Jumat, 08 Juni 2012

Renungan Hari Ke 20 Ramadhan

PROFIL PRIBADI MUHSININ
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros



satu ketika seorang teman bertanya kepada saya, kenapa pada bulan Ramadhan ini banyak orang yang beribadah seperti puasa, shalat berjamaah, membaca Al Qur'an, infaq semakin giat, tarawih dan tahajud dilakukan selain ibadah-ibadah lain. tapi ketika Ramadhan berakhir maka berakhir juga segala-galanya, tidak ada bekas Ramadhannya, yang merokok kembali memulai untuk mencairkan anggaran rokoknya, semua amalan Ramadhan itu hilang. Maka jawabannya adalah; Ramadhan itu ibarat musim, sama dengan musim durian, ketika durian sedang musim, maka dimana-mana kita melihat durian bahkan harganya murah sekali, karena banyaknya sehingga hargapun dibanting, tidak ada orang yang tidak mencicipi buah durian karena mudah dan murahnya mendapatkan buah ini. begitu juga dengan Ramadhan, karena dia bulan musim amal maka banyak amal ibadah yang bisa dilakukan, seharusnya ketika Ramadhan berakhir akan berkelanjutan amal-amal itu dilakukan tapi nyatanya tidak, karena ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan belum lagi jadi jati diri, belum lagi menjadi pribadinya yang demikian, bisa saja karena ikut-ikutan, malu dengan tetangga dan mertua serta lainnya, begitu juga dengan kebaikan, ada orang berbuat baik hanya diRamadhan saja, setelah Ramadhan tidak ada kebaikan yang ditaburnya, bahasanya kasar, candanya jorok, sikapnya arogan karena hal itu belum jadi pribadinya, begitu juga dengan muhsin [orang yang berbuat baik] akan bertahan lama amal-amalnya itu bila sudah menjadi pribadinya.


Yang dimaksud dengan Muhsinin adalah orang-orang yang mampu berbuat dengan amaliyah ibadah dalam seluruh asfek kehidupannya,bukan ibadah sebatas ritual dan mahdhoh saja tapi segala aktivitasnya bernilai ibadah semuanya yang diawali dari niat yang ikhlas, berbuat dengan standard acuan pribadi Rasulullah hingga pada tujuan hanya mencari ridha Allah.

Ada orang yang berbuat nampaknya ibadah tapi tidak dapat dikatakan sebagai muhsin sebab amalnya tadi mengandung kecacatan sehingga tidak berpahala disisi Allah. suatu ketika malaikat Jibril datang kepada Rasulullah yang ketika itu hadir para sahabat, dialog ini terjadi dalam masjid nabi di Madinah, salah satu pertanyaan Jibril kepada Rasulullah adalah tentang Ihsan/Muhsin, maka beliau menjawab,”Ihsan atau Muhsin itu adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya, tapi bila engkau tidak dapat melihat-Nya [Karena memang manusia tidak dapat melihat Allah di dunia ini] maka yakinlah bahwa Allah pasti melihatmu”.

Asfek ibadah seorang ihsan sangat luas sekali,salah satunya dengan harta benda sebagaimana yang diterangkan Allah dalam firman-Nya surat Al Baqarah 2;195
”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

Dalam sebuah peperangan, sebelumnya Rasulullah menyampaikan taujih [pengarahan] kepada para sahabat bahwa biaya jihad itu sanga besar sekali, maka beliau menawarkan kepada muhsinin di zaman beliau, maka tampillah ketika itu Umar bin Khattab dengan ucapannya,”Ya Rasulullah akan aku serahkan separuh hartaku untuk berjihad besok”, dalam hati Umar menyangka bahwa dialah yang paling besar infaqnya, setelah itu tampil pula Abu Bakar dengan wibawa menyatakan.”Wahai Rasul, aku serahkan seluruh hartaku untuk jihad besok”, Rasull bertanya,”Apa yang kau sisakan untuk keluargamu ?”, Abu Bakar menjawab ”Yang tersisa adalah Allah dan Rasul-Nya.” Dalam hati Umar bergumam,”Memang Abu Bakar tidak bisa disaingi dalam kebaikan ini”.

Demikian semangatnya para sahabat dalam menanamkan kebaikan bagi kepentingan ummat dan da’wah, tidak boleh kita menghentikan kebaikan karena intres-intres pribadi, sebagaimana yang terjadi pula pada diri Abu Bakar, ketika itu telah ditemukan siapa orang yang menyebarkan isu tentang terjadinya dugaan penyelewengan Aisyah dengan Shafwan, isu itu berkembang sehingga merusak keutuhan rumah tangga Rasulullah. Rupanya salah seorang yang menyebarkan isu itu adalah pembantunya sendiri, maka langsung Abu Bakar menyatakan,”Saya tidak akan lagi memberimu makan dan memutuskan agar engkau keluar dari rumah ini”, mengetahui sikap Abu Bakar demikian maka Rasul melarangnya, bahwa tidak boleh memutuskan kebaikan kepada orang yang biasa kita beri kebaikan apalagi keluarga sendiri, Abu Bakarpun mencabut sumpahnya tadi.

Jangankan muslim, sedang manusia kafirpun hati nuraninya menuntut untuk berbuat kebaikan. Tersebutlah dizaman Rasul ketika beliau diboikot penduduk Quraisy di lembah Si’ib atau dikenal dengan nama lembah Abu Thalib, tidak boleh berdagang dan membeli dagangan dari non muslim, sehingga Rasul ketika itu dengan para sahabatnya menderita tanpa bahan makanan, ada seorang sahabat yang ketika malam hari saat buang air kecil dia merasakan ada sebuah benda keas yang teraba olehnya, dia bawa pulang, rupanya selembar kulit kambing yang sudah mengeras, itulah yang dia bersihkan lalu dimasak dan dimakan, demikian sengsaranya ummat islam diperlakukan oleh Abu Jahal dan kawan-kawan.


Dalam kondisi demikian, tergeraklah hati seorang kafir Quraisy untuk memberikan bantuan, dia ambi seekor kuda, lalu diisi dengan bahan makanan di seluruh pundaknya, sarat dengan bekal itulah, dia arahkan sang kuda ke lembah Si’ib, kemudian dia pukul pinggul kuda itu dengan kuatnya sehingga larilah sang kuda ke arah ummat islam yang sedang menunggu bantuan dari siapapun.
Profil muhsinin adalah pribadi yang siap untuk mencapai derajat taqwa dengan jalan berbuat baik dimana saja dan kapan saja, baik dalam kondisi lapang ataupun sempit, dalam kondisi kaya atau miskin;
 “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”[Ali Imran 3;134].

Nilai pahalanya tentu beda bagi seorang kaya mampu menginfaqkannya dari harta sebesar umpamanya Rp. 5.000,- sedangkan orang miskin uang sebesar itu harus dicari dengan pengorbanan yang luar biasa sedangkan si kaya sangat mudah sekali, dan Allah memang menuntut ummatnya untuk berbuat baik tidak dinilai dari besarnya tapi kualitasnya.

Banyak sebenarnya bagi seorang mukmin peluang-peluang untuk berbuat baik itu yang tidak sebatas ibadah wajib saja, semisal ibadah haji, bagi yang sudah pernah menunaikannya,alangkah baik menahan diri untuk tidak ke Mekkah lagi, sementara dana untuk kesana dialokasikan untuk kepentingan lain yang pahalanya tidak dapat ditandingi seperti kepentingan pendidikan dan sosial dalam rangka membantu meringankan nasib dhu’afa.

Termasuk semangat membangun masjid, kita tahu bahwa sudah terlalu banyak masjid dibangun dengan dana ratusan juta, itu memang sebuah kebaikan akan bernilai pahala disisi Allah, tapi mengalokasikan dana tersebut untuk memakmurkan masjid apakah tidak berpahala, memang fisiknya tidak nampak, tapi hasilnya akan nampak bagi jamaah, termasuk untuk pembinaan generasi muda di masjid, apakah kita rela masjid indah sementara fakir miskin merintih disamping masjid atau ada remaja yang putus sekolah karena tidak ada biaya karena kita tidak memperhatikannya.

Kebaikan apapun dan seb esar apapun tidak boleh kita remehkan sebab nabi pernah mengabarkan bahwa dengan kebaikan yang kecil itu siapa tahu kita ditetapkan sebagai penduduk syurga selama-lamanya. Peran keluarga sangat baik dalam mendidik nak untuk berbuat baik seperti memberikan infaq dan sedekah kepada fakir miskin yang datang ke rumah kita.

Untuk mencapai derajat taqwa seseorang harus melewati fase muhsin ini sehingga dia diberi prediket orang yang selalu berbuat baik. Dengan kebaikan ini pulalah akan membuat simpati orang kepada kita sehingga rasul menyatakan kalau ummatnya ini seperti lebah yang selalu mengeluarkan hal-hal yang baik seperti madu dan bila lebah hinggap pada ranting yang rapuh sekalipun maka ranting itu tidak akan patah.

Saat Muhamad diproklamirkan Allah sebagai Rasul, waktu itu tersebar kabar yang menuduh Muhammad orang yang membuat kerusakan karena membawa ajaran baru. Datanglah seorang ibu ke Mekkah dengan kendaraan onta yang disewanya, tepat onta itu berhenti di depan Rasul yang sedang lewat, sang ibu berteriak agar dia dibantu untuk mengangkatkan barang-barangnya tersebut, maka tampillah Muhammad. Dalam perjalanan sang ibu banyak ceritanya tentang isu Muhammad yang mengaku sebagai nabi dan merusak bangsa Quraisy, ibu itu berpesan ,”Saya kasihan dengan kamu, janganlah kamu berteman dengan Muhammad nanti kami disesatkannya”.

Sesampai Muhammad mengantarkan barang itu, beliau menolak ketika sang ibu memberikan upah, lalu dia berkata,”Ibu tahu tidak dengan Muhammad?”, ibu itu menjawab bahwa dia belum kenal dengan Muhammad, baru sebatas informasi dari orang, beliau berkata,”Sayalah yang bernama Muhammad itu”, lansung sang ibu terkejut dan menyatakan diri sebagai muslimah.

Da’wah islam akan merambah cepat ke tengah masyarakat bila ummatnya mampu menampakkan kebaikan-kebaikan dalam seluruh lapangan kehidupan. Kebaikan yang kita gelar di dunia ini sebenarnya bukanlah untuk orang namun untuk kita sendiri, wallahu a’lam [Solok, 08012001]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar