Minggu, 17 Juni 2012

Renungan Hari Ke 25 Ramadhan

MENJAGA ENAM KESUCIAN

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Mendekati lebaran ini, saya masih ingat dengan sikap ibu [Alm] yang mempersiapkan masakan terlezat untuk anaknya, sambil mengaduk adonan masakan beriringan pula tetesan airmatanya turun membasahi bumi, tidak ada yang mampu untuk menegurnya karena semakin disapa tangisnya semakin menjadi, adik-adik dan kakak-kakak saya sudah maklum saja, karena masakan terlezat yang beliau buat untuk anak-anak tercinta tidak semuanya mencicipi, ada anak-anak yang jauh darinya, kesedihan itu menandakan bagaimana rindunya beliau agar dalam bulan Ramadhan dan hari raya semua anak-anaknya berkumpul bersama tapi hal itu sulit untuk bisa terjadi karena kesibukan masing-masing, hanya saling mendoakan semoga semuanya mendapat rahmat dari Allah walaupun berjauhan, semakin masuk saat Idul Fitri semakin kangen dengan orang-orang yang kita cintai, anak merindui ayah dan bundanya, ayah dan ibu merindukan anak-anaknya, semua itu terjadi secara sunnatullah.

Duapuluh lima hari berpuasa berarti tinggal lima atau empat hari lagi kita merayakan Idul Fithri yang menandakan bulan Ramadhan telah usai, tinggal kenangan dan kesan yang mendalam bagi orang-orang yang berpuasa yang hasilnya dipertaruhkan di hadapan Allah untuk diperhitungkan apakah ibadah Ramadhanya mendapat pahala atau sia-sia, untuk itu kita harus menjaga hasil Ramadhan itu agar tetap suci hingga datang lagi Ramadhan berikutnya.

Tanpa terasa bulan Ramadhan akan berakhir, rasanya belum lama kita mengawalinya, kini kita akan mengakhirinya diiringi dengan gema takbir yang berkumandang sejak berbuka terakhir hingga khatib menyampaikan khutbahnya pada shalat Idul Fithri. Suasana ini sangat dinantikan seluruh keluarga muslim dimanapun mereka berada dengan persiapan yang kadangkala diluar kemampuannya. Semuanya ditampakkan serba baru, sejak dari hidangan, pakaian, rumah hingga bila mungkin isteri dan suami yang baru.

Ada dua kebahagiaan yang akan dirasakan orang-orang yang berpuasa dan saat bertemu Allah di akherat nanti. Tapi yang merayakan Idul Fithri tidaklah semua orang yang berpuasa. Bahkan mereka yang paling antusias merayakannya. Dengan kegiatan ini dia merasakan sudah cukup menjadi seorang muslim yang berpuasa walaupun tidak tuntas menunaikannya. Dalam hatinya dia berkata,”Saya gagal di hadapan mereka yang meraih kemenangannya”

.

Suatu kegembiraan bagi orang rantau bila mereka bisa hadir di kampung halaman merayakan Idul Fithri. Karena disamping hari besar dan libur juga saat yang tepat menjalin kembali silaturahmi, memupuk ukhuwah islamiyyah diantara kalangan keluarga dan sejawat. Salah satu kewajiban mukmin menyambut Idul Fithri ialah menyambutnya dengan senang hati dan gembira. Tidak takut dan cemas apalagi sebatas faktor ekonomi. Bahkan ada di sebuah Provinsi, waktu memasuki Idul Fithri ini angka perceraian meningkat, banyak terjadi runtuh rumah tangga karena mengaitkan Idul Fithri dengan kemewahan sehingga tidak terjangkau oleh kantong keluarga. Walaupun ada kemampuan untuk itu, sebaiknya kita menahan diri untuk tetap dapat hidup sederhana.

Hal negatif yang terjadi pada hari raya ini adalah melibatkan kegiatan akhir Ramadhan dengan datang ke kuburan dengan maksud ziarah. Islam membenarkan ziarah itu dalam rangak zikrul maut [mengingat kematian] yang tidak ada kegiatan syirik di dalamnya seperti menaburkan bunga ke makam, membakar kemenyan dan mendoa kepada orang yang sudah meninggal, semua praktek itu berasal dari tradisi,”Hai anakku janganlah engkau menserikatkan Allah karena syirik itu adalah kezhaliman yang besar” [31;13].

Suasana inipun dimeriahkan dengan saling memaafkan antara satu dengan lainnya, baik kesalahan yang disengaja atau tidak, besar ataupun kecil,”Maafkanlah mereka dan leburkan segala kesalahan. Allah suka kepada orang yang berbuat baik”[5;13]. Inilah saat yang tepat untuk melebur dosa, bukan berarti kita menunggu Idul Fithri saja untuk saling memaafkan. Begitu salah terdapat dalam prilaku kita spontan perbaiki dengan saling memaafkan,”Terdapat tiga sifat akhlak disisi Allah; memberi maaf kepada orang yang berlaku zhalim kepadamu, memberi kepada orang yang sengaja memutuskan pemberiannya kepadamu dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya”[HR.Khatib].

Walaupun demikian saling memaafkan tidak mesti dengan berjabat tangan apalagi antara lawan jenis yang bukan muhrimnya, Aisyah menceritakan,”Rasulullah tidak pernah bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya”.

Ketika kita memasuki Idul Fithri,sering terlontar dari bibir kita ucapan,”Minal aidiina wal faizhiin” yang artinya ”Kita baru saja pulang dari medan perang dalam keadaan menang”, ini adalah budaya Arab yang boleh saja kita ucapkan, tapi ada yang lebih baik dari itu, ucapan ini bersumber dari Rasulullah,”Taqabbalallahu minna waminkum” maksudnya semoga Allah akan membalasi ibadah saya dan anda. Sebagai muslim tentu kita lebih baik memakai ucapan dan tingkah laku yang berasal dari Rasulullah,”Sungguh dalam pribadi Rasul itu ada contoh teladan yang baik bagimu”[33;21].

Ada baiknya berakhirnya bulan ini lalu kita masuki Idul Fithri, kita dapat dikatakan orang yang suci dari dosa ibarat anak yang dilahirkan oleh ibunya. Tapi negatifnya adalah saat itu masjid dan surau sunyi tak ada jamaahnya, masjid mulai lapang dan lengang lagi, padahal tidak demikian seharusnya. Ramadhan ibarat mobil yang butuh waktu istirahat demi awetnya kendaraan tersebut. Demikian pula fisik atau organ tubuh kita butuh istirahat, minimal satu bulan dalam satu tahun sehingga setelah itu dia siap lagi bekerja lebih keras lagi. Itulah waktu yang tepat yaitu Idul Fithri.

Sudah sering sebenarnya kita merayakan Idul Fithri dari tahun ke tahun. Tapi kepribadian kita tidak mencerminkan seorang muslimpun. Kenapa satu bulan kita ditempa dengan kegiatan prima seperti shaum, shalat, tahajud dan lain-lain tapi tidak tampak bekasnya ? padahal Ramadhan adalah bulan tarbiyyah [pendidikan] yaitu bulan untuk membina kader-kader bangsa yang istiqamah. Hari raya ini cendrung dihiasi dengan kemewahan dan kemubaziran dengan menyediakan makanan, minuman dan apa saja untuk tamu yang datang serta pengeluaran lainnya yang tidak memperhatikan skala prioritas. Bukan berarti kita tidak boleh menyediakan serba baru, hakekat Idul Fithri tersebut adalah kembali kepada fithrah [kesucian] yang ditindaklanjuti sebelas bulan berikutnya. Gema takbir sudah berkumandang, akhir Ramadhan kita masuki untuk menyongsong Ramadhan tahun yang akan datang, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang 14122001].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar