di kampung halaman merayakan Idul Fithri. Karena disamping hari besar dan libur juga saat yang tepat menjalin kembali silaturahmi, memupuk ukhuwah islamiyyah diantara kalangan keluarga dan sejawat. Salah satu kewajiban mukmin menyambut Idul Fithri ialah menyambutnya dengan senang hati dan gembira. Tidak takut dan cemas apalagi sebatas faktor ekonomi. Bahkan ada di sebuah Provinsi, waktu memasuki Idul Fithri ini angka perceraian meningkat, banyak terjadi runtuh rumah tangga karena mengaitkan Idul Fithri dengan kemewahan sehingga tidak terjangkau oleh kantong keluarga. Walaupun ada kemampuan untuk itu, sebaiknya kita menahan diri untuk tetap dapat hidup sederhana.

Hal negatif yang terjadi pada hari raya ini adalah melibatkan kegiatan akhir Ramadhan dengan datang ke kuburan dengan maksud ziarah. Islam membenarkan ziarah itu dalam rangak zikrul maut [mengingat kematian] yang tidak ada kegiatan syirik di dalamnya seperti menaburkan bunga ke makam, membakar kemenyan dan mendoa kepada orang yang sudah meninggal, semua praktek itu berasal dari tradisi,”Hai anakku janganlah engkau menserikatkan Allah karena syirik itu adalah kezhaliman yang besar” [31;13].

Suasana inipun dimeriahkan dengan saling memaafkan antara satu dengan lainnya, baik kesalahan yang disengaja atau tidak, besar ataupun kecil,”Maafkanlah mereka dan leburkan segala kesalahan. Allah suka kepada orang yang berbuat baik”[5;13]. Inilah saat yang tepat untuk melebur dosa, bukan berarti kita menunggu Idul Fithri saja untuk saling memaafkan. Begitu salah terdapat dalam prilaku kita spontan perbaiki dengan saling memaafkan,”Terdapat tiga sifat akhlak disisi Allah; memberi maaf kepada orang yang berlaku zhalim kepadamu, memberi kepada orang yang sengaja memutuskan pemberiannya kepadamu dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya”[HR.Khatib].

Walaupun demikian saling memaafkan tidak mesti dengan berjabat tangan apalagi antara lawan jenis yang bukan muhrimnya, Aisyah menceritakan,”Rasulullah tidak pernah bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya”.

Ketika kita memasuki Idul Fithri,sering terlontar dari bibir kita ucapan,”Minal aidiina wal faizhiin” yang artinya ”Kita baru saja pulang dari medan perang dalam keadaan menang”, ini adalah budaya Arab yang boleh saja kita ucapkan, tapi ada yang lebih baik dari itu, ucapan ini bersumber dari Rasulullah,”Taqabbalallahu minna waminkum” maksudnya semoga Allah akan membalasi ibadah saya dan anda. Sebagai muslim tentu kita lebih baik memakai ucapan dan tingkah laku yang berasal dari Rasulullah,”Sungguh dalam pribadi Rasul itu ada contoh teladan yang baik bagimu”[33;21].

Ada baiknya berakhirnya bulan ini lalu kita masuki Idul Fithri, kita dapat dikatakan orang yang suci dari dosa ibarat anak yang dilahirkan oleh ibunya. Tapi negatifnya adalah saat itu masjid dan surau sunyi tak ada jamaahnya, masjid mulai lapang dan lengang lagi, padahal tidak demikian seharusnya. Ramadhan ibarat mobil yang butuh waktu istirahat demi awetnya kendaraan tersebut. Demikian pula fisik atau organ tubuh kita butuh istirahat, minimal satu bulan dalam satu tahun sehingga setelah itu dia siap lagi bekerja lebih keras lagi. Itulah waktu yang tepat yaitu Idul Fithri.

Sudah sering sebenarnya kita merayakan Idul Fithri dari tahun ke tahun. Tapi kepribadian kita tidak mencerminkan seorang muslimpun. Kenapa satu bulan kita ditempa dengan kegiatan prima seperti shaum, shalat, tahajud dan lain-lain tapi tidak tampak bekasnya ? padahal Ramadhan adalah bulan tarbiyyah [pendidikan] yaitu bulan untuk membina kader-kader bangsa yang istiqamah. Hari raya ini cendrung dihiasi dengan kemewahan dan kemubaziran dengan menyediakan makanan, minuman dan apa saja untuk tamu yang datang serta pengeluaran lainnya yang tidak memperhatikan skala prioritas. Bukan berarti kita tidak boleh menyediakan serba baru, hakekat Idul Fithri tersebut adalah kembali kepada fithrah [kesucian] yang ditindaklanjuti sebelas bulan berikutnya. Gema takbir sudah berkumandang, akhir Ramadhan kita masuki untuk menyongsong Ramadhan tahun yang akan datang, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang 14122001].

Renungan Hari Ke 24 Ramadhan

PUASA DAN BAJU BARU

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Sepuluh hari terakhir Ramadhan dinamakan dengan ”Itqun Minannar” artinya terlepasnya seseorang dari azab neraka dengan izin Allah. Rasulullah adalah orang sibuk membangunkan keluarganya untuk menunaikan shalat malam dengan kegiatan i’tikaf mengejar lailatul qadar yang pahalanya sama dengan beribadah seribu bulan. Kondisi ini sangat kontras di daerah kita, sebagian ummat islam saat akhir Ramadhan itu bukan sibuk melaksanakan ibadah tapi sibuk dengan ma’isyah, mencari rezeki untuk keperluan Idul Fithri. Bukan tidak boleh kita melakukan itu tapi kadangkala kegiatan yang penting dari rangkaian ibadah Ramadhan jadi korban. Khususnya orangtua pada waktu itu berfikir tujuh keliling dan berusaha bagaimana bisa dapat rezeki lebih untuk kepentingan keluarga yang prioritas adalah ”baju baru”.

Bila yang satu ini sudah dipenuh lengkap dengan sepatunya. Apalagi sekian anak yang harus dicarikan tentu orangtua merasa bangga dan beban agak berkurang. Walaupun tuntutan lain seperti kue baru, lemari dan kursi baru, rumah walaupun hanya dengan cat baru. Semua itu akan beres asal bisnis lancar. Bila tidak dapat biarlah berhutang dahulu, toh nanti akan dibayar juga. Memakai baju baru memang tidak dilarang, hukumnya mubah. Rasull menyatakan agar ummatnya yang mampu dari segi keuangan agar nampak hal itu pada makanan, pakaian, kendaraan dan fasilitas lain selama tidak sombong dan membanggakan diri.

Ramadhan berakhir, disambut dengan semaraknya warna dan jenis pakaian dengan harga yang beragam sesuai dengan kemampuan kantong masing-masing. Demikian pula mode dan model pakaian jadi perbincangan para kaum ibu dimana-mana. Kadang kala jauh dari cerminan seorang muslim atau muslimah. Pakaian yang dicari mode terkini, kiblatnya Amerika dan Perancis melalui tampilan bintang film kesayangannya yang selalu mengumbar aurat. Ketat yang mencetak auratnya, transparan yang menampakkan bentuk tubuh dan pendek. Inilah ciri khas pakaian mode terkini yang digandrungi remaja dan pemuda kita. Seharusnya mereka tampil dengan jilbabnya sebagai ujud keberhasilan meraih taqwa di bulan Ramadhan ini. Sudah payah kita menyelesaikan puasa dengan rasa lapar, haus dan capek. Setiap malam pergi ke masjid dengan kerudung rapi, tapi setelah itu pakaian you can see dari mama diterima pula atau malah sang gadis sendiri yang menentukan begitu.

Kita boleh memakai baju baru, tidak ada larangan apalagi dalam merayakan Idul Fithri. Bahkan Fiqhpun menampilkan sunnah Rasulullah agar kedatangan kita ke masjid atau lapangan untuk shalat Idul Fithri memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki dan tidak mesti baru. Ukuran bagus itu relatif artinya kita masih senang memakainya, tidak cacat dan rusak. Bagi yang punya uang cukup banyak tidak soal bila semua baju, sepatu dan semua perlengkapan dapat dibeli walaupun suasana krisis. Tampaknya krisis bukanlah hal yang besar bagi rakyat Indonesia apalagi dengan masuknya Idul Fithri. Orang bisa bilang,”Tidak ada kayu jenjang dikeping”, walaupun susah mencarinya, tapi bagi orangtua ada sebuah kepuasan batin apabila semua anak dapat jatah dari usahanya untuk memakai pakaian baru saat Idul Fithri, padahal biaya sekolah setelah inipun menuntutnya yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi jenjang pendidikan yang lebih tinggi.


Seorang ulama sufi dikala menyambut Idul Fithri menyampaikan pesannya,”Yang dikatakan merayakan Idul Fithri itu bukanlah bagi orang yang mampu menyediakan serba baru, tapi bagi orang yang mampu memperbaharui dan meningkatkan mutu imannya”, sungguh nasehat yang bijak. Kalau iman kita meningkat setelah Ramadhan tidak jadi masalah meskipun kita punya barang yang serba baru sebagai ujud kegembiraan pada hari itu, selama baju dan yang serba baru itu menjadikan hamba semakin mendekatkan diri kepada Allah bukan malah sombong dan takabur. Karena watak negatif manusia itu suka meninggikan diri. Merasa cukup dan kuasa dikala apa yang dia inginkan tercapai,”Sesungguhnya manusia itu diciptakan berkeluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpakan kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir” [70;19-21].

Hakekat Idul Fithri bukanlah bagi orang yang mampu menyediakan serba baru, tapi bagaimana iman semakin meningkat dan semangat keislaman kitapun naik grafiknya. Rasul sering menyatakan kepada ummatnya ”Jadidul iman” [perbaharui iman], apalagi menghadapi kondisi umat hari ini yang centang perenang, syirik, bid’ah, kurafat dan tahyul jadi arena untuk mencemarkan iman dan ibadah seseorang.

Wajar kalau Rasulullah menyatakan bahwa iman itu mengalami fluktuasi yaitu naik dan turun. Kadangkala iman itu tinggi dan tidak jarang pula dia turun. Bukti iman tinggi adalah banyak ibadah dan kebaikan yang kita lakukan, bukti iman rendah yaitu banyak kemaksiatan yang dikerjakan,”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah bergetar hatinya, dikala dibacakan ayat-ayat Allah bertambah imannya”[8;2].

Dapatkah dikatakan iman seseorang itu bertambah dikala Ramadhan dia rajin beribadah, membaca Al Qur’an, shalat malam, melakukan puasa, infaq yang tidak hentinya, tapi setelah Ramadhan berakhir, baju baru telah dipakai semua itu tinggal kenangan, masjid semakin kosong, shalat bila diingat saja, baca Al Qur’an tidak pernah lagi, shalat malam tentu tidak lagi sedangkan shalat subuh saja sering berlalu karena kesiangan, puasa tidak pernah terlaksana dan infaqpun agak diabaikan, inikah yang dikatakan hasil Ramadhan dengan target taqwa itu? Ayo sambut Idul Fithri dengan pakaian baru dan serba baru, terutama hamasah [semangat] iman dan ghirah [kecemburuan] kepada islam yang tidak diragukan militansinya, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 11122001].

Renungan Hari Ke 23 Ramadhan

MENYAMBUT KEDATANGAN IDUL FITHRI

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros


Ramadhan akan berakhir juga walaupun kita sebagai ummat Islam melalaikan kesempatan untuk meraih derajat taqwa atau memacu diri untuk mendapatkannya. Walaupun lebaran masih satu pekan lagi tapi bau hari raya sudah mulai nampak, spanduk menyambut Idul Fithri sudah mulai terpasang dimana-mana, ada dari tokoh adat dan tokoh partai politik yang mengucapkan " Taqabbalallahu minna wa minkum, minal 'aidiina wal faizhin, selamat hari raya Idul Fithri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin", terlepas ucapan itu mengandung simpati atau politis, tapi kesan antusias menyambut idul fithri nampak disana, seiring dengan itu, spanduk dan baliho Marhaban ya Ramadhan sudah mulai usang dan sebagian robek dan diturunkan.

Sebentar lagi sms dan facebook serta twitter akan ramai dengan ucapan selamat idul fithri sebagai tersambungnya tali silaturahim, hari ke 23 ini benar-benar mengajak kita semakin dekat dengan Idul Fithri dan semakin jauh dari Ramadhan, semoga Ramadhan yang akan datang menjelang dapat menyapa kita lagi.


Dalam rangka menyambut hari raya tanggal 1 Syawal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu;
1. Menyempurnakan Ibadah Puasa
Menghitung kembali hari-hari puasa yang tidak dilakukan karena beberapa hal, kemudian pada tahun ini juga harus dibayarkan dengan puasa pada hari dan bulan yang lain, sebagaimana anjuran Allah dalam surat Al Baqarah 2;184,”Hari-hari yang tertentu, jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan [lalu berbuka] maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.

2. Membayar Zakat Fithrah
Hikmah dari membayar zakat fithrah yaitu mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan, perkataan sia-sia dan keji selama puasa, zakat fithrah itu disalurkan kepada fakir miskin dengan batas waktu sebelum usai shalat Idul Fithri, dengan kadar 2,5 kilogram beras perjiwa atau sejenis makanan yang menyenangkan. Umar bin Khattab berkata,”Rasulullah Saw memerintahkan kami mengeluarkan zakat fithrah sebelum orang pergi shalat”.

3. Perhitungan Zakat Mal
Bagi ummat islam yang selalu memperhitungkan zakat harta pada bulan Ramadhan, hendaklah sebagian harta yang dimilikinya sebagai ummat yang wajib disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Karena dibalik harta itu terdapat hak fakir miskin, anak yatim dan lainnya. Allah tidak membenarkan bila orang yang beriman dan telah cukup nisab hartanya, lalu tidak memperhitungkan zakat yang harus dikeluarkannya.

4. Menyambut Idul Fithri dengan Gembira
Kegembiraan ini bukan diiringi dengan berbagai pesta meriah dengan mempersiapkan minuman dan makanan serta pakaian yang menggembirakan. Sambutlah Hari Raya Idul Fithri dengan kegembiraan, karena kita telah berhasil mengekang dorongan hawa nafsu selama satu bulan dengan ibadah puasa. Kedatangan Idul Fithri tidak layak ditakuti karena situasi ekonomi yang kurang menggembirakan, apalagi diiringi dengan pertengkaran antara suami isteri tidak tersedianya pakaian dan makanan untuk anak-anak.

5. Mengucapkan Takbir
Takbir akan bergema sejak masuknya Idul Fithri, yaitu setelah berbuka pada hari terakhir puasa Ramadhan sampai selesai shalat Idul Fithri, baik di rumah, di masjid maupun perjalanan menuju kelapangan untuk melaksanakan shalat.

Al Qur’an pada surah Al Baqarah ayat 185 mengisyaratkan,”Supaya kamu besarkan dan agungkan asma Allah karena rasa syukur nikmat [yang telah diberikan Allah berupa pedoman hidup yaitu Al Qur’an”.

Rasulullah Saw bersabda,”Hendaklah kamu siarkn hari raya dengan takbir” [HR. Thabrani dari Anas].

6. Jangan ke kuburan karena Hari Tertentu
Salahs satu adat kebiasaan di Indonesia ialah melakukan ziarah pada hari-hari dan bulan-bulan tertentu, seperti hari akan menyambut puasa dan setelah selesai bulan Ramadhan, yang diiringi dengan manabur bunga dan menyiram air. Pada saat lebaran sehabis shalat Id, ummat islam berbondong-bondong ke kuburan dalam rangka ziarah kubur. Ajaran islam tidak melarang ziarah, bahkan disunnahkan oleh Nabi Muhammad Saw untuk mengingat mati, tapi janganlah dilakukan dengan aturan islam yang dibalut dan dipoles oleh adat nenek moyang. Ziarahlah sebagaimana yang dituntunkan oleh sunnah Rasulullah Saw yang menganjurkan ziarah kubur itu kapan saja, hanya jangan ditentukan pada hari dan bulan tertentu, seperti pada saat menyambut Ramadhan atau Idul Fithri saja.

Rasulullah Saw mengajarkan do’a ketika masuk kubur,’’Semoga Kesejahteaan tetap bagimu wahai ahli kubur kaum mukmunin dan muslimin, insya Allah kami akan bertemu denganmu, kami mohon kepada Allah untuk kami dan kamu”[HR.Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah].

7. Bersilaturahim
Lebaran tiba, adalah saat yang dapat digunakan untuk saling kunjung mengunjungi antara satu dengan lainnya, bahkan saat lebaran saja kegiatan ini dilakukan, pada hari lainpun tidak ada halangan. Pada saat ini saling menebur dosa dan memaafkan segala kesalahan, isteri mohon maaf kepada suami dan sebaliknya, anak mohon maaf kepada ibu dan bapaknya dan sebaliknya, hubungan dengan tetangga dijalin dengan silaturahim. Disamping itu satu hal yang tidak patut dilaksanakan ialah berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan muhrimnya. Jika bertemu antara satu dengan yang lain hendaklah saling mengucapkan tahniah yaitu ”Taqabbalallahu minna waminkum” semoga Allah menerima amal kami dan amal kamu” [HR.Jubair Ibnu Nufair].

Dalam melaksanakan shalat Idul Fithri, ada beberapa hal yang disunnahkan Nabi Muhammad Saw yaitu;
1. Sebelum shalat Idul Fithri mandi terlebih dahulu.
2. Memakai wangi-wangian.
3. Memakai pakaian bagus, bersih, tidak mutlak baru dan mahal.
4. Sarapan atau makan pagi terlebih dahulu sebelum berangkat untuk shalat Idul Fithri.
5. Berangkat dan pulang dari shalat menempuh jalan yang berbeda maksudnya agar banyak bertemu jamaah di dalam perjalanan.
6. Mendengarkan khutbah Id dan jangan pulang setelah shalat Idul Fithri.

Dalam rangka memeriahkan hari raya Idul Fithri, sebagian ummat islam janganlah melakukan dengan kegiatan-kegiatan negatif, seperti;
1. Bermewah-mewahan dalam segala hal.
2. Makan dan minum yang dilarang Allah seperti minuman dan mabuk-mabukan.
3. Pelesiran ke tempat yang banyak maksiat.
4. Menghadiri hiburan yang mengakibatkan lupa kepada Allah Swt.
5. Karena lebaran telah datang dan puasa telah usia, jangan masjid dibiarkan kosong dan sepi dari jamaah. Karena pada bulan puasa Ramadhan pada umumnya masjid sangat makmur dikunjungi jamaah untuk shalat tarawih dan berbagai kegiatan lainnya. [Majalah Serial Khutbah Jum’at Jakarta no. 118/ April 1991].