Kamis, 12 April 2012

Hijrah Melukiskan Kemantapan Iman

Drs. St. Mukhlis Denros


Dalam surat Al Anfal 8;30 Allah berfirman, ”Dan ketika orang-orang kafir memperdaya kamu, mereka akan melukai dan membunuh atau mengusir engaku, sungguh mereka telah berdaya upaya, tetapi mereka tidak menginsafi dan menyadari bahwa Allah adalah lebih pandai [sebaik-baik] berdaya upaya”

Oleh karena itu patutlah kiranya ummat islam mengenang kembali peristiwa hijrah ini, hampir selama 13 tahun Nabi Muhammad berjuang di Mekkah untuk meluruskan aqidah ummat agar meninggalkan berhala-berhala pujaan, menyingkirkan watak-watak jahiliyyah yang dapat menyeret manusia kepada peradaban buruk. Namun usaha selama 13 tahun ini tidak banyak membuatkan hasil, hanya beberapa orang saja yang dapat ditempat, digembleng dengan keimanan yang teguh, disamping itu ada yang telah beriman tapi disembunyikan dan ada pula mulai tertarik dengan ajaran islam tapi belum saatnya untuk menyatakan imannya.

Selama gerak da’wah dilakukan Nabi selama itu pula tekanan, tindasan dan halang rintangan dilancarkan kafir Quraisy dengan maksud agar pengaruh ajaran yang dibawa Muhammad jangan menyebar dan menyeluruh ke pelosok penduduk Mekkah sehingga tidak jarang terjadi penyiksaan bahkan pembunuhan dilakkan dengan kejamnya terhadap orang yang tertarik kepada islam. Untuk menyelamatkan iman ummat islam yang telah tumbuh inilah maka dilakukan hijrah yaitu menyingkir dan mundur dari perjuangan untuk menyusun kekuatan baru.

Hijrah pertama tanpa disertai Nabi Muhammad, berlansung pada 615 Masehi [tahun kelima sesudah kerasulan]. Hijrah pertama ini terjadi sesudah Nabi menyaksikan dari hari ke hari intimidasi kaum kafir Quraisy kepada kaum muslimin yang baru tumbuh makin menjadi-jadi. Beberapa sahabat Rasulullah, bahkan ada yang disiksa dan dibunuh. Ketika itulah Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Abesinia [Ethiopia sekarang] yang diperintah oleh Najasi yang ketika itu masih beragama Nasrani.

Hijrah kedua terjadi tidak lama sesudah isteri dan paman nabi, Siti Khadijah dan Abu Thalib meninggal dunia. Merasakan gangguan yang makin menjadi-jadi, Rasulullah pergi ke Thaif, sekitar 60 kilo meter imur laut Mekkah. Di Thaif, Rasulullah melancarkan da’wahnya kepada berbagai kabilah, baik yang hendak berziarah ke Ka’bah maupun kabilah-kabilah setempat.

Ketika intimidasi dari kafir Quraisy semakin gencar dan pengintaian gerak da’wah nabi semakin ketat maka dilakukan hijrah ke Madinah dengan meninggalkan rumah tangga, harta benda dan kehidupan keluarga demi menyelamatkan aqidah, ada yang berpisah dengan anak dan isteri, ada yang harus bercerai dengan ayah dan bunda dan saudaranya, ada yang bercerai dengan kekasih, semua itu bukan penghalang asal iman tetap terpateri dan karena imanlah kehidupan serta kesenangan dunia ditinggalkan.

Iman membutuhkan pembuktian, salah satu diantaranya adalah hijrah, bagi yang kuat melakukannya, tahu jalan ke Madinah, kalau imannya sudah mantap tidak ada pilihan lain selain berangkat, entah untuk berapa lama di rantau orang yang belum tahu bagaimana masa depan disana. Bila mengaku beriman tapi tidak siap memasuki ujian ini maka Allah meletakkan mereka pada derajat yang rendah kecuali mereka lemah dan tidak tahu jalan ke Madinah maka ampunan bagi mereka. An Nisa’ 4;98-99 yang artinya, ”Kecuali mereka yang teriandas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.

Ujian pertama yang dihadapi adalah melepaskan segala kesenangan dan keterikatan kepada kampung halaman [Mekkah] berupa kesenangan harta benda, pergaulan dan kecintaan. Bila ini dapat diatasi akan menghadapi ujian berikutnya yaitu perjalanan panjang yang melelahkan, belum lagi dihadang oleh kafir Quraisy, begitu diketahui mereka terpaksa digiring kembali ke Mekkah, disiksa bahkan nyaris dibunuh.

Dalam perjalanan ini tiada tempat berteduh selain padang pasir tandus, panas menyengat dikala siang hari, dingin mencekam dikala malam, belum lagi habisnya bekal dalam perjalanan dan penderitaan lainnya yang akan dialami bahkan nyawapun terancam. Tapi ini adalah ujian iman untuk membuktikan kesungguhan dalam beragama dan kecintaan kepada Allah.

Bukti kecintaan ummat kepada Allah yaitu siap menghadapi ujiannya dan bukti kecintaan Allah kepada hamba-Nya ditaburi ujian hidup sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al Baqarah 2;214 yang artinya, ”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncang dengan bermacam-macam cobaan...”

Tatkala Rasulullah akan meninggal Mekkah, di suatu tempat yang bernama Hazawwarah, di luar kota Mekkah, nabi berdiri sebentar menatap kota yang akan ditinggalkannya dan berdo’a kepada Rabbul Jalali, ”Demi Allah, sesungguhnya engkau, ya Mekkah adalah satu bumi yang palng aku cintai dan dicintai Allah. Demi Allah, kalau tidaklah karena aku di usir dari bumi Mu dalam keadaan terpaksa, pastilah aku tidak akan keluar”.

Akhirnya untuk mendapat restu Ilahi menghadap hari depan Rasulullah dan para sahabat, beliau selanjutnya memohon do’a, ”Ya Ilahi kobarkanlah rasa cinta yang mendalam dalam hati kami kepada kota Madinah,seperti kecintaan kami kepada Mekkah, atau lebih lagi. Ya Allah, sehatkanlah udaranya bagi kami, kurniakanlah berkah segala makanannya untuk kami dan singkirkanlah jauh-jauh segala penyakitnya, dan jadikanlah serasi untuk diri kamu”.

Bagaimanapun hijrah telah berlalu 14 abad yang lalu tapi mutiaranya tetap menggema di hati ummat sampai kapanpun, bukti kemantapan iman pada ummat sampai kapanpun, bukti kemantapan iman pada ummat dizaman kita bukan hijrah fisik sebagaimana yang dilakukan dimasa Rasulullah tapi hijrah hati nurani, iman dituntut pembuktian dengan melaksanakan hukum Allah melalui aktivitas amaliah ibadah. [Buletin Risalah Da’wah Al Furqan Solok No. 71/Meii 1995 ]

1 komentar:

  1. Bukankah hijrah ke Abesinia terjadi dua kali? Setelah sekitar tiga-empat bulan di Abesini, kembali ke Makkah terkait dengan ayat gharaniq dan masuk Islamnya Umar bin Khattab. Setelah para muhajir mengetahui bahwa situasi Makkah belum kondusif bahkan makin gawat, maka terjadi hijrah berikutnya, yang juga ke Abesinia dengan jumlah peserta (muhajirin) sebanyak 80 orang.

    BalasHapus