Jumat, 08 Juni 2012

Renungan Hari Ke 17 Ramadhan

HAMBA YANG MENCINTAI ALLAH

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Semarak Ramadhan masuk pada hari ketujuh belas biasanya diikuti dengan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur'an yang kita kenal dengan MTQ. Kegiatan ini diberbagai mushalla, surau dan masjid dengan berbagai lomba, selain tilawah Qur'an juga ada yang disebut dengan syahril Qur'an, lomba pidato dan cerdas cermat. Semua ini dalam rangka menyambut puncak acara Nuzulul Qur'an yaitu turunnya Al Qur'an dengan menggelar Tabligh Akbar mengundang penceramah kondang.

Banyak hal positif diadakannya MTQ, selain menjalin silaturahim antar surau dan masjid tingkat Jorong, Nagari, Kecamatan dan Kabupaten. MTQ juga ajang adu kemampuan dengan berbagai macam lomba. MTQ mendidik anak-anak dan remaja kita ikut bertanggungjawab terhadap kegiatan yang diadakan, menjadikan mereka sebagai peserta yang harus santun dan sopan karena mereka adalah utusan kafilah yang membawa nama baik kontingennya.

salah satu kewajiban seorang muslim adalah membaca Al Qur'an, bahkan Ibnu Taimiyah menyebutkan,"Barangsiapa yang beriman tapi tidak membaca, tidak mengkaji dan tidak menamalkan Al Qur'an, berarti dia mencampakkan Al Qur'an", Al Qur'an harus menjadi kajian dan amalan sehari-hari bagi muslim, bukan sebatas Musabaqah Tilawatil Qur'an saja tapi harus juga ada semangat untuk mengadakan Musabaqah Amalul Qur'an yaitu perlombaan untuk mengamalkan Al Qur'an, salah satu hamba yang mencintai Allah adalah orang yang mau menjadikan Al Qur'an sebagai bacaan, kajian dan amalannya.


Kehadiran manusia di dunia ini seharusnya membawa misi yaitu rahmat bagi seluruh alam dengan menegakkan nilai-nilai tauhid melalui panji kebenaran yaitu kalimat ”Laa ilaaha illallah” yang biasa kita artikan dengan ”Tidak ada Tuhan selain Allah” pengertian ini benar tapi ini baru satu makna yang terkandung dalam kalimat syahadat, arti lain berbunyi,”Laa Mahbuuba Illallah” artinya tidak ada yang dicintai kecuali Allah Swt.

Allah telah mengajarkan kepada ummatnya bagaimana memposisikan cinta dalam kehidupan ini agar tidak salah menempatkannya di ladang haram sehingga dapat merusak aqidah, ibadah dan seluruh asfek keimanan dalam ajaran islam. Dalam surat At Taubah 9;24 Allah telah menggariskan kepada ummatnya prioritas cinta dalam kehidupan mukmin dalam rangka untuk menjaga eksistensi iman dengan landasan aqidah tauhid 

’’Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Pada ayat ini Allah mengajarkan kepada manusia khususnya orang-orang yang beriman agar meletakkan posisi cinta itu pada peringkat paling atas adalah cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya dan cinta kepada berjihad membela agama-Nya mengalahkan cinta kepada yang lainnya. Bukan kita menafikan cinta kepada yang lainnya. Allah sendiri menyatakan bahwa kecendrungan cinta manusia itu selain yang tiga diatas, agar selamat hidup ini diarahkan prioritas cinta hamba kepada tiga hal, yang lainnya pada peringkat di bawah itu, bila terbalik maka kualitas ummat ini sama dengan orang-orang fasiq, mengerti tapi tidak mau untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Cinta kepada bapak-bapak, anak-anak dan saudara-saudara direfleksikan melalui ujud ukhuwah islamiyah agar terujud kehidupan yang harmonis, saling membimbing dan mengarahkan kepada kebaikan. Cinta kepada isteri dan keluaraga memotivasi kita untuk punya mas’uliyah yaitu jiwa tanggungjawab mengarahkan mereka menjadi hamba-hamba yang berbakti hanya kepada Allah.

Bila bapak, anak dan saudara tidak satu aqidah dengan kita bahkan mereka bukanlah saudara kita, nabi Ibrahim harus berpisah dengan bapaknya karena sang bapak arsitek penyembahan kepada berhala, nabi Nuh dengan rela membiarkan anaknya hanyut ditelan air bah sebab tidak mau mengikuti ajakan dan ajaannya dan nabi Muhammad harus melepas kepergian Abu Thalib mengakhiri kehidupannya dalam keadaan kafir lantaran dia menolak untuk mengucapkan kalimat syahadat.

Isteri dan keluargapun banyak kasus harus berseberangan dengan orang-orang yang mencintainya ketika hidayah dan iman tidak dapat dipaterikan, sebagaimana nabi Luth yang rela meninggalkan isterinya terbenam menerima la’nat Allah karena kekafirannya, nyata memang historis mengajarkan kepada kita bahwa iman itu adalah hidayah yang tidak dapat dihadiahkan kepada siapapun.

Cinta kepada harta kekayaan, perniagaan dan tempat tinggal merupakan sarana agar dapat dimanfaatkan untuk merealisasikan tujuan cinta yang lebih besar dari itu yaitu cinta kepada Allah, Rasul dan Jihad. Bila hamba benar-benar mencintai Khaliqnys maka cinta itu tidaklahlah bertepuk sebelah tangan, akan diresfon oleh Allah dengan kecintaa yang luar biasa bahkan dikasihi dan diampuni dosa-soda hamba-Nya itu, semua itu diikuti pula dengan mengikuti; sunnah nabi-Nya yaitu Muhammad Saw; • ”Sesungguhnya Allah Telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing),”[Ali Imran 3;31]

Cinta kepada Allah sebagai Ilah adalah fithrah manusai beriman sebagaimana orang-orang kafirpun menaruh cinta yang mendalam kepada sembahannya padahal sembahan mereka itu adalah bathil yang berujung kepada kesesatan dan kesia-siaan, apalagi seorang mukmin yang telah meletakkan posisi cintanya secara proporsional, tentu lebih mencintai Allah atas segalanya;

”Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”[Al Baqarah 2;165]

Balasan cinta hamba kepada Allah diterangkan oleh Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim;”Apabila Allah mencintai seorang hamba maka memanggil Jibril dan memberitahu kepadanya bahwasanya Allah mencintai Fulan, maka cintalah kamu kepadanya. Kemudian diserukan kepada semua panghuni langit; sungguh Allah mencintai Fulan, maka hendaklah kamu semua mencintainya. Kemudian setelah dicintai penduduk langit kemudian diterima penduduk bumi”.

Pejuang aqidah dan mujahid da’wah seharusnya memberikan contoh kepada ummat ini agar sikap mereka memang aplikasi dari cintanya kepada Allah melalui amal shaleh dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana para nabi dan rasul, serta shalafus shaleh benar-benar nampak dalam tindakan mereka ujud dari Mahabbatullah [mencintai Allah] melalui amal yaum [amal harian] seperti qiyamul lain [tahajud], shoum [puasa], qira’atil qur’an [membaca al Qur’an], zikir, maiyatulah [merasakan kesertaan Allah], murawabatullah [merasa dekap dengan Allah ] serta peningkatan ruhani yang berkualitas.

Seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al Adawiyah dalam munajadnya kepada Allah dia menuturkan kalimat cinta dengan deraian air mata,”Ya Rabbi seandainya aku beribadah karena mengharapkan jannah-Mu maka jauhkanlah syurga itu dariku, bila aku beribadah karena takut dengan neraka-Mu maka masukkanlah aku ke dalamnya, namun bila aku beribadah karena cintaku pada-Mu, maka janganlah Kau sia-siakan aku”.

Bila orang-orang beriman tidak lagi iltizam [komitmen] terhadap Islam bahkan sikap mereka bertolak belakang dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya seperti murtad dari semua asfek islam atau secara parsial mengamalkan syariat ini, tidak lagi mencintai Allah, berlaku kasar kepada sesama muslim, bersahabat dengan orang-orang kafir, telah meninggalkan jihad serta takut dengan provokasi yang menyesatkan padahal berada pada kebenaran, maka tunggulah bahwa ummat ini akan dihancurkan lalu diganti dengan generasi baru sesuai harapan Allah yaitu kaum yang mencintai-Nya.

Mencintai Allah adalah salah satu makna kalimat syahadat, meninggalkan asfek ini berarti kita telah keluar dari syahadat, orang yang telah kelaur dari syahadat secara otomatis tidaklah diakui lagi kemuslimannya, kematian yang menimpanya disaat itu mengantarkannya kepada kehidupan akhir yang menyengsarakan yaitu neraka, masih ada waktu bagi kita yang mengaku muslim untuk muhasabah [evaluasi diri] sejauh mana kalimat syahadat itu telah kita ujudkan dalam mencintai Allah, wallahu a’lam [Solok, 23042001]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar