Minggu, 13 Mei 2012

Hijrah


Oleh Mukhlis Denros

Hijrah ke Madinah adalah peristiwa besar yang dialami ummat Islam dimasa Rasulullah setelah mengalami dua kali hijrah ke Ethiofia dan ke Thaif. Peristiwaini disamping wahyu dari Allah juga sebagai taktik strategi dalam perjuangan menegakkan agama Allah.

Dalam setiap perjuangan selalu memakai strategi dan taktik. Strategi merupakan induk sedang taktik laksana anak. Setiap taktik yang dilakukan tidak boleh terlepas dari strategi. Sikap hijrah yang dilakukan Rasulullah itu, walaupun sepintas lalu kelihatan sebagai satu taktik, tapi pada hakekatnya dalam rangka satu strategi yang menyeluruh.

Ada kalanya dalam suatu perjuangan, terutama tatkala timbul satu situasi yang amat sulit, harus menentukan pilihan sementara waktu mundur, tapi tidak melepas strategi. Dengan mundur sebagai taktik ialah karena memperhitungkan pihak lawan pada saat itu mempunyai kekuatan yang dapat menguasai, sedang pihak sendiri yakin terhadap kebenaran yang dipertahankan dan kepalsuan yang hendak dipertahankan oleh pihak lawan.

Dengan sikap mundur, hijrah atau menyingkir berarti sementara menerima kenyataan tentang keunggulan lawan, tapi dengan sikap itu terjamin kesinambungan dan kelanjutan pembangunan. Sikap yang pertama taktis, sedang sikap yang kedua strategis, apalagi berkenaan dengan sikap hijrah Rasulullah itu, seperti yang diterangkan di atas, sudah ada green ligh atau lampu hijau dari Penguasa Tunggal.

Hijrah ke Madinah meninggalkan kampung halaman, bercerai berai dengan keluarga, harta benda tinggal, berbekal sekedar saja demi mengikuti perintah Allah adalah sikap terpuji yang membedakan orang yang mengaku beriman tapi tidak hijrah, tempat mereka mulia disisi Allah dengan kemenangan besar, At Taubah 9;20-21 Allah memfirmankan, ”Orang-orang yang beriman dan berhijrah di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya disisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal”.

Ada sebagian pendapat yang mengatakan keberangkatan Nabi dan pengikutnya menyingkir ke Madinah menunjukkan sikap penakut dan lemah, sepintas pendapat ini benar tapi dibantah dengan tiga alasan;

Pertama; bahwa Nabi hijrah ke Madinah setelah beliau berda’wah dan berjuang di Mekkah selama hampir 13 tahun. Seandainya Nabi hijrah lantaran takut itu, niscaya beliau tidak dapat bertahan di Mekkah sekian lamanya. Justru dari sini kita dapat melihat betapa Nabi memiliki ketabahan dan keberanian yang sangat mengagumkan.

Kedua; sebelum Nabi hijrah ke Madinah terlebih dahulu beliau memerintahkan kepada para sahabatnya untuk meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Oleh karena itu, secara diam-diam kaum muslimin baik perorangan maupun berombongan meninggalkan Kota Mekkah itu. Dengan demikian hijrah Nabi dan kaum muslimin merupakan taktik strategi perjuangan bukan karena ketakutan.

Ketiga; barangkali ada yang bertanya kalau Nabi memang seorang pemberani, mengapa beliau hijrah dengan cara diam-diam dan bersembunyi di gua Tsur ? Nabi memang hijrah secara diam-diam dan bersembunyi, bahkan ditemani oleh sahabat Abu Bakar. Cara yang ditempuh Nabi seperti ini memberi pelajaran kepada kita bahwa sikap hati-hati dan waspada adalah suatu yang sangat penting dalam suatu perjuangan.

Sebenarnya di hati ummat Islam tidak ada sedikitpun rasa takut kepada kafir Quraisy, terbukti dengan keberanian ummat mengorbankan jiwa raga asal tetap dalam keimanan sehingga segala siksa dan derita yang dilakukan oleh kafir Quraisy mereka hadapi. Dengan iman yang ada timbul keberanian untuk menghadapi resiko hidup, bagaimanapun kerasnya tetap dihadapi walaupun harus menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki, yang dikala malam dingin menusuk ke tulang, saat siang di atas Matahari menghantam panasnya ke tubuh mereka sedangkan di bawah pasir membakar telapak kaki, kadangkala sebelum sampai ke tujuan maut telah menjemput, bukankah ini suatu keberanian ? Islam tidak menghendaki ummatnya lemah dan takut, kematian yang menjemput dalam perjalanan hijrah mendapat perhatian besar dari Allah, An Nisa 4;100 menjelaskan;
”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian kematian menimpanya [sebelum sampai tujuan] maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Keberanian ini timbul karena tempaan iman yang begitu matang sehingga ada orang yang mungkin memiliki persediaan semangat yang lemah, tetapi karena ditempa dan digembleng, maka persediaan yang sedikit itu menjadi efektif malahan kuat. Demikian juga kecerdasan dapat dibina dan dikembangkan melalui pendidikan dan latihan keterampilan.

Kekuatan sebagai fadilah difahamkan dari pelbagai dalil dalam Al Qur’an antara lain;
”Dan janganlah kalian bersifat lemah dan janganlah kalian berduka cita karena kalian lebih mulia jika memang kalian beriman” [Ali Imran 3;139].

Dari dalil itu pula difahamkan bahwa sikap lemah termasuk dalam sifat dan sikap tercela sebagaimana digambarkan dalam ayat lain;”Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh malaikat ketika mereka menganiaya diri mereka sendiri, ditanya malaikat, ”Bagaimana keadaanmu?” mereka mengatakan, ”Kami adalah orang-orang yang lemah di muka bumi”. Kata malaikat, ”Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian boleh berpindah ke mana-mana ?”. Maka tempat orang-orang itu adalah neraka jahanam dan itulah tempat tinggal yang amat buruk”.

Orang yang takut hijrah ke Madinah nanti di akherat disiksa oleh malaikat dalam neraka jahanam sebagaimana surat An Nisa’ 4;97 kecuali orang yang tidak mampu melakukannya dan tidak tahu jalan yang akan dituju.

Pada umumnya orang merantau meninggalkan kampung halaman karena ada yang dituju baik teman, saudara atau keluarga yang sudah berhasil disana, lalu keberaniannya merantau didorong oleh masa depan yang sudah jelas, entah sebagai pedagang, pegawai atau pelajar, walaupun untuk sementara menumpang dengan orang lain, tapi sudah jelas ada tempat bersandar.

Tidak demikian dengan hijrah, belum tahu siapa yang harus dituju, tidak ada keluarga tempat bernaung, entah siapa nanti tempat bersandar. Begitu datang perintah hijrah bayangan hitam mereka singkirkan demi melaksanakan perintah Allah dan menjaga aqidah dari kemurkaan kafir Quraisy. Dr.M. Abdurrahman Baishar menjelaskan bahwa sikap hijrah mengandung suatu mutiara keberanian yang luar biasa menghadapi penderitaan dalam satu perpindahan/ penyingkiran yang penuh kegelapan, yang belum jelas dan terang prosfektif dari depannya. Mereka ridha mengalami penderitaan sebagai akibata dari sikap menyingkir untuk menegakkan agama Allah.

Untuk merintis jalan kebenaran, keberhasilan dan kemenangan manusia harus memiliki keberanian menghadapi tantangan hidup yang begitu keras, jauh dari keramahan sebagaimana hijrah yang dilakukan ummat dimasa Rasulullah, memang pahit dan menderita tapi berbuah manis dan kemenangan [Padang, 23032001].

Hampir selama 13 tahun Nabi Muhammad berjuang di Mekkah untuk meluruskan aqidah ummat agar meninggalkan berhala-berhala pujaan, menyingkirkan watak-watak jahiliyyah yang dapat menyeret manusia kepada peradaban buruk. Namun usaha selama 13 tahun ini tidak banyak membuatkan hasil, hanya beberapa orang saja yang dapat ditempat, digembleng dengan keimanan yang teguh, disamping itu ada yang telah beriman tapi disembunyikan dan ada pula mulai tertarik dengan ajaran islam tapi belum saatnya untuk menyatakan imannya.

Selama gerak da’wah dilakukan Nabi selama itu pula tekanan, tindasan dan halang rintangan dilancarkan kafir Quraisy dengan maksud agar pengaruh ajaran yang dibawa Muhammad jangan menyebar dan menyeluruh ke pelosok penduduk Mekkah sehingga tidak jarang terjadi penyiksaan bahkan pembunuhan dilakkan dengan kejamnya terhadap orang yang tertarik kepada islam. Untuk menyelamatkan iman ummat islam yang telah tumbuh inilah maka dilakukan hijrah yaitu menyingkir dan mundur dari perjuangan untuk menyusun kekuatan baru.

Hijrah pertama tanpa disertai Nabi Muhammad, berlansung pada 615 Masehi [tahun kelima sesudah kerasulan]. Hijrah pertama ini terjadi sesudah Nabi menyaksikan dari hari ke hari intimidasi kaum kafir Quraisy kepada kaum muslimin yang baru tumbuh makin menjadi-jadi. Beberapa sahabat Rasulullah, bahkan ada yang disiksa dan dibunuh. Ketika itulah Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Abesinia [Ethiopia sekarang] yang diperintah oleh Najasi yang ketika itu masih beragama Nasrani.

Hijrah kedua terjadi tidak lama sesudah isteri dan paman nabi, Siti Khadijah dan Abu Thalib meninggal dunia. Merasakan gangguan yang makin menjadi-jadi, Rasulullah pergi ke Thaif, sekitar 60 kilo meter imur laut Mekkah. Di Thaif, Rasulullah melancarkan da’wahnya kepada berbagai kabilah, baik yang hendak berziarah ke Ka’bah maupun kabilah-kabilah setempat.

Ketika intimidasi dari kafir Quraisy semakin gencar dan pengintaian gerak da’wah nabi semakin ketat maka dilakukan hijrah ke Madinah dengan meninggalkan rumah tangga, harta benda dan kehidupan keluarga demi menyelamatkan aqidah, ada yang berpisah dengan anak dan isteri, ada yang harus bercerai dengan ayah dan bunda dan saudaranya, ada yang bercerai dengan kekasih, semua itu bukan penghalang asal iman tetap terpateri dan karena imanlah kehidupan serta kesenangan dunia ditinggalkan.

Iman membutuhkan pembuktian, salah satu diantaranya adalah hijrah, bagi yang kuat melakukannya, tahu jalan ke Madinah, kalau imannya sudah mantap tidak ada pilihan lain selain berangkat, entah untuk berapa lama di rantau orang yang belum tahu bagaimana masa depan disana. Bila mengaku beriman tapi tidak siap memasuki ujian ini maka Allah meletakkan mereka pada derajat yang rendah kecuali mereka lemah dan tidak tahu jalan ke Madinah maka ampunan bagi mereka. An Nisa’ 4;98-99 yang artinya, ”Kecuali mereka yang teriandas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.

Ujian pertama yang dihadapi adalah melepaskan segala kesenangan dan keterikatan kepada kampung halaman [Mekkah] berupa kesenangan harta benda, pergaulan dan kecintaan. Bila ini dapat diatasi akan menghadapi ujian berikutnya yaitu perjalanan panjang yang melelahkan, belum lagi dihadang oleh kafir Quraisy, begitu diketahui mereka terpaksa digiring kembali ke Mekkah, disiksa bahkan nyaris dibunuh.

Dalam perjalanan ini tiada tempat berteduh selain padang pasir tandus, panas menyengat dikala siang hari, dingin mencekam dikala malam, belum lagi habisnya bekal dalam perjalanan dan penderitaan lainnya yang akan dialami bahkan nyawapun terancam. Tapi ini adalah ujian iman untuk membuktikan kesungguhan dalam beragama dan kecintaan kepada Allah.

Bukti kecintaan ummat kepada Allah yaitu siap menghadapi ujiannya dan bukti kecintaan Allah kepada hamba-Nya ditaburi ujian hidup sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al Baqarah 2;214 yang artinya, ”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncang dengan bermacam-macam cobaan...”

Tatkala Rasulullah akan meninggal Mekkah, di suatu tempat yang bernama Hazawwarah, di luar kota Mekkah, nabi berdiri sebentar menatap kota yang akan ditinggalkannya dan berdo’a kepada Rabbul Jalali, ”Demi Allah, sesungguhnya engkau, ya Mekkah adalah satu bumi yang palng aku cintai dan dicintai Allah. Demi Allah, kalau tidaklah karena aku di usir dari bumi Mu dalam keadaan terpaksa, pastilah aku tidak akan keluar”.

Akhirnya untuk mendapat restu Ilahi menghadap hari depan Rasulullah dan para sahabat, beliau selanjutnya memohon do’a, ”Ya Ilahi kobarkanlah rasa cinta yang mendalam dalam hati kami kepada kota Madinah,seperti kecintaan kami kepada Mekkah, atau lebih lagi. Ya Allah, sehatkanlah udaranya bagi kami, kurniakanlah berkah segala makanannya untuk kami dan singkirkanlah jauh-jauh segala penyakitnya, dan jadikanlah serasi untuk diri kamu”.

Sekelumit kisah yang dialami sahabat ketika mereka ikut hijrah ke Madinah, adalah Abu Dzar Al Ghifari, sahabat nabi yang mahir berdagang, ketika hijrah ke Madinah, para Muhajirin disaudarakan oleh Rasul dengan kaum Anshar, persaudaraan itu diujudkan dengan penyerahan sesuatu untuk membantu mereka, ada Anshar yang punya sawah dan ladang lebih dari satu maka dia serahkan kepada sahabat Muhajirin, ada yang punya ternak onta, sapi dan domba juga dibagi untuk saudaranya, hanya Abu Dzar yang tidak mau menerima pemberian itu walaupun halal, dia hanya bertanya, tunjukkan kepadaku dimana pasar, setelah tahu pasar, dia bertindak sebagai makelar untuk menjualkan onta, sapi atau domba orang, dari hasil itu dia mendapat komisi. Komisi yang diterimapun bukan berupa dinar dan dirham tapi dia hanya meminta tali ternak yang dijual itu saja. Hal itu berlansung sekian bulan sehingga menumpuklah tali-tali itu sampai menggunung. Tali itu dijualnya sampai bisa membeli seekor dua ekor ternak sampai dia jadi kaya raya dari hasil penjualan ternak yang ditekuninya, itulah aktivitas sahabat yang satu ini, dia bisa punya ternak dari keahliannya berdagang.

Kisah lain adalah tentang onta Rasulullah, sesampai Hijrah di Madinah, para sahabat Anshar memegang tali onta itu sambil berharap agar onta itu mau berhenti di rumah mereka, Rasul menghentikan keinginan sahabat itu sambil menyatakan, biarkan dia memilih tempat yang disukainya, tanpa disangka onta itu berhenti di depan rumah seorang anak yatim, tanah itu dibebaskan dan di bangun masjid disana yang kita kenal dengan masjid Nabawi.

Hijrah tidaklah sama dengan merantau walaupun pada intinya hijrah itu perjalanan merantau karena hijrah mengemban misi untuk kepentingan agama, menyebarkan fikrah islam dan menyelamatkan iman serta memperteguh keimanan. Kalaulah hal itu yang dibawa oleh perantau maka luar biasa perannya dalam mengemban risalah da'wah ini, tapi sayang motivasi merantau hanya semata-mata melepaskan diri dari himpitan ekonomi sebagaimana kebiasaan orang Minangkabau yang menjadikan rantau sebagai tempat mengadu nasib.

Merantau itu sudah menjadi darah daging, tidak saja sekarang malahan sejak nenek moyang kita dahulu. Kita tidak perlu terlena kalau ditengok di berbagai kota besar dan kecil di seluruh persada nusantara ini, bahkan sampai keluar negeri, pokoknya setiap sudut ada orang Minang.

Konon kabarnya, kalau orang Minang pergi merantau, bodoh atau bingungnya hanya satu minggu. Hal tersebut dapat kita buktikan, seperti di Kota Jakarta atau lainnya, banyak kita jumpai orang Minang berdagang di kaki lima, pepatah Minang juga mengatakan,”Bialah tanduak takubang, asalkan sungu ka makan”[biarlah suara habis bersorak, asalkan perut kenyang], setelah bersorak di kaki lima agak seminggu sampai sebulan akhirnya membuka kios, dari kios menjadi toko, bahkan sampai pedagang besar.

Tidak hanya masalah pedagang, kendatikan di rantau mereka bekerja di suatu instansi pemerintah, lama kelamaan akhirnya kembali ke daerah, ilmu yang didapat dirantau mereka terapkan di ranah minang. Berbagai faktor pendorong yang menjadi urang awak pergi merantau, disamping menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan ada juga panggilan rohani atau bakatnya untuk melanglang buana. Faktor meningkatkan nilai diri salah satunya dengan merantau, bahwa orang yang tidak pernah merantau bagi masyarakat pada umumnya dianggap rendah dan hina, disini faktor harga diri yang banyak menghanyutkan putra Minang ke rantau.

Pada saat di awal keberangkatan atau katakanlah pada saat persiapan segala sesuatunya untuk bekal di negeri orang, maka tidak jarang pula para orangtua dan mamak di Minang memberikan petuah atau nasehatnya seperti sebait pantun ini, ”Elok-elok manyubarang, jan sampai titian patah, elok-elok di rantau urang, jan sampai babuek salah”.

Pantun di atas sarat dengan nilai adat dan agama sebagai bekal seorang calon perantau melangkahkan kakinya meninggalkan kampung halaman. Sikap berhati-hati di rantau harus dijaga jangan sampai melakukan kesalahan. Kesalahan seorang Minang di rantau sama artinya merusak nama seluruh Minangkabau,sebait pantun lain berbunyi, ”Hiu beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu, kawan cara sanakpun cari, induk semang cari dahulu”. Artinya sesampai di rantau seorang Minang berprinsip famili bukan satu tujuan, lebih diutamakan ialah majikan atau pekerjaan. Boleh jadi keluarga tempat menetap tapi hanya dalam waktu sementara, untuk itulah pemuda Minangkabau mau dan mampu bekerja apa saja asal jangan membebani keluarga di rantau.

Bagi seorang pemuda Minang yang mewarisi sifat perantau nenek moyangnya itu, sangat memperhatikan petuah-petuah tersebut, sehingga malam dibuat untuk bantal dan siang dibuat untuk tongkat, maksudnya segala macam nasehat baik itu akan tetap dipegang teguh pada setiap saat baik siang maupun malam hari. Bekal lain yang diberikan orangtua atau mamak ketika melepas anak atau kemenakannya merantau adalah sebuah ungkapan manis yang padat dengan nilai-nilai yang harus dijadikan suluh dalam perjalanan yaitu,”Laut sati rantau batuah” dari ungkapan ini mengandung arti yang dalam.

”Laut sati” adalah bahwa kadangkala daerah atau rantau yang ditempuh itu bukanlah kota bebas, namun ada beberapa aturan atau pantangan yang harus dihindari atau batasan yang tidak boleh dilanggar. Sedangkan ”Rantau batuah” itu hampir mirip pengertiannya bahwa rantau/negeri orang itu selalu mempunyai keistimewaan buat daerahnya. Jadi antara saru daerah/negeri itu tidaklah sama adat kebiasaannya dengan daerah lainnya, sehingga kalau memasuki daerah orang, kita harus mempelajari terlebih dahulu adat kebiasaan masyarakatnya dan tidak berbuat sekehendak hati saja.

Setiap perantau yang berada jauh di negeri orang, meninggalkan sanak keluarganya dan kampung halaman,walaupun demikian warnanya sebagai orang Minang tidak akan berubah. Dimana dan kemanapun putra Minang merantau, berinteraksi dengan suku apapun dan berbaur dengan berbagai lapisan sosial masyarakat, dalam perputaran zaman dan pengaruh situasi maka warna Minang tidak pernah luntur. Seorang putra Minang boleh saja lahir di rantau, dibesarkan dan dididik di lingkungan perantauan, pun halal saja menemukan kehidupan di negeri lain, tapi orang Minang tetap Minang. Bilapun ada bangau yang tidak pulang ke kubangan dan lupa dengan asalnya, ada orang Minang yang luntur ke-Minangannya, itu sungguh suatu pengecualian, sulit mencarinya, barangkali dalam 10.000 perantau Minang hanya seorang yang warna Minangnya jadi luntur, mereka boleh dicap sosok Malin Kundang.

Bagaimanapun hijrah telah berlalu 14 abad yang lalu tapi mutiaranya tetap menggema di hati ummat sampai kapanpun, bukti kemantapan iman pada ummat sampai kapanpun, bukti kemantapan iman pada ummat dizaman kita bukan hijrah fisik sebagaimana yang dilakukan dimasa Rasulullah tapi hijrah hati nurani, iman dituntut pembuktian dengan melaksanakan hukum Allah melalui aktivitas amaliah ibadah.

Tahun baru islam ini seharusnya memberi arti perubahan pada diri setiap kita. Seperti hijrah yang mengubah dan memindahkan. Hidup kita harus berpindah, dari kubangan dosa kepada lautan taubat. Berpindah dari arogansi kerakusan, menuju kejujuran penunaian hak-hak orang. Hidup kita harus berubah, dari yang buruk menuju yang baik. Dari yang usang menuju yang segar. Kesalahan harus ditinggalkan. Kesemrawutan harus ditertibkan.

Tahun baru islam yang diawali dari semangat hijrah harus memberi arti pada dinamika hidup kita. Seperti hijrah yang penuh warna, tantangan, suasana dan harapan. Mekkah yang liat dari petunjuk, mengantarkan orang-orang yang berimannya menuju Madinah yang subur, dinamis, hangat dan sangat bersahabat. Maka seperti Madinah yang lembut, kekerasan di sekitar kita harus kita akhiri. Kekerasan di rumah tangga, saat seorang suami memukuli isteri yang menyiapkan untuknya makanan, melayani, serta mengasuh anak darah dagingnya. Kekerasan para perempuan yang menghinakan harga dirinya, di pentas gaya hidup yang palsu.

Kekerasan di jalanan, saat preman kelas teri menggantungkan nyalinya di ujung belati. Tak ada jiwa kesatria. Tak ada keprajuritan. Kekerasan di pentas politik, saat pemburu-pemburu kekuasaan rajin bersilat lidah dan beradu sogokan. Kekerasan di belantara usaha, saat perampok-perampok lari ke luar negeri. Semua harus dihentikan.
Mungkin ini adalah mimpi, mengharap kekerasan berhenti hanya karena momentum tahun baru ini. Mungkin para pelaku kekerasan itu bahkan seumur hidupnyatak pernah mendengar kata Muharam. Tapi setidaknya bila kita bukan pelaku kekerasan itu, kita bisa belajar, bagaimana sebuah kekerasan mengakhiri kesudahannya. Kita bisa belajar, bahwa jalan kekerasan tak pernah menyelesaikan.

Tahun baru ini harus memberi arti pada pertumbuhan kita. Seperti Madinah yang sigap berkembang. Dalam percepatannya yang mengagumkan. Nyaris tak ada satu rumahpun, kecuali telah ada anggota keluarganya yang masuk Islam. Pertumbuhan dalam hidup adalah kebutuhan. Sebab dengan pertumbuhan itu kita bertahan, pada saat yang sama kita mengarungi tantangan baru dan kesulitan yang terus menerus dating.

Hidup harus dibangun diatas pertumbuhan yang lebih sehat. Mengharapkan kesadaran pertumbuhan dari momentum tahun baru islam, mungkin terlalu berlebihan.. tapi orang-orang yang beriman, setidaknya mengerti bagaimana sebuah pilihan diambil, dengan sepenuh kesadaran. Seperti pilihan hijrah yang diambil orang-orang dimasa itu.

Tahun baru semestinya membuat diri kita lebih berarti, kita melihat, lalu kita tahu, kita menyaksikan, lalu kita memahami. Tapi hanya ketika kita berubah, tumbuh dan dinamis, kita akan menjadi sesuatu, dengan telah beranjak kita kepada tahun baru Hijriyah berarti kita mengangkat kembali konsep hijrah yang diajarkan oleh pendahulu kita yaitu shalafusshaleh, mari kita hijrahkan diri kita;

- Minal jahiliyah ilal islam, dari tatacara hidup jahiliyah kepada kehidupan yang islami.
- Minal kufur ilal iman, dari kehidupan kekafiran kepada keimanan.
- Minal syirik ilal tauhid, dari praktek hidup yang syirik kepada ketauhidan, hanya mengesakan Allah saja.
- Minal bathil ilal haq, dari kebathilan kepada kebenaran.
- Minal ma’siyat ilal thaat, dari pekerjaan yang mengandung dosa kepada ketaatan.
- Minal haram ilal halal, dari praktek hidup yang haram kepada kehidupan yang halal yang penuh berkah, wallahu a'lam [Cubadak Solok, 16 Ramadhan 1431.H/ 26 Ramadhan 2010.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar