Selasa, 01 Mei 2012

Apa dan mengapa orang Minang Merantau


Drs. St. Mukhlis Denros
Suatu kebiasaan orang Minangkabau yang tidak mudah dilepaskan begitu saja yaitu merantau dalam rangka membenahi diri dengan berbagai pengalaman di daerah lain. Kebiasaan meninggalkan kampung untuk merantau guna menuntut ilmu atau untuk mencari kerja berprestasi di negeri orang untuk perbaikan hidupnya, disamping untuk pertimbangan kepentingan kampung halaman. Pandangan hidup yang demikian itu diungkapkan dalam pepatah yang berbunyi, ”Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun, satinggi tabang bangau,baliak juo ka kubangan, sanang bana hiduik di rantau, takana juo kampuang halaman”.

Ini berarti bahwa selain adanya budaya pengembangan sumber daya manusia dan usaha perbaikan kehidupannya sendiri, terkandung pula keterkaitan dan keterikatan para perantau itu untuk turut memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup sanak famili dan kampung halamannya seperti diperkuat oleh pepatah, ”Anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan”. Dengan demikian peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan budaya merantau itu masih tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan sejauh hal itu mengandung unsur manfaat bagi kehidupan dan pembangunan di kampung halaman.

Merantau itu sudah menjadi darah daging, tidak saja sekarang malahan sejak nenek moyang kita dahulu. Kita tidak perlu terlena kalau ditengok di berbagai kota besar dan kecil di seluruh persada nusantara ini, bahkan sampai keluar negeri, pokoknya setiap sudut ada orang Minang.

Konon kabarnya, kalau orang Minang pergi merantau, bodoh atau bingungnya hanya satu minggu. Hal tersebut dapat kita buktikan, seperti di Kota Jakarta atau lainnya, banyak kita jumpai orang Minang berdagang di kaki lima, pepatah Minang juga mengatakan,”Bialah tanduak takubang, asalkan sungu ka makan”[biarlah suara habis bersorak, asalkan perut kenyang], setelah bersorak di kaki lima agak seminggu sampai sebulan akhirnya membuka kios, dari kios menjadi toko, bahkan sampai pedagang besar.



Tidak hanya masalah pedagang, kendatikan di rantau mereka bekerja di suatu instansi pemerintah, lama kelamaan akhirnya kembali ke daerah, ilmu yang didapat dirantau mereka terapkan di ranah minang. Berbagai faktor pendorong yang menjadi urang awak pergi merantau, disamping menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan ada juga panggilan rohani atau bakatnya untuk melanglang buana. Faktor meningkatkan nilai diri salah satunya dengan merantau, bahwa orang yang tidak pernah merantau bagi masyarakat pada umumnya dianggap rendah dan hina, disini faktor harga diri yang banyak menghanyutkan putra Minang ke rantau.

Pada saat di awal keberangkatan atau katakanlah pada saat persiapan segala sesuatunya untuk bekal di negeri orang, maka tidak jarang pula para orangtua dan mamak di Minang memberikan petuah atau nasehatnya seperti sebait pantun ini, ”Elok-elok manyubarang, jan sampai titian patah, elok-elok di rantau urang, jan sampai babuek salah”.

Pantun di atas sarat dengan nilai adat dan agama sebagai bekal seorang calon perantau melangkahkan kakinya meninggalkan kampung halaman. Sikap berhati-hati di rantau harus dijaga jangan sampai melakukan kesalahan. Kesalahan seorang Minang di rantau sama artinya merusak nama seluruh Minangkabau,sebait pantun lain berbunyi, ”Hiu beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu, kawan cara sanakpun cari, induk semang cari dahulu”.

Artinya sesampai di rantau seorang Minang berprinsip famili bukan satu tujuan, lebih diutamakan ialah majikan atau pekerjaan. Boleh jadi keluarga tempat menetap tapi hanya dalam waktu sementara, untuk itulah pemuda Minangkabau mau dan mampu bekerja apa saja asal jangan membebani keluarga di rantau.

Bagi seorang pemuda Minang yang mewarisi sifat perantau nenek moyangnya itu, sangat memperhatikan petuah-petuah tersebut, sehingga malam dibuat untuk bantal dan siang dibuat untuk tongkat, maksudnya segala macam nasehat baik itu akan tetap dipegang teguh pada setiap saat baik siang maupun malam hari.

Bekal lain yang diberikan orangtua atau mamak ketika melepas anak atau kemenakannya merantau adalah sebuah ungkapan manis yang padat dengan nilai-nilai yang harus dijadikan suluh dalam perjalanan yaitu,”Laut sati rantau batuah” dari ungkapan ini mengandung arti yang dalam.

”Laut sati” adalah bahwa kadangkala daerah atau rantau yang ditempuh itu bukanlah kota bebas, namun ada beberapa aturan atau pantangan yang harus dihindari atau batasan yang tidak boleh dilanggar. Sedangkan ”Rantau batuah” itu hampir mirip pengertiannya bahwa rantau/negeri orang itu selalu mempunyai keistimewaan buat daerahnya. Jadi antara saru daerah/negeri itu tidaklah sama adat kebiasaannya dengan daerah lainnya, sehingga kalau memasuki daerah orang, kita harus mempelajari terlebih dahulu adat kebiasaan masyarakatnya dan tidak berbuat sekehendak hati saja.

Setiap perantau yang berada jauh di negeri orang, meninggalkan sanak keluarganya dan kampung halaman,walaupun demikian warnanya sebagai orang Minang tidak akan berubah. Dimana dan kemanapun putra Minang merantau, berinteraksi dengan suku apapun dan berbaur dengan berbagai lapisan sosial masyarakat, dalam perputaran zaman dan pengaruh situasi maka warna Minang tidak pernah luntur. Seorang putra Minang boleh saja lahir di rantau, dibesarkan dan dididik di lingkungan perantauan, pun halal saja menemukan kehidupan di negeri lain, tapi orang Minang tetap Minang. Bilapun ada bangau yang tidak pulang ke kubangan dan lupa dengan asalnya, ada orang Minang yang luntur ke-Minangannya, itu sungguh suatu pengecualian, sulit mencarinya, barangkali dalam 10.000 perantau Minang hanya seorang yang warna Minangnya jadi luntur, mereka boleh dicap sosok Malin Kundang.

Sehingga wajar kalau orang Minang pada hari-hari baik, kalau ada kesempatan dan rezeki lapang berusaha pulang kampung melepas kerinduan dengan teman bermain dan tepian mandi, setelah itu kembali lagi ke rantau merambah kehidupan.

Di rantau apapun jabatan dan pekerjaan dilakukan dengan berhati-hati tak ubahnya di kampung sendiri karena prinsip ”Dimana bumi dipijak disinan langik dijunjuang” telah melembaga sejak dahulu yang diwarisi dari tradisi nenek moyang.

Sepanjang sejarah kehidupan manusia selama itu pula akan silih berganti putra-putra Minang meninggalkan kampungnya mencari pengalaman, ilmu dan penghidupan di rantau orang. Dimanapun berada yang dianggap baik tempat menetap oleh seseorang sama saja, karena bumi Allah ini luas, lakukanlah sesuatu untuk menuju kemajuan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, entah di Solok atau di Solo, entah di Lampung atau di Kampung, entah di Merauke atau di Maroko, bukan jadi penghalang bagi orang Minang untuk berkiprah [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Umum Singgalang Padang, 03101999].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar