Minggu, 13 Mei 2012

D a k w a h


Oleh Mukhlis Denros

Seorang mukmin dituntut untuk menyampaikan risalah islam ini semampunya yang kita kenal dengan da'wah, bahkan Rasulullah bersabda, ”Sampaikan apa yang engkau peroleh dariku meskipun satu ayat”.

Ceramah atau tabligh bukanlah segala-galanya, dia merupakan bagian awal dari da’wah melalui fase-fase yang rapi, tidaklah disebut da’wah bila hanya mengandalkan ceramah atau tabligh saja, seorang da’i seharusnya menguasai marhalah atau fase-fase dalam da’wah sehingga dalam waktu yang ditargetkan dapat melahirkan syakhsiyah islamiyyah yaitu pribadi islam yang militansinya dapat diandalkan untuk mengasung da’wah ini bersama jajaran da’i lainnya; ”Kamu adalah ummat terbaik yang dikeluarkan dikalangan manusia, karena memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar, dan beriman kepada Allah” [Ali Imran 3;110].

Suatu hari Anas bin Nadhar kacewa karena dia tidak ikut dalam perang Badar, padahal saat itu kemenangan dipihak ummat islam, yang dia sesalkan bukan kemenangan itu, tapi dalam kemenangan itu tidak ada kontribusinya. Dari realitas keberhasilan da’wah islam itu, adakah keterlibatan kita sebagai mubaligh di dalamnya atau hanya kita sibuk dengan ceramah tanpa melakukan pembinaan, da’wah bukanlah ceramah saja tapi adalah pembinaan walaupun didalamnya tidak bisa dilepaskan metode ceramah.

Dalam rangka mengembangkan sayap da’wah ke tengah masyarakat sehingga da’wah itu betul-betul mereka rasakan, banyak sarana yang dapat dipakai diantaranya berupa tulisan yang tersaji dalam bentuk artikel atau makalah, semua itu untuk nashrul fikrah [penyebaran ide-ide] yang islami sekaligus mengantisipasi pemikiran-pemikiran yang berkembang tidak islami, cendrung menyesatkan sehingga idiologi seorang muslim terkontaminasi oleh segala isme yang diciptakan manusia. Sebuah ungkapan mengatakan bahwa seorang muslim itu mempunyai dua kiblat, ketika shalat kiblatnya jelas ke ka’bah tapi segala tindak tanduk diluar shalat mereka berkiblat ke barat.

Allah memberi tugas berat kepada siapa saja yang telah menyandang predikat muslim dan da’i untuk meluruskan pandangan ummat agar berberak bersama islam dan berjalan menuju jalan Allah, dalam surat An Nahl 16;125 diterangkan, ”Ajaklah manusia itu ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta beragumentasilah dengan mereka dengan cara yang baik pula”.

Rasulullah menegaskan kepada ummatnya, ”Sampaikanlah apa yang telah anda terima dariku meskipun hanya satu ayat”. Ini menunjukkan betapa pentingnya da’wah demi keselamatan hidup manusia di dunia hingga akherat. Bahkan seorang syaikh bernama Dr. Musthafa Mashur menyatakan, ”Nahnu Du’at qabla kulli syai’” artinya kami adalah da’i sebelum menjadi sesuatu apapun.

Ketika berda'wah kita juga harus berhati-hati karena makna da'wah itu asalnya adalah mengajak, kalau mengajak tentu dengan cara yang santun agar orang mau untuk mengikuti ajakan kita; "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." [An Nahl 16;125].

Suatu ketika cucu Rasulullah yang bernama Hasan dan Husen menyaksikan seorang nenek yang sedang berwudhu, namun wuhdu'nya tidaklah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah, untuk menegur nenek ini tentu suatu hal mustahil, maka mereka mendatangi nenek itu pada waktu yang lain sambil pura-pura bertengkar, sang nenek berperan sebagai penengah. Mereka mengatakan bahwa setiap berwudhu' selalu ribut karena masing-masing saling menyalahkan, Hasan menyatakan bahwa cara wudhu'nya yang baik dan sebaliknya Husen juga mengaku dialah yang paling benar. Akhirnya secara bergiliran keduanya memperagakan kemampuannya berwudhu' sedangkan sang nenek bertindak sebagai juri. Ketika keduanya sudah menampilkan praktek berwudhu' di hadapan sang nenek, lansung sang nenek menangis dan mengatakan bahwa kedua cucu Rasul itu bagus dan benar cara wudhu'nya sedangkan nenek yang salah, mulai saat itu sang nenek memperbaiki cara berwudhu'nya.

Pada suatu hari Rasulullah kedatangan seorang tamu dari pegunungan, dia datang lansung masuk masjid dan buang air kecil di pojok masjid itu, melihat hal demikian sahabat pada marah, ada yang akan menebas kepalanya, ada pula yang menawarkan diri untuk mengusir orang itu dari masjid, semuanya marah melihat kelakuan pemuda pegunungan itu. Rasulullah lalu mengambil seember air dan menyiram bekas pipis itu kemudian mendekatinya dan bertanya,"Apa yang anda lakukan dan anda mau kemana". Pemuda itu mengatkan bahwa dia sedang mencari seorang Nabi bernama Muhammad, maka berkenalanlah dia dengan Rasul terus menyatakan diri sebagai muslim.

Ketika akan kembali ke desanya sang pemuda itu berdo'a,"Ya Allah kini saya sudah bertemu dengan nabi-Mu dan saya telah sebagai muslim, ya Allah masukkanlah saya dan Muhammad ke dalam syurga-Mu, sedangkan yang marah-marah tadi jangan".

Allah berfirman dalam surat Ali Imran 3;159, ”Maka disebabkan rahmat Allah dan karena Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kasar lagi keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itulah maafkan mereka, mohonlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya’.

Da'wah mengandung keutamaan, tidak satupun pekerjaan yang lebih baik di dunia ini selain pekerjaan da'wah, keutamaan da'wah itu diantaranya;

1.Merupakan nikmat Allah terbesar kepada manusia
Diantara nikmat yang diberikan Allah ialah nikmat iman atau hidayah yang diperoleh dari perjuangan da'wah, Rasulullah bersabda; "Dan seandainya Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan sebab engkau, maka itu lebih baik bagimu daripada apa yang dijangkau matahari sejak terbit hingga terbenam" [HR. Bukhari Muslim]
Tanpa da'wah maka tidaklah akan sampai iman dan islam kepada kita pada hari ini dan tentu kita masih dalam keadaan kafir, begitu besar nikmat da'wah itu sehingga mampu melepaskan orang dari kekafiran dan mengantarkan pengikutnya ke dalam syurga.

2.Da'wah itu pekerjaan para Nabi
Apapun pekerjaan yang dilakukan manusia maka hal itu biasa, tapi pekerjaan da'wah adalah pekerjaan yang luar biasa karena ini merupakan pekerjaan para nabi, da'i meneruskan pekerjaan nabi ini hingga hari akhir, alangkah mulianya kita bila mengemban pekerjaan para nabi; "Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). [Asy Syura 42;13]

3.Pekerjaan yang paling mulia disisi Allah
Semua pekerjaan yang dilakukan manusia selama untuk kebaikan adalah baik, tapi dari sekian pekerjaan itu ada pekerjaan yang mulia dihadapan Allah yaitu berda'wah. Da'wah adalah pekerjaan yang paling tinggi nilainya, da'wah adalah pekerjaan orang-orang piihan yaitu nabi dan rasul maka juru da'wah adalah orang yang mulia setelah nabi dan rasul karena mereka melakukan pekerjaan rasul; "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"[Fushilat 41;33]

Rasulullah bersabda; "Orang yang paling tinggi kedudukannya disisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak berkeliling di muka bumi dengan memberi nasehat kepada manusia" [HR. Thahawi]

4.Membawa du'at kepada kehidupan Rabbany
Da'wah membawa para da'i kepada kehidupan Rabbany yaitu kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai Ilahi, mereka tercelup pada kehidupan yang islami sehingga kehidupannya jauh dari hal-hal yang negatif dan tercela, mereka adalah orang-orang yang selalu mengajak orang kepada agama Allah dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengajar melalui pembinaan terhadap mad'unya namun tidak lupa belajar untuk kepentingan peningkatan kualitas diri dan keluarganya;

" Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya" [Ali Imran 3;79]
Yang dikatakan dengan Rabbani itu adalah orang yang selalu mengajar dan selalu secara terus menerus belajar Al Qur'an; "Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarinya" [HR. Bukhari dan Muslim]

5.Membahagiakan hidup para pendukungnya
Orang yang hidup dalam naungan da'wah islamiyah hidupnya akan tentram, jauh dari gundah gulana apalagi stres sebagaimana yang difirman Allah dalam surat An Nahl 16;97 "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan"
Kebahagiaan hidup para da'i terletak di hati, tidak akan dirasakan melainkan oleh orang-orang yang terliibat di dalamnya.

Da’wah memang tidak akan selesai oleh seorang da’i saja, tapi ada tidak peran kita di dalamnya karena da’wah memang seperti bola salju, dia akan bergulir kencang kebawah, semakin lama semakin membesar dan menggulung siapa saja, tapi ada tidak peran mubaligh di dalamnya yang selama ini sering tampil di mibar-mimbar tapi melalaikan kaderisasi dalam da’wah, silahkan sibukkan diri dalam tabligh apa saja tapi jangan lupakan takwin yaitu pembinaan ummat walaupun hanya satu orang, Rasulullah bersabda,”Seandainya Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan sebab engkau, maka itu lebih baik bagimu daripada apa yang dijangkau matahari sejak terbit hingga terbenam”

Obyek pertama dari da’wah ialah rumah tangga sebagaimana Nabi mempraktekkan kepada isteri dan anaknya serta kepada budak dan orang yang dibawah tanggungjawabnya. Setelah itu baru tingakat lebih tinggi yaitu kerabat dekat atau masyarakat. Dalam menyampaikan da’wah kepada keluarga banyak mengalami kesulitan baik itu isteri atau anak sendiri sehingga banyak da’i yang mundur dari gelanggang da’wah di tengah masyarakat karena dia tidak mampu membina serta mengarahkan keluarganya, apalah artinya keberhasilan da’wah di masyarakat sementara keluarga terbengkalai, sang da’i ini mengalami tekanan psikologis, sementara anak dan isteri sebagai penentang utama sebagaimana yang dialami Nabi Nuh yang ditentang anaknya sendiri, Nabi Luth tidak diikuti oleh isterinya, Nabi Muhammad yang ditentang pamannya.

Da’wah yang paling berat yaitu di rumah tangga, mampukah seorang ayah mengajak anak dan isterinya untuk menciptakan keluarga muslim atau isteri membawa suami dan anaknya menjalankan perintah Allah atau anak dengan ilmu yang dimilikinya meluruskan langkah orangtuanya. Bila usaha ini telah dilakukan dengan sungguh-sungguh sebenarnya telah terlepaslah kewajiban perorangan di hadapan Allah dalam menjalankan amar ma’ruf nahyi mungkar.

Akan tetapi dalam masyarakat kita rasa jemu ini telah menjalar, sekali dua kali ucapan ayah tidak diladeni isteri dan anaknya dia biarkan saja lagi, sudah sekian kali isteri mengajak suami dan anaknya untuk melakukan amaliah ibadah akhirnya luntur tidak pernah terdengar lagi, dengan nada keras anakpun mempropagandakan syurga kepada orangtuanya tapi tetap diacuhkan. Semua peristiwa diatas akhirnya mengalami kebosanan pada masing-masing pribadi, akhirnya anak, isteri atau suami melakukan perbuatan tercela tidak lagi digubris, karena dianggap segala nasehat telah cukup.

Seorang da’i yang demikian, mudah putus asa, jiwanya pesimis maka tidaklah berhasil da’wahnya, sebenarnya Allahpun tidaklah melihat hasil yang diperoleh tapi kesungguhan dalam usaha. Bila betul-betul dengan kesungguhan serta kemampuan telah dikerahkan, tanpa ada rasa bosan mengajak walaupun gagal maka Allah tidak akan mencela bahkan dicatat sebagai amal yang patut dipuji, karena masalah hdiayah dan kesadaran agama disamping diusahakan juga karena hidayah dan kuasa Allah.

Seorang anak baru saja tamat dari perguruan Islam dengan bekal ilmu agama yang cukup mapan ditambah pula dengan ilmu pengetahuan umum lainnya. Problem utama yang akan dihadapi adalah keluarganya. Tentu saja ilmu yang telah diterimanya akan diterapkan dalam keluarga yang keislamannya masih dilapisi oleh khurafat, tahyul, bid’wah dan syirik. Ketegasan si anak dalam hal ini tetap akan ditentang oleh orangtuanya karena di hati orangtua telah berkarat ajaran yang dilapisi tradisi berhala. Ketika anak berkata kepada orangtuanya tentang islam yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Hadits akan ditolak dengan ucapan, ”Nak ini ajaran nenek moyang kita dahulu, kamu belum tahu karena masih kecil, kan baru kemaren tamat sekolah”, pasti tantangan pertama adalah keluraga.

Dalam menyampaikan kebenaran pada kelompok ramai atau masyarakat tidaklah begitu sulit dan sedikit resiko atau beban mentalnya tetapi untuk keluarga sendiri terlalu banyak kendala apalagi merombak suatu tradisi, memang bicara kebenaran dalam keluarga akan ditentang oleh anak dan isteri. Orang lain mudah tersentuh dengan dalil dan ajakan dari seseorang, tapi untuk menyentuh hati anak dan isteri terlalu sulit sebagaimana sebuah riwayat yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab dan hal ini memang terjadi pada diri beliau sendiri.

Pada suatu hari seorang sahabat ingin datang kepada Umar mengadukan peristiwa dia dengan keluarganya yaitu sang isteri yang tidak bisa dibentuk atau diarahkan ke jalan yang benar, pertengkaran selalu terjadi dalam rumah tangga. Kalaulah satu minggu ada tujuh hari, hanya satu hari saja adanya gencatan senjata [damai]. Dia datang dengan maksud minta nasehat Umar, bagaimana atau resep apa yang bagus untuk mengatasi hal itu.

Baru saja dia sampai di pintu gerbang rumah Umar, dia dikejutkan oleh keributan dalam rumah tersebut. Jelas betul bahwa keributan itu dialami oleh Umar dan isterinya, dia perhatikan agak lama akhirnya mengambil kesimpulan untuk mengurungkan niatnya kembali saja pulang. Rupanya Umar melihat tamu di luar yang akan pulang, dipanggilnya tamu itu dipersilahkan masuk serta terjadilah dialoq, ”Maksud kedatangan saya yaitu ingin minta nasehat Amirul Mukminin untuk keluarga kami, saya begitu sulit memberikan kebenaran dan menunjukkan isteri saya, sehingga sering dalam rumah terjadi pertikaian pendapat yang diakhiri dengan pertengkaran. Tapi setelah sampai disini saya melihat dalam rumah khalifah seperti apa yang saya alami, sehingga saya batalkan maksud saya”.

Mendengar keluhan sahabatnya itu Umar menjawab, ”Saya memang orang yan ditakuti dalam masyarakat, orang segan kepada saya, tetapi setelah berada di rumah maka saya adalah orang yang lemah, keluarga saya terutama isteri tidak akut dan segan kepada saya, kita senasib ya sahabat”.

Itulah sebuah gambaran bahwa keperkasaan seorang suami, kehebatannya di masyarakat belum tentu perkasa dan hebat dalam rumah tangga untuk menyampaikan misi da’wahnya. Tantangan ini selalu hadir dan dihadapi oleh da’i atau mubaligh, penentang misinya kebanyakan adalah orang yang dicintainya serta lebih dekat dengannya. Apakah seorang da’i tersebut akan tetap berda’wah atau mundur karena dia tidak mampu membina keluarganya. Tidaklah demikian sebagaimana dengan nabi Nuh bersama kaumnya walaupun anaknya sendiri menentang, bagaimana nabi Ibrahim meskipun dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan bagaimana dengan nabi Muhammad yang selalu dikejar bahkan nyaris dibunuh oleh Abu Lahab seorang pamannya, orang yang dekat denganya yang seharusnya menerima dukungan dan pembelaan.

Tugas seorang da’i dimanapun dia berada harus berda’wah walaupun di Lembaga legislatif, eksekutif ataupun yudikatif. Tentu dengan cara dan sistim yang berbeda dari sebelumnya, walaupun hari ini mereka sebagai anggota dewan tapi sejak dahulu tugas mulia yang diembannya sebagai da’i tidak bisa dilupakan. Boleh saja sang da’i berhenti di dewan tapi tugas dakwahnya tidak boleh berhenti.

Mimbar dewan sangat efektif untuk menyuarakan hati nurani rakyat melalui pandangan umum anggota atau penyampaian pendapat akhir fraksi, sidang-sidang komisi, gabungan komisi, kunjungan kerja menjadi sebuah peluang untuk menyampaikan kebenaran secara universal. Bagaimana anggota dewan bisa meminimalisir bahkan menyetop pengeluaran dana untuk kepentingan yang tidak/belum bermanfaat karena banyak kebutuhan yang belum terperhatikan yang semuanya membutuhkan biaya.

Pendistribusian dana untuk kepentingan umat dapat terarah dengan baik jika anggota dewan resfon terhadap kepentingan masyarakatnya seperti pendidikan yang membutuhkan dana tidak sedikit sementara mutunya anjlok. Begitu juga untuk biaya kesehatan menghindari ancaman kematian bayi dan ibu hamil, penghayatan dan pengamalan ajaran agama di tengah masyarakat dan sejuta problematika masyarakat yang sulit dilukiskan.

Da’i yang komitmen dengan nilai-nilai dakwah yang dia bawa, maka kehadirannya di dewan yang utama adalah dakwah, baik melalui ucapan atau tingkah laku. Prilaku moralis dan agamis yang ditampilkan oleh seorang anggota dewan membuat orang simpati dengan partai yang dia tumpangi. Sebaliknya demikian pula seorang da’i yang bertentangan cara berfikir, bertindak dan ucapannya di tengah masyarakat akan merugikan dakwah dan partai.

Hal yang sangat sensitif di dewan itu adalah masalah uang dan main uang, umumnya pada saat pemilihan Kepala Daerah dan Laporan Pertanggung Jawaban [LPJ] Kepala Daerah. Mengingat pembahasannya menyangkut uang, sang Kepala Daerah setelah menyerahkan uang untuk menggolkan maksudnya dia harus mencari kembali proyek yang bisa mengembalikan uang hilangnya itu. Sayangnya juga mengimbas pada anggota dewan yang identitasnya adalah da’i atau ulama yang selama ini dia berteriak bahwa money politic itu haram, tapi nyatanya dikala dia kebagian tidak terdengar suaranya lagi.

Artinya banyak da’i yang telah menghalalkan uang riba di Bank, membolehkan sogok menyogok, manipulasi kwitansi dianggap wajar dan segudang kerusakan moral lainnya. Hal itu terjadi ketika sang da’i atau ulama ada di dewan. Lalu mana lagi yang akan diikuti oleh ummat kalau tokoh agamanya sendiri saja sudah rusak begitu ? Komitmen keislaman sang da’i diuji ketika duduk dimana saja sama apalagi tempat yang rawan terjadi gelimang uang dan harta, mungkin sebagai anggota legislatif, eksekutif atau yudikatif. Karena memang ujian dunia itu selain kekuasaan, wanita dan juga harta.

Namun dari sekian banyak prilaku negatif anggota dewan yang berstatus da’i, masih ada di antara mereka yang tidak larut di dalamnya. Bahkan ada yang sejak berada di dewan, dia telah mengkampanyekan bahwa money politic itu sebuah pembodohan terhadap rakyat dan bertentangan dengan hati nurani, adat dan agama sehingga dalam pemilihan Kepala Daerah dan setiap pembahasan LPJ Kepala Daerah tidak mengeluarkan sepeserpun uang untuk itu. Sementara di tempat lain ada informasi dua orang anggota dewan di Jawa Barat ketika diketahui rekeningnya sudah membengkak masing-masing dengan tambahan setengah miliar rupiah, lalu uang itu dibagikan pada masyarakat yang membutuhkan. Wallahu a'lam [Cubadak Solok, 18 Ramadhan 1431.H/ 28 Agustus 2010]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar