Selasa, 01 Mei 2012

Budaya suap menyuap


Oleh Drs. Mukhis Denros

Jauh sebelumnya Wakil Presiden RI pertama yaitu Dr. Muhammad Hatta telah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, mengakar dan sulit diberantas. Apalagi rezim yang berkuasa memberi peluang untuk itu dengan istilah-istilah indah, seperti; “kebocoran” ,atau “salah prosedur”. Sehingga orang tidak takut mengerjakan perbuatan itu, bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai “pekerjaan sampingan”,nauzibillahi minzalik.

Perbuatan suap menyuap pada ghalibnya beredar di kalangan pejabat-pejabat yang punya wewenang. Dengan alat wewenangnya itu diloloskannyalah apa-apa yang dihajatkan oleh si penyogok buat suatu kepentingan. Dengan harapan supaya di hasilkan apa yang dihajatkannya maka si penyuap memberikan apa-apa yang patut menggembirakan hati seorang pejabat. Bisa berupa uang, benda-benda berharga atau barang dan perhiasan serta makanan

Jadi suap menyuap itu terjadi dari dua pihak yang sama-sama ada kepeningan. Yakni kepentingan menerima ”uang sogok” di satu pihak dan kepentingan menerima “kelolosan hajat” di pihak lain. Perbuatan main suap dan menerima suap dilarang keras oleh Syara’ Agama Islam. Dihitung berdosa besar di sisi Allah SWT.

Menurut catatan sejarah pergaulan antar bangsa, bahwa perangai suka menyogok adalah perangai-perangai kaum Yahudi dan China perantauan. Asal mulanya dua bangsa ini di mana-mana tempat selalu diperlakukan semena-mena oleh yang berwajib. Dalam banyak hal mereka selalu menjumpai kesulitan dan ketidak-lancaran. Maka supaya lancar tiap urusan itu, dipergunakanlah uang buat melancarkannya, menyogok.



Setelah lama perangai itu berjalan mengalami proses meningkat, bukan hanya untuk ”melancarkan” tapi uang itu kemudian juga digunakan untuk ”membeli kelancaran”. Tiap-tiap uang yang diberikan bukan lagi dianggap sebagai hadiah, tapi sudah berubah arti menjadi ”penebus”. Lama-kelamaan perangai ini menyebar dan menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat, hingga sekarang.

Budaya suap menyuap itu adalah penyelewengan yang tidak kecil. Rasulullah mengatakan, ”Laknat Allah atas orang-orang yang memberi suap dan menerima suap”. Dalam hadits lainpun dikatakan, ”Dilaknat Allah orang-orang makan suap dan memberikan suap dan orang-orang yang menjadi perantaranya”.

Demikian ancaman disampaikan Rasulullah dan ajaran Islam terhadap perbuatan ini. Tinggal lagi mental ummat, apakah ini dianggap sebagai budaya, sudah zamannya, semua orang juga begitu, inikan hadiah bukan suap, balas jasa kok tidak boleh, dan seterusnya. Sebenarnya hati nurani yang bersih dari maksiat pasti menolaknya.

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab kedatangan tamu bernama Tartar An Nahar dari sebuah kerajaan tetangga. Diakhir kunjungan raja tersebut ia meninggalkan sebuah kalung emas yang diberikannya kepada isteri Umar. Dan isteri Umar senang hati menerima pemberian itu.

Tapi tidak bagi Umar. Dia mengatakan bahwa hadiah itu harus dimasukkan ke kas negara. Tapi sang isteri protes, katanya hadiah itu bukan untuk negara, melainkan untuk dirinya. Dengan arif Umar berkata, ”Begitu banyak wanita di Madinah ini, kenapa engkau saja yang mendapat hadiah sementara yang lain tidak? Bila aku tidak jadi Khalifah siapa yang mau memberimu ? ingat segala pemberian yang berkaitan dengan jabatan adalah suap”.

Abu Zar Al Ghifari adalah sahabat Rasulullah. Suatu kali dia datang kepada Nabi, katanya, ”Ya Rasulullah, banyak sahabat yang engkua berikan jabatan sebagai gubernur, tapi kenapa aku tidak engkau beri jabatan?”. Rasulullah menjawab, ”Hai Abu Zar, engkau adalah orang yang lemah, tidak sanggup engkau memikulnya karena jabatan itu amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya”.

Ini menunjukkan kepada kita bahwa orang yang dekat dengan Rasul saja masih dikatakan lemah. Apalagi kita, tentu jauh lebih lemah lagi. Bila tidak hati-hati bisa jabatan menjatuhkan kita.

Ada orang yang mampu mempertahankan imannya dikala diberikan jabatan. Tidak sedikit pula yang menjaga kesuciannya ketika disodorkan wanita. Tapi banyak pula yang hancur harga dirinya dikala berhadapan dengan harta. Saat uang datang menggoda dia berbisik, ”Mencari yang haram saja sulit apalagi yang halal”. [Tabloid Solinda Solok, edisi 16/ Februari 2002].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar