Selasa, 01 Mei 2012

Jangan larut dengan pujian


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Salah satu sifat manusia yaitu senang dipuji oleh orang lain atas usaha yang telah dilakukan atau sanjungan terhadap apa yang ada pada dirinya, bisa saja berbentuk kecantikan atau jabatan dan harta yang dimilikinya.

Dalam pendidikan pujian diperlukan dalam rangka menghargai dan memberi semangat belajar anak-anak, bila tidak diberi pujian oleh guru atau orangtuanya atas pekerjaan yang dilakukan mengurangi gairah belajar dan mematikan motivasinya.

Pujian atau sanjungan pada satu sisi memang diperlukan sebagai sarana menghargai kerja keras seseorang sekaligus memotivasi dalam bergerak dan menjaga hubungan yang harmonis, seperti seseorang pimpinan memberi penghargaan kepada bawahannya dengan ucapan kebanggaan walaupun karya itu masih harus diperbaiki, ”Bagus sekali hasil kerja anda, tapi harus dibenahi lagi agar lebih baik”, seorang guru atau orangtua harus memberi penilaian kepada kerja murid/ anaknya dengan kalimat memperhatikan, ”Nilai enam cukup bagus, tapi kamu harus menaikan nilai ini tahun depan”.

Dari segi agama pujian dan sanjungan sangat berbahaya atas diri seseorang yang dipuji yaitu;

Pertama, pujian dan sanjungan itu akan menyebabkan seseorang lalai untuk mengoreksi dirinya, menjadikan lemah daya mawas diri bahkan mengakibatkan timbul rasa sombong dan angkuh serta kebanggaan terhadap dirinya, yang kesemuanya itu termasuk moral yang tercela, Rasulullah bersabda,”Hamburkanlah tanah pada muka orang-orang yang memuji itu”.

Kedua, apabila dipuji kebaikan dan keshalehannya, maka pasti menjadi senang tapi akan melemahkan kesungguhannya untuk beramal dan berbakti, bahkan dapat menghilangkan keikhlasannya, padahal beragama tanpa keikhlasan itu tidak ada artinya. Allah berfirman dalam surat al Baiyinah; 5, ”Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya”.

Syekh Musthafa Al Ghalayani berkomentar tentang orang-orang yang mabuk pujian; Seringkali kami melihat keadaan pribadi masing-masing manusia itu apabila mendapatkan pujian dan ancaman. Namun bagian terbesar dari para manusia itu jikalau tampak sekali kegembiraan hatinya, sekalipun isi pujian itu benarnya berupa suatu kebathilan yang nyata. Demikian pulalah bagian terbesar dari mereka itu jikalau dikecam atau dicela jelas sekali kemurungan atau ketidak senangan hatinya, sekalipun isi kecaman serta apa yang dikecamkan kepadanya betul-betul berupa suatu kebenaran yang nyata dan dapat dibuktikan.

Orang yang mengharapkan pujian orang lain atas amal yang dilakukan berarti dia berbuat tidak ikhlas atau niatnya tidak murni karena Allah tetapi karena riya’. Mengenai ukuran riya’, pernah dirumuskan oleh seorang ulama terkemuka bernama Fudhail bin Iyad sebagai berikut, ”Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirik, dan yang dinamakan iskhlas ialah mudah-mudahan Allah melepaskan kita dari kedua sifat tersebut”.

Maksud ucapan tersebut ialah, bahwa barangsiapa yang berniat hendak mengerjakan sesuatu ibadah kemudian ditinggalkannya [dibatalkan] karena takut dilihat manusia, maka dia telah berbuat riya’, sebab ditinggalkannya itu karena manusia, adapun kalau ditinggalkannya itu dengan maksud untuk dikerjakan di tempat sepi, maka perbuatannya itu terpuji. Dalam hal ini dikecualikan mengenai amal fardhu seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain.

Tidak termasuk kategori riya’ bila mengerjakan sesuatu amal secara terang-terangan, dilihat oleh manusia jika niatnya supaya dicontoh orang, Rasululah bersabda, ”Orang yang beramal itu mendapat dua pahala, yaitu pahala karena sembunyi-sembunyi dan pahala karena terbuka [terang-terangan]”.

Orang yang mudah larut dengan pujian dari segi Islam berarti hatinya sudah rusak, dihinggapi penyakit riya’ dan bayangan kehebatan pribadi, akhirnya tidak akan berbuat kalau tidak menerima pujian. Kelak di Padang Mashar akan di hadapkan oleh Allah tiga golongan besar manusia yaitu Pahlawan, Ilmuwan dan Dermawan. Ketiga golongan ini tidak berharga di hadapan Allah karena pahlawan melakukan perjuangan agar disebut sebagai pahlawan, mendapat penghargaan serupa bintang jasa serta dimakamkan di makam pahlawan.

Sedangkan ilmuwan habis waktunya untuk mengajar dan belajar karena ingin disebut orang cerdik pandai, ulama, cendekiawan dan julukan-julukan lain, demikian pula hartawan habis dananya untuk membangun masjid, mushalla, membantu fakir miskin, menyelamatkan ummat dari kesengsaraan agar mendapat nama dengan sebutan sebagai sang dermawan. Ketiga kelompok ini bukan dimasukkan ke syurga tapi dijerumuskan ke jahanam karena dia berbuat mengharapkan pujian manusia, sanjungan, popularitas dan tepukan.

Salah satu identitas seeoreang masuk Islam yaitu mengucapkan kalimat ”Laa Ilaaha Illallah” selain berarti ”Tidak ada Tuhan selain Allah” juga bermakna, ”Tidak ada yang layak menerima sanjungan dan pujian kecuali Allah”. Kalau seorang muslim larut oleh pujian manusia berarti dia telah keluar dari persaksian padahal dia mengetahui bahwa setiap shalat selalu membaca Al Fatihah yang intinya memuji Allah, ”Segenap puja dan puji milik Allah, Tuhan penguasa alam semesta”.

Vitamin suatu sanjungan penting dalam rangka menggairahkan kerja dan meningkatkan motivasi kita dalam berbuat dan beramal, tapi jangan larut dengan pujian, karena dapat melenakan seseorang dan mengantarkannya kepada kerusakan pribadi, amalnya tidak mendapat pahala, sombongnya semakin menjadi, hidupnyapun habis begitu saja, mudah-mudahan jadi pelajaran bagi mereka yang punya hati nurati, wallahu a’lam [Tabloid Solinda Solok, Edisi 21/ September 2002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar