Jumat, 08 Juni 2012

Renungan Hari Ke 18 Ramadhan

IBADAH YANG FATAMORGANA

Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



Delapan belas hari bukanlah waktu yang singkat, didalamnya membutuhkan sekian juta detik dan menit dan sekian jam, tidak sedikit pula energi terkuras untuk itu, siang kita harus lapar dan haus ditambah dengan keletihan sepanjang hari, malampun rasa ngantuk bergelayut, kita tidak ingin semua itu sia-sia, taujih pada renungan ini tentang ibadah yang sia-sia atau fatamorgana.

Banyak pahala yang bisa kita kumpulkan pada bulan ini. Peluang itu ada disamping termotivasi dengan ungkapan bahwa Ramadhan itu disebut juga dengan ”Syahrul Ibadah” artinya bulan ibadah. Hal itu memang nyata dari nasehat-nasehat rasul tentang keutamaan beribadah pada bulan yang penuh berkah ini. Pahala membaca Al qur’an satu huruf saja bernilai sepuluh. Infaq seperti diluar bulan Ramadhan dengan satu kebaikan saja berpahala tujuh ratus, shalat sunnah akan dibalas setara shalat wajib, memberi orang ifthar [perbukaan] akan diberi pahala sama dengan orang yang berpuasa. Bagi yang menemukan malam qadar akan bernilai ibadah seribu bulan, suatu pahala dan ganjaran fantastis yang diberikan Allah kepada orang-orang yang berpuasa.

Tidak tanggung-tanggung, bagi yang puasa dengan iman dan ihtisab [penuh perhitungan] akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Luar biasa kasih sayang Allah kepada ummata islam. Walaupun usianya pendek tapi dengan kelebihan yang diberikan Allah bisa mengalahkan pahala ummat terdahulu yang umurnya sampai ratusan tahun. Sedangkan ummat Muhammad rata-rata usianya hanya enam puluh tahun. Hakekat hidup ini bukanlah jumlah usia tapi amal-amal yang berkualitas yang dilakukan selama hidup, apalah artinya umur panjang tetapi lebih banyak maksiat daripada pahalanya. Biarlah hidup pendek tapi bisa mengukir sejarag gemilang. Idealnya memang berumur panjang dan banyak kebaikan, yang sangat buruk adalah orang yang umurnya pendek tapi kejahatannya menumpuk, Buya Hamka pernah berkata,”Hidup bukanlah diukur dari jumlah usia, sehari Srigala hidup di hutan seribu tahun hitungan domba”.

Bulan ini adalah bulan panen bagi abid [ahli ibadah] untuk mengisi kekurangan dan menambah amal-amal di kemudian hari dengan berbagai rangkaian ibadah Ramadhan sehingga peluang ini digunakan seoptimal mungkin oleh orang-orang yang cerdas. Sebab bulan Ramadhan hanya sekali dalam setahun,”Seandainya umatku tahu keutamaan bulan Ramadhan tentu mereka akan meminta agar seluruh bulan ini Ramadhan”[Hadits].

Dari ibadah yang dilakukan seorang hamba, akan mendapat pahala dari Allah dan diukur sebagai ibadah bila niatnya ikhlas hanya semata-mata termotivasi untuk beribadah kepada Allah saja. Tidak dipaksa dan tidak terpaksa oleh siapapun. Bukan karena atasan, bukan karena mertua dan tetangga,”Tidak Aku perintahkan mereka beribadah kepada Allah selain mengikhlaskan amal-amal itu dalam agama ini” [98;5]. Kegiatan hamba akan bernilai pahala bila aktivitas itu mengacu kepada tuntunan yang ditunjukkan oleh sistim yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya, ”Ittibaur rasul” tidak melaksanakan ibadah tanpa aturannya,”Barangsiapa yang beribadah tidak sesuai dengan apa yang kami ajarkan maka tertolak”[hadits], inilah yang disebut dengan bid’ah, yaitu mengada-adakan ibadah yang tidak diajarkan oleh Rasul. Kerja kita akan bernilai pahala bila tujuannya tiada lain mencari ridha Allah. Bila sandaran ibadah mencari ridha yang lain maka akan bernilai nihil ”Barangsiapa mencari pahala akhirat maka dia akan mendapatkan dunia, barangsiapa yang semata-mata mencari dunia maka dia tidak akan mendapatkan pahala akherat” [Al Ghazali].


Ibadah yang dilakukan seorang hamba karena dua hal;
1. Disebabkan rasa syukur yang mendalam karena banyaknya nikmat yang diberikan Allah. Bahkan jika dihitung-hitung jumlah nikmat itu maka manusia tidak mampu untuk mengkalkulasikannya sejak dari tidur sampai tidur kembali, apalagi sejak lahir hingga wafat [16;18]

2. Pengabdian kita kepada Allah selain rasa syukur juga ujud rasa kagum atas keagungan Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya termasuk menciptakan diri manusia dengan fasilitas yang luar biasa [7;54], wajar bila seorang sufi berkata,”Barangsiapa yang mengetahui eksistensi dirinya niscaya dia mengenal siapa Tuhannya”.

Namun praktek ibadah itu tidak semuanya diterima Alah sebagai ibadah yang akan dinilai dengan pahala bila telah menyimpang dari niat. Jauh dari mencontoh Rasulullah dan tujuannya bukan karena mencari ridha Allah ” Betapa banyak orang yang melakukan amal besar tapi pahalanya kecil karena salah niatnya dan tidak sedikit pula orang yang beramal kecil tapi pahalanya besar karena benar niatnya” [Ulama Salaf], inilah yang disebut dengan fatamorgana. Disangka ibadah yang dilakukan di dunia dapat banyak pahala sebagai imbalannya tapi setelah berada di akherat hilang sama sekali,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti hati orang seperti halnya orang yang memberikan hartanya karena ria kepada manusia”[2;264].

Seorang musafir sudah dua hari dia menyusuri padang pasir dalam melakukan perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Rasa lapar bisa dia tahan tapi dikala haus sulit sekali mengendalikannya. Diantara kelelahannya itu dari kejauhan nampak olehnya sebuah oase yang penuh berisi air sehingga meningkatkan kembali semangat juangnya untuk melakukan perjalanan. Penuh harap terbersit di hatinya agar cepat sampai di lembah yang berair itu, tapi rasa takut dan khawatirpun hinggap di hatinya seandainya dia tidak mampu melanjutkan perjalanan. Dia usahakan sekuat tenaga dan kemampuannya, tempat dimaksud sudah dekat, tanda lokasi serumpun batang kurma jadi pedomannya. Tapi alangkah terkejutnya dikala sampai di tempat itu, disini tidak ada ada air sedikitpun, dia mengeluh, kesabarannya hampir lenyap.

Diantara kekecewaannya itu, dia melihat sebuah lembah yang penuh dengan air, persis sebagaimana pemandangan yang pertama tadi, ketika dituju, hal itu hilang dari pandangannya, itulah fatamorgana. Hanya sebuah pemandangan menurut prasangka dan imajinasi seseorang tapi realitanya tidak ada, kita khawatir demikian pula nanti ibadah puasa yang kita ukir dari malam ke malam dengan berbagai kegiatan. Dikira mendapat pahala, tapi di akherat tidak satupun kebaikan yang bisa kita terima bahkan berubah menjadi bencana, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 121220

Tidak ada komentar:

Posting Komentar