Minggu, 17 Juni 2012

Renungan Hari Ke 27 Ramadhan

DIANTARA GEMA TAKBIR

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Ramadhan telah ditunaikan, dengan segala keimanan rela menahan lapar dan haus, serta menghindarkan aktivitas seksual suami isteri yang sah di siang hari. Bagi orang yang berpuasa dia akan merasakan dan menemukan dua kegembiraan, yaitu gembira ketika berbuka puasa karena dahaga lepas setelah beberapa teguk air membasahi kerongkongan, lapar terobati setelah disuapi makanan, letih habis, capek hilang, tidak dapat dibayangkan dengan lukisan kata-kata betapa sejuknya hati ini ketika berbuka puasa.

Kegembiraan kedua, yaitu ketika bertemu dengan Allah Swt di Padang Mashar dengan segala pertanggungjawaban di hadapan Mahkamah Yang Maha Adil sebagaiana Allah memfirmankan,”Semua amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, sedangkan puasa yang dilakukannya adalah untukKu”, artinya pahalanya hanya Allah yang lebih tahu dan lansung diberikan kelak.

Akhir Ramadhan takbir bergema sejak dari surau yang berada di ujung kampung sampai masjid pencakar langit di tengah kota, berkumandang menyemarakkan Idul Fithri dengan mengagungkan Asma Allah dengan takbir. Zakat fithrahpun dikeluarkan sebagai rangkaian amaliah ibadah puasa Ramadhan dengan penyaluran kepada fakir miskin, agar dapat merasakan kegembiraan besok bersama dengan orang-orang islam lainnya.

Sebenarnya bukan sampai disini saja tugas para shaimin dan hartawan dalam menyantuni fakir miskin, berapalah harga beras sebanyak 2,5 kilogram bila dibandingkan dengan kekayaan yang diperoleh, dari keuntungan yang telah kita raih, tidaklah cukup dengan 2,5 kg beras lalu selesai tugas, bagaimana dengan anak yatim yang dalam kepiluan merintih disamping mengenang kedua orangtuanya, juga mereka berduka dengan pakaian compang camping setelah dimakan suai satu tahun, bahkan lebih, sedang gantinya belum terbayang. Bagaimana dengan biaya sekolah mereka yang terbengkalai sekian bulan, makan sehari-harinya seadanya, dirasakan kegembiraan akan ditemui karena lebaran datang dengan santunan dan uluran tangan dari saudaranya yang berada dalam harta tapi mereka hanya menerima 2,5 kg beras, itupun untung-untungan setelah antri, sedangkan untuk lauk, pakaian dan keadaan kian tahun tidak berubah.


Disela-sela gema takbir masih terdapat beberapa orang yang harus berduka karena kemalangan yang menimpa, kesedihan ini akan tergurat lebar karena lebaran datang, sedangkan anggota keluarga tidak cukup mengelilingi mereka. Bagaimana jerit pilu seorang isteri di tengah keramaian takbir sementara suami berada jauh, entah dialam baqa atau jauh merantau mengadu nasib mencari rezeki. Bagaimana keadaan janda yang ditinggal suami tercinta, atau hati seorang ibu ketika anaknya tidak ada di sekitarnya, entah karena ditinggalkan selamanya atau menuntut ilmu di rantau tidak dapat hadir pada saat ini.

Tidakkah kita tahu bagaimana keras dan sempitnya kehidupan dalam penjara dibalik terali besi, pada saat itu ingin tenaga mendobrak jeruji serta menjebol tembok penjara untuk sedetik saja melihat sanak keluarga lalu bersama mereka merayakan Idul Fithri, tapi apa daya, kungkungan begitu keras, keadaan memaksa untuk menikmati lebaran dengan getir dalam kesendirian.

Gema takbir masih memecah angkasa, kesedihan ditinggal suami dan anak tercinta, kepiluan dalam penjara, kedukaan dalam hidup dapat hilang dan luntur ditelan takbir [Allahu Akbar], tahmid [Alhamdulillah], tasbih [Subhanallah] dan tahlil [Lailaha illallah]. Kebesaran Allah dapat melepaskan diri dari kepiluan, kegetiran, kesedihan untuk ikut bersama-sama merayakan Idul Fithri dengan situasi dan kondisi apa adanya.

Bagi orang yang mengamalkan hasil Ramadhan, tentunya jiwa sosialnya semakin tinggi setelah ditempa selama satu bulan untuk merasakan bagaimana rasanya lapar dan haus, bagaimana rasanya tidak makan sekian jam, apalagi mereka yang tidak menyentuh nasi sekian hari. Sehingga layak dan pantas kalau mereka mengangkat martabat fakir miskin, yatim piatu minimal di hari raya itu sementara takbir berkumandang, bjukan sekedar dengan zakat fithrah 2,5 kg, merdekakan mereka pada hari itu dari rasa sedih dan duka, karena papa dan kesengsaraan dengan mencukupi kebutuhannya sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw..

. Rasulullah pernah terlambat menunaikan shalat Idul Fithri karena berpapasan denan seorang bocah yang bermasalah, pakaiannya kumal, rambutnya kusut dan tidak terurus,”Kenapa kamu menangis sementara teman-temanmu sibuk dengan permainannya, pakaiannyapun bagus-bagus dan di tangannya da kue yang enak, dimana orangtuamu?”.

Anak itu terkejut dengan datangnya seorang lelaki di hadapannya, dia tidak tahu kalau sedang berhadapan dengan Rasulullah,”Bagaimana saya tidak sedih, ayah saya sudah meninggal, ia syahid dalam peperangan mengikuti perintah jihad dari Rasulullah, sedangkan ibu saya sudah menikah lagi, mereka tidak memperhatikan saya...”, Keluhan lirih itu disambut oleh ajakan Rasulullah,”maukah engkau berayahkan Muhammad, beribukan Aisyah, bersaudarakan Fatimah dan bertemankan Hasan?”.

Spontan anak itu menerima tawaran itu, Rasulullah mengantarkan anak itu pulang untuk dimandikan, diberi makan, diberi baju baru dan belanja layaknya seorang anak yang sedang merayakan Idul Fithri.

Diantara gema takbir, Rasulullah telah mengangkat derajat seorang anak sebagai manusia yang mulia dengan penghormatan yang layak tanpa melecehkan keadaannya.

Kemudian seandainya para hartawan dan dermawan islam yang ada di dunia ini mau dan mampu berbuat demikian, maka akan habislah kaum gelandangan, minimal mengurangi jumlah mereka, walaupun mereka dibebaskan pada hari lebaran saja, sudah suatu usaha yang patut dipuji, dalam surat Al Ma’un Allah berfirman,”Adakah engkau ketahui orang yang mendustakan agama ? maka demikian itu adalah orang yang mengusir anak yatim dan tiada menyuruh memberi makan orang miskin”.

Orang yang mengusir anak yatim, dan tiada suka menyantuni orang miskin, dengan memberi makanan atau keperluan mereka adalah masuk golongan orang yang mendustakan hari pembalasan atau agama Allah; meskipun mereka mengaku, ia orang muslim sejati, karena tiadalah faedahnya perkataan itu, jika tiada disertai amal kebaikan.

Diantara gema takbir, terdapat dua golongan manusia yang ikut merayakan Idul Fithri atau Idul Adha, yaitu golongan hartawan dengan segala fasilitas kemewahan, serta golongan miskin yang selalu dalam kekurangan. Mereka ingin diangkat martabatnya dengan uluran tangan dan santunan dari hartawan dan dermawan, karena mereka tahu dibalik harta si kaya ada haknya yang harus dikeluarkan untuk mereka.

Biarkan takbir berlalu dengan gema dan kumandang yang Agung selama rintihan mereka dapat terobati, pengaduan mereka terjawab,kemiskinan mereka walaupun sejenak terlupakan. Derajat dan martabat merekapun terentaskan, wallahu a’lam [Majalah Serial Khutbah Jum’at Jakarta no. 153/ Maret 1994].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar