Minggu, 17 Juni 2012

Renungan Hari Ke 24 Ramadhan

PUASA DAN BAJU BARU

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Sepuluh hari terakhir Ramadhan dinamakan dengan ”Itqun Minannar” artinya terlepasnya seseorang dari azab neraka dengan izin Allah. Rasulullah adalah orang sibuk membangunkan keluarganya untuk menunaikan shalat malam dengan kegiatan i’tikaf mengejar lailatul qadar yang pahalanya sama dengan beribadah seribu bulan. Kondisi ini sangat kontras di daerah kita, sebagian ummat islam saat akhir Ramadhan itu bukan sibuk melaksanakan ibadah tapi sibuk dengan ma’isyah, mencari rezeki untuk keperluan Idul Fithri. Bukan tidak boleh kita melakukan itu tapi kadangkala kegiatan yang penting dari rangkaian ibadah Ramadhan jadi korban. Khususnya orangtua pada waktu itu berfikir tujuh keliling dan berusaha bagaimana bisa dapat rezeki lebih untuk kepentingan keluarga yang prioritas adalah ”baju baru”.

Bila yang satu ini sudah dipenuh lengkap dengan sepatunya. Apalagi sekian anak yang harus dicarikan tentu orangtua merasa bangga dan beban agak berkurang. Walaupun tuntutan lain seperti kue baru, lemari dan kursi baru, rumah walaupun hanya dengan cat baru. Semua itu akan beres asal bisnis lancar. Bila tidak dapat biarlah berhutang dahulu, toh nanti akan dibayar juga. Memakai baju baru memang tidak dilarang, hukumnya mubah. Rasull menyatakan agar ummatnya yang mampu dari segi keuangan agar nampak hal itu pada makanan, pakaian, kendaraan dan fasilitas lain selama tidak sombong dan membanggakan diri.

Ramadhan berakhir, disambut dengan semaraknya warna dan jenis pakaian dengan harga yang beragam sesuai dengan kemampuan kantong masing-masing. Demikian pula mode dan model pakaian jadi perbincangan para kaum ibu dimana-mana. Kadang kala jauh dari cerminan seorang muslim atau muslimah. Pakaian yang dicari mode terkini, kiblatnya Amerika dan Perancis melalui tampilan bintang film kesayangannya yang selalu mengumbar aurat. Ketat yang mencetak auratnya, transparan yang menampakkan bentuk tubuh dan pendek. Inilah ciri khas pakaian mode terkini yang digandrungi remaja dan pemuda kita. Seharusnya mereka tampil dengan jilbabnya sebagai ujud keberhasilan meraih taqwa di bulan Ramadhan ini. Sudah payah kita menyelesaikan puasa dengan rasa lapar, haus dan capek. Setiap malam pergi ke masjid dengan kerudung rapi, tapi setelah itu pakaian you can see dari mama diterima pula atau malah sang gadis sendiri yang menentukan begitu.

Kita boleh memakai baju baru, tidak ada larangan apalagi dalam merayakan Idul Fithri. Bahkan Fiqhpun menampilkan sunnah Rasulullah agar kedatangan kita ke masjid atau lapangan untuk shalat Idul Fithri memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki dan tidak mesti baru. Ukuran bagus itu relatif artinya kita masih senang memakainya, tidak cacat dan rusak. Bagi yang punya uang cukup banyak tidak soal bila semua baju, sepatu dan semua perlengkapan dapat dibeli walaupun suasana krisis. Tampaknya krisis bukanlah hal yang besar bagi rakyat Indonesia apalagi dengan masuknya Idul Fithri. Orang bisa bilang,”Tidak ada kayu jenjang dikeping”, walaupun susah mencarinya, tapi bagi orangtua ada sebuah kepuasan batin apabila semua anak dapat jatah dari usahanya untuk memakai pakaian baru saat Idul Fithri, padahal biaya sekolah setelah inipun menuntutnya yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi jenjang pendidikan yang lebih tinggi.


Seorang ulama sufi dikala menyambut Idul Fithri menyampaikan pesannya,”Yang dikatakan merayakan Idul Fithri itu bukanlah bagi orang yang mampu menyediakan serba baru, tapi bagi orang yang mampu memperbaharui dan meningkatkan mutu imannya”, sungguh nasehat yang bijak. Kalau iman kita meningkat setelah Ramadhan tidak jadi masalah meskipun kita punya barang yang serba baru sebagai ujud kegembiraan pada hari itu, selama baju dan yang serba baru itu menjadikan hamba semakin mendekatkan diri kepada Allah bukan malah sombong dan takabur. Karena watak negatif manusia itu suka meninggikan diri. Merasa cukup dan kuasa dikala apa yang dia inginkan tercapai,”Sesungguhnya manusia itu diciptakan berkeluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpakan kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir” [70;19-21].

Hakekat Idul Fithri bukanlah bagi orang yang mampu menyediakan serba baru, tapi bagaimana iman semakin meningkat dan semangat keislaman kitapun naik grafiknya. Rasul sering menyatakan kepada ummatnya ”Jadidul iman” [perbaharui iman], apalagi menghadapi kondisi umat hari ini yang centang perenang, syirik, bid’ah, kurafat dan tahyul jadi arena untuk mencemarkan iman dan ibadah seseorang.

Wajar kalau Rasulullah menyatakan bahwa iman itu mengalami fluktuasi yaitu naik dan turun. Kadangkala iman itu tinggi dan tidak jarang pula dia turun. Bukti iman tinggi adalah banyak ibadah dan kebaikan yang kita lakukan, bukti iman rendah yaitu banyak kemaksiatan yang dikerjakan,”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah bergetar hatinya, dikala dibacakan ayat-ayat Allah bertambah imannya”[8;2].

Dapatkah dikatakan iman seseorang itu bertambah dikala Ramadhan dia rajin beribadah, membaca Al Qur’an, shalat malam, melakukan puasa, infaq yang tidak hentinya, tapi setelah Ramadhan berakhir, baju baru telah dipakai semua itu tinggal kenangan, masjid semakin kosong, shalat bila diingat saja, baca Al Qur’an tidak pernah lagi, shalat malam tentu tidak lagi sedangkan shalat subuh saja sering berlalu karena kesiangan, puasa tidak pernah terlaksana dan infaqpun agak diabaikan, inikah yang dikatakan hasil Ramadhan dengan target taqwa itu? Ayo sambut Idul Fithri dengan pakaian baru dan serba baru, terutama hamasah [semangat] iman dan ghirah [kecemburuan] kepada islam yang tidak diragukan militansinya, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 11122001].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar