Minggu, 13 Mei 2012

G u r u


Oleh Mukhlis Denros

Dengan penampilan yang sederhana, saya melihat seorang lelaki bersahaja berjalan melangkahkan kakinya menuju kelas sambil memeluk sebeban buku sebagai referensi, hari ini dia akan menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya dengan harapan para murid itu kelak tampil sebagai pemimpin membawa kapal besar Indonesia ini menuju kearah yang lebih baik, mencapai kemerdekaan yang sebenarnya merdeka dari segala belenggu penjajahan dan perbudakan yang menghempaskan manusia kepada kehinaan, dengan pendidikanlah dia berupaya meretas masa depan anak negeri agar pintar, baik dan pintar dengan bekal ilmu pengetahuan. Itulah penampilan sebagian besar guru-guru kita sejak dari ujung desa hingga kota besar.

Kekaguman terhadap guru itulah yang mendorong saya punya cita-cita kelak menjadi seorang guru. Hal itu dapat dirasakan sekian puluh tahun sebagai guru, susah dan senang, sakit dan pedih, pahit dan getir sebagai guru sudah saya rasakan, sejak sebagai guru mengaji pada sebuah madrasah, sebagai guru tingkat sekolah dasar, sltp, slta hingga menjadi seorang dokter. Walaupun perjalanan jauh sudah pernah ditempuh dengan berhujan dan berpanas, berjalan kaki hingga naik motor butut semuanya dilakukan hanya satu tekad untuk berhadapan dengan murid, guna transfer ilmu dan kepribadian.

Pendidik atau guru ialah orang yang memikul tanggungjawab untuk mendidik. Pada umumnya jika kita mendengar istilah pendidik akan terbayang di depan kita seorang manusia dewasa. Dan sesungguhnya yang kita maksud dengan pendidik adalah hanya manusia dewasa yang akan melaksanakan kewajibannya tentang pendidikan siterdidik.

Kalau kita hanya berpegang kepada istilah membimbing atau menolong seperti disebutkan dalam definisi pendidikan, maka orang akan dapat berkata bahwa seorang anakpun dapat menjadi pendidik karena ia dapat menolong anak lainnya. Namun demikian kita harus mengingat pula bahwa pendidikan itu hanya menolong, tetapi menolong dengan sadar, dengan maksud menuju tujuan pendidikan.

Kalau seorang anak menolong anak lainnya, tidaklah ada intensi [maksud] pada si penolong untuk menghubungkan tindakannya itu dengan tujuan pendidikan. Sampai disini saja gugurlah julukan pendidik pada anak penolong tadi.

Kalau ditinjau dari segi pertanggungjawaban, maka orang dewasa yang mendidik memikul pertanggungjawaban terhadap anak didiknya, sedangkan sipenolong kecil itu belumlah demikian. Jelaslah kiranya bahwa si penolong kecil itu belum dapat disebut pendidik dalam arti sesungguhnya, jadi pendidik itu adalah orang dewasa yang kita sebut dengan guru, menjadi gurupun tidak sembarang guru tapi guru yang punya profesi sebagai pendidik hingga profesional di bidang pendidikan yang digelutinya.
Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti
Dan kata profesional bukan hanya kata baku yang diperuntukkan bagi mereka yang kerja dikantoran. Bekerja di dalam ruang berAC, memakai kemeja, jas mahal, celana bahan bagi laki-lakinya, atau memakai blazer, rok mini, berkutat dengan orang-orang penting yang biasa disebut dengan istilah “meeting”. Tidak! kata professional berlaku untuk setiap profesi. Termasuk guru.
Guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Bila ia tak punya keahlian menjadi guru maka tidak dapat disebut sebagai guru. Oleh karnanya tidak semua orang bisa menjadi guru.[ Menjadi Guru Profesional, Nessa Morena].

Salah satu syarat guru profesional ialah sebagaimana yang diungkapkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara; Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso, tutwuri handayani, berarti keberadaannya pada semua sisi sangat diperlukan dalam rangka membawa manusia junior dengan bekal ilmu pengetahuan serta kepribadian yang luhur, sehingga akan tercetak manusia pintar lagi baik.

Untuk menjadi pintar sebagai sasaran sangatlah mudah yaitu suapi saja anak didik dengan berbagai ilmu pengetahuan, ini adalah bidang garap dari pengajaran, fokusny adalah otak. Sedangkan untuk menjadi manusia baik sangat sulit karena sasarannya adalah hati, bagian ini wewenang dari pendidikan. Anak yang pintar belum tentu baik karena dia tidak dididik, hatinya tidak diperhalus, keteladanan tidak diberikan. Anak yang baik bukan jaminan pula untuk pintar karena pengajaran yang diberikan kepadanya kurang.

Apalah artinya kepintaran kalau tidak baik karena akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan pola kehidupan. Pada satu sisi dia banyak mempunyai ilmu pengetahuan tapi pada sudut lain dia tidak dapat menghargai karya orang lain, meremehkan guru, tidak santun kepada orangtua atau tindakan lainnya.

Tugas guru bukan pada intelektualitasnya saja tetapi lebih jauh kepada kepribadiannya, baik dan pintar, otak dan hati sasarannya. Untuk menjadi pintar telah banyak usaha guru dikerahkan dalam bentuk transpormasi dan transfer ilmu pengetahuan, lugasnya pengalihan ilmu kepada murid berlansung dengan berbagai kegiatan formal sepanjang mengarah kepada otak atau keterampilan. Sudah banyak jasa guru dalam mencetak kader bangsa yang berkualitas, baik level daerah sampai tingkat internasional.

Dengan demikian berarti kehadiran guru yang berkualitas sangat diperlukan dalam mencetak kader bangsa disamping pintar juga baik. Dr. Zakiah Drajat sangat menekankan sekali agar seorang guru memiliki kepribadian. Faktor erpenting bagi seorang guru ialah kepribadiannya, kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia kembali menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, atau akan jadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.

Apa yang dimaksud dengan kepribadian ? dalam uraian kita tidak akan membicarakan arti atau batasan kepribadian secara teori, akan tetapi akan mencoba memahami berbagai unsur kepribadian yang dapat dilihat atau dipahami dengan mudah. Orang awam dengan mudah mengatakan bahwa seseorang itu punya kepribadian yang baik, kuat dan menyenangkan. Sedangkan ada pula orang lain dikatakan mempunyai kepribadian lemah atau buruk dan sebagainya.

Kepribadian sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan asfek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.

Guru yang goncang atau tidak stabil emosinya, misalnya mudah cemas, penakut, pemarah, penyedih dan pemurung. Anak didik akan terombang-ambing di bawah arus emosi guru yang goncang tersebut, tidak menyenangkan bagi anak didik, karena mereka seringkali merasa tidak dimengerti oleh guru. Kegoncangan perasaan anak didik itu akan menyebabkan kurangnya kemampuannya untuk menerima dan memahami pelajaran, sebab konsentrasi fikirannya diganggu oleh perasaannya yang goncang karena melihat atau menghadapi guru yang goncang tadi.

Guru yang pemarah atau keras, akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat tumbuh dan berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan derita atau ketegangan dalam hati anak, jika ia sering menderita oleh seorang guru, maka guru tersebut akan dijauhi agar dapat menghindari derita yang mungkin terjadi.

Hari ini kondisi kita jauh lebih maju daripada saat kita menyatakan merdeka. Saat republik berdiri, angka buta hurufnya 95 persen. Saya membayangkan betapa berat beban para pemimpin republik muda yang rakyatnya tidak mampu menulis, meski hanya menuliskan namanya sendiri. Hari ini, angka buta huruf itu tinggal 8 persen.

Melek huruf adalah langkah awal. Langkah berikutnya adalah akses ke pendidikan berkualitas bagi tiap anak sebagai kunci mengonversi keterbelakangan jadi kemajuan. Garda terdepan dalam soal ini adalah guru. Di balik perdebatan yang rumit dan panjang soal pendidikan, berdiri para guru. Mereka bersahaja, berdiri di depan anak didiknya; mendidik, merangsang, dan menginspirasi. Dalam impitan tekanan ekonomi, guru tetap hadir untuk anak Indonesia. Hati mereka bergetar setiap melihat anak-anak itu menjadi "orang". Pada pundak guru, kita titipkan persiapan masa depan republik ini.

Sekarang kita menghadapi masalah variasi kualitas dan distribusi guru. Menghadapi masalah itu, kita bisa berkeluh kesah, menyalahkan, dan mengkritik. Tapi, kita juga bisa singsingkan lengan baju dan berbuat sesuatu. Saya sedang mengajak semua untuk turun tangan. Melibatkan diri dalam mempersiapkan masa depan republik; menyiapkan masa depan anak-anak negeri dan melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Saya dan banyak kawan seide kini sedang mengembangkan program Indonesia Mengajar, sebuah inisiatif dengan misi ganda: Pertama, mengisi kekurangan guru berkualitas di sekolah dasar, terutama di daerah terpencil; dan kedua menyiapkan anak muda terdidik untuk jadi pemimpin masa depan yang memiliki kedekatan dengan rakyat kecil di pelosok negeri. [Guru Sebagai Garda Depan Indonesia, Anies Baswedan]
Puluhan tahun silam menjadi guru sangat sulit karena diukur dari kualitas dan prestasi, pengabdiannya dibanggakan, ilmunya diterima, akhirnya dijadikan sebagai teladan dalam hidup bermasyarakat. Tapi kini akibat terlalu banyaknya tampil guru-guruan dalam arti menyandang predikat guru bukan berangkat dari niat yang ikhlas serta minat yang mendasar lagi luhur. Hal ini menjadikan guru yang tidak terlibat didalamnya yaitu guru betul-betul guru dengan segala atributnya ikut tercemar.

Pameo lama,”Guru kencing berdiri murid kencing berlari” nampaknya masih sering dianut masyarakat kita, betapa tidak kalau murid melakukan adalahkesalahan dalam masyarakat orang akan berkata,”Pantas saja demikian karena gurunya juga begitu”. Sebenarnya hal ini ditujukan kepada salah seorang guru yang tidak disenangi, guru yang tidak berkualitas, guru yang tidak punya wibawa. Demikian kerasnya penilaian masyarakat kepada manusia yang disebut sebagai guru.

Guru, digugu dan ditiru, walaupun telah usang istilah ini masih relefan dengan dunia pendidikan sampai kapanpun, karena sebagai teladan lansung bagi murid, baik di kelas maupun dalam aktivitas masyarakat luas. Pamor itu akan pudar, julukan itu akan hambar di telinga kalau kita masih mendapati beberapa guru yang penampilannya tidak layak sebagai guru seperti berambut gondrong, ngebut di jalan, minum di kaki lima sambil berdiri pakai tangan kiri pula, berjudi, mabuk-mabukan, menggandeng gadis sembarangan atau gurau tawa dengan sesama teman yang menjurus kepada porno, minta rokok, atau boncengan dengan murid.

Nampaknya hal di atas adalah manusiawi dan wajar di lakukan oleh siapa pun tetapi masyarakat tidak menghendaki hal itu di lakukan oleh guru, karena dia adalah cerminan masyarakat yang harus di ikuti segala langkahnya.

Tugas guru bukan pada intelektualitasnya saja tetapi lebih jauh kepada kepribadiannya, baik dan pintar, otak dan hati sasarannya. Untuk menjadi pintar telah banyak usaha guru dikerahkan dalam bentuk transpormasi dan transfer ilmu pengetahuan, lugasnya pengalihan ilmu kepada murid berlansung dengan berbagai kegiatan formal sepanjang mengarah kepada otak atau keterampilan. Sudah banyak jasa guru dalam mencetak kader bangsa yang berkualitas, baik level daerah sampai tingkat internasional.

Dengan demikian berarti kehadiran guru yang berkualitas sangat diperlukan dalam mencetak kader bangsa disamping pintar juga baik. Dr. Zakiah Drajat sangat menekankan sekali agar seorang guru memiliki kepribadian. Faktor terpenting bagi seorang guru ialah kepribadiannya, kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia kembali menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, atau akan jadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.

Demikian besarnya peran seorang guru dalam mendidik muridnya menjadi pemimpin dimasa yang akan datang, dikerahkan segala potensinya untuk itu, patut kiranya dihargai dan dihormati selayaknya seorang guru, sehingga wajar bila Ali bin Abi Thalib menyatakan; "Aku adalah hamba bagi seorang guru yang telah mengajarku walaupun hanya satu huruf, jika ia menghendaki menjualnya, juallah aku, jika ia menghendaki memerdekakannya merdekakanlah aku, dan jika ia menghendaki menjadikan aku seorang budak, jadikanlah aku seorang budak".

Nabi Muhammad Saw bersabda; "Siapa saja yang mengajarkan seorang hamba sebuah ayat saja dari kitab Allah, maka ia menjadi tuannya [menguasainya]".

Kesuksesan seorang guru sehingga menjadi figur yang membanggakan muridnya, sampai kapanpun murid tidak akan lupa dengan gurunya walaupun sang guru tidak tahu lagi siapa dan sudah berapa murid yang menerima pelajaran dan teladan darinya. Sekedar mengajar saja mungkin tidak begitu sulit tapi menampilkan keteladan akan lebih lama bersemayam pada anak didik, keteladananlah yang akan membawa keberhasilan seorang guru. Guru pada hakekatnya juga seorang ulama yang berkewajiban untuk menerangi kehidupan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan kampung akherat yang menyenangkan.

Suatu ketika Hasan Al Bisyri didatangi oleh para budak, mereka mengharapkan agar beliau besok jum’at berkenan menyampaikan khutbah tentang pembebasan budak dan keutamaannya. Mereka sangat antusias sekali akan merdeka bila mendengar fatwa sang ulama sekaliber Hasan Al Bisyri. Dua dan tiga minggu, dua dan tiga bulan hingga mendekati setahun belum juga terdengar fatwa itu, walaupun sang ulama sudah sering pula menyampaikan khutbah dengan tema lain. Tepat satu tahun permohonan pada budak itu dikabulkan oleh Hasan Al Bisyri dengan berapi-api disambut dengan kesadaran oleh para tuan untuk memerdekakan budaknya.

Tentu saja para budak bertanya, kenapa sekarang mereka bisa merdeka ? tidak setahun yang lalu ? sang ulama kharismatik itu menjawab,”Ketika kalian datang kepadaku pertama kali tentang itu, aku tidak berdaya dan tidak mampu menyampaikannya. Sekaranglah baru saya punya uang, tadi pagi saya sudah memerdekakan seorang budak”, itulah sebuah keteladanan yang dicontohkan oleh ulama kita dahulu.

Dunia ini akan indah, baik dan selamat bila para guru dan ulamanya mengajarkan ilmunya dan dia juga mengamalkan ilmunya itu, siap tampil sebagai teladan dengan akhlak terpuji. Para nabi dan rasulpun tampil ke dunia ini berperan sebagai guru bagi ummatnya bahkan sebelum mereka menjadi seorang guru dan rasul maka sang nabi tadi harus berguru dulu dengan guru lain, artinya di atas langit ada langit, sebagaimana kisah nabi Musa yang harus berperan sebagai murid sebelum menjadi guru di komunitasnya.

Nabi Musa pernah ditanya oleh muridnya tentang orang yang paling pintar saat itu, maka dia menjawab bahwa dialah orang yang paling pintar. Tidak begitu lama Allah menegur Musa bahwa masih ada hamba Allah yang lebih pintar daripadanya. Musa bermaksud mencari orang tersebut dengan muridnya yang bernama Yusa' bin Nun. Pertemuan Musa dengan orang yang dimaksud terjadi dipertemuan dua lautan, dua lautan tersebut ada perbedaan pendapat ulama adalah laut Arab dan laut Merah, laut Tengah dan laut Atlantik dan ada yang mengatakan Laut asin dan laut Tawar [muara sungai Nil].

Dengan berbekal seadanya di tengah perjalanan mereka makan lalu ikan mereka yang tinggal sebelah melompat ke laut, Musa yakin bahwa inilah tempat yang dikatakan Allah, akhirnya Musa bertemu dengan orang yang dicari, orang yang dimaksud ialah nabi Khidir, sang guru mulai mengajar muridnya dengan metodenya.
Nabi Khidir mengajukan syarat belajar itu diantaranya adalah sabar sedangkan Khidir mengetahui karakter Musa adalah seorang pemuda yang tidak sanggup berlaku sabar; " Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Aku, Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati Aku sebagai orang yang sabar, dan Aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".[18;67-69]

Karena tekad yang luar biasa untuk mendapatkan ilmu dari orang yang lebih pintar dari dia, Musa berjanji akan siap untuk sabar selama menuntut ilmu;

Syarat kedua dalam menuntut ilmu adalah tidak banyak bertanya selama pelajaran sedang berlansung apalagi belum dijelaskan maksud dari pelajaran itu; "Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai Aku sendiri menerangkannya kepadamu".[18;70]

Ketika perjalanan mencari ilmu sedang berlansung, tiba-tiba Khidir melubangi perahu sehingga mengundang protes dari Musa, dari peristiwa itu kembali Khidir menuntut kesabaran dari muridnya; "Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu Telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar" "Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah Aku Telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku, Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum Aku Karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani Aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".[18;71-73]

Akhirnya Khidir memaklumi sikap Musa dan menerima sikapnya yang lupa untuk berlaku sabar, namun tiba-tiba kembali Musa dikagetkan pada peristiwa diluar kewajaran, Kidhir membunuh anak kecil yang tidak berdosa, hal itu memancing kembali kemarahan Musa yang tidak sabar melihat peristiwa itu; "Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan Karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu Telah melakukan suatu yang mungkar, "Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"Musa berkata: "Jika Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan Aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku"[18;74-76]

Musa berjanji kesalahan kedua ini dapat dimaafkan, bila terjadi lagi maka dia siap menerima sangsi apapun yang diberikan sang guru, sehingga perjalananpun berlanjut terus hingga sampai pada sebuah kampung, di dalam kampung itu ada rumah yang sudah roboh, Khidir mengajak Musa untuk memperbaikinya Kembali Musa memprotes dengan mengajukan usul kepada Khidir atas kejadian yang mereka alami; Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".[18;77]

Sudah tiga kali kesabaran Musa diuji dan kenyataannya memang dia tidak mampu bersabar dalam perjalanan itu, sesuai dengan janjinya bahwa kalau dia sudah tiga kali mendapat teguran dari guru maka Musa siap untuk diberi sangsi atas kesalahannya itu, Khidir lansung memberikan vonis untuk berpisah hari itu juga, tapi sebelum berpisah Khidir memberikan kesempatan kepada Musa untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dibalik itu, dengan seksama Musa menerima ilmu yang selama ini belum pernah dia peroleh;

Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara Aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya, dapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera itu, Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah Aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya"[18;78-82]

Seorang guru memang harus lebih dari muridnya pada segi ilmu sehingga membuat simpati serta kagum murid kepada muridnya, itulah makanya guru itu adalah orang-orang yang diharapkan banyak ilmu dan pengamalannya, kuat imannya dan tidak sedikit amal shaleh yang dimiliki, semakin tinggi kedudukannya di mata manusia karena bergelar guru, dosen, profesor atau serenceng gelar lain yang menunjukkan prestasi dan prestisenya sebagai guru, hal itu tidak menyilaukannya, karena bagaimanapun dia adalah hamba yang mendapat gelar pahlawan tapi tanpa tanda jasa walaupun banyak jasa dan pengabdiannya untuk membebaskan manusia dari kebodohan, tak banyak pintanya dari waktu ke waktu, beri peluang untuk mengajar, mendidik anak bangsa ini walaupun tak sebanding imbalan yang diterima dibanding dengan pengabdian, guru tetaplah guru walaupun muridmu sudah jadi orang besar memimpin bangsa ini, wallahu a'lam [Cubadak Solok, Ramadhan 1431.H/ Agustus 2010.M].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar