Selasa, 01 Mei 2012

Maulid Nabi dan kisah seorang ibu


Drs. St. Mukhlis Denros
Setiap tahun ummat Islam merayakan serta memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, walaupun sebenarnya bukanlah suatu kewajiban yang disyariatkan, sekedar media da’wah untuk mengenang kembali langkah perjuangan kehidupan yang pernah ditapaki oleh Rasulullah.

Pada suatu ketika ummat Islam dilanda kelesuan, ummat Islam loyo, gairah terhadap agama lenyap tidak seperti halnya kaum Nasrani. Salahuddin Al Ayubi yang terkenal dengan sebutan Sultan Saladin mengadakan sebuah sayembara; siapa yang dapat membangkitkan kembali gairah ummat Islam yang sedang ‘’tertidur’’ maka dia akan diberi sebuah kedudukan dalam kerajaan. Maka tampillah seorang ulama yang bernama Syaikh Al Barzanzi yang mengarang kisah hidup Rasulullah, isinya sarat dengan pujian serta riwayat hidup Rasul yang patut diteladani. Hingga kini masih terdengar orang-orang yang membaca Barzanzi dalam memperingati Maulid Nabi terutama di desa-desa, tapi sayangnya mereka tidak menterjemahkannya walaupun syair-syair yang dikumandangkan itu mereka sedikit sekali yang mengetahuinya.

Di Indonesia selalu diadakan acara ini dengan beberapa nama sesuai dengan tempatnya seperti di Solo disebut dengan “Sekaten”, di Cirebon dengan istilah “Mauludan”, “Nyangku” bagi orang Ciamis. Dalam menyambutnya diadakan pula beberapa kegiatan sejak dari desa dengan surau yang sederhana sampai istana negara.

Pada daerah Keraton tepatnya Yogyakarta, dalam upacara mengarak dan membersihkan barang-barang kuno seperti keris, tombak, pedang dan lain-lain, bekas cucian airnya digunakan untuk ajimat, disimpan serta ada pula yang diteteskan di kebun agar tanaman hidup dengan subur dan berbuat lebat. Hal ini adalah ajaran yang penuh dengan bid’ah, kurafat, syirik dan tahayul yang tidak sesuai lagi dengan maksud Sultan Saladin.

Pokok utama dalam memperingati Maulid bukan pesta hura-huranya tetapi meniru dan meneladani perjuangan serta sikap hidup Rasulullah, dalam Al Qur’an surat Al Ahzab 33;21 Allah berfirman, ”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Rasulullah juga pernah bersabda, ”Aku diutus Allah ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia”, kelahirannya adalah rahmat untuk seluruh manusia yang diterangkan Allah dalam surat Saba’;28 ”Dan tidaklah Kami utus engkau Muhammad kecuali untuk seluruh ummat manusia, memberi kabar gembira dan peringatan”.

Kisah Seorang Ibu
Dalam rangka mengenang serta memperingati hari kelahiran Rasulullah ada baiknya kita lihat sejarah singkat perjalanan seorang ibu yang pernah mendambakan seorang anak dengan harapan anak tersebut menjadi penghulu dunia, dialah Siti Aminah, ibunda Rasulullah.

Al kisah, seorang dara cantik rupawan, tumbuh di keluarga Quraisy, berasal dari keturunan yang tinggi martabatnya yang merupakan kebanggaan suku Quraisy di Mekkah. Putri dari kepala Bani Zuhrah yang termashur kedudukannya. Terjaga rapat dalam pingitan, hingga hampir tidak diketahui masyarakat. Harum wangi dara kembang tercium oleh pemuda-pemuda Quraisy, yang kemudian berlomba-lomba menyiapkan diri mempersuntingnya.

Aminah telah mengetahui dan mengenal Abdullah seperti pemuda-pemuda lainnya. Bani Hasyim adalah keluarga yang paling dekat dibandingkan dengan suku-suku lainnya. Keintiman keluarga ini telah terpupuk sejak Qusyai dan Zahrah putra Kilab bin Murah. Aminah mengenal Abdullah sejak masa kanak-kanak kemudian menjadi gadis mekar yang dipingit. Mereka sering bertemu dilorong-lorong Mekkah dan Baitil Atiq. Akrabnya mereka ditunjang pula dengan keakraban antara orangtuanya dengan sering bersilaturahmi membicarakan kepentingan masyarakat Mekkah.

Karena mimpi yang mempengaruhi Abdul Muthalib, bersama Harits anaknya pergi membawa pacul untuk menemukan sesuatu dekat berhala Ishafa dan Nailah. Orang Quraisy menghalangi sehingga hampir terjadi baku hantam namun dengan undian yang dimenangkan Abdul Muthalib dengan tenang dia terus menggali hingga paculnya terantuk batu-batu yang menutup sumur, ya itulah dia sumur zam-zam yang telah tertimbun sekian lamanya, kini mulai dihidupkan kembali oleh Abdul Muthalib. Dia sering diolok-olok oleh penduduk Mekkah karena mempunyai anak hanya seorang. Kesedihannya itu terobati setelah ditemukannya kembali sumur zam-zam, lalu dia bernazar, ”Apabila aku mempunyai anak sepuluh anak, salah satu dari mereka akan ku sembelih untuk Tuhan”, harapannya terkabul, ia memiliki sepuluh anak dan Abdullah anak yang paling bungsu.

Suatu hari Mekkah menjadi heboh, penduduk Mekkah semuanya tidak henti-hentinya membicarakan Abdul Muthalib yang membawa anaknya menuju Ka’bah. Semuanya telah mendapat undian dan dengan hati pasrah menyerahkan kepada-Nya. Kaum wanita seluruh Mekkah turut berguncang hatinya, ikut sedih dan berdebar-debar menanti saat yang menentukan, ada pula wanita-wanita yang sengaja datang menyaksikan. Tetapi Aminah, mawar Zuhrah itu tetap tinggal di rumahnya, hatinyapun gelisah sendiri.

Undian menentukan bahwa Abdullah sebagai korban. Dan dengan tangan kanan memegang pisau yang berkilat-kilat Abdul Muthalib membawa Abdullah ke tempat jagal. Kejadian itu cepat pula sampai ke telinga Aminah. Jam seakan berhenti berdetak dan bumi tidak berputar. Hari berjalan terasa lambat sekali. Aminah serta dara-dara lainnya menjadi sedih. Mereka menyayangkan mengapa Abdullah yang terpilih. Padahal ia adalah pemuda harapan ayahnya dan juga harapan penduduk Mekkah. Keluarga Abdul Muthalib dirundung kedukaan, semua saudara Abdullah menangis dan berdebar-debar menunggu ketetapan itu.

Aminah yang telah kehilangan semangat hidupnya, tiba-tiba timbul kembali. Tatkala ia mendengar seseorang yang menceritakan tentang keselamatan Abdullah, ”Saat Abdul Muthalib telah meletakkan pisau berkilat-kilat di leher anaknya dan memalingkan muka serentak bangkit berdiri tokoh-tokoh Quraiys dan melarangnya, ”Demi Allah, jangan kau laksanakan dulu. Tunggu sampai ada keputusan yang dapat dipercaya. Apakah tidak engkau fikir ? kami khawatir bila yang kau lakukan ini menjadi adat dikemudian hari. Bagaimana nasib kaum Quraisy bila setiap bapak menyembelih anaknya”.


Penyembelihan itu dibatalkan sebelum mereka menemukan keputusan dari seorang dukun Hejaz. Perjalanan dua puluh hari lamanya mencari dukun itu. Semua turut berduka cita sehingga kota Mekkah mati, tidak ada kesibukan dan keramaian. Wanita-wanita tidak mau ketinggalan menunggu keputusan dari Hejaz, mereka berharap agar Abdullah selamat. Keputusan yang diberikan dukun itu ialah agar diganti dengan 100 ekor onta yang disembelih.

Meminang Aminah
Suatu hari Abdul Muthalib datang ke rumah Barrah untuk meminang Aminah. Dia kaget, setelah sadar dia mejerit kegirangan, tetapi dalam hati saja. Seolah dia tidak percaya, benarkah langit telah memilihnya untuk jadi isteri Abdullah ? Serasa meledak dadanya karena bahagia yang tidak terhingga. Mendengar kabar itu seluruh wanita Mekkah yang simpati dan menaruh hati kepada Abdullah menjadi iri serta sakit hati termasuk Laila Addawiyah.

Belum habis berita tentang Abdullah dengan penebusannya yang menjadi buah bibir masyarakat Mekkah. Kini mereka ramai membicarakan tentang perkawinan Abdullah dengan Aminah. Keramaian pesta perkawinan Aminah dan Abdullah selama tiga hari tiga malam. Saat mengantar Aminah ke rumah mertuanya, ke dunia baru yang harus dimasuki, dunia yang masih asing. Ia ucapkan selamat tinggal kepada rumah yang dia huni, rasanya ia tidak tega, sesampai disana Abdullah menunjukkan rumah baru buat mereka berdua. Rumah yang sederhana, cukup nyaman bagi mereka, ideal bagi pengantin baru.

Abdullah tiba saatnya untuk berpisah dengan Aminah menuju Syam melakukan perdagangan. Perpisahan itu terasa berat bagi Aminah. Hatinya tak rela melepas kepergian suami yang baru menikahinya itu. Hatinya bergetar hingga menggigil seluruh tubuhnya. Erat dipegang tangan suaminya seakan tak mau melepas untuk pergi. Pelan dilepaskan tangan isterinya itu, melangkah ke halaman dengan tangan yang telah lepas dari wajah isterinya. Dengan senyum dipaksakan dia berujar, ”Bersabarlah Aminah, aku pergi hanya beberapa minggu saja. Tunggulah, aku akan datang segera dengan membawa oleh-oleh untukmu. Tak berapa lama. Tinggallah kau dengan bayangan dan hatiku disini. Yang pergi hanyalah ragaku saja. Jasmaniku pergi untuk mencari kelebihan hidup. Ia akan cepat kembali karena kesayangannya ada disini, disampingmu, engkaulah satu-satunya makhluk Allah yang paling aku sayangi dan cintai”.

Tapi Aminah setelah kepergian suaminya tak berhasil melenyapkan kedukaan dan kesedihan. Semangatnya melemah, terbang bersama perginya suami tercinta. Dia hanya dapat terpaku diam, mematung di depan pintu mereka. Dadanya seakan tak dapat menahan keharuan.

Hari-hari selanjutnya ia terbaring dengan fikiran kosong. Kerinduan seakan ingin meledak, menghancurkan dadanya yang lemah. Dia selalu menyendiri dan menyepi untuk melamunkan berbagai kenangan indah yang akan dan telah dianyam selama ini.

Satu bulan berlalu. Hatinya risau memikirkan nasib suaminya apalagi kini telah tampak tanda-tanda kehamilannya. Keyakinan akan adanya bayi dalam kandungan itu membuat Aminah sadar. Semangat dan kekuatannya timbul lagi sampai memasuki bulan kedua dan ketiga, namun belum ada juga kabar tentang Abdullah. Walaupun kafilah Mekkah telah ada yang kembali, kemana Abdullah ?

Menurut berita dari Abdul Muthalib, Abdullah sakit di Yatsrib, sehingga harus menunggu sehat dulu baru bisa ke Mekkah. Rindu Aminah semakin menggelegak akan kehadiran suaminya. Apalagi jika datang impian yang memberitahu dirinya anak siapa yang dikandungnya itu. Hatinya seringkali kesal bila dia terbangun tengah malam karena mimpi yang menyenangkan itu dan dia ingin membaginya, ternyata tak ada siapa-siapa disininya.

Mendengar kabar dari Harits memukul batin siapa saja terutama Aminah, hatinya remuk. Kesedihan, kedukaan, kemurungan bercampur menjadi satu. Selama beberapa waktu dia tidak mampu berkata sepatahpun. Hatinya tetap tidak percaya bahwa Abdullah telah mati, meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Tapi akhirnya gerakan bayi dalam kandunganya menyadarkan dirinya. Semangat dan kesehatannya pulih. Kedukaan perlahan hilang seiring dengan berjalanya waktu. Ketenangan dan kepasrahan itu mampu menumbuhkan tangis yang selama ini tertahan. Juga kata-kata kesedihan dapat diucapkan. Sehingga agak lapang rasa hati dan beban jantungnya.

Penduduk Mekkah dikala itu lemas lunglai. Apalagi ketika disadari betapa belia usia Abdullah, delapan belas tahun, ternyata tak memberinya kesempatan lebih lama untuk mereguk nikmat dunia ini. Maut telah datang menjemput membawanya pergi. Maut yang dulu gagal mengambilnya, kini datang menagih janjinya yang tertunda, tanpa kenal kasihan, pada semua keluarga, semua penduduk yang mencintainya, juga pada isterinya yang ”inai” di tangannyapun belum hilang.

Berita lain yang mengusik kota Mekkah ialah tentang kelahiran anak Aminah yang bertepatan pula dengan adanya berita akan kedatangan Nabi yang telah lama ditunggu. Baik Yahudi maupun Nasrani, mereka berharap agar Nabi tersebut lahir dari kalangan mereka. Secara psikologis berita itu mempengaruhi jiwa Aminah. Sehingga wajar kiranya jika dia merasa bermimpi, bahwa yang dikandungnya itu adalah seorang manusia calon Nabi dan pemimpin ummat. Bersamaan kelahiran anaknya, Mekkah diserang pasukan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah, namun maksud tersebut gagal karena Allah melindungi Ka’bah dari tangan-tangan jahil. Abrahah dan pasukannya telah mengadakan perjalanan dari Yaman dengan kekalahan dan kehancuran, menjelang tengah malam Senin Rabi’ul Awal, bayi Aminah lahir, setelah mengadakan perjuangan antara hidup dan mati. Kelahiran itu sangat menyenangkan hati Aminah.

Begitu semuanya beres dan bayinya diletakkan di sisinya, ucapan syukur berkali-kali dipanjatkan. Wajah anaknya bersih, cakap dan tampan mengingatkan akan Abdullah ayahnya. Mata Aminah tak henti-hentinya memandang wajah dan tubuh anaknya yang menghabiskan sisa malam itu. Ketika sinar Matahari mulai tampak mengintip di ufuk Timur, Aminah menyuruh pembantunya untuk mengirimkan berita gembira itu pada mertuanya, Abdul Muthalib serentak datang menengok. Dialah Muhammad bin Abdulah bin Abdul Muthalib Al Quraisy yang lahir dalam keadaan yatim, bersamaan dengan kehancuran pasukan Abrahah yang akan menguasai Mekkah, wallahu a’lam [Harian Serambi Minang Padang, 31052002]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar