Minggu, 13 Mei 2012

D a g a n g


Oleh Mukhlis Denros

Dalam sejarah kita mengenal bahwa yang membawa agama Islam ke Nusantara adalah para pedagang dari Gujarat India, selain mereka mencari nafkah untuk kehidupannya diiringi penyampaian da'wah dalam transaksinya yaitu memperkenalkan islam dan mengajak orang masuk kedalam pangkuan agama tauhid yaitu hanya menjadikan Allah sebagai Tuhan dengan menyingkir segala sesuatu yang dapat merusak iman, menjauhi syirik, berakhlak mulia dalam seluruh aktivitasnya.

Dengan berdagang sebagai mata pencaharian memang banyak membawa keberhasilan, dapat mengumpulkan kekayaan dari keuntungan jual beli yang bukan hanya mampu menopang kehidupan rumah tangga tapi juga bisa membeli apa saja yang dibutuhkan, karena itulah para pedagang yang sering berjalan dari pasar ke pasar dari satu daerah ke daerah lain sangat efektik untuk mengemban tugas da'wah, selain dapat berdialoq dengan pembeli mereka juga banyak waktu untuk berinteraksi sesamanya.

Banyak sahabat nabi yang terlibat dalam usaha ini seperti Abu Dzar Al Ghifari bahkan beliau nabi Muhammad sejak kecil sudah terbiasa berjalan ke negeri Syam dengan pamannya melakukan perdagangan. Hingga dewasa beliaupun ikut membantu seorang janda dalam perdagangan yaitu Khadijah yang akhirnya Khadijah memutuskan menikah dengan Muhammad karena simpati yang luar biasa atas perdagangan yang dilakukan selalu membawa keuntungan dan kejujuran yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Abu Dzar Al Ghifari adalah sahabat nabi yang mahir berdagang, ketika hijrah ke Madinah, para Muhajirin disaudarakan oleh Rasul dengan kaum Anshar, persaudaraan itu diujudkan dengan penyerahan sesuatu untuk membantu mereka, ada Anshar yang punya sawah dan ladang lebih dari satu maka dia serahkan kepada sahabat Muhajirin, ada yang punya ternak onta, sapi dan domba juga dibagi untuk saudaranya, hanya Abu Dzar yang tidak mau menerima pemberian itu walaupun halal, dia hanya bertanya, tunjukkan kepadaku dimana pasar, setelah tahu pasar, dia bertindak sebagai makelar untuk menjualkan onta, sapi atau domba orang, dari hasil itu dia mendapat komisi. Komisi yang diterimapun bukan berupa dinar dan dirham tapi dia hanya meminta tali ternak yang dijual itu saja. Hal itu berlansung sekian bulan sehingga menumpuklah tali-tali itu sampai menggunung. Tali itu dijualnya sampai bisa membeli seekor dua ekor ternak sampai dia jadi kaya raya dari hasil penjualan ternak yang ditekuninya, itulah aktivitas sahabat yang satu ini, dia bisa punya ternak dari keahliannya berdagang.

Perdagangan manusia juga pernah terjadi ketika masa perbudakan dizaman jahiliyyah belum terhapuskan, adalah Abu Bakar, banyak menghabiskan uangnya untuk membebaskan budak seperti Bilal bin Rabah, suatu ketika terjadilah transaksi perdagangan antara Abu Bakar dengan Muawiyah pemilik budak, transaksi itu menyepakati untuk menjual Bilal kepada Abu Bakar seharga [kita perkirakan 20 juta]. Dengan sombongnya Muawiyah menerima uang itu sambil berkata,"Engkau bodoh sekali Abu Bakar, mau membeli budak jelek ini dengan harga begitu tinggi, kalaulah engkau tawar saja lima juta atau lebih rendah dari itu, kuberikan kepadamu, dari pada budak itu menyusahkan saya", mendengar itu dengan kesombongan pula Abu Bakar membalasnya,"Engkau yang bodoh hai Muawiyah, mau menjual budak sebaik ini kepadaku dengan harga hanya duapuluh juta, kalaulah engkau letakkan harga empat puluh juta atau lebih tinggi lagi aku siap untuk membelinya".


Transaksi perdagangan perbudakan yang berlansung itu tidaklah terjadi pada Abu Bakar, begitu dia selesaikan pembayaran, maka detik itu pula dia bebaskan budak itu untuk merdeka untuk menyembah Allah dalam komunitas muslim, dari transaksi itu, untung dunia untuk pribadi Abu Bakar tidak ada tapi keuntungan di akherat akan dia peroleh, karena memang seorang muslim itu selalu melakukan transaksi perdagangan dengan Tuhannya, kita hanya menyediakan harta dan jiwa tapi balasan bayarannya disediakan Allah dengan syurga.
’’Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar” [At Taubah 9;111]

Keuntungan dunia dengan segala isinya yang diraih manusia tidaklah seberapa dibandingkan balasan yang akan diterima di akherat nanti, dunia hanya sementara, kesenangan yang dirasakanpun semua tiada abadi, bila kita mampu meraih segala kesenangan dan kenikmatan dunia, paling lama hanya enampuluh tahun demikian pula halnya kesengsaraan di dunia dirasakan hanya sebatas usia manusia.

Ekonomi adalah tulang punggung kelanjutan hidup manusia, tanpa ini kehidupan kita agak terganggu, bahkan dengan ekonomi tidak jarang satu bangsa ditaklukkan oleh bangsa lain, lilitan hutang yang tidak tahu kapan selesainya. Dalam Islam, masalah iqtishadi [ekonomi] dan ma’isyah [mata pencaharian] banyak dibicarakan bahkan Umar bin Khattab pernah mengusih seorang pemuda dari masjid, karena matahari sudah tinggi, dia masih berzikir juga, tidak mau mencari rezeki.

Antara ibadah dan ma’isyah diseimbangkan oleh Allah bahkan menghidupkan ekonomi bagian dari ibadah, sebagaimana ketegasan Allah dalam surat Jumu’ah ayat 9-10, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”.

Islam sangat santun dalam berdagang, itulah ajaran yang telah disampaikan oleh Rasulullah, sang reformis dalam bidang ekonomi. Kita tidak boleh menipu, mengurangi takaran dan timbangan, memanipulasi, tindakan zhalim dan terjerat oleh riba. Selama ummat islam belum melepaskan diri dari riba maka harta yang diperoleh tidaklah berkah serta selama itu pula ekonomi ummat islam dibawah jajahan bankir-bankir Yahudi dan Nasrani.

Banyak negara yang mengandalkan usahanya bahkan dikenal ahli dalam perdagangan seperti bangsa Arab, bangsa India dan Cina bahkan Yahudi dengan jaringannyapun dan induk semangnya Amerika menjadikan perdagangan sebagai satu-satunya devisa yang mendatangkan keuntungan tidak sedikit kepada bangsanya walaupun menindas bangsa lain seperti embargo ekonomi, mengadu-domba antara bangsa satu dengan lainnya lalu terjadilan penjualan senjata secara legal ataupun ilegal. Kerusuhan, kekacauan politik, demonstrasi yang anarkhis, pemberontakan, kudeta dan sabotase yang membutuhkan perlengkapan perang dan senjata yang banyak dipicu oleh agen-agen kafir selain untuk merusak sebuah negara dan menghancurkan bangsa lain mereka mengeruk keuntungan tidak sedikit dari penjualan senjata, itulah mata pencaharian sekaligus mata pencurian Amerika dan antek-anteknya.

Dalam berdagang, kadang kala penjual tidak memperhatikan etika santun yang simpatik sehingga pembeli enggan menghabiskan uangnya untuk membeli sesuatu, seorang pembeli menawar sebuah baju kemeja yang dihargakan oleh penjual dengan harga tidak terjangkau, pembeli tadi hanya diam, penjual bertanya, berapa ditawar, pembeli dengan wajah memelas, maklumlah dari desa yang jauh sekali dari keramaian, dia tidak menawar karena tidak sesuai dengan koceknya, jangan marah ya kalau saya tawar, dengan ucapan itu dia terhindar dari berangnya para penjual karena selama ini banyak penjual yang berprilaku demikian. Sepasang sepatu ditawar oleh pembeli seharga empat puluh ribu, penjual mengatakan, belum dapat pak, di Pekan Baru saja tidak dapat seharga itu, mendengar kalimat itu kontan saja sang penjual naik darah, saya belanja disini bukan di Pekan Baru, kalau tidak dapat ya sudah.

Kadangkala penjual juga berbohong untuk menentukan harga kepada pembeli, saat dihargakan limapuluh ribu rupiah, pembeli menawar dengan harga tigapuluh ribu rupiah, sang penjual menyatakan, tidak bisa, modalnya saja empatpuluh ribu, kalaulah belum dapat dengan harga tigapuluh ribu ya tidak ada-apa sebenarnya, tapi untuk meyakinkan pembeli maka penjual menyatakan bodal empatpuluh ribu padahal sebenarnya modal barang tersebut hanya duapuluhlima ribu, jadi untuk mendapatkan untung lebih lidah dipermainkan.

Itulah yang membuat Khadijah tertarik kepada Muhammad muda ketika itu, dalam berdagang walaupun Muhammad menyebutkan modal tapi modal yang sebenarnya yang diutarakan, modal saya seratusribu, perjalanan saya dari Mekkah ke Syam ini sudah sekian lama, terserah tuan mau bayar berapa, sehingga tidak segan pembeli membayar seratuslimapuluh ribu. Sebenarnya masalah modal urusan penjual, pembeli tidak mau tahu, yang penting bagi pembeli harga yang diajukan cocok dengan kualitas barang. Intinya dalam berdagang itu adalah kejujuran agar yang dihasilkan itu bersih sehingga mendapatkan berkah selain keuntungan yang diharapkan.

Suatu malam Umar pergi keliling kampung, dia mendengar percakapan seorang putri dengan ibunya,”Nak kita campur saja susu ini, biar kita mendapat keuntungan yang banyak”, sang putri menjawab,”Jangan ibu, nanti Khalifah tahu bagaimana?” sang ibu menyanggah,”Mana ada Khalifah yang berkeliaran tengah malam ini, enaklah dia istirahat di istananya”, sang gadis lansung menyela pembicaraan ibunya,”Wahai ibu, mungkin saja khalifah Umar tidak tahu apa yang kita lakukan tapi bagaimana Allah, bukankah Dia juga tahu apa yang kita lakukan?” mendengar itu Umar tidak kuasa, lansung dia pulang, pagi harinya dia utus seseorang untuk menjemput tuan putri lalu dinikahkan dengan anaknya yang bernama Aslam, dari pernikahan inilah maka lahir generasi terbaik pada abadnya yaitu Umar bin Abdul Azis yang kelak jadi khalifah juga.

Kalaulah mau berusaha dengan kesungguhan hati sesuai dengan kapasitas masing-masing termasuk berdagang, tentu tidak ada ummat islam yang sengsara, bahkan ummat islam itu sendiri tidak pandai memanfaatkan hartanya sesuai ketentuan agama islam, betapa banyak uang yang dihabiskan bukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat tapi digunakan bukan pada tempatnya dengan istilah lain, ummat islam itu selalu melakukan perbuatan syaitan yaitu menghambur-hamburkan harta, mubazir.

Sesungguhnya ummat Islam tidak miskin terhadap harta, ummat Islam kaya raya dan banyak memiliki kekayaan, baik yang masih terpendam di bumi ataupun yang sedang diolah. Hanya permasalahannya ialah harta ummat Islam digunakan bukan untuk kepentingan ummat Islam, bukan untuk membela ummat yang tertindas, tetapi kekayaan itu melayang jauh dari sasaran, sangat jauh, diluar hal yang bermanfaat bagi kemaslahatan dunia dan akherat.

Dalam suatu koran Suara Karya [Selasa, 13 Desember 1988] disebutkan, “Sebuah Masjid sedang dibangun di Casablanca, Marokko, masjid ini mempunyai menara tertinggi di dunia dan sinara laser memancar dari menara itu langsung ke arah Mekkah. Harga bangunannya tak tanggung-tanggung, sekitar 2,5 milyar Franc [720 milyar]. Sedangkan biayanya yang sudah terkumpul sekitar tiga milyar Franc [864 Milyar] dana terkumpul lebih”.

Dari satu sisi bagi ummat Islam bangunan tersebut merupakan kebanggaan dan kemegahan, karena dengan majunya teknologi dapat pula menciptakan bangunan yang bagaimanapun diharapkan. Tapi pada satu sisi ummat Islam tertindas, terjajah, jangankan untuk memikirkan hari esok, sedangkan makan untuk hari ini saja belum ketemu ladangnya. Nun jauh di Afghanistan, ummat Islam sedang berjuang mengorbankan harta dan jiwanya mempertahankan negaranya yang sedang dijajah musuh-musuh Allah.

Sedangkan pada negara lain ummat Islam mulai tumbuh dengan berbagai kegiatan, tetapi jangan untuk membangun Masjid megah, sedangkan menyewa sebuah emperan toko sebagai Mushalla saja tidak ada biaya. Masih banyak lagi ummat Islam yang tidak dapat tempat tinggal yang layak sebagai manusia, kotor dan menjijikkan, sehingga setiap saat maut selalu mengintai. Tidak sedikit ummat Islam hanya sekedar mengerti huruf dan angka, kalau tidak buta huruf. Mungkin masih terngiang di telinga tetangga sebelah kita harus menutup sekolah anaknya karena tidak ada biaya, bagaimana nasib mereka yang ada di Afrika khususnya Ethiopia dan Somalia ?

Di tengah-tengah kemiskinan itu, kemegahan yang kita lihat melalui kegiatan ummat Islam seperti pesta megah MTQ sejak dari tingkat RT sampai dunia, berjuta-juta ummat Islam berangkat menunaikan ibadah haji dengan biaya tinggi, masih sering kita lihat pesta glamour yang diadakan di desa sampai kota walaupun dalam bentuk syukuran atau khitanan atau walimah perkawinan.

Tidak berarti penulis tidak setuju dengan kegiatan MTQ yang menghabiskan ratusan juta, tapi alangkah baiknya dana yang sebesar itu digunakan untuk mencerdaskan ummat terhadap baca Al Qur’an yang berada di pelosok desa sampai kota. Kita tidak menolak masjid indah yang didirikan dengan megah, tapi diharapkan masjid dibina agar menjadi masjid yang makmur, dan jamaahnya menghimpun dana untuk disalurkan ke negara-negara Islam yang sedang tumbuh imannya walaupun dengan sebuah mushalla kecil dan sederhana. Disana mereka akan diarahkan dan ditampung segala ide untuk kemajuan ummat.

Kemegahan dan kemewahan memang kesenangan manusia, terlihat dalam acara kecil seperti ulang tahun, khitanan dan walimah pernikahan dengan biaya mewah, hal ini hanya sekedar menunjukkan kepada masyarakat bahwa merekapun mampu bermewah-mewah, tapi untuk membiayai kepentingan sekolah anak, belajar agama, bila ada biaya mereka berhentikan saja, tanpa ada usaha yang gigih bagaimana biaya itu dapat terpenuhi.

Ummat Islam tidak miskin dan memang tidak dianjurkan untuk miskin, begitu banyak harus diselesaikan dengan kekayaan seperti sedekah, zakat dan berjuang di jalan Allah, semuanya membutuhkan biaya. Kenyataan yang ada sekarang ini karena sebagian ummat yang kaya tidak bisa menggunakan kekayaannya sesuai dengan jalan Alah, dia lebih suka menghamburkan biaya untuk glamour dan kemewahan, sementara jeritan rakyat yang tertekan, tertindas tidak difikirkan.

Di Minangkabau yang disebut sebagai masyarakat ”Adat Bersendi Syara” dan Syara’ bersendi Kitabullah”, khususnya di Pariaman setiap tahun tepatnya pada bulan Muharam diadakan suatu acara yang disebut dengan TABUIK, yaitu sebuah pesta adat yang berlansung sudah sekian puluh tahun. Menurut sebagian pendapat acaraa tersebut dilakukan dalam rangka memperingati kematian cucu Nabi Saw yang bernama Husein di Padang Karbala. Dari segi adat dan kebudayaan nenek moyang memang baik sebagai hiburan dan melestarikan budaya bangsa, sedangkan dimata ekonom dan kacamata Islam tidak mengandung manfaat, dia adalah pemborosan yang menghamburkan uang sekian juta hanya untuk sehari saja. Padahal sangat bermanfaat bila uang tersebut digunakan untuk pengobatan masyarakat Minang yang terkena penyakit kusta, atau sarana jalan yang semakin rusak atau menyelamatkan ummat Islam akibat Kristenisasi di Sitiung dan Pasaman.

Dari sekian juta mata pencaharian maka dagang adalah salah satu mata pencaharian yang sudah tua, semakin modern kemajuan zaman maka semakin modern pula transaksi perdagangan yang tampil di dunia bisnis dalam rangka untuk meraup keuntungan maksimal dari kantong-kantong masyarakat. Sejak dari pasar tradisional yang becek dan kumuh di kampung hingga mall megah di kota, disinilah komunitas produsen dan konsumen berkumpul untuk saling berjual beli dengan aqad suka sama suka, saling melengkapi kebutuhan masing-masing. Dagang adalah sebuah aktivitas terpuji bahkan sejak dahulu para nabi dan rasul banyak yang terlibat pada kehidupan ini, selain untuk menjalankan roda ekonomi ummat juga untuk menggerakkan da'wah hingga keseluruh dunia karena memang tugas seorang mukmin juga memperdagangkan kebenaran kepada manusia untuk ditukar dengan keimanan, menawarkan konsep yang islami lalu membuang konsep-konsep yang jahili, wallahu a'lam [Cubadak Solok, Ramadhan 1431.H/ Agustus 2010.M]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar