Minggu, 13 Mei 2012

H i d u p


Oleh Mukhlis Denros

Ketika Nabi Adam As diturunkan Allah ke dunia ini sebagai Khalifah Allah untuk memakmurkan dunia dengan segala isinya untuk menerapkan nilai-nilai tauhid dalam seluruh asfek kehidupannya, sejak dari anak cucunya sampai akhir zaman. Sepanjang sejarah kehidupan manusia sejak dari lahir hingga alam akherat dapat diidentikasi tentang keberhasilannya sebagai hamba dan khalifah Allah yaitu;

Ada yang mampu mencapai keberhasilan dengan bahagia di dunia tapi gagal di akherat karena seluruh fasilitas hidup yang diberikan kepadanya tidak mampu difungsikan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah. Sebagian manusia ada yang hidupnya di dunia dapat dikatakan hina dipandangan manusia karena tidak punya fasilitas yang diharapkan tapi mereka mulia di akherat sebab pengabdiannya kepada Allah tidak diragukan.

Ada yang mampu meraih bahagia di dunia tapi juga bahagia di akherat, orang ini mampu meraih dua dimensi alam sekaligus karena menjadikan ladang dunia untuk mencapai kampung baqa di akherat, inilah idealnya seorang mukmin, namun tidak sedikit pula manusia yang hina di dunia dan sengsara pula diakherat, seluruh kegagalan dialaminya, sangat prihatin dan menyedihkan posisi orang ini.

Dari empat kriteria manusia diatas maka beruntunglah orang yang dapat meraih keberhasilan dunia dan akherat, paling tidak sebagai muslim kita mampu meraih bahagia di akherat walaupun derita dan kesengsaraan kita rasakan, karena memang kehidupan yang sebenarnya kehidupan adalah akherat bukan dunia, dunia hanya tempat singgah sementara bagi manusia.

Kehadiran manusia di dunia ini tidaklah dibiarkan demikian saja tapi dibekali dengan perlengkapan hidup dan modal untuk menggarap alam ini dengan ikhtiar masing-masing, Allah menciptakan manusia dan Dia mengetahui maslahat dan kebutuhannya, semua itu sebagai modal dasar hadirnya manusia, untuk saling berlomba-lomba mencari keberhasilan dengan prestasi masing-masing, memang Allah tidak menuntut keberhasilan kita, tapi yang dituntut adalah usaha maksimal kita dalam usaha dan bekerja, inilah bekal manusia yang iberikan Allah;

Pertama, Allah menciptakan jasad yang membutuhkan makanan dan minuman, agar jasad tersebut tumbuh dan berkembang sebagaimana ia juga membutuhkan pakaian dan tempat tinggal. Dia menciptakan untuknya akal yang membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan melaksanakan tugas-tugas dan menjadi kewajibannya berupaya memakmurkan bumi sebagai khalifah.

Dengan jasad yang kuat akal yang cerdas manusia dituntut untuk berbuat dan beramal untuk kemaslahatan dirinya dan masyarakat bahkan bumi keseluruhan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah berfirman dalam surat Al A’raf 7;42 ”Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka Itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”

Kedua, Allah memberikan bekal kepada manusia dengan diciptakan-Nya ruh yang membutuhkan petunjuk dan hidayah, agar kehidupan manusia menjadi lurus di dunia dan akherat, karena manusia disebut sebagai manusia bukanlah karena jasadnya tapi karena ruhnya yang terpimpin oleh petunjuk Allah.

Ketiga, perangkat jasad, akal dan ruh saja tidaklah cukup maka kemudian Allah menanggung dan memenuhi seluruh kebutuhan manusia, karena memang manusia tidak memiliki sesuatupun; ”Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.”[Fushilat 41;10] Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.’[Saba’ 35;13]

Keempat, untuk kehidupan manusia di bumi ini perlu adanya rezeki dan Allah menjamin rezeki manusia dan menjadikannya mudah untuk didapat di atas bumi ini. Tidak ada seharusnya bagi seorang muslim rasa was-was dan khawatir tentang rezekinya, yang penting mau berusaha, sedangkan ulat di dalam batu saja selalu diberikan rezeki oleh Allah yang tidak putus-putusnya. Bila Allah menentukan jumlah manusia di dunia ini tiga milyat, tentu Dia menyediakan persediaan rezeki lebih dari itu untuk seumur dunia ini ; ”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan’’[Al Mulk 67;15].

Sebagian orang mengasosiasikan rezeki itu adalah gaji, honor atau hasil usahanya saja yang dapat diukur dengan jumlah materi, semua itu adalah bagian terkecil dari rezeki, makna rezeki itu luas sekali bahkan orang yang tidak punya gaji atau honor dan penghasilan tetap hidup dengan rezeki Allah yang datangnya tidak berpintu.

Kelima, bekal manusia di dunia ini perlu perkembangan dan dinamika hidup sesuai dengan perkembangan masanya, semua itu membutuhkan ilmu pengetahuan. Allah menjamin ilmu pengetahuan yang dibutuhkan akal serta membekali manusia alat dan sarana untuk mendapatkannya,dijelaskan dalam firman Allah surat An Nahl 16;78” Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”


Keenam, manusia tidak bisa hidup tanpa bimbingan wahyu dan petunjuk-Nya, terlalu banyak penyimpangan yang dilakukan manusia bahkan keluar dari eksistensinya sebagai makhluk Allah ketika tidak mengacu kepada petunjuk Allah. Untuk itulah makanya dikirim nabi dan rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia, yang petunjuk tadi tidak sembarangan orang dapat menerimanya sehingga muncullah golongan kafir, fasiq dan zhalim sebagai ujud pembangkangan mereka terhadap petunjuk Allah itu.

Orang yang mampu menerima hidayah tersebut adalah manusia yang punya hati nurani yang disertai rohani yang tunduk kepada kebenaran. Dengan kekuasaannya Allah menjamin hidyah yang dibutuhkan oleh ruh. Maka diutuslah para nabi dan rasul untuk menunjuki jalan yang lurus; ”Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”[An Nahl 16;36].

Demikian banyaknya bekal yang diberikan Allah kepada manusia untuk mengelola, memimpin dan memakmurkan dunia ini dengan segala potensi yang dimiliki, selayaknya manusia tidak mengabaikan nikmat tersebut untuk mencapai keberhasilan hidup di dunia hingga akherat.Semua nikmat yang telah diberikan Allah diatas adalah bekal hidup manusia, agar selalu berjalan di atas rel kebenaran, agar manusia memanfaatkannya dalam rangka beribadah kepada Allah dalam seluruh asfek kehidupan.

Islam bukan sekedar hubungan ubudiyah kepada Allah tapi juga mengatur segala asfek kehidupan, esensi ajaran Islam tidak hanya sekedar dijadikan landasan dasar dan barometer bagi aktivitas-aktivitas ketuhanan yakni yang bersift vertikal, tetapi termasuk juga yang bersifat horizontal, karena agama itu adalah sumber tasyrik dan sumber dari segala sumber hukum. Untuk menjaga kedua hubungan tersebut sehingga tercipta kehidupan hasanah di dunia dan hasanah di akherat maka manusia harus memiliki modal hidup yang baik sebagai individu, masyarakat maupun sebagai hamba dari Khaliq, modal hidup tersebut yaitu Iman, Ilmu, Amal dan Akhlak.

1.Iman
Bila orang hanya memiliki ilmu yang sarat dengan pengetahuan, sehingga derajatnya di hadapan manusia terpandang, beramal banyak dihiasi pula dengan akhlak terpuji tanpa beriman kepada Allah maka kehidupannya akan goyang ibarat sebuah pohon besar yang menjulang ke langit dengan buahnya lebat berguna untuk kehidupan, daunnya rindang dapat sebagai tempat berteduh tapi akarnya tidak kuat tentu saja dalam waktu singkat pohon itu akan rubuh.

Ilmu tanpa dilandasi dengan iman akan mencetak manusia pintar perusak karena ilmunya digunakan untuk kehancuran dan pemikirannya cendrung mendewakan akal. Amal usaha manusia sebagaimanapun banyaknya tidak akan dinilai Allah sebagai pahala karena Allah hanya akan membalas perbuatan orang beriman. Orang yang berbuat sesuatu tanpa dilandasi iman akan berbuat dengan motivasi di luar tuntunan agama, karena kebiasaan , memberi bantuan karena hiba atau mengharapkan balasan. Akhlak yang tidak dilandasi dengan iman bukanlah akhlak, dia disebut dengan moral,etika, susila atau kata lain yang sebangsa itu.

Akhlak adalah tuntunan kehidupan yang datang dari wahyu Allah dengan teladan Nabi Muhammad Saw, berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, kehadirannya bagi seorang muslim adalah pencerminan dari iman sehingga mustahil seseorang yang tidak beriman akan mampu berakhlak sebagaimana orang-orang yang beriman kepada Allah.

Iman merupakan modal dasar dari hidup; berapa banyak manusia yang mampu bertahan menghadapi gelombang kehidupan ini karena masih mempunyai iman, dan tidak sedikit manusia lari dari kehidupan dengan meninggalkan eksistensi dirinya sebagaimana seorang Profesor bernama Paul Fahrenfest; seorang intelek, ia berasal dari keluarga yang baik-baik, ia telah mendapat pelajaran dan didikan yang teratur menurut cara didikan yang sebaik-baiknya. Otaknya yang amat tajam itu telah menukik menggali rahasia ilmu yang dapat dicapai oleh manusia dizamannya pula…tak pernah terdengar ia melakukan sesuatu pekerjaan yang tercela, pergaulannya selalu dengan orang baik-baik pula,akhlaknya baik penyayang dan disayangi

Kenapakah sekarang ia melakukan sesuatu perbuatan yang lebih buas dan ganas sifatnya dari perbuatan seorang penjahat, membunuh anak sendiri, dan setelah membunuh dirinya pula. Perbuatan yang dilakukan Profesor Paul Fahrenfest dengan membunuh diri bukan karena kurang ilmu atau sedikit amal dan bukan pula tidak bermoral, dia disenangi dalam pergaulan lagi terhormat, bunuh diri yang dilakukannya karena imannya tidak ada, rohaninya kosong, jiwanya hampa dari petunjuk.

2.Ilmu
Seseorang mungkin saja memiliki iman yang kuat bak kuatnya karang di tengah lautan, amalnya banyak, akhlaknya juga terpuji tapi tidak berilmu maka kehidupannya akan senjang. Islam mengharapkan pemeluknya agar mencari ilmu yang baik untuk kehidupan akherat maupun dalam kehidupan di dunia ini sebagaimana yang tergambar dalam hadits Nabi Saw, “Jadilah engkau orang yang mengajar, atau orang yang belajar, atau orang yang mendengar atau orang yang cintai kepada ilmu dan jangan jadi orang yang kelima maka celaka kamu”. Buya M. Natsir dalam bukunya Capita Selecta menyebutkan bahwa mengajarkan kepada seseorang yang hendak menjadi seorang muslim atau muslimah beberapa hal:
a. Agama Islam menghormati akal manusia, meletakkan akal pada tempat yang terhormat, menyuruh manusia mempergunakan akal itu untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam.
b. Agama Islam mewajibkan tiap-tiap pemeluknya, lelaki dan perempuan menuntut ilmu dan menghormati mereka yang mempunyai ilmu.
c. Agama Islam melarang orang bertaqlid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama, atau dari ibu bapak dan nenek moyang sekalipun.
d. Agama Islam menggembirakan pemeluknya supaya selalu berusaha mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh, membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat kepada masyarakat.
e. Agama Islam menggemarkan pemeluknya supaya selalu berusaha pergi meninggalkan kampung dan halaman, berjalan ke negeri lain, memperkembangkan silaturahim dengan bangsa dan golongan lain, saling bertukar pengetahuan, pandangan-pandangan dan perasaan.

Orang yang telah mampu beriman yang kuat, beramal yang banyak serta berakhlak terpuji tanpa memiliki ilmunya yaitu ilmu agama maka nilainya kurang, bahkan orang tidak akan mampu menaklukkan dunia tanpa ada ilmu sebagai penunjangnya.

3.Amal
Beriman, berilmu, berakhlak tapi tidak ada amal maka terasa kurang dalam hidup ini, seperti pohon besar yang tumbuh kuat tapi tidak berbuah walaupun bermanfaat namun minimal sekali fungsinya, jangankan untuk orang lain sedangkan untuk diri sendnri kurang.
Kehidupan dunia hanya sementara, segala kemegahan yang diraih akan hancur bila masanya sampai sedangkan kehidupan akherat dapat ditempuh hanya dengan amal bukan karena pangkat atau derajat yang diperoleh di dunia. Amal adalah persiapan, pembela dan penyelamat kehidupan di akherat, walaupun kita dapat meraih kesenangan di dunia dengan maksimal tapi berapa lamakah kesenangan itu dirasakan, palinglama 60 tahun, setelah itu mau kemana ?

4.Akhlak
Iman, ilmu, amal tak ada akhlak maka rusaklah kehidupan manusia. Iman yang rusak bila tidak ada akhlak, ilmu mencelakakan kalau tidak berakhlak. Amal akan sia-sia bila akhlak bejat. Akhlak merupakan kesempurnaan iman. Iman yang sempurna akan melahirkan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain bahwa kerendahan akhlak adalah manifestasi dari pada kesempurnaan iman. Sebaliknya tidaklah dipandang orang itu beriman dengan sungguh-sungguh jika akhlaknya buruk. Dalam hubungan ini Abu Hurairah meriwayatkan penegasan Rasulullah, ”Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya”[Turmuzi].

Manusia memang tidak minta hidup di dunia tapi Allahlah menjadikannya untuk hidup sehingga segala arah pemikiran, perasaan, ucapan, tingkah laku dan asfek kehidupan manusia harus pula berpolakan aturan Allah agar kehidupan yang pasti dilalui yaitu dunia dan akherat dapat diselesaikan sesuai dengan konsep tata aturan Allah. Untuk menyelamatkan kehidupan itulah manusia harus memiliki modal yaitu iman, ilmu, amal dan akhlak. Hidup berilmu, berama dan berakhlak tapi tidak ada iman akan menemukan kebinasaan baik di dunia maupun di akherat. Hidup beriman, beramal dan berakhlak tanpa adanya ilmu maka akan senjang, dalam menempuh dunia akan meraba dan memasuki akherat tak tahu jalan. Hidup mempunyai iman, ilmu, dan akhlak tapi tidak beramal maka ibarat pohon tidak berbuah. Hidup dengan iman, ilmu, amal tapi tanpa akhlak akan menemukan kerusakan.

Sebagai manusia yang diberi nikmat oleh Allah dengan berbagai karunia-Nya selayaknya kita bersyukur, apalagi jumlah nikmat itu tidak terkira,bahkan Allah menyatakan bahwa dikala manusia mencoba untuk menghitung jumlah nikmat yang diberikan-Nya maka sungguh tidak akan terhitung, sejak dari bangun tidur sampai kita tidur lagi, apalagi sejak lahir hingga wafat. Kita tidak akan bisa menghitung sudah berapa fasilitas hidup yang diterima dari Allah, maka nikmat hidup, kemerdekaan dan nikmat iman adalah nikmat yang besar yang perlu disyukuri. Salah satu wujud syukur itu adalah agar kita hidup berprestasi di dunia ini.

Sebagian ummat manusia terlalu sibuk dengan urusan duniawi sehingga mereka lupa bahwa mereka harus mempersiapkan bekal untuk di hari akhirat nanti. Apa yang akan kita bawa menghadap Ilahi Rabbi di kampung akherat kelak. Diperlukan kesadaran diri tentang bekal menuju hari akhir tersebut yaitu iman dan amal shaleh dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah melalui sejumlah aktivitas ibadah.

Bagi seorang muslim, yang dimaksud dengan ibadah itu bukan hanya ibadah khusus semisal shalat, puasa, zakat dan haji saja, semua kegiatan muslim yang mengacu kepada tiga hal dapat dikategorikan dengan ibadah. Pertama kegiatan ini diniatkan karena Allah semata dengan istilah ikhlas atau Lillah. Kedua manhaj yakni sistim atau cara beraktivitas itu mengacu kepada apa yang diicontohkan Allah melalui Rasul-Nya dengan istilah Ittibaur rasul, dan yang ketiga tujuan ibadah itu hanya mencari ridha Allah semata, walaupun mendapatkan ridha yang lain.

Imam Al Ghazali suatu ketika pernah berkata,”Barangsiapa yang mencari dunia semata maka ia akan menemukan dunia itu, tapi barangsiapa yang mencari akhirat maka ia akan mendapatkankan dunia dan akherat”, kegiatan apa saja yang menyeleweng dari salah satunya atau semuanya bukanlah ibadah walaupun lahirnya nampak ibadah, seperti menunaikan ibadah haji dalam rangka mencari ridha tetangga, atau semata-mata karena politik, maka ini bukanlah ibadah tapi malah dapat dikategorikan dengan maksiat kepada Allah.

Rasa tanggungjawab adalah kewajiban seorang pemimpin, bahkan Umar bin Khattab menyatakan, ”Seandainya ada keledai yang terperosok diperjalanan maka itu adalah tanggungjawabku kenapa tidak memperbaiki jalan untuknya”, Khalifah yang satu ini luar biasa wujud tanggungjawabnya terealisasi kepada rakyatnya, tapi dia juga menghabiskan waktu di depan Allah dengan munajad, do’a, shalat malam, tilawah qur’an, shaum sunnah yang intinya menenggelamkan diri dengan taqarrub kepada Khaliqnya. Demikian pula terujd kepada seorang Gubernur yang dihujat oleh rakyatnya karena tidak mau mengurus mereka di malam hari, maka disidangkanlah Gubernur ini di Madinah di hadapan Umar bin Khattab. Dengan penuh wibawa dia menjawab, ”Waktu saya untuk mengurus rakyat disiang hari, sedangkan malam hari adalah waktu saya untuk Allah”, sikap Gubernur ini dibenarkan oleh Umar, biar sibuk mengurus rakyat tapi tidak lupa mengisi rohani dengan ibadah kepada-Nya.

Dengan hidup ini kita memang dituntut untuk berprestasi, baik prestasi amaliyah dunia apalagi aktivitas untuk akherat. Dalam surat 103 Allah menjelaskan ”Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan yang berwasiat dengan kebenaran dan berwasiat dengan kesabaran”. Dari sekian tahun yang diberikan Allah untuk hidup dengan segala aktivitasnya perlu diisi hanya dengan tiga hal, pertama isilah waktu kita untuk meningkatkan kualitas iman dengan berbagai kegiatan. Kedua kita berkewajiban mengisi waktu hidup ini dengan amaliyah ibadah shalih yang idealnya memang banyak dan berkualitas, yaitu ibadah yang jauh dari syirik, bid’wah, kurafat dan tahyul sebagaimana yang dipesankan Rasul kita, ”Barangsiapa yang beribadah tidak sesuai dengan sistim yang kami ajarkan maka dia tertolak, dan mukmin yang baik itu adalah yang menggunakan waktunya seefisien mungkin”, Nabi Muhammad adalah orang yang sibuk mengurus rakyatnya, tapi dari segi ibadah tak ada diantara sahabat yang mampu menandinginya apalagi kita.

Ketiga, kita tidak termasuk orang yang merugi sebagaimana disinyalir-Nya bila waktu kita gunakan untuk berda’wah dengan metode menanamkan kebenaran dan kesabaran kepada ummat ini. Da’wah bukanlah sebatas tabligh tapi pembinaan terhadap ummat, walaupun seorang ulama sudah puluhan tahun berceramah, jika tidak membina ummat maka rugilah dia....sebagaimana sabda Rasul, ”Siapa yang karena dia seseorang memperoleh hidayah maka lebih baik dari pada dunia dengan segala isinya”. Disini tergambar bahwa da’wah mengandalkan kualitas bukan kuantitas saja. Silahkan kita sibuk dengan segala aktivitas dan urusan masyarakat, tapi jangan sampai diperbudak oleh kesibukan sehingga lupa untuk membina anak isteri untuk mengenal Allah, shalat terabaikan, mendalami agama tidak ada waktu. Sudahkah kita ummat yang berprestasi dalam hidup ? jawabannya terpulang kepada diri kita masing-masing. [Cubadak Solok, 19 Ramadhan 1431.H/ 29 Agustus 2010.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar