Minggu, 17 Juni 2012

Renungan Hari Ke 28 Ramadhan

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

KISAH TANGIS DI HARI RAYA



Hari ini kita melaksanakan puasa hari ke 28, sebuah prestasi yang luar biasa, mampu menahan lapar,haus, letih dan capek dalam semua aktivitas, yang lebih penting adalah menjaga agar ibadah puasa itu tidak sia-sia dengan meninggalkan segala yang merusaknya. Idul Fithri tinggal hitungan jam, sebagian besar ummat Islam sudah melaksanakan mudik dari rantau menuju kampung halaman, ingin berlebaran dengan orangtua dan keluarga, mungkin mudik itu terhalang oleh berbagai resiko tapi harus dilakukan, kesannya tidak enak dan kurang afdhal bila mencari nafkah sekian bulan antara suka dan duka lalu lebaran tidak di kampung, biarlah pencaharian selama itu habis hanya untuk mudik lebaran asal Idul Fithri ada di kampung halaman.

Lebaran, mmhh tentu disediakan hal yang serba baru, sejak dari makanan, minuman, pakaian baru, rumah baru, walaupun hanya catnya saja yang dipercaharui, kendareaan barupun jadi impian di hari raya, ah mungkin juga isteri baru, itulah kesan bagi ummat Islam, tidak seru rasanya bila hari raya tidak ada yang baru, apakah dilarang kalau kita menyediakan yang serba baru, tidak ada larangan, hal itu termasuk dibolehkan dan sunnah tapi tidak memaksakan diri dengan berbagai cara, ulama menyatakan bahwa hakekat lebaran itu adalah iman yang semakin baru dan semangat ibadah yang diperbaharui agar setelah lebaran ibadah tidak kendur sebagai mana tahun-tahun yang lalu.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Dalam menghadapi Hari Raya seperti 1 Syawal tahun ini, menurut informasi masih belum semua orang mampu mencukupi kebutuhannya, walaupun hanya untuk sehari raya itu saja.

Dalam pada itu masih terbilang sedikit jumlah orang kaya yang mau mengeluarkan derma atau mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan terhadap masyarakat yang melarat, miskin lagi papa. Sehingga detik-detik hari raya itu berlalu tak ubahnya seperti hari-hari biasa saja, penuh dengan aktivitas kehidupan yang masih terbilang belum mencukupi.

Menyambut hadirnya Idul Fithri, kita sengaja mengutipkan sebuah kisah yang menggambarkan detik-detik kehidupan yang dilalui oleh orang-orang tak mampu dalam menghadapi lebaran.

Kisah ini menceritakan seorang ibu miskin, pada malam hari raya dengan penuh haru berdiri masygul dalam sebuah toko yang menjual mainan anak-anak. Dari rumah tadinhya, ia sudah berjanji akan membelikan anaknya mainan. Karena itulah, begitu melihat sebuah boneka yang lucu, ia lansung menanyakan harga dan menawar boneka yang dipilihnya.

Tawar menawar berlansung antara perempuan itu dengan pedagang pemilik toko mainan. Tapi tak ada kecocokan, karena perempuan itu tidak cukup punya uang seharga boneka yang diinginkannya.

Namun karena keinginan memiliki dan membawa boneka itu pulang untuk anaknya tidak dapat dibendun g, akhirnya perempuan itu jadi nekad, mencuri boneka saat pemiliknya lengah. Tetapi sebaliknya, pemilik toko penjual boneka mengetahui perbuatan perempuan itu. Karenanya dengan ditemani dua orang polisi, ia segera mengikuti perjalanan perempuan itu dari belakang, sementara perempuan yang mencuri boneka tetap melanjutkan perjalanan dengan gejolak di hati.

Dalam perjalanan menuju ke rumahnya, hatinya senantiasa berdetak, karena takut, bagaimana jadinya bila perbuatannya diketahui pemilik toko. Sementara dari salah sudut relung hatinya yang lain, perempuan itu mendesis dan membayangkan betapa anaknya di hari raya itu akan dapat ikut bermain gembira dengan boneka baru dan indah.

Ketika tak lama kemudian ia sedang bercanda ria dengan anaknya bersama boneka baru di rumahnya, dua orang polisi yang mengikutinya lansung membelenggu tangan perempuan itu. Sementara itu pemilik toko penjual mainan, segera merebut boneka yang sedang digendong anaknya. Karena itu, anaknya menjerit sambil berhiba-hiba.

”Kasihanilah ibu saya pak”. Tangisnya semakin menjadi. Melihat kejadian itu, pemilik toko diam membisu, sementara di udara ketika itu lafaz takbir mulai berkumandang sahut –sahutan, menandakan masuknya hari raya. Akhirnya pemilik toko jadi pucat pasi. Sekujur tubuhnya mendadak gemetaran. Sungguh berat rasanya ia membiarkan keluarga miskin itu bersedih hati seperti berkabung pada hari raya, sementara orang lain tenggelam dalam kegembiraan.


Karena itu pemilik toko segera berkata kepada kedua polisi itu,”Maaf pak, saya keliru menuduh ibu ini mencuri barang dagangan saya. Ternyata saya tidak menjual boneka sebagus itu.” Mendengar penjelasan itu, polisi yang hadir segera melepaskan belenggu, lalu meninggalkan rumah perempuan itu. Dan sepeninggal mereka pemilik toko mendekati anaknya sambil mengusap kepalanya dan minta maaf atas kekeliruannya menuduh dan bersikap kasar kepada keluarga itu.

Perempuan itupun ikut minta maaf sambil tertunduk, sementara air matanya masih menetes karena sedih. Di mukanyapun menetes keringat karena merasa malu mengingat perbuatannya. Dan sebelum berangkat, pemilik toko sempat meninggalkan bingkisan hari raya untuk keluarga miskin itu.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd [Harian Singgalang Padang, 11041993].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar