Minggu, 13 Mei 2012

Hijrah


Oleh Mukhlis Denros

Hijrah ke Madinah adalah peristiwa besar yang dialami ummat Islam dimasa Rasulullah setelah mengalami dua kali hijrah ke Ethiofia dan ke Thaif. Peristiwaini disamping wahyu dari Allah juga sebagai taktik strategi dalam perjuangan menegakkan agama Allah.

Dalam setiap perjuangan selalu memakai strategi dan taktik. Strategi merupakan induk sedang taktik laksana anak. Setiap taktik yang dilakukan tidak boleh terlepas dari strategi. Sikap hijrah yang dilakukan Rasulullah itu, walaupun sepintas lalu kelihatan sebagai satu taktik, tapi pada hakekatnya dalam rangka satu strategi yang menyeluruh.

Ada kalanya dalam suatu perjuangan, terutama tatkala timbul satu situasi yang amat sulit, harus menentukan pilihan sementara waktu mundur, tapi tidak melepas strategi. Dengan mundur sebagai taktik ialah karena memperhitungkan pihak lawan pada saat itu mempunyai kekuatan yang dapat menguasai, sedang pihak sendiri yakin terhadap kebenaran yang dipertahankan dan kepalsuan yang hendak dipertahankan oleh pihak lawan.

Dengan sikap mundur, hijrah atau menyingkir berarti sementara menerima kenyataan tentang keunggulan lawan, tapi dengan sikap itu terjamin kesinambungan dan kelanjutan pembangunan. Sikap yang pertama taktis, sedang sikap yang kedua strategis, apalagi berkenaan dengan sikap hijrah Rasulullah itu, seperti yang diterangkan di atas, sudah ada green ligh atau lampu hijau dari Penguasa Tunggal.

Hijrah ke Madinah meninggalkan kampung halaman, bercerai berai dengan keluarga, harta benda tinggal, berbekal sekedar saja demi mengikuti perintah Allah adalah sikap terpuji yang membedakan orang yang mengaku beriman tapi tidak hijrah, tempat mereka mulia disisi Allah dengan kemenangan besar, At Taubah 9;20-21 Allah memfirmankan, ”Orang-orang yang beriman dan berhijrah di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya disisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal”.

Ada sebagian pendapat yang mengatakan keberangkatan Nabi dan pengikutnya menyingkir ke Madinah menunjukkan sikap penakut dan lemah, sepintas pendapat ini benar tapi dibantah dengan tiga alasan;

Pertama; bahwa Nabi hijrah ke Madinah setelah beliau berda’wah dan berjuang di Mekkah selama hampir 13 tahun. Seandainya Nabi hijrah lantaran takut itu, niscaya beliau tidak dapat bertahan di Mekkah sekian lamanya. Justru dari sini kita dapat melihat betapa Nabi memiliki ketabahan dan keberanian yang sangat mengagumkan.

Kedua; sebelum Nabi hijrah ke Madinah terlebih dahulu beliau memerintahkan kepada para sahabatnya untuk meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Oleh karena itu, secara diam-diam kaum muslimin baik perorangan maupun berombongan meninggalkan Kota Mekkah itu. Dengan demikian hijrah Nabi dan kaum muslimin merupakan taktik strategi perjuangan bukan karena ketakutan.

Ketiga; barangkali ada yang bertanya kalau Nabi memang seorang pemberani, mengapa beliau hijrah dengan cara diam-diam dan bersembunyi di gua Tsur ? Nabi memang hijrah secara diam-diam dan bersembunyi, bahkan ditemani oleh sahabat Abu Bakar. Cara yang ditempuh Nabi seperti ini memberi pelajaran kepada kita bahwa sikap hati-hati dan waspada adalah suatu yang sangat penting dalam suatu perjuangan.

Sebenarnya di hati ummat Islam tidak ada sedikitpun rasa takut kepada kafir Quraisy, terbukti dengan keberanian ummat mengorbankan jiwa raga asal tetap dalam keimanan sehingga segala siksa dan derita yang dilakukan oleh kafir Quraisy mereka hadapi. Dengan iman yang ada timbul keberanian untuk menghadapi resiko hidup, bagaimanapun kerasnya tetap dihadapi walaupun harus menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki, yang dikala malam dingin menusuk ke tulang, saat siang di atas Matahari menghantam panasnya ke tubuh mereka sedangkan di bawah pasir membakar telapak kaki, kadangkala sebelum sampai ke tujuan maut telah menjemput, bukankah ini suatu keberanian ? Islam tidak menghendaki ummatnya lemah dan takut, kematian yang menjemput dalam perjalanan hijrah mendapat perhatian besar dari Allah, An Nisa 4;100 menjelaskan;
”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian kematian menimpanya [sebelum sampai tujuan] maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Keberanian ini timbul karena tempaan iman yang begitu matang sehingga ada orang yang mungkin memiliki persediaan semangat yang lemah, tetapi karena ditempa dan digembleng, maka persediaan yang sedikit itu menjadi efektif malahan kuat. Demikian juga kecerdasan dapat dibina dan dikembangkan melalui pendidikan dan latihan keterampilan.

Kekuatan sebagai fadilah difahamkan dari pelbagai dalil dalam Al Qur’an antara lain;
”Dan janganlah kalian bersifat lemah dan janganlah kalian berduka cita karena kalian lebih mulia jika memang kalian beriman” [Ali Imran 3;139].

Dari dalil itu pula difahamkan bahwa sikap lemah termasuk dalam sifat dan sikap tercela sebagaimana digambarkan dalam ayat lain;”Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh malaikat ketika mereka menganiaya diri mereka sendiri, ditanya malaikat, ”Bagaimana keadaanmu?” mereka mengatakan, ”Kami adalah orang-orang yang lemah di muka bumi”. Kata malaikat, ”Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian boleh berpindah ke mana-mana ?”. Maka tempat orang-orang itu adalah neraka jahanam dan itulah tempat tinggal yang amat buruk”.

Orang yang takut hijrah ke Madinah nanti di akherat disiksa oleh malaikat dalam neraka jahanam sebagaimana surat An Nisa’ 4;97 kecuali orang yang tidak mampu melakukannya dan tidak tahu jalan yang akan dituju.

Pada umumnya orang merantau meninggalkan kampung halaman karena ada yang dituju baik teman, saudara atau keluarga yang sudah berhasil disana, lalu keberaniannya merantau didorong oleh masa depan yang sudah jelas, entah sebagai pedagang, pegawai atau pelajar, walaupun untuk sementara menumpang dengan orang lain, tapi sudah jelas ada tempat bersandar.

Tidak demikian dengan hijrah, belum tahu siapa yang harus dituju, tidak ada keluarga tempat bernaung, entah siapa nanti tempat bersandar. Begitu datang perintah hijrah bayangan hitam mereka singkirkan demi melaksanakan perintah Allah dan menjaga aqidah dari kemurkaan kafir Quraisy. Dr.M. Abdurrahman Baishar menjelaskan bahwa sikap hijrah mengandung suatu mutiara keberanian yang luar biasa menghadapi penderitaan dalam satu perpindahan/ penyingkiran yang penuh kegelapan, yang belum jelas dan terang prosfektif dari depannya. Mereka ridha mengalami penderitaan sebagai akibata dari sikap menyingkir untuk menegakkan agama Allah.

Untuk merintis jalan kebenaran, keberhasilan dan kemenangan manusia harus memiliki keberanian menghadapi tantangan hidup yang begitu keras, jauh dari keramahan sebagaimana hijrah yang dilakukan ummat dimasa Rasulullah, memang pahit dan menderita tapi berbuah manis dan kemenangan [Padang, 23032001].

Hampir selama 13 tahun Nabi Muhammad berjuang di Mekkah untuk meluruskan aqidah ummat agar meninggalkan berhala-berhala pujaan, menyingkirkan watak-watak jahiliyyah yang dapat menyeret manusia kepada peradaban buruk. Namun usaha selama 13 tahun ini tidak banyak membuatkan hasil, hanya beberapa orang saja yang dapat ditempat, digembleng dengan keimanan yang teguh, disamping itu ada yang telah beriman tapi disembunyikan dan ada pula mulai tertarik dengan ajaran islam tapi belum saatnya untuk menyatakan imannya.

Selama gerak da’wah dilakukan Nabi selama itu pula tekanan, tindasan dan halang rintangan dilancarkan kafir Quraisy dengan maksud agar pengaruh ajaran yang dibawa Muhammad jangan menyebar dan menyeluruh ke pelosok penduduk Mekkah sehingga tidak jarang terjadi penyiksaan bahkan pembunuhan dilakkan dengan kejamnya terhadap orang yang tertarik kepada islam. Untuk menyelamatkan iman ummat islam yang telah tumbuh inilah maka dilakukan hijrah yaitu menyingkir dan mundur dari perjuangan untuk menyusun kekuatan baru.

Hijrah pertama tanpa disertai Nabi Muhammad, berlansung pada 615 Masehi [tahun kelima sesudah kerasulan]. Hijrah pertama ini terjadi sesudah Nabi menyaksikan dari hari ke hari intimidasi kaum kafir Quraisy kepada kaum muslimin yang baru tumbuh makin menjadi-jadi. Beberapa sahabat Rasulullah, bahkan ada yang disiksa dan dibunuh. Ketika itulah Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Abesinia [Ethiopia sekarang] yang diperintah oleh Najasi yang ketika itu masih beragama Nasrani.

Hijrah kedua terjadi tidak lama sesudah isteri dan paman nabi, Siti Khadijah dan Abu Thalib meninggal dunia. Merasakan gangguan yang makin menjadi-jadi, Rasulullah pergi ke Thaif, sekitar 60 kilo meter imur laut Mekkah. Di Thaif, Rasulullah melancarkan da’wahnya kepada berbagai kabilah, baik yang hendak berziarah ke Ka’bah maupun kabilah-kabilah setempat.

Ketika intimidasi dari kafir Quraisy semakin gencar dan pengintaian gerak da’wah nabi semakin ketat maka dilakukan hijrah ke Madinah dengan meninggalkan rumah tangga, harta benda dan kehidupan keluarga demi menyelamatkan aqidah, ada yang berpisah dengan anak dan isteri, ada yang harus bercerai dengan ayah dan bunda dan saudaranya, ada yang bercerai dengan kekasih, semua itu bukan penghalang asal iman tetap terpateri dan karena imanlah kehidupan serta kesenangan dunia ditinggalkan.

Iman membutuhkan pembuktian, salah satu diantaranya adalah hijrah, bagi yang kuat melakukannya, tahu jalan ke Madinah, kalau imannya sudah mantap tidak ada pilihan lain selain berangkat, entah untuk berapa lama di rantau orang yang belum tahu bagaimana masa depan disana. Bila mengaku beriman tapi tidak siap memasuki ujian ini maka Allah meletakkan mereka pada derajat yang rendah kecuali mereka lemah dan tidak tahu jalan ke Madinah maka ampunan bagi mereka. An Nisa’ 4;98-99 yang artinya, ”Kecuali mereka yang teriandas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.

Ujian pertama yang dihadapi adalah melepaskan segala kesenangan dan keterikatan kepada kampung halaman [Mekkah] berupa kesenangan harta benda, pergaulan dan kecintaan. Bila ini dapat diatasi akan menghadapi ujian berikutnya yaitu perjalanan panjang yang melelahkan, belum lagi dihadang oleh kafir Quraisy, begitu diketahui mereka terpaksa digiring kembali ke Mekkah, disiksa bahkan nyaris dibunuh.

Dalam perjalanan ini tiada tempat berteduh selain padang pasir tandus, panas menyengat dikala siang hari, dingin mencekam dikala malam, belum lagi habisnya bekal dalam perjalanan dan penderitaan lainnya yang akan dialami bahkan nyawapun terancam. Tapi ini adalah ujian iman untuk membuktikan kesungguhan dalam beragama dan kecintaan kepada Allah.

Bukti kecintaan ummat kepada Allah yaitu siap menghadapi ujiannya dan bukti kecintaan Allah kepada hamba-Nya ditaburi ujian hidup sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al Baqarah 2;214 yang artinya, ”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncang dengan bermacam-macam cobaan...”

Tatkala Rasulullah akan meninggal Mekkah, di suatu tempat yang bernama Hazawwarah, di luar kota Mekkah, nabi berdiri sebentar menatap kota yang akan ditinggalkannya dan berdo’a kepada Rabbul Jalali, ”Demi Allah, sesungguhnya engkau, ya Mekkah adalah satu bumi yang palng aku cintai dan dicintai Allah. Demi Allah, kalau tidaklah karena aku di usir dari bumi Mu dalam keadaan terpaksa, pastilah aku tidak akan keluar”.

Akhirnya untuk mendapat restu Ilahi menghadap hari depan Rasulullah dan para sahabat, beliau selanjutnya memohon do’a, ”Ya Ilahi kobarkanlah rasa cinta yang mendalam dalam hati kami kepada kota Madinah,seperti kecintaan kami kepada Mekkah, atau lebih lagi. Ya Allah, sehatkanlah udaranya bagi kami, kurniakanlah berkah segala makanannya untuk kami dan singkirkanlah jauh-jauh segala penyakitnya, dan jadikanlah serasi untuk diri kamu”.

Sekelumit kisah yang dialami sahabat ketika mereka ikut hijrah ke Madinah, adalah Abu Dzar Al Ghifari, sahabat nabi yang mahir berdagang, ketika hijrah ke Madinah, para Muhajirin disaudarakan oleh Rasul dengan kaum Anshar, persaudaraan itu diujudkan dengan penyerahan sesuatu untuk membantu mereka, ada Anshar yang punya sawah dan ladang lebih dari satu maka dia serahkan kepada sahabat Muhajirin, ada yang punya ternak onta, sapi dan domba juga dibagi untuk saudaranya, hanya Abu Dzar yang tidak mau menerima pemberian itu walaupun halal, dia hanya bertanya, tunjukkan kepadaku dimana pasar, setelah tahu pasar, dia bertindak sebagai makelar untuk menjualkan onta, sapi atau domba orang, dari hasil itu dia mendapat komisi. Komisi yang diterimapun bukan berupa dinar dan dirham tapi dia hanya meminta tali ternak yang dijual itu saja. Hal itu berlansung sekian bulan sehingga menumpuklah tali-tali itu sampai menggunung. Tali itu dijualnya sampai bisa membeli seekor dua ekor ternak sampai dia jadi kaya raya dari hasil penjualan ternak yang ditekuninya, itulah aktivitas sahabat yang satu ini, dia bisa punya ternak dari keahliannya berdagang.

Kisah lain adalah tentang onta Rasulullah, sesampai Hijrah di Madinah, para sahabat Anshar memegang tali onta itu sambil berharap agar onta itu mau berhenti di rumah mereka, Rasul menghentikan keinginan sahabat itu sambil menyatakan, biarkan dia memilih tempat yang disukainya, tanpa disangka onta itu berhenti di depan rumah seorang anak yatim, tanah itu dibebaskan dan di bangun masjid disana yang kita kenal dengan masjid Nabawi.

Hijrah tidaklah sama dengan merantau walaupun pada intinya hijrah itu perjalanan merantau karena hijrah mengemban misi untuk kepentingan agama, menyebarkan fikrah islam dan menyelamatkan iman serta memperteguh keimanan. Kalaulah hal itu yang dibawa oleh perantau maka luar biasa perannya dalam mengemban risalah da'wah ini, tapi sayang motivasi merantau hanya semata-mata melepaskan diri dari himpitan ekonomi sebagaimana kebiasaan orang Minangkabau yang menjadikan rantau sebagai tempat mengadu nasib.

Merantau itu sudah menjadi darah daging, tidak saja sekarang malahan sejak nenek moyang kita dahulu. Kita tidak perlu terlena kalau ditengok di berbagai kota besar dan kecil di seluruh persada nusantara ini, bahkan sampai keluar negeri, pokoknya setiap sudut ada orang Minang.

Konon kabarnya, kalau orang Minang pergi merantau, bodoh atau bingungnya hanya satu minggu. Hal tersebut dapat kita buktikan, seperti di Kota Jakarta atau lainnya, banyak kita jumpai orang Minang berdagang di kaki lima, pepatah Minang juga mengatakan,”Bialah tanduak takubang, asalkan sungu ka makan”[biarlah suara habis bersorak, asalkan perut kenyang], setelah bersorak di kaki lima agak seminggu sampai sebulan akhirnya membuka kios, dari kios menjadi toko, bahkan sampai pedagang besar.

Tidak hanya masalah pedagang, kendatikan di rantau mereka bekerja di suatu instansi pemerintah, lama kelamaan akhirnya kembali ke daerah, ilmu yang didapat dirantau mereka terapkan di ranah minang. Berbagai faktor pendorong yang menjadi urang awak pergi merantau, disamping menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan ada juga panggilan rohani atau bakatnya untuk melanglang buana. Faktor meningkatkan nilai diri salah satunya dengan merantau, bahwa orang yang tidak pernah merantau bagi masyarakat pada umumnya dianggap rendah dan hina, disini faktor harga diri yang banyak menghanyutkan putra Minang ke rantau.

Pada saat di awal keberangkatan atau katakanlah pada saat persiapan segala sesuatunya untuk bekal di negeri orang, maka tidak jarang pula para orangtua dan mamak di Minang memberikan petuah atau nasehatnya seperti sebait pantun ini, ”Elok-elok manyubarang, jan sampai titian patah, elok-elok di rantau urang, jan sampai babuek salah”.

Pantun di atas sarat dengan nilai adat dan agama sebagai bekal seorang calon perantau melangkahkan kakinya meninggalkan kampung halaman. Sikap berhati-hati di rantau harus dijaga jangan sampai melakukan kesalahan. Kesalahan seorang Minang di rantau sama artinya merusak nama seluruh Minangkabau,sebait pantun lain berbunyi, ”Hiu beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu, kawan cara sanakpun cari, induk semang cari dahulu”. Artinya sesampai di rantau seorang Minang berprinsip famili bukan satu tujuan, lebih diutamakan ialah majikan atau pekerjaan. Boleh jadi keluarga tempat menetap tapi hanya dalam waktu sementara, untuk itulah pemuda Minangkabau mau dan mampu bekerja apa saja asal jangan membebani keluarga di rantau.

Bagi seorang pemuda Minang yang mewarisi sifat perantau nenek moyangnya itu, sangat memperhatikan petuah-petuah tersebut, sehingga malam dibuat untuk bantal dan siang dibuat untuk tongkat, maksudnya segala macam nasehat baik itu akan tetap dipegang teguh pada setiap saat baik siang maupun malam hari. Bekal lain yang diberikan orangtua atau mamak ketika melepas anak atau kemenakannya merantau adalah sebuah ungkapan manis yang padat dengan nilai-nilai yang harus dijadikan suluh dalam perjalanan yaitu,”Laut sati rantau batuah” dari ungkapan ini mengandung arti yang dalam.

”Laut sati” adalah bahwa kadangkala daerah atau rantau yang ditempuh itu bukanlah kota bebas, namun ada beberapa aturan atau pantangan yang harus dihindari atau batasan yang tidak boleh dilanggar. Sedangkan ”Rantau batuah” itu hampir mirip pengertiannya bahwa rantau/negeri orang itu selalu mempunyai keistimewaan buat daerahnya. Jadi antara saru daerah/negeri itu tidaklah sama adat kebiasaannya dengan daerah lainnya, sehingga kalau memasuki daerah orang, kita harus mempelajari terlebih dahulu adat kebiasaan masyarakatnya dan tidak berbuat sekehendak hati saja.

Setiap perantau yang berada jauh di negeri orang, meninggalkan sanak keluarganya dan kampung halaman,walaupun demikian warnanya sebagai orang Minang tidak akan berubah. Dimana dan kemanapun putra Minang merantau, berinteraksi dengan suku apapun dan berbaur dengan berbagai lapisan sosial masyarakat, dalam perputaran zaman dan pengaruh situasi maka warna Minang tidak pernah luntur. Seorang putra Minang boleh saja lahir di rantau, dibesarkan dan dididik di lingkungan perantauan, pun halal saja menemukan kehidupan di negeri lain, tapi orang Minang tetap Minang. Bilapun ada bangau yang tidak pulang ke kubangan dan lupa dengan asalnya, ada orang Minang yang luntur ke-Minangannya, itu sungguh suatu pengecualian, sulit mencarinya, barangkali dalam 10.000 perantau Minang hanya seorang yang warna Minangnya jadi luntur, mereka boleh dicap sosok Malin Kundang.

Bagaimanapun hijrah telah berlalu 14 abad yang lalu tapi mutiaranya tetap menggema di hati ummat sampai kapanpun, bukti kemantapan iman pada ummat sampai kapanpun, bukti kemantapan iman pada ummat dizaman kita bukan hijrah fisik sebagaimana yang dilakukan dimasa Rasulullah tapi hijrah hati nurani, iman dituntut pembuktian dengan melaksanakan hukum Allah melalui aktivitas amaliah ibadah.

Tahun baru islam ini seharusnya memberi arti perubahan pada diri setiap kita. Seperti hijrah yang mengubah dan memindahkan. Hidup kita harus berpindah, dari kubangan dosa kepada lautan taubat. Berpindah dari arogansi kerakusan, menuju kejujuran penunaian hak-hak orang. Hidup kita harus berubah, dari yang buruk menuju yang baik. Dari yang usang menuju yang segar. Kesalahan harus ditinggalkan. Kesemrawutan harus ditertibkan.

Tahun baru islam yang diawali dari semangat hijrah harus memberi arti pada dinamika hidup kita. Seperti hijrah yang penuh warna, tantangan, suasana dan harapan. Mekkah yang liat dari petunjuk, mengantarkan orang-orang yang berimannya menuju Madinah yang subur, dinamis, hangat dan sangat bersahabat. Maka seperti Madinah yang lembut, kekerasan di sekitar kita harus kita akhiri. Kekerasan di rumah tangga, saat seorang suami memukuli isteri yang menyiapkan untuknya makanan, melayani, serta mengasuh anak darah dagingnya. Kekerasan para perempuan yang menghinakan harga dirinya, di pentas gaya hidup yang palsu.

Kekerasan di jalanan, saat preman kelas teri menggantungkan nyalinya di ujung belati. Tak ada jiwa kesatria. Tak ada keprajuritan. Kekerasan di pentas politik, saat pemburu-pemburu kekuasaan rajin bersilat lidah dan beradu sogokan. Kekerasan di belantara usaha, saat perampok-perampok lari ke luar negeri. Semua harus dihentikan.
Mungkin ini adalah mimpi, mengharap kekerasan berhenti hanya karena momentum tahun baru ini. Mungkin para pelaku kekerasan itu bahkan seumur hidupnyatak pernah mendengar kata Muharam. Tapi setidaknya bila kita bukan pelaku kekerasan itu, kita bisa belajar, bagaimana sebuah kekerasan mengakhiri kesudahannya. Kita bisa belajar, bahwa jalan kekerasan tak pernah menyelesaikan.

Tahun baru ini harus memberi arti pada pertumbuhan kita. Seperti Madinah yang sigap berkembang. Dalam percepatannya yang mengagumkan. Nyaris tak ada satu rumahpun, kecuali telah ada anggota keluarganya yang masuk Islam. Pertumbuhan dalam hidup adalah kebutuhan. Sebab dengan pertumbuhan itu kita bertahan, pada saat yang sama kita mengarungi tantangan baru dan kesulitan yang terus menerus dating.

Hidup harus dibangun diatas pertumbuhan yang lebih sehat. Mengharapkan kesadaran pertumbuhan dari momentum tahun baru islam, mungkin terlalu berlebihan.. tapi orang-orang yang beriman, setidaknya mengerti bagaimana sebuah pilihan diambil, dengan sepenuh kesadaran. Seperti pilihan hijrah yang diambil orang-orang dimasa itu.

Tahun baru semestinya membuat diri kita lebih berarti, kita melihat, lalu kita tahu, kita menyaksikan, lalu kita memahami. Tapi hanya ketika kita berubah, tumbuh dan dinamis, kita akan menjadi sesuatu, dengan telah beranjak kita kepada tahun baru Hijriyah berarti kita mengangkat kembali konsep hijrah yang diajarkan oleh pendahulu kita yaitu shalafusshaleh, mari kita hijrahkan diri kita;

- Minal jahiliyah ilal islam, dari tatacara hidup jahiliyah kepada kehidupan yang islami.
- Minal kufur ilal iman, dari kehidupan kekafiran kepada keimanan.
- Minal syirik ilal tauhid, dari praktek hidup yang syirik kepada ketauhidan, hanya mengesakan Allah saja.
- Minal bathil ilal haq, dari kebathilan kepada kebenaran.
- Minal ma’siyat ilal thaat, dari pekerjaan yang mengandung dosa kepada ketaatan.
- Minal haram ilal halal, dari praktek hidup yang haram kepada kehidupan yang halal yang penuh berkah, wallahu a'lam [Cubadak Solok, 16 Ramadhan 1431.H/ 26 Ramadhan 2010.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com


H i d u p


Oleh Mukhlis Denros

Ketika Nabi Adam As diturunkan Allah ke dunia ini sebagai Khalifah Allah untuk memakmurkan dunia dengan segala isinya untuk menerapkan nilai-nilai tauhid dalam seluruh asfek kehidupannya, sejak dari anak cucunya sampai akhir zaman. Sepanjang sejarah kehidupan manusia sejak dari lahir hingga alam akherat dapat diidentikasi tentang keberhasilannya sebagai hamba dan khalifah Allah yaitu;

Ada yang mampu mencapai keberhasilan dengan bahagia di dunia tapi gagal di akherat karena seluruh fasilitas hidup yang diberikan kepadanya tidak mampu difungsikan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah. Sebagian manusia ada yang hidupnya di dunia dapat dikatakan hina dipandangan manusia karena tidak punya fasilitas yang diharapkan tapi mereka mulia di akherat sebab pengabdiannya kepada Allah tidak diragukan.

Ada yang mampu meraih bahagia di dunia tapi juga bahagia di akherat, orang ini mampu meraih dua dimensi alam sekaligus karena menjadikan ladang dunia untuk mencapai kampung baqa di akherat, inilah idealnya seorang mukmin, namun tidak sedikit pula manusia yang hina di dunia dan sengsara pula diakherat, seluruh kegagalan dialaminya, sangat prihatin dan menyedihkan posisi orang ini.

Dari empat kriteria manusia diatas maka beruntunglah orang yang dapat meraih keberhasilan dunia dan akherat, paling tidak sebagai muslim kita mampu meraih bahagia di akherat walaupun derita dan kesengsaraan kita rasakan, karena memang kehidupan yang sebenarnya kehidupan adalah akherat bukan dunia, dunia hanya tempat singgah sementara bagi manusia.

Kehadiran manusia di dunia ini tidaklah dibiarkan demikian saja tapi dibekali dengan perlengkapan hidup dan modal untuk menggarap alam ini dengan ikhtiar masing-masing, Allah menciptakan manusia dan Dia mengetahui maslahat dan kebutuhannya, semua itu sebagai modal dasar hadirnya manusia, untuk saling berlomba-lomba mencari keberhasilan dengan prestasi masing-masing, memang Allah tidak menuntut keberhasilan kita, tapi yang dituntut adalah usaha maksimal kita dalam usaha dan bekerja, inilah bekal manusia yang iberikan Allah;

Pertama, Allah menciptakan jasad yang membutuhkan makanan dan minuman, agar jasad tersebut tumbuh dan berkembang sebagaimana ia juga membutuhkan pakaian dan tempat tinggal. Dia menciptakan untuknya akal yang membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan melaksanakan tugas-tugas dan menjadi kewajibannya berupaya memakmurkan bumi sebagai khalifah.

Dengan jasad yang kuat akal yang cerdas manusia dituntut untuk berbuat dan beramal untuk kemaslahatan dirinya dan masyarakat bahkan bumi keseluruhan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah berfirman dalam surat Al A’raf 7;42 ”Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka Itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”

Kedua, Allah memberikan bekal kepada manusia dengan diciptakan-Nya ruh yang membutuhkan petunjuk dan hidayah, agar kehidupan manusia menjadi lurus di dunia dan akherat, karena manusia disebut sebagai manusia bukanlah karena jasadnya tapi karena ruhnya yang terpimpin oleh petunjuk Allah.

Ketiga, perangkat jasad, akal dan ruh saja tidaklah cukup maka kemudian Allah menanggung dan memenuhi seluruh kebutuhan manusia, karena memang manusia tidak memiliki sesuatupun; ”Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.”[Fushilat 41;10] Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.’[Saba’ 35;13]

Keempat, untuk kehidupan manusia di bumi ini perlu adanya rezeki dan Allah menjamin rezeki manusia dan menjadikannya mudah untuk didapat di atas bumi ini. Tidak ada seharusnya bagi seorang muslim rasa was-was dan khawatir tentang rezekinya, yang penting mau berusaha, sedangkan ulat di dalam batu saja selalu diberikan rezeki oleh Allah yang tidak putus-putusnya. Bila Allah menentukan jumlah manusia di dunia ini tiga milyat, tentu Dia menyediakan persediaan rezeki lebih dari itu untuk seumur dunia ini ; ”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan’’[Al Mulk 67;15].

Sebagian orang mengasosiasikan rezeki itu adalah gaji, honor atau hasil usahanya saja yang dapat diukur dengan jumlah materi, semua itu adalah bagian terkecil dari rezeki, makna rezeki itu luas sekali bahkan orang yang tidak punya gaji atau honor dan penghasilan tetap hidup dengan rezeki Allah yang datangnya tidak berpintu.

Kelima, bekal manusia di dunia ini perlu perkembangan dan dinamika hidup sesuai dengan perkembangan masanya, semua itu membutuhkan ilmu pengetahuan. Allah menjamin ilmu pengetahuan yang dibutuhkan akal serta membekali manusia alat dan sarana untuk mendapatkannya,dijelaskan dalam firman Allah surat An Nahl 16;78” Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”


Keenam, manusia tidak bisa hidup tanpa bimbingan wahyu dan petunjuk-Nya, terlalu banyak penyimpangan yang dilakukan manusia bahkan keluar dari eksistensinya sebagai makhluk Allah ketika tidak mengacu kepada petunjuk Allah. Untuk itulah makanya dikirim nabi dan rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia, yang petunjuk tadi tidak sembarangan orang dapat menerimanya sehingga muncullah golongan kafir, fasiq dan zhalim sebagai ujud pembangkangan mereka terhadap petunjuk Allah itu.

Orang yang mampu menerima hidayah tersebut adalah manusia yang punya hati nurani yang disertai rohani yang tunduk kepada kebenaran. Dengan kekuasaannya Allah menjamin hidyah yang dibutuhkan oleh ruh. Maka diutuslah para nabi dan rasul untuk menunjuki jalan yang lurus; ”Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”[An Nahl 16;36].

Demikian banyaknya bekal yang diberikan Allah kepada manusia untuk mengelola, memimpin dan memakmurkan dunia ini dengan segala potensi yang dimiliki, selayaknya manusia tidak mengabaikan nikmat tersebut untuk mencapai keberhasilan hidup di dunia hingga akherat.Semua nikmat yang telah diberikan Allah diatas adalah bekal hidup manusia, agar selalu berjalan di atas rel kebenaran, agar manusia memanfaatkannya dalam rangka beribadah kepada Allah dalam seluruh asfek kehidupan.

Islam bukan sekedar hubungan ubudiyah kepada Allah tapi juga mengatur segala asfek kehidupan, esensi ajaran Islam tidak hanya sekedar dijadikan landasan dasar dan barometer bagi aktivitas-aktivitas ketuhanan yakni yang bersift vertikal, tetapi termasuk juga yang bersifat horizontal, karena agama itu adalah sumber tasyrik dan sumber dari segala sumber hukum. Untuk menjaga kedua hubungan tersebut sehingga tercipta kehidupan hasanah di dunia dan hasanah di akherat maka manusia harus memiliki modal hidup yang baik sebagai individu, masyarakat maupun sebagai hamba dari Khaliq, modal hidup tersebut yaitu Iman, Ilmu, Amal dan Akhlak.

1.Iman
Bila orang hanya memiliki ilmu yang sarat dengan pengetahuan, sehingga derajatnya di hadapan manusia terpandang, beramal banyak dihiasi pula dengan akhlak terpuji tanpa beriman kepada Allah maka kehidupannya akan goyang ibarat sebuah pohon besar yang menjulang ke langit dengan buahnya lebat berguna untuk kehidupan, daunnya rindang dapat sebagai tempat berteduh tapi akarnya tidak kuat tentu saja dalam waktu singkat pohon itu akan rubuh.

Ilmu tanpa dilandasi dengan iman akan mencetak manusia pintar perusak karena ilmunya digunakan untuk kehancuran dan pemikirannya cendrung mendewakan akal. Amal usaha manusia sebagaimanapun banyaknya tidak akan dinilai Allah sebagai pahala karena Allah hanya akan membalas perbuatan orang beriman. Orang yang berbuat sesuatu tanpa dilandasi iman akan berbuat dengan motivasi di luar tuntunan agama, karena kebiasaan , memberi bantuan karena hiba atau mengharapkan balasan. Akhlak yang tidak dilandasi dengan iman bukanlah akhlak, dia disebut dengan moral,etika, susila atau kata lain yang sebangsa itu.

Akhlak adalah tuntunan kehidupan yang datang dari wahyu Allah dengan teladan Nabi Muhammad Saw, berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, kehadirannya bagi seorang muslim adalah pencerminan dari iman sehingga mustahil seseorang yang tidak beriman akan mampu berakhlak sebagaimana orang-orang yang beriman kepada Allah.

Iman merupakan modal dasar dari hidup; berapa banyak manusia yang mampu bertahan menghadapi gelombang kehidupan ini karena masih mempunyai iman, dan tidak sedikit manusia lari dari kehidupan dengan meninggalkan eksistensi dirinya sebagaimana seorang Profesor bernama Paul Fahrenfest; seorang intelek, ia berasal dari keluarga yang baik-baik, ia telah mendapat pelajaran dan didikan yang teratur menurut cara didikan yang sebaik-baiknya. Otaknya yang amat tajam itu telah menukik menggali rahasia ilmu yang dapat dicapai oleh manusia dizamannya pula…tak pernah terdengar ia melakukan sesuatu pekerjaan yang tercela, pergaulannya selalu dengan orang baik-baik pula,akhlaknya baik penyayang dan disayangi

Kenapakah sekarang ia melakukan sesuatu perbuatan yang lebih buas dan ganas sifatnya dari perbuatan seorang penjahat, membunuh anak sendiri, dan setelah membunuh dirinya pula. Perbuatan yang dilakukan Profesor Paul Fahrenfest dengan membunuh diri bukan karena kurang ilmu atau sedikit amal dan bukan pula tidak bermoral, dia disenangi dalam pergaulan lagi terhormat, bunuh diri yang dilakukannya karena imannya tidak ada, rohaninya kosong, jiwanya hampa dari petunjuk.

2.Ilmu
Seseorang mungkin saja memiliki iman yang kuat bak kuatnya karang di tengah lautan, amalnya banyak, akhlaknya juga terpuji tapi tidak berilmu maka kehidupannya akan senjang. Islam mengharapkan pemeluknya agar mencari ilmu yang baik untuk kehidupan akherat maupun dalam kehidupan di dunia ini sebagaimana yang tergambar dalam hadits Nabi Saw, “Jadilah engkau orang yang mengajar, atau orang yang belajar, atau orang yang mendengar atau orang yang cintai kepada ilmu dan jangan jadi orang yang kelima maka celaka kamu”. Buya M. Natsir dalam bukunya Capita Selecta menyebutkan bahwa mengajarkan kepada seseorang yang hendak menjadi seorang muslim atau muslimah beberapa hal:
a. Agama Islam menghormati akal manusia, meletakkan akal pada tempat yang terhormat, menyuruh manusia mempergunakan akal itu untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam.
b. Agama Islam mewajibkan tiap-tiap pemeluknya, lelaki dan perempuan menuntut ilmu dan menghormati mereka yang mempunyai ilmu.
c. Agama Islam melarang orang bertaqlid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama, atau dari ibu bapak dan nenek moyang sekalipun.
d. Agama Islam menggembirakan pemeluknya supaya selalu berusaha mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh, membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat kepada masyarakat.
e. Agama Islam menggemarkan pemeluknya supaya selalu berusaha pergi meninggalkan kampung dan halaman, berjalan ke negeri lain, memperkembangkan silaturahim dengan bangsa dan golongan lain, saling bertukar pengetahuan, pandangan-pandangan dan perasaan.

Orang yang telah mampu beriman yang kuat, beramal yang banyak serta berakhlak terpuji tanpa memiliki ilmunya yaitu ilmu agama maka nilainya kurang, bahkan orang tidak akan mampu menaklukkan dunia tanpa ada ilmu sebagai penunjangnya.

3.Amal
Beriman, berilmu, berakhlak tapi tidak ada amal maka terasa kurang dalam hidup ini, seperti pohon besar yang tumbuh kuat tapi tidak berbuah walaupun bermanfaat namun minimal sekali fungsinya, jangankan untuk orang lain sedangkan untuk diri sendnri kurang.
Kehidupan dunia hanya sementara, segala kemegahan yang diraih akan hancur bila masanya sampai sedangkan kehidupan akherat dapat ditempuh hanya dengan amal bukan karena pangkat atau derajat yang diperoleh di dunia. Amal adalah persiapan, pembela dan penyelamat kehidupan di akherat, walaupun kita dapat meraih kesenangan di dunia dengan maksimal tapi berapa lamakah kesenangan itu dirasakan, palinglama 60 tahun, setelah itu mau kemana ?

4.Akhlak
Iman, ilmu, amal tak ada akhlak maka rusaklah kehidupan manusia. Iman yang rusak bila tidak ada akhlak, ilmu mencelakakan kalau tidak berakhlak. Amal akan sia-sia bila akhlak bejat. Akhlak merupakan kesempurnaan iman. Iman yang sempurna akan melahirkan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain bahwa kerendahan akhlak adalah manifestasi dari pada kesempurnaan iman. Sebaliknya tidaklah dipandang orang itu beriman dengan sungguh-sungguh jika akhlaknya buruk. Dalam hubungan ini Abu Hurairah meriwayatkan penegasan Rasulullah, ”Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya”[Turmuzi].

Manusia memang tidak minta hidup di dunia tapi Allahlah menjadikannya untuk hidup sehingga segala arah pemikiran, perasaan, ucapan, tingkah laku dan asfek kehidupan manusia harus pula berpolakan aturan Allah agar kehidupan yang pasti dilalui yaitu dunia dan akherat dapat diselesaikan sesuai dengan konsep tata aturan Allah. Untuk menyelamatkan kehidupan itulah manusia harus memiliki modal yaitu iman, ilmu, amal dan akhlak. Hidup berilmu, berama dan berakhlak tapi tidak ada iman akan menemukan kebinasaan baik di dunia maupun di akherat. Hidup beriman, beramal dan berakhlak tanpa adanya ilmu maka akan senjang, dalam menempuh dunia akan meraba dan memasuki akherat tak tahu jalan. Hidup mempunyai iman, ilmu, dan akhlak tapi tidak beramal maka ibarat pohon tidak berbuah. Hidup dengan iman, ilmu, amal tapi tanpa akhlak akan menemukan kerusakan.

Sebagai manusia yang diberi nikmat oleh Allah dengan berbagai karunia-Nya selayaknya kita bersyukur, apalagi jumlah nikmat itu tidak terkira,bahkan Allah menyatakan bahwa dikala manusia mencoba untuk menghitung jumlah nikmat yang diberikan-Nya maka sungguh tidak akan terhitung, sejak dari bangun tidur sampai kita tidur lagi, apalagi sejak lahir hingga wafat. Kita tidak akan bisa menghitung sudah berapa fasilitas hidup yang diterima dari Allah, maka nikmat hidup, kemerdekaan dan nikmat iman adalah nikmat yang besar yang perlu disyukuri. Salah satu wujud syukur itu adalah agar kita hidup berprestasi di dunia ini.

Sebagian ummat manusia terlalu sibuk dengan urusan duniawi sehingga mereka lupa bahwa mereka harus mempersiapkan bekal untuk di hari akhirat nanti. Apa yang akan kita bawa menghadap Ilahi Rabbi di kampung akherat kelak. Diperlukan kesadaran diri tentang bekal menuju hari akhir tersebut yaitu iman dan amal shaleh dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah melalui sejumlah aktivitas ibadah.

Bagi seorang muslim, yang dimaksud dengan ibadah itu bukan hanya ibadah khusus semisal shalat, puasa, zakat dan haji saja, semua kegiatan muslim yang mengacu kepada tiga hal dapat dikategorikan dengan ibadah. Pertama kegiatan ini diniatkan karena Allah semata dengan istilah ikhlas atau Lillah. Kedua manhaj yakni sistim atau cara beraktivitas itu mengacu kepada apa yang diicontohkan Allah melalui Rasul-Nya dengan istilah Ittibaur rasul, dan yang ketiga tujuan ibadah itu hanya mencari ridha Allah semata, walaupun mendapatkan ridha yang lain.

Imam Al Ghazali suatu ketika pernah berkata,”Barangsiapa yang mencari dunia semata maka ia akan menemukan dunia itu, tapi barangsiapa yang mencari akhirat maka ia akan mendapatkankan dunia dan akherat”, kegiatan apa saja yang menyeleweng dari salah satunya atau semuanya bukanlah ibadah walaupun lahirnya nampak ibadah, seperti menunaikan ibadah haji dalam rangka mencari ridha tetangga, atau semata-mata karena politik, maka ini bukanlah ibadah tapi malah dapat dikategorikan dengan maksiat kepada Allah.

Rasa tanggungjawab adalah kewajiban seorang pemimpin, bahkan Umar bin Khattab menyatakan, ”Seandainya ada keledai yang terperosok diperjalanan maka itu adalah tanggungjawabku kenapa tidak memperbaiki jalan untuknya”, Khalifah yang satu ini luar biasa wujud tanggungjawabnya terealisasi kepada rakyatnya, tapi dia juga menghabiskan waktu di depan Allah dengan munajad, do’a, shalat malam, tilawah qur’an, shaum sunnah yang intinya menenggelamkan diri dengan taqarrub kepada Khaliqnya. Demikian pula terujd kepada seorang Gubernur yang dihujat oleh rakyatnya karena tidak mau mengurus mereka di malam hari, maka disidangkanlah Gubernur ini di Madinah di hadapan Umar bin Khattab. Dengan penuh wibawa dia menjawab, ”Waktu saya untuk mengurus rakyat disiang hari, sedangkan malam hari adalah waktu saya untuk Allah”, sikap Gubernur ini dibenarkan oleh Umar, biar sibuk mengurus rakyat tapi tidak lupa mengisi rohani dengan ibadah kepada-Nya.

Dengan hidup ini kita memang dituntut untuk berprestasi, baik prestasi amaliyah dunia apalagi aktivitas untuk akherat. Dalam surat 103 Allah menjelaskan ”Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan yang berwasiat dengan kebenaran dan berwasiat dengan kesabaran”. Dari sekian tahun yang diberikan Allah untuk hidup dengan segala aktivitasnya perlu diisi hanya dengan tiga hal, pertama isilah waktu kita untuk meningkatkan kualitas iman dengan berbagai kegiatan. Kedua kita berkewajiban mengisi waktu hidup ini dengan amaliyah ibadah shalih yang idealnya memang banyak dan berkualitas, yaitu ibadah yang jauh dari syirik, bid’wah, kurafat dan tahyul sebagaimana yang dipesankan Rasul kita, ”Barangsiapa yang beribadah tidak sesuai dengan sistim yang kami ajarkan maka dia tertolak, dan mukmin yang baik itu adalah yang menggunakan waktunya seefisien mungkin”, Nabi Muhammad adalah orang yang sibuk mengurus rakyatnya, tapi dari segi ibadah tak ada diantara sahabat yang mampu menandinginya apalagi kita.

Ketiga, kita tidak termasuk orang yang merugi sebagaimana disinyalir-Nya bila waktu kita gunakan untuk berda’wah dengan metode menanamkan kebenaran dan kesabaran kepada ummat ini. Da’wah bukanlah sebatas tabligh tapi pembinaan terhadap ummat, walaupun seorang ulama sudah puluhan tahun berceramah, jika tidak membina ummat maka rugilah dia....sebagaimana sabda Rasul, ”Siapa yang karena dia seseorang memperoleh hidayah maka lebih baik dari pada dunia dengan segala isinya”. Disini tergambar bahwa da’wah mengandalkan kualitas bukan kuantitas saja. Silahkan kita sibuk dengan segala aktivitas dan urusan masyarakat, tapi jangan sampai diperbudak oleh kesibukan sehingga lupa untuk membina anak isteri untuk mengenal Allah, shalat terabaikan, mendalami agama tidak ada waktu. Sudahkah kita ummat yang berprestasi dalam hidup ? jawabannya terpulang kepada diri kita masing-masing. [Cubadak Solok, 19 Ramadhan 1431.H/ 29 Agustus 2010.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com


G u r u


Oleh Mukhlis Denros

Dengan penampilan yang sederhana, saya melihat seorang lelaki bersahaja berjalan melangkahkan kakinya menuju kelas sambil memeluk sebeban buku sebagai referensi, hari ini dia akan menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya dengan harapan para murid itu kelak tampil sebagai pemimpin membawa kapal besar Indonesia ini menuju kearah yang lebih baik, mencapai kemerdekaan yang sebenarnya merdeka dari segala belenggu penjajahan dan perbudakan yang menghempaskan manusia kepada kehinaan, dengan pendidikanlah dia berupaya meretas masa depan anak negeri agar pintar, baik dan pintar dengan bekal ilmu pengetahuan. Itulah penampilan sebagian besar guru-guru kita sejak dari ujung desa hingga kota besar.

Kekaguman terhadap guru itulah yang mendorong saya punya cita-cita kelak menjadi seorang guru. Hal itu dapat dirasakan sekian puluh tahun sebagai guru, susah dan senang, sakit dan pedih, pahit dan getir sebagai guru sudah saya rasakan, sejak sebagai guru mengaji pada sebuah madrasah, sebagai guru tingkat sekolah dasar, sltp, slta hingga menjadi seorang dokter. Walaupun perjalanan jauh sudah pernah ditempuh dengan berhujan dan berpanas, berjalan kaki hingga naik motor butut semuanya dilakukan hanya satu tekad untuk berhadapan dengan murid, guna transfer ilmu dan kepribadian.

Pendidik atau guru ialah orang yang memikul tanggungjawab untuk mendidik. Pada umumnya jika kita mendengar istilah pendidik akan terbayang di depan kita seorang manusia dewasa. Dan sesungguhnya yang kita maksud dengan pendidik adalah hanya manusia dewasa yang akan melaksanakan kewajibannya tentang pendidikan siterdidik.

Kalau kita hanya berpegang kepada istilah membimbing atau menolong seperti disebutkan dalam definisi pendidikan, maka orang akan dapat berkata bahwa seorang anakpun dapat menjadi pendidik karena ia dapat menolong anak lainnya. Namun demikian kita harus mengingat pula bahwa pendidikan itu hanya menolong, tetapi menolong dengan sadar, dengan maksud menuju tujuan pendidikan.

Kalau seorang anak menolong anak lainnya, tidaklah ada intensi [maksud] pada si penolong untuk menghubungkan tindakannya itu dengan tujuan pendidikan. Sampai disini saja gugurlah julukan pendidik pada anak penolong tadi.

Kalau ditinjau dari segi pertanggungjawaban, maka orang dewasa yang mendidik memikul pertanggungjawaban terhadap anak didiknya, sedangkan sipenolong kecil itu belumlah demikian. Jelaslah kiranya bahwa si penolong kecil itu belum dapat disebut pendidik dalam arti sesungguhnya, jadi pendidik itu adalah orang dewasa yang kita sebut dengan guru, menjadi gurupun tidak sembarang guru tapi guru yang punya profesi sebagai pendidik hingga profesional di bidang pendidikan yang digelutinya.
Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti
Dan kata profesional bukan hanya kata baku yang diperuntukkan bagi mereka yang kerja dikantoran. Bekerja di dalam ruang berAC, memakai kemeja, jas mahal, celana bahan bagi laki-lakinya, atau memakai blazer, rok mini, berkutat dengan orang-orang penting yang biasa disebut dengan istilah “meeting”. Tidak! kata professional berlaku untuk setiap profesi. Termasuk guru.
Guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Bila ia tak punya keahlian menjadi guru maka tidak dapat disebut sebagai guru. Oleh karnanya tidak semua orang bisa menjadi guru.[ Menjadi Guru Profesional, Nessa Morena].

Salah satu syarat guru profesional ialah sebagaimana yang diungkapkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara; Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso, tutwuri handayani, berarti keberadaannya pada semua sisi sangat diperlukan dalam rangka membawa manusia junior dengan bekal ilmu pengetahuan serta kepribadian yang luhur, sehingga akan tercetak manusia pintar lagi baik.

Untuk menjadi pintar sebagai sasaran sangatlah mudah yaitu suapi saja anak didik dengan berbagai ilmu pengetahuan, ini adalah bidang garap dari pengajaran, fokusny adalah otak. Sedangkan untuk menjadi manusia baik sangat sulit karena sasarannya adalah hati, bagian ini wewenang dari pendidikan. Anak yang pintar belum tentu baik karena dia tidak dididik, hatinya tidak diperhalus, keteladanan tidak diberikan. Anak yang baik bukan jaminan pula untuk pintar karena pengajaran yang diberikan kepadanya kurang.

Apalah artinya kepintaran kalau tidak baik karena akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan pola kehidupan. Pada satu sisi dia banyak mempunyai ilmu pengetahuan tapi pada sudut lain dia tidak dapat menghargai karya orang lain, meremehkan guru, tidak santun kepada orangtua atau tindakan lainnya.

Tugas guru bukan pada intelektualitasnya saja tetapi lebih jauh kepada kepribadiannya, baik dan pintar, otak dan hati sasarannya. Untuk menjadi pintar telah banyak usaha guru dikerahkan dalam bentuk transpormasi dan transfer ilmu pengetahuan, lugasnya pengalihan ilmu kepada murid berlansung dengan berbagai kegiatan formal sepanjang mengarah kepada otak atau keterampilan. Sudah banyak jasa guru dalam mencetak kader bangsa yang berkualitas, baik level daerah sampai tingkat internasional.

Dengan demikian berarti kehadiran guru yang berkualitas sangat diperlukan dalam mencetak kader bangsa disamping pintar juga baik. Dr. Zakiah Drajat sangat menekankan sekali agar seorang guru memiliki kepribadian. Faktor erpenting bagi seorang guru ialah kepribadiannya, kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia kembali menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, atau akan jadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.

Apa yang dimaksud dengan kepribadian ? dalam uraian kita tidak akan membicarakan arti atau batasan kepribadian secara teori, akan tetapi akan mencoba memahami berbagai unsur kepribadian yang dapat dilihat atau dipahami dengan mudah. Orang awam dengan mudah mengatakan bahwa seseorang itu punya kepribadian yang baik, kuat dan menyenangkan. Sedangkan ada pula orang lain dikatakan mempunyai kepribadian lemah atau buruk dan sebagainya.

Kepribadian sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan asfek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.

Guru yang goncang atau tidak stabil emosinya, misalnya mudah cemas, penakut, pemarah, penyedih dan pemurung. Anak didik akan terombang-ambing di bawah arus emosi guru yang goncang tersebut, tidak menyenangkan bagi anak didik, karena mereka seringkali merasa tidak dimengerti oleh guru. Kegoncangan perasaan anak didik itu akan menyebabkan kurangnya kemampuannya untuk menerima dan memahami pelajaran, sebab konsentrasi fikirannya diganggu oleh perasaannya yang goncang karena melihat atau menghadapi guru yang goncang tadi.

Guru yang pemarah atau keras, akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat tumbuh dan berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan derita atau ketegangan dalam hati anak, jika ia sering menderita oleh seorang guru, maka guru tersebut akan dijauhi agar dapat menghindari derita yang mungkin terjadi.

Hari ini kondisi kita jauh lebih maju daripada saat kita menyatakan merdeka. Saat republik berdiri, angka buta hurufnya 95 persen. Saya membayangkan betapa berat beban para pemimpin republik muda yang rakyatnya tidak mampu menulis, meski hanya menuliskan namanya sendiri. Hari ini, angka buta huruf itu tinggal 8 persen.

Melek huruf adalah langkah awal. Langkah berikutnya adalah akses ke pendidikan berkualitas bagi tiap anak sebagai kunci mengonversi keterbelakangan jadi kemajuan. Garda terdepan dalam soal ini adalah guru. Di balik perdebatan yang rumit dan panjang soal pendidikan, berdiri para guru. Mereka bersahaja, berdiri di depan anak didiknya; mendidik, merangsang, dan menginspirasi. Dalam impitan tekanan ekonomi, guru tetap hadir untuk anak Indonesia. Hati mereka bergetar setiap melihat anak-anak itu menjadi "orang". Pada pundak guru, kita titipkan persiapan masa depan republik ini.

Sekarang kita menghadapi masalah variasi kualitas dan distribusi guru. Menghadapi masalah itu, kita bisa berkeluh kesah, menyalahkan, dan mengkritik. Tapi, kita juga bisa singsingkan lengan baju dan berbuat sesuatu. Saya sedang mengajak semua untuk turun tangan. Melibatkan diri dalam mempersiapkan masa depan republik; menyiapkan masa depan anak-anak negeri dan melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Saya dan banyak kawan seide kini sedang mengembangkan program Indonesia Mengajar, sebuah inisiatif dengan misi ganda: Pertama, mengisi kekurangan guru berkualitas di sekolah dasar, terutama di daerah terpencil; dan kedua menyiapkan anak muda terdidik untuk jadi pemimpin masa depan yang memiliki kedekatan dengan rakyat kecil di pelosok negeri. [Guru Sebagai Garda Depan Indonesia, Anies Baswedan]
Puluhan tahun silam menjadi guru sangat sulit karena diukur dari kualitas dan prestasi, pengabdiannya dibanggakan, ilmunya diterima, akhirnya dijadikan sebagai teladan dalam hidup bermasyarakat. Tapi kini akibat terlalu banyaknya tampil guru-guruan dalam arti menyandang predikat guru bukan berangkat dari niat yang ikhlas serta minat yang mendasar lagi luhur. Hal ini menjadikan guru yang tidak terlibat didalamnya yaitu guru betul-betul guru dengan segala atributnya ikut tercemar.

Pameo lama,”Guru kencing berdiri murid kencing berlari” nampaknya masih sering dianut masyarakat kita, betapa tidak kalau murid melakukan adalahkesalahan dalam masyarakat orang akan berkata,”Pantas saja demikian karena gurunya juga begitu”. Sebenarnya hal ini ditujukan kepada salah seorang guru yang tidak disenangi, guru yang tidak berkualitas, guru yang tidak punya wibawa. Demikian kerasnya penilaian masyarakat kepada manusia yang disebut sebagai guru.

Guru, digugu dan ditiru, walaupun telah usang istilah ini masih relefan dengan dunia pendidikan sampai kapanpun, karena sebagai teladan lansung bagi murid, baik di kelas maupun dalam aktivitas masyarakat luas. Pamor itu akan pudar, julukan itu akan hambar di telinga kalau kita masih mendapati beberapa guru yang penampilannya tidak layak sebagai guru seperti berambut gondrong, ngebut di jalan, minum di kaki lima sambil berdiri pakai tangan kiri pula, berjudi, mabuk-mabukan, menggandeng gadis sembarangan atau gurau tawa dengan sesama teman yang menjurus kepada porno, minta rokok, atau boncengan dengan murid.

Nampaknya hal di atas adalah manusiawi dan wajar di lakukan oleh siapa pun tetapi masyarakat tidak menghendaki hal itu di lakukan oleh guru, karena dia adalah cerminan masyarakat yang harus di ikuti segala langkahnya.

Tugas guru bukan pada intelektualitasnya saja tetapi lebih jauh kepada kepribadiannya, baik dan pintar, otak dan hati sasarannya. Untuk menjadi pintar telah banyak usaha guru dikerahkan dalam bentuk transpormasi dan transfer ilmu pengetahuan, lugasnya pengalihan ilmu kepada murid berlansung dengan berbagai kegiatan formal sepanjang mengarah kepada otak atau keterampilan. Sudah banyak jasa guru dalam mencetak kader bangsa yang berkualitas, baik level daerah sampai tingkat internasional.

Dengan demikian berarti kehadiran guru yang berkualitas sangat diperlukan dalam mencetak kader bangsa disamping pintar juga baik. Dr. Zakiah Drajat sangat menekankan sekali agar seorang guru memiliki kepribadian. Faktor terpenting bagi seorang guru ialah kepribadiannya, kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia kembali menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, atau akan jadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.

Demikian besarnya peran seorang guru dalam mendidik muridnya menjadi pemimpin dimasa yang akan datang, dikerahkan segala potensinya untuk itu, patut kiranya dihargai dan dihormati selayaknya seorang guru, sehingga wajar bila Ali bin Abi Thalib menyatakan; "Aku adalah hamba bagi seorang guru yang telah mengajarku walaupun hanya satu huruf, jika ia menghendaki menjualnya, juallah aku, jika ia menghendaki memerdekakannya merdekakanlah aku, dan jika ia menghendaki menjadikan aku seorang budak, jadikanlah aku seorang budak".

Nabi Muhammad Saw bersabda; "Siapa saja yang mengajarkan seorang hamba sebuah ayat saja dari kitab Allah, maka ia menjadi tuannya [menguasainya]".

Kesuksesan seorang guru sehingga menjadi figur yang membanggakan muridnya, sampai kapanpun murid tidak akan lupa dengan gurunya walaupun sang guru tidak tahu lagi siapa dan sudah berapa murid yang menerima pelajaran dan teladan darinya. Sekedar mengajar saja mungkin tidak begitu sulit tapi menampilkan keteladan akan lebih lama bersemayam pada anak didik, keteladananlah yang akan membawa keberhasilan seorang guru. Guru pada hakekatnya juga seorang ulama yang berkewajiban untuk menerangi kehidupan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan kampung akherat yang menyenangkan.

Suatu ketika Hasan Al Bisyri didatangi oleh para budak, mereka mengharapkan agar beliau besok jum’at berkenan menyampaikan khutbah tentang pembebasan budak dan keutamaannya. Mereka sangat antusias sekali akan merdeka bila mendengar fatwa sang ulama sekaliber Hasan Al Bisyri. Dua dan tiga minggu, dua dan tiga bulan hingga mendekati setahun belum juga terdengar fatwa itu, walaupun sang ulama sudah sering pula menyampaikan khutbah dengan tema lain. Tepat satu tahun permohonan pada budak itu dikabulkan oleh Hasan Al Bisyri dengan berapi-api disambut dengan kesadaran oleh para tuan untuk memerdekakan budaknya.

Tentu saja para budak bertanya, kenapa sekarang mereka bisa merdeka ? tidak setahun yang lalu ? sang ulama kharismatik itu menjawab,”Ketika kalian datang kepadaku pertama kali tentang itu, aku tidak berdaya dan tidak mampu menyampaikannya. Sekaranglah baru saya punya uang, tadi pagi saya sudah memerdekakan seorang budak”, itulah sebuah keteladanan yang dicontohkan oleh ulama kita dahulu.

Dunia ini akan indah, baik dan selamat bila para guru dan ulamanya mengajarkan ilmunya dan dia juga mengamalkan ilmunya itu, siap tampil sebagai teladan dengan akhlak terpuji. Para nabi dan rasulpun tampil ke dunia ini berperan sebagai guru bagi ummatnya bahkan sebelum mereka menjadi seorang guru dan rasul maka sang nabi tadi harus berguru dulu dengan guru lain, artinya di atas langit ada langit, sebagaimana kisah nabi Musa yang harus berperan sebagai murid sebelum menjadi guru di komunitasnya.

Nabi Musa pernah ditanya oleh muridnya tentang orang yang paling pintar saat itu, maka dia menjawab bahwa dialah orang yang paling pintar. Tidak begitu lama Allah menegur Musa bahwa masih ada hamba Allah yang lebih pintar daripadanya. Musa bermaksud mencari orang tersebut dengan muridnya yang bernama Yusa' bin Nun. Pertemuan Musa dengan orang yang dimaksud terjadi dipertemuan dua lautan, dua lautan tersebut ada perbedaan pendapat ulama adalah laut Arab dan laut Merah, laut Tengah dan laut Atlantik dan ada yang mengatakan Laut asin dan laut Tawar [muara sungai Nil].

Dengan berbekal seadanya di tengah perjalanan mereka makan lalu ikan mereka yang tinggal sebelah melompat ke laut, Musa yakin bahwa inilah tempat yang dikatakan Allah, akhirnya Musa bertemu dengan orang yang dicari, orang yang dimaksud ialah nabi Khidir, sang guru mulai mengajar muridnya dengan metodenya.
Nabi Khidir mengajukan syarat belajar itu diantaranya adalah sabar sedangkan Khidir mengetahui karakter Musa adalah seorang pemuda yang tidak sanggup berlaku sabar; " Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Aku, Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati Aku sebagai orang yang sabar, dan Aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".[18;67-69]

Karena tekad yang luar biasa untuk mendapatkan ilmu dari orang yang lebih pintar dari dia, Musa berjanji akan siap untuk sabar selama menuntut ilmu;

Syarat kedua dalam menuntut ilmu adalah tidak banyak bertanya selama pelajaran sedang berlansung apalagi belum dijelaskan maksud dari pelajaran itu; "Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai Aku sendiri menerangkannya kepadamu".[18;70]

Ketika perjalanan mencari ilmu sedang berlansung, tiba-tiba Khidir melubangi perahu sehingga mengundang protes dari Musa, dari peristiwa itu kembali Khidir menuntut kesabaran dari muridnya; "Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu Telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar" "Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah Aku Telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku, Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum Aku Karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani Aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".[18;71-73]

Akhirnya Khidir memaklumi sikap Musa dan menerima sikapnya yang lupa untuk berlaku sabar, namun tiba-tiba kembali Musa dikagetkan pada peristiwa diluar kewajaran, Kidhir membunuh anak kecil yang tidak berdosa, hal itu memancing kembali kemarahan Musa yang tidak sabar melihat peristiwa itu; "Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan Karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu Telah melakukan suatu yang mungkar, "Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"Musa berkata: "Jika Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan Aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku"[18;74-76]

Musa berjanji kesalahan kedua ini dapat dimaafkan, bila terjadi lagi maka dia siap menerima sangsi apapun yang diberikan sang guru, sehingga perjalananpun berlanjut terus hingga sampai pada sebuah kampung, di dalam kampung itu ada rumah yang sudah roboh, Khidir mengajak Musa untuk memperbaikinya Kembali Musa memprotes dengan mengajukan usul kepada Khidir atas kejadian yang mereka alami; Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".[18;77]

Sudah tiga kali kesabaran Musa diuji dan kenyataannya memang dia tidak mampu bersabar dalam perjalanan itu, sesuai dengan janjinya bahwa kalau dia sudah tiga kali mendapat teguran dari guru maka Musa siap untuk diberi sangsi atas kesalahannya itu, Khidir lansung memberikan vonis untuk berpisah hari itu juga, tapi sebelum berpisah Khidir memberikan kesempatan kepada Musa untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dibalik itu, dengan seksama Musa menerima ilmu yang selama ini belum pernah dia peroleh;

Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara Aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya, dapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera itu, Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah Aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya"[18;78-82]

Seorang guru memang harus lebih dari muridnya pada segi ilmu sehingga membuat simpati serta kagum murid kepada muridnya, itulah makanya guru itu adalah orang-orang yang diharapkan banyak ilmu dan pengamalannya, kuat imannya dan tidak sedikit amal shaleh yang dimiliki, semakin tinggi kedudukannya di mata manusia karena bergelar guru, dosen, profesor atau serenceng gelar lain yang menunjukkan prestasi dan prestisenya sebagai guru, hal itu tidak menyilaukannya, karena bagaimanapun dia adalah hamba yang mendapat gelar pahlawan tapi tanpa tanda jasa walaupun banyak jasa dan pengabdiannya untuk membebaskan manusia dari kebodohan, tak banyak pintanya dari waktu ke waktu, beri peluang untuk mengajar, mendidik anak bangsa ini walaupun tak sebanding imbalan yang diterima dibanding dengan pengabdian, guru tetaplah guru walaupun muridmu sudah jadi orang besar memimpin bangsa ini, wallahu a'lam [Cubadak Solok, Ramadhan 1431.H/ Agustus 2010.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com


Generasi


Oleh Mukhlis Denros

Diantara janji Allah yang disebutkan dalam Al Qur'an yaitu bahwa ummat islam ini adalah ummat yang terbaik dibandingkan ummat-ummat lainnya; "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" [Ali Imran 3;110].

Dari ayat diatas Allah menyatakan bahwa ummat terbaik itu adalah ummat islam, padahal kenyataannya sejak zaman dahulu seperti ketika kita dizaman Belanda, dalam penjajahan yang lamanya 350 tahun demikian pula negara-negar islam lainnya dalam jajahan bangsa lain, kinipun ummat islam selalu ditindas seperti di Bosnia, Kashmir, Moro, Pattani dan Palestina. Dengan kenyataan ini apakah janji Alalh itu tidak tepat sehingga dimana-mana ummat islam selalu dihina dan dianiaya? Padahal diunkapkan dalam beberapa ayat tentang kepastian janji Allah; " Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah" [Fathir 35;5]

"Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu itu pasti terjadi" [Al Mursalat 77;7]

Ada kemungkinan Allah belum menepati janji-Nya karena kesalahan ummat islam sendiri, tidak mau menagih janji itu dan tidak mau berbuat yang maksimal untuk menggapai jani itu, namun demikian Rasulullah mempunyai sebuah prediksi tentang akan munculnya generasi terbaik itu sebagaimana sabda beliau berikut ini;

"Sebaik-baik generasi adalah pada abadku, kemudian abad yang berikutnya, kemudian yang berikutnya, kemudian setelah itu akan ada satu kaum yang maju menjadi saksi walaupun tidak diminta, dan berkhianat tidak amanah, kalau bernazar tidak menepati, dan tampak mereka itu gemuk badan dan besar perutnya" [HR. Bukhari dan Muslim]

Dari hadits diatas tergambar bahwa generasi terbaik itu adalah selama 300 tahun yaitu selama tiga abad;

1.Hidup pada masa nabi dan sahabat
Inilah generasi pertama yang beriman dan mengamalkan islam dengan baik, mereka bergaul dengan Rasul, berjihad bersama nabi dan mengembangkan da'wah islamiyyah hingga ke pelosok dunia, generasi ini berlansung selama satu abad yaitu seratus tahun. Diantara sahabat nabi yang tercantum dalam sejarah seperti Abu Bakat Ash Shiddik, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Bilal bin Rabah, Mushaib bin Umair, Zaid bin Haritsah dan lain-lain; "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar".[At Taubah 9;100]

2.Generasi Thabi'in
Generasi ini adalah orang-orang yang tidak bertemu dengan nabi tapi mereka bertemu dengan sahabat, mereka menerima islam masih murni sebagaimana dizaman nabi, merekapun siap mengembangkan islam, berjihad dan menegakkan agama Allah, generasi ini berlansung selama seratus tahun.

3.Generasi Thabi'it Thabi'in
Generasi ini adalah orang yang tidak bertemu dengan sahabat tapi mereka bertemu dengan thabi'in, walaupun begitu tidak terasa begitu jauh jaraknya dengan nabi karena semangat islam yang tertanam di hati mereka, iman dan amal mereka masih kuat dan mantap sebagaimana semangat para sahabat dan thabi'in. Generasi ini berlansung selama tigaratus tahun. Setelah tiga ratus tahun berlalu karena panjangnya perjalanan da'wah yang dilalui akan muncul generasi yang rusak tampil ke panggung sejarah dengan karakter;

1.Kaum yang jadi saksi tanpa diminta.
Mereka adalah saksi-saksi palsu, yang siap sebagai saksi walaupun tanpa diminta dan bukan untuk menegakkan keadilan. Pada persidangan yang berlansung adalah yang salah menjadi benar dan yang benar akan dibenamkan dalam penjara, undang-undang seperti sarang laba-laba, banyak ditabrak serangga besar tapi yang terjaring serangga kecil. Pada setiap pengadilan akan terjadi markus, mafia markus, hukum ketika itu dipermainkan oleh para penjual saksi demi segelintir kenikmatan dunia.

2.Orang-orang yang berkhianat
Ketika itu akan ada orang-orang yang berkhianat ketika amanah itu dipercayakan kepadanya padahal Allah memerintahkan kita untuk menjadi orang yang amanat, Firman Allah dalam surat An Nisa 4;58 "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat"

Apalagi seorang pemimpin dia harus mampu mengujudkan amanat ke tengah-tengah ummatnya, bila pemimpin berlaku curang berarti dia telah mengkhianati rakyatnya dan itu belum selesai, dia jadi pemimpin dituntut untuk menegakkan amanah, maka bila dia mengkhianati amanat berarti dia telah mengkhianati Allah; " Dan Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat. jika dia mengazab mereka Karena perbuatan mereka, tentu dia akan menyegerakan azab bagi mereka. tetapi bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab) yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung dari padanya" [Al Kahfi 18;54]

3.Bernazat tapi tidak menepati
Mereka adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu berupa apasaja yang dikehendaki, untuk memantapkan keyakinannya maka mereka bernazar kepada Allah, dikala yang diminta itu diperoleh mereka melupakan untuk menepati nazar tersebut. Walaupun bernazar tidak dilarang dalam islam dan tidak akan merubah taqdir tapi sebaiknya bila bernazar maka bernazarlah yang mungkin bisa dilakukan dan segera menunaikannya selama bernazar menyandarkan kepada keberadaan Allah bukan bernazar kepada yang lain; "Janganlah kalian bernazar, karena sesungguhnya nadzar itu sedikitpun tidak dapat mempengaruhi perubahan taqdir, dan hanyasanya nadzar iru dikeluarkan oleh orang yang pelit" [HR. Muslim dan Turmizi]

4.Badan yang gemuk dan perut yang besar
Ini adalah kecendrungan kehidupan yang senang karena harta dan kemewahan diraih dengan cara apa saja, ini juga gambaran orang-orang yang tamak dan rakus.
Sebuah ungkapan mengatakan, dikala seseorang punya jabatan yang paling rendah, dia hanya mampu berkata, ”Apa makan kita sekarang?”, sudah bisa memilih lauk pauk dan pangan untuk setiap makan, statusnya mulai diperhitungkan orang dengan posisi dan fasilitas yang dimiliki, diapun bertanya lain, ”Makan dimana kita sekarang ?”, tidak puas hanya menikmati masakan isteri tersayang, tapi rumah makan dan restoran silih berganti jadi langganannya, dia sudah bisa memilih rumah makan model apa yang harus dikunjungi untuk pejabat seperti dia.

Bukan itu saja, saat posisi itu betul-betul kuat, titelnya membuat orang takut, jabatannya membuat orang salud, diapun bertindah sewenang-wenang dengan mengatakan, ”Makan siapa kita sekarang?”, tidak masalah walaupun rakyat kecil yang didera oleh kesusahan dan kepedihan hidup jadi sasaran tembaknya. Itulah gambarannya arogansi kekuasaan yang tidak dikendalikan oleh iman, bangsa sendiri dimakan, bila perlu anak kemenakan sendiri ditelan demi kekuasaan.

Dalam surat Ali Imran 3;110 Allah membuka peluang kepada ummat ini untuk menjadi generasi terbaik tanpa pandang waktu dan masanya dengan segala kewajiban yang harus ditunaikan; "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" [Ali Imran 3;110].

Pada ayat diatas tergambar bahwa kalau ingin menjadi ummat dengan generasi terbaik harus ada tiga hal yaitu amar ma'ruf, nahi mungkar dan iman;

1.Beriman Yang Sebenarnya kepada Allah
Keimanan ummat islam baru sebatas dimulut melalui Kartu Tanda Penduduk dan formalitas belaka, padahal iman itu harus diujudkan pada tiga hal yaitu terhunjam di hati nurani, terucapkan melalui lisan dan teraplikasikan melalui amal-amal perbuatan.

Seorang mengaku beriman kepada Allah tidaklah mudah demikian saja ucapan iman dilafadzkan tetapi perlu adalah realisasi atau ujud nyata dari keimanan tersebut. Seharusnya begitu seseorang menyatakan diri sebagai muslim maka harus terjadi pada dirinya celupan atau warna yang sesuai dengan kehendak Allah yaitu aqidah yang salimah, ibadah yang shahihah, salamatul fikrah dan matiinul khuluq [aqidah yang bersih, ibadah yang sehat, pemikiran yang jernih dan akhlak yang baik].
Bila keimanan ummat islam belum lagi yang diharapkan Allah maka sungguh janji Allah tidak akan bisa diraih oleh ummat ini, posisi terbelakang, mundur dan tidak berkembang akan tetap disandang selama iman belum dibenahi.

2.Beramar ma'ruf; mengajak kepada kebaikan
Ketika Rasulullah wafat setelah menyampaikan ajaran islam selama lebih kurang 23 tahun dengan segala suka dan duka dengan segala pengorbanan, maka tanggungjawab da’wah selanjutnya dipikul oleh ummat beliau yang disebut dengan da’i, mubaligh, ustadz atau ulama sebagai penerus estafet perjuangan agama islam. Kewajiban ini dipikul sebagai amanat dari Allah dan Rasulullah yang termaktub dalam Al Qur’an dan Hadts, Allah berfirman; ”Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan berilah nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...” [An Nahl 16;125].

Misi da’wah seorang da’i adalah mengajak seluruh manusia ke jalan kebenaran, tidak dibenarkan seorang da’i mengajak orang kepada organisasinya atau kepartainya, tapi ke jalan Tuhanmu, yaitu jalan Allah. Karakteristik da’wah menyatakan, ”Islamiyyah qabla jam’iyah” artinya da’wah itu berorientasi kepada mengajak orang untuk mengamalkan islam, menjadikan seseorang sebagai pribadi muslim yang militan, mengislamkan dahulu pribadi manusia setelah itu terserah akan ditempatkan diorganisasi atau lembaga mana. sekarang ini terbalik menjadi ”Jam’iyyah qabla islamiyyah” mendahulukan orang untuk masuk ke sebuah organisasi, yayasan atau partai sesuatu, setelah itu baru diberi pelajaran islam, setelah itu baru akan dipaksakan untuk mengamalkan islam, sehingga terkesan organisasi, yayasan dan partai dengan simbol islam tapi jauh dari nilai-nilai islam, karena langkah awalnya telah jauh melenceng dari koridor da’wah.

3.Bernahi mungkar; melarang dari yang mungkar
Untuk mengajak ummat kepada kebaikan sedikit sekali resikonya tapi ketika melarang orang dari perbuatan mungkar jelas ada resikonya tapi hal ini harus dilakukan sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah; "Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah mengubah dengan tangannya, apabila tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah" [HR. Muslim]

Kewajiban kita untuk menjadikan diri kita, keluarga dan masyarakat menjadi generasi terbaik, walaupun kita tidak pernah hidup dizaman nabi tapi kita mendapat tiga kebahagiaan sebagaimana sabda beliau,"Berbahagialah, berbahagialah, berbahagialah bagi orang yang tidak pernah melihatku tapi mereka beriman kepadaku". Tapi bila sebaliknya, kita jauh dari agama ini maka akan muncul generasi lain yang akan menggantikan kita. Sepanjang sejarah kehidupan manusia sudah banyak dicontohkan Allah dalam Al Qur'an tentang hancurnya sebuah generasi seperti kaum 'Ad, Tsamud dan Bani Israel karena mereka mengingkari ajaran Allah; "Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang Telah kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) Telah kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah kami berikan kepadamu, dan kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, Kemudian kami binasakan mereka Karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain" [Al An'am 6;6]

Proses istibdal [penggantian] generasi kepada generasi yang lebih baik, juga akan dialami oleh ummat islam bila melakukan/ bertindak sebagai berikut;

1.Riddah/ murtad
Murtad bukan sebatas meninggalkan islam lalu masuk agama lain, tapi sebenarnya murtad itu memiliki pengertian yang mencakup;
a. I'tikad/ keyakinan; tidak yakin dengan islam
b. Perkataan; ucapan yang jauh dari nilai-nilai islam
c. Prilaku; sikap yang tidak islami
d. Melanggar perintah Allah

" Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui" [Al Maidah 5;54]

Bila kita telah meninggalkan islam sebagian saja berarti kita telah keluar dari tatanan kehidupan islam

2.Meninggalkan jihad
Salah satu jati diri orang yang beriman ialah mujahadah yang disebut juga dengan jihad. Jihad artinya suatu usaha yang sungguh-sungguh dalam urusan dunia baik urusan agama atau urusan dinas yang mengorbankan waktu, tenaga, fikiran dan hartanya untuk jihad fisabilillah. "Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu"[Al Maidah 5;54]

3.Berpaling dari infaq fisabilillah
Nilai lebih manusia dapat berupa harta, ilmu dan kedudukan. Bila si pemilik nilai lebih hanya memperbesar perut dan kesenangannya saja berarti dia telah mengabaikan seruan Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menginginkan harta kekayaan hanya beredar pada satu kaum atau golongan saja, akan tetapi islam memberikan jalan keluarnya yang layak diikuti bagi orang-orang yang telah meyakinkan kebenaran Risalah-Nya. "Ingatlah, kamu Ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini"[Muhammad 47;38]

4.Menyia-nyiakan Shalat
Saat ajal akan menjemput Rasulullah maka ada tiga kata yang beliau ucapkan secara berulang-ulang yaitu Ash Shalat, An Nisa' dan Ummati, artinya shalat, wanita dan ummatku. Shalat disampaikan Rasul dikala ajal menjemput sebuah isyarat agar ummat ini menjaga shalat khususnya yang lima waktu itu, jangan disia-siakan karena letak keislaman seseorang masih terpelihara dikala shalat masih terjaga dan bila shalat telah diabaikan maka diragukan keislaman seseorang.

"Mereka itu adalah orang-orang yang Telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang Telah kami beri petunjuk dan Telah kami pilih. apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan, Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, Maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun" [Maryam 19;58-60]

Demikianlah keberadaan orang-orang beriman di dunia ini, dituntut agar selalu menjaga imannya dalam rangka memakmurkan bumi ini karena memang dunia ini hanya diwariskan kepada orang-orang yang beriman, sehingga dikala kita telah keluar dari garis islam yang lurus, bila kita telah tidak lagi konsisten dan tidak lagi konsekwen terhadap nilai-nilai Ilahi maka Allah akan mengganti kita dengan generasi baru, semoga kita adalah generasi yang menggantikan bukan generasi yang digantikan, itulah makanya nasehat, wasiat dan da'wah harus selalu digelar sejak dari rumah tangga hingga ke masyarakat luas, sebagaimana yang dilakukan oleh Lukmanul Hakim yang mencetak anaknya menjadi negerasi terbaik pada masanya.

Sebagai seorang pendidik yang sangat bijak, nama Lukman Al Hakim tercantum dalam Al Qur'an bahkan butir-butir wasiatnya diabadikan Allah dalam surat Lukman ayat 13-18 diantaranya;

1.Jangan menyekutukan Allah "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

2.Berbuat baik kepada kedua orangtua "Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun"

3.Bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada orangtua "bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu"

4.Berakhlak mulia walaupun orangtua musyrik "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik"

5.Mengikuti jalan orang yang benar "dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.

6.Allah akan membalas segala perbuatan walaupun kecil. " (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

7.Mendirikan shalat "Hai anakku, Dirikanlah shalat"

8.Beramar ma'ruf dan nahi mungkar "dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar"

9.Sabar atas segala yang menimpa "dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

10.Jangan berpaling dari manusia "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)"

11.Jangan angkuh "dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri."

12.Sederhana dalam berjalan "Dan sederhanalah kamu dalam berjalan "

13.Lunakkan bahasa ketika bicara "dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai".

Demikian pentingnya wasiat atau nasehat untuk generasi sebagai pegangan dalam hidupnya kelak, kalau siang dijadikan sebagai tongkat dikala malam dijadikan sebagai suluh, sampai Rasul menyampaikan bahwa "Din Nasihah" agama itu adalah nasehat,wallahu a'lam [Cubadak Solok, 18 Ramadhan 1431.H/ 28 Agustus 2010]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com


T a u b a t


Oleh Mukhlis Denros

Secara umum perbuatan dosa terbagi menjadi dua, yang pertama adalah dosa besar. Rasulullah dalam beberapa haditsnya secara ekspisit menjelaskan sejumlah dosa yang termasuk dalam kategori dosa besar. Seperti syirik, sihir, memakan harta riba, durhaka kepada orangtua, saksi palsu dan sebagainya. Dosa seperti ini, bila sipelaku tidak sempat bertaubat, akan mendatangkan balasan yang berat dan pedih dari Allah SWT. Artinya, taubat dari dosa besar, masih mungkin dilakukan selama yang bersangkutan sungguh-sungguh meninggalkan perkara dosa tersebut.

Disamping dosa besar, ada pula dosa kecil. Umumnya sedikit orang yang memperhatikan dosa kecil ini sebagai suatu kemaksiatan. Padahal ampunan Allah terhadap hamba-Nya yang melakukan dosa, selama tidak dilakukan berulang, lebih besar kemungkinan terkabulnya dibandingkan ampunan terhadap dosa kecil yang dilakukan kembali secara berulang-ulang.

Dosa yang dilakukan dianggap kecil akan menjadi besar oleh Allah, sebaliknya bila dosa dianggap besar, maka ia akan menjadi kecil dalam penilaian Allah, Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya sepertinya ia berada di bawah gunung besar yang ia takut menimpa dirinya. Sementara orang yang banyak dosa itu adalah orang yang melihat dosanya seperti lalat yang ada di hidungnya. Kemudian ia katakan begini [meremehkan].

Anas bin Malik Ra, diriwayatkan oleh Bukhari menyebutkan hadist,”Sesungguhnya kalian akan melakukan suatu amal yang dalam pandangan kalian amalan tersebut lebih kecil dari rambut, sementara kami menganggapnya dizaman Rasulullah sebagai dosa besar”.
Bilal bin Rabah mengatakan,”Jangan memandang kecilnya suatu kemaksiatan, tetapi lihatlah pada kebesaran Zat yang engkau lakukan maksiat terhadap-Nya”.

Kita sering mendengar kata "Dosa" dalam perbincangan sehari-hari, namun pengertiannya adalah; ''Dosa adalah apa yang tergetar di hatimu dan engkau tidak senang kalau orang lain mengetahuinya' [HR.Muslim].

Dosa adalah akibat melanggar larangan Allah baik disengaja ataupun tidak, baik besar ataupun kecil. Larangan Allah yang dilakukan manusia dapat merusak pribadi, keluarga dan masyarakatnya. Ada beberapa akibat berbuat dosa yaitu;

1.Melanggar perjanjian dengan Allah
Sejak dahulu sudah ada perjanjian manusia dengan Allah bahwa mereka akan menjadi hamba yang taat, menyembah Allah dengan segala kemampuan; ''Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",[Al Baqarah 7;172]

Tapi yang namanya perjanjian di alam ruh, sedangkan perjanjian di dunia saja manusia cendrung lupa dan melupakan sehingga terjadilah pelanggaran perjanjian itu yang menyebabkan rusaknya hubungan dengan Allah dan akan menerima kelak akibat pelanggaran itu sebagai dosa yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akherat.

2.Merusak iman
Iman yang terpelihara dengan baik adalah iman yang mampu terjauh dari perbuatan dosa, dosa dapat merusak iman seseorang, Rasulullah bersabda; "Barangsiapa yang berzina atau minum khamar, mencabut Allah akan imannya, sebagaimana seseorang melepaskan bajunya melalui kepalanya" [HR. Thabrani] "Barangsiapa minum arak maka keluarlah iman dari rongga hatinya" [HR. Thabrani]

3.Menjatuhkan martabat manusia
Manusia adalah makhluk Allah yang diberi beberapa kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain. Kelebihan itu diantaranya; manusia adalah makhluk Allah yang terbaik dibandingkan makhluk yang lain; "Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya " [At Tin 95;4]

Manusia adalah makhluk Allah yang termulia dibandingkan makhluk ciptaan Allah yang, kemuliaan itu terbukti diberikan Allah fasilitas untuk hidup di dunia; "Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan" [Al Isra' 17;70]

Manusia adalah makhluk Allah yang dipercaya untuk memegang amanah sehingga keimanan dapat terjaga dengan baik, bila amanah sudah dikhianati karena mencampurkan iman dengan kekafiran dan kenifakan maka akan merendahkan posisi manusia. Posisi yang jatuh kepada kerendahan martabat karena berbuat dosa, akan kembali baik bila bertaubat dengan sungguh-sungguh. "Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima Taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ' [Al Ahzab 33;73]

Manusia adalah makhluk Allah yang tersayang dengan memberikan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kesejahteraan hidupnya. Namun bila perbuatan yang dilarang Allah dilakukan maka posisi ini akan merendahkan derajatnya dihadapan Allah dan masyarakatnya;"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu" [Al Baqarah 2;29]

Manusia adalah makhluk Allah yang pintar, sehingga mampu untuk menaklukkan dunia ini dengan ilmunya itu, walaupun malaikat sudah lama diciptakan tapi mereka harus memberi hormat kepada nabi Adam yang diberikan ilmu pengetahuan sedangkan malaikat tidak mempunyai, demikian pula karena pentingnya ilmu sehingga ayat yang turun pertama kali adalah kata-kata Iqra' yang artinya baca, selidiki, teliti dan kaji ; "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"[Al Baqarah 2;30-31]

Walau status itu diberikan Allah kepada manusia, tapi bila melakukan dosa maka status itu akan direndahkan.... "Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)''[At Tin 95;5]

Ibarat pepatah yang mengatakan "karena nila setitik maka rusaklah susu sebelanga". Artinya kelebihan manusia yang diberikan Allah sehingga mendapat posisi mulia akan hancur bilamana melakukan perbuatan dosa. Rasulullahpun telah berpesan,”Hati-hatilah terhadap dosa kecil, siapa tahu begitu kamu mengerjakan dosa kecil Allah mencatatmu sebagai penduduk neraka selama-lamanya dan hati-hatilah terhadap amal yang kecil, siapa tahu ketika kalian mengerjakan amal yang kecil itu dicatat Allah sebagai penghuni syurga selama-lamanya”.

Walaupun kesalahan, kekeliruan, dosa dan maksiat yang dilakukan manusia, tapi peluang untuk baik masih diberikan oleh Allah melalui taubat dan pensucian diri, Imam Al Gazali membagi pensucian diri kepada empat hal yaitu;

Mensucikan diri dari hadas dan najis dengan jalan thaharah melalui wudhu, mandi atau tayamum sehingga dengan kesucian ini dapat menunaikan ibadah mahdhoh seperti shalat.

Mensucikan diri dari kegiatan mengandung dosa yang dilakukan oleh indra manusia sehingga tangan tidak mudah untuk mencuri dan memukul, kaki tidak ringan untuk menyepak lawan dan sebagainya.

Mensucikan diri dari akhlak tercela seperti sombong, takabur, hasad, dengki dan lain sebagainya sehingga memiliki akhlakul karimah yang dipuji Allah dan disenangi oleh manusia.

Mensucikan diri dari niat yang tidak baik dalam seluruh asfek kehidupan, kesucian ini lebih penting dari segalanya dengan tidak melupakan kesucian lainna. Dalam berbuat manusia dihiasi oleh niat-niat yang sengaja men yimpangkannya dari ikhlas kepada Allah sehingga merusak ibadahnya.

Pada masa dahulupun ummat ini selalu dirongrong oleh segala konspirasi untuk menjauhkan dirinya dari kesucian itu, dalam mesjidpun terjadi usaha penyimpangan aqidah sebagaimana yang tergambar dalam surat At Taubah 9;108 ”Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.”

Berkaitan dengan ayat diatas, memang demikianlah keadaan sahabat Rasulullah, mereka adalah orang yang siap membersihkan dirinya dari segala bentuk kotoran yang melekat di badan dan di hatinya. Masjid yang didirikan oleh Abdullah bin Ubay sebagai tandingan terhadap masjid nabi adalah konspirasi untuk menghancurkan islam yang dimotori oleh para munafiq, pada diri mereka penuh dengan kotoran yang melekat sejak kenabian Muhammad Saw. Sebuah ancaman diberikan Allah agar ummat islam tidak menegakkan shalat di masjid itu, lebih layak mereka shalat di masjid yang didalamnya banyak orang-orang yang mensucikan dirinya, itulah dia masjid Quba, yang landasan pendiriannya karena taqwa; ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Kata ”nasuha” dalam ayat tersebut diatas maksudnya ialah suatu taubat yang memberi nasehat baik pada diri sendiri serta dilakukan dengan ikhlas yang sesungguh-sungguhnya karena mengharapkan keridhaan Allah dan sunyi dari segala macam tujuan dan godaan yang lain-lain.

Perihal keutamaan taubat, maka Allah sendiri sudah menjelaskan dalam firman-Nya; ’’ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.’’ [Al Baqarah 2;222]

Rasulullah juga bersabda,”Seseorang yang bertaubat dari dosanya itu adalah sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa lagi”[HR.Ibnu Majah}. Maka taubat yang sebenarnya menurut pengertian bahasanya ialah kembali, menurut istilah syariat maksudnya ialah kembali kengikuti jalan yang benar dari jalan yang sudah ditempuhnya yang tentunya berupa jalan yang sesat. Sebenarnya terlepas diri dari sesuatu dosa itu bagi setiap manusia tidaklah mungkin sama sekali, sebab hal ini memang sudah merupakan kekurangan manusia.

Hanya saja besar kecilnya kekurangan itu tergantung memang berbeda-beda. Tetapi menurut keasliannya kekurangan demikian itu pasti ada dan tidak dapat dihindari sama sekali, oleh sebab itu Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya saja hatiku dapat juga tergoda sehingga saya harus memohon pengampunan kepada Allah dalam sehari semalam itu sebanyak tujuh puluh kali”[HR.Muslim]

Karena itu Allah sengaja mengaruniakan kemuliaan pada beliau dengan firman-Nya; ”Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang Telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus”[Al Fath 48;2]

Jikalau Rasulullah saja sudah memastikan keadaan dirinya pasti terkena godaan syaitan, konon pula yang lainnya. Jadi tentulah lebih dapat tergoda dan tidak mustahil terkena godaan itu. Taubat itu apabila sudah terkumpul syarat-syaratnya, sudah pasti dan tidak perlu diragukan lagi bahwa taubat yang sedemikian tentu diterima.

Sucikan dosa dengan cucuran air mata untuk membasuh segala kesalahan yang melekat di hati serta panasnya rasa penyesalan batin, maka pastilah hati tadi akan kembali bersih, suci dan mengkilat. Hati yang sudah suci dan bersih dari segala kotoran dan penyakit batin, tentu saja akan diterima, sebagaimana halnya pakaian yang suci dan bersih juga akan digemari oleh siapapun juga, jadi yang penting bagi kita adalah membersihkan dan mensucikan diri dan hati.

Taubat adalah perasaan hati kecil yang merupakan penyesalan atas segala yang telah terjadi, kemudian mengharap ampunan dari Allah SWT dengan menjauhi segala perbuatan dosa, dan selalu berbuat baik. Dengan perbuatan baik inilah, taubat seseorang dan seluruh ketaatannya akan diterima oleh Allah SWT. Barangsiapa yang bertaubat hanya sekedar mengisi kekosongan dan tidak mengerjakan apa-apa yang dicintai oleh Allah, maka dia tidak dikatakan bertaubat, kecuali kalau dia benar-benar kembali kepada Allah dan berusaha melepaskan keterkaitan hati dari mengulangi perbuatan dosa serta menetapkan makna taubat didalamnya sebelum mengucapkan secara lisan, dan membuktikan kesungguhan taubatnya dengan menjauhi segala yang dibenci Allah SWT seraya kembali kepada yang dicintai dan diridhai-Nya.

Taubat memiliki keutamaan bagi orang yang menyadari kesalahannya lalu kembali menjadi orang-orang yang shaleh yang diiringi dengan penyesalan yang mendalam, adapun keutamaannya adalah;
a. Perbuatan yang paling utama;
Taubat kepada Allah adalah perbuatan yang paling utama, oleh karena itu Allah selalu menyeru kepada orang-orang mukmin untuk bertaubat, ”Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beiman supaya kamu beruntung” [An Nur 24;31] dan Allah selalu membuka pintu-pintu taubat bagi hamba-hamba-Nya, ”Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, dan sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Az Zumar;53].

b. Dosanya akan diampuni Allah;
Barangsiapa yang bertaubat dan memohon ampun kepada –Nya, niscaya Allah akan mengampuninya, walaupun dia telah banyak berbuat dosa,”Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menyesatkan dirinya sendiri. Kemudian ingat akan Allah dan memohon ampun atas dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui” [Ali Imran;135]

c. Mendapat rahmat dari Allah
Orang yang bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa yang telah diperbuat, niscaya dia akan selalu mendapat rahmat, perlindungan, barakah dan akan dilapangkan rezekinya serta kebahagiaan hidup di dunia dan akherat, ”Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhannya dan syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, yang mereka kekal di dalamnya dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal” [Ali Imran;136].

d. Hidup akan tentram dan sejahtera
Memohon ampun kepada Allah dengan meninggalkan semua perbuatan-perbuatan dosa, inilah yang menyebabkan hidup tentram dan sejahtera, lahirnya generasi-generasi yang shaleh dan menambah kemuliaan baginya, ”Maka aku katakan kepada mereka, ”Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan kepadamu hujan yang lebat. Dan melimpahkan kepadamu harta dan keturunan, menyediakan untukmu kebun-kebun dan sungai-sungai” [Nuh; 10-12].

e. Tidak ada penghalang dengan Allah
Pintu taubat akan selalu terbuka bagi siapa saja yang menghendaki, dan tidak seorangpun mampu menghalangi rahmat Allah darinya, tidak ada hijab [penghalang] apapun antara dia dengan Tuhannya, ”Kecuali bagi siapa saja yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, niscaya mereka itu akan masuk ke dalam syurga dan tidak disesatkan sedikit juapun. Yaitu syurga Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya sekalipun syurga itu tidak nampak, sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditetapi” [Maryam 60;16].

f. Menyelamatkan dari neraka
Maka taubatlah yang menumbuhkan iman dan amal shaleh, sehingga terealisir pengertiannya secara aktif dan jelas. Taubat juga menyelamatkan orang-orang dari neraka, selain itu juga, tidak menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesesatan,”Akan tetapi mereka itu akan masuk ke dalam syurga dan tidak disesatkan sedikitpun” [Maryam;60].

Adapun yang berhubungan dengan persoalan diterimanya, maka hal itu hendaklah kita serahkan saja kepada Dzat yang hendak menilai hati kita itu, sebab semuanya itu pasti sudah tertulis dan tercatat dengan seterang-terangnya menurut ketentuan sejak zman azzali dahulu yang bagi kita tidak mungkin untuk mengelakkannya, jikalau nyata diterima, maka itulah yang namanya kemenangan atau kebahagiaan sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah dalam surat Asy Syam 91;7-10 ”Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya..

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw, menceritakan, terdapat tiga orang pemuda yang sedang melakukan perjalanan. Ketika hari sudah malam, mereka masuk ke dalam gua dengan maksud untuk menginap di dalam gua satu malam saja. Setelah mereka berada di dalam, tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari puncak bukit itu dan persis menutupi pintu gua. Mereka mencoba mengeluarkan segala tenaga untuk menggeser batu besar itu. Tapi sedikitpun tidak bergerak, sebab memang beratnya bukan imbangan tenaga manusia. Dengan demikian mereka terkurung di dalam gua dan mungkin akan menemui ajalnya.

Pada saat-saat yang kritis itu mereka menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada yang dapat memberikan jalan keluar bagi mereka dari kesulitan itu selain pertolongan Allah semata. Mereka memutuskan untuk berdo’a kepada Allah dengan menyebutkan amalan ikhlas yang pernah dilakukan, secara bergantian ketiganya berdo’a dengan khusyu’ ”Ya Allah aku punya seorang ibu dan bapak yang sudah tua dan aku mempunyai seorang isteri dengan dua orang anak. Tiap pagi saya meninggalkan rumah, menggembalakan kambing, kalau sore aku pulang dengan membawa susu kambing murni yang segar untuk minuman ibu bapakku, isteri dan anak-anakku. Suatu hari ya Allah, ketika aku pulang agak terlambat, kudapati ayah dan ibuku sudah tidur, aku tidak tega mengganggu tidur mereka, sedang isteri dan anak-anakku merengek minta minuman susu itu, tapi tidak aku berikan sebelum ayah dan ibuku minum terlebih dahulu. Ya Allah seandainya yang aku lakukan itu adalah sebuah kebaikan, maka tolonglah keluarkan kami dari gua ini dengan selamat”.

Setelah pemuda yang pertama ini berdo’a, maka batu yang menutupi gua itu bergerak sehingga tamak secercah cahaya keberhasilan, tapi belum bis keluar. Pemuda keduapun berdo’a; ”Ya Allah, aku adalah seorang majikan dari sekian buruh yang bekerja di perkebunanku. Pada suatu hari salah seorang dari mereka pergi tanpa meninggalkan pesan sehingga upahnya belum diambilnya. Gaji buruhku itu aku belikan sepasang kambing yang aku urus dengan baik, sampai berbulan dan bertahun, maka jadilah kambing itu jumlahnya ratusan ekor. Tanpa diduga buruh itu datang lagi untuk meminta upahnya yang belum dibayar dahulu, maka ya Allah aku serahkan seluruh kambing itu kepadanya dengan ikhlas, andaikata ini suatu amal ibadah, mohon lepaskan kami dari bahaya ini”.

Tidak begitu lama batu itupun bergerak semakin lebar, tapi belum bisa dilalui, maka tampillah pemuda ketiga dengan do’anya; ”Ya Allah, aku adalah seorang pemuda yang punya kekasih, kebetulan dia anak pamanku yang cantik. Pada suatu hari aku berdua saja dengannya berjalan-jalan sehingga kami berada pada tempat yang jauh, tidak ada orang lain, kami hanya berdua saja, sehingga timbul syahwaku untuk menggaulinya dan diapun pasrah. Saat aku berada di atasnya untuk melakukan perbuatan nista itu aku sadar dan lari meninggalkannya, sungguh ya Rabbi semua itu karena hidayah-Mu dan aku tidak jadi melakukan perbuatan terkutuk itu, ya Allah bila ini suatu kebaikan maka selamatkanlah kami dari derita ini ”.
Tidak berapa lama sesudah pemuda itu berdo’a secara otomatis batu itu bergulir kencang meninggalkan mulut gua, maka selamatlah mereka dari bencana yang nyaris membunuh ketiganya. Do'a dan permohonan taubat mereka diterima Allah dengan wasilahnya yaitu amal-amal shaleh. Taubat yang berarti penyesalan, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al Baqarah 2;54, ”Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu”. ”Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” [An Nur;31] Taubat yang berarti memberi ampun ,”Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar” [At Taubah;117], wallahu a'lam [Cubadak Solok, 18 Ramadhan 1431.H/ 28 Agustus 2010.M]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com