Kamis, 12 April 2012

Menegakkan Nilai-Nilai Ekonomi Islam

Oleh Drs. Mukhlis Denros

Generasi muda berdiskusi tentang kehidupan di Masjid Al Hidayah 15 A Metro Lampung Tengah. Forum Persaudaraan Muslim yang diketuai Subagiyo telah mengumpulkan sekitar 60 anak muda yang tergabung dalam organisasi HMI, PMII, IMM, PII, IPM, Pemuda Muhammadiyah, Risma,Senat Mahasiswa pada Perguruan Tinggi yang ada di Lampung Tengah. Forum diskusi itu dihadiri pula oleh beberapa tokoh masyarakat, untuk mengkaji ekonomi Islm. Dalam seminar sehari ekonomi islam, tanggal 10 Januari 1988. pemakalah dihadirkan Drs. Andi Punoko, Asrean Hendicahya SE, Toto Sugiarto Bsc, serta Samijo Jarot.

Konsepsi Islam mengenai zakat, infaq, wakaf, shadaqah dan waris adalah wujud nyata cita-cita membangun masyarakat islam, yaitu memperkecil kesenjangan antara si kaya dengan si miskin, antara si kuat dengan si lemah. Di dalam melaksanakan kehidupan perekonomian, pada satu sisi Islam melarang pemborosan dan pada segi yang lain melarang berbuat bakhil, sebagaimana firman Allah dalam surat al Furqan ayat 67, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta tidak berlebihan dan tidak pula kikir”.

Demikian ungkap Drs. Andi Punoko dalam menyampaikan makalahnya yang berujudul “Azas solidaritas dan keseimbangan dalam ekonomi Islam”, selanjutnya dosen UBL [Universitas Bandar Lampung] itu mengatakan, “Pada satu segi islam memerintahkan yang kaya untuk tidak melupakan yang miskin, Allah berfirman, “Dan berilah kepada keluarga yang dekat akan haknya, kepada keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan” [Al Isra’; 26].

Namun pada sisi lain Islam melarang yang miskin untuk mempertahankan status kemiskinannya. Pada bagian laginnya pemakalah menyebutkan, ”Konsep Islam tentang perekonomian telah mempunyai landasan-landasan yang logis, formal dan praktis”.

Tapi konsep itu sering kali seperti mutiara di bawah timbunan pasir di gurun, kafilah berlalu di atasnya atau onta menghirup air di sekitarnya. Sedang mutiara entah kelihatan atau tidak, rupanya konsep dan kenyataan hanya tinggal manusianya saja”.

Hal ini disambut oleh Asrean Hendicahya SE, ”Bukan berarti dengan tidak munculnya ekonomi Islam, berarti Islam lepas tangan dalam mengatur manusia berekonomi. Hanya saja manusia yang mengakui Islam belum konsisten- istiqamah untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam membangun sistim ekonomi”.

Dalam makalah ”Berekonomi Menegakkan Nilai-nilai Ilahiah”, Sarjana Ekonomi Jebolan Unila [Universitas Lampung] ini mengetengahkan kritik terhadap Kapitalisme dan Sosialisme, ”Ternyata dari kedua sistim kapitalisme-sosialisme mempunyai benang merah yang menghubungkan keduanya, yaitu mencapai tingkat kepuasan materialistik-kapitalisme melalui individualistik dan sosialisme melalui kolektivitas mengejar kesejahteraan material sebagai tujuan akhir, yang kadang kala tumbuh menjadi watak Hedonisme”.

Pada pertengahan makalahnya ketua Umum terpilih HMI cabang Bandar Lampung ini mengatakan, ”Karena konsepsi mereka tentang alam, manusia dan Allah sebagai kebenaran mutlak salah, maka pemikiran merekapun mengenai alam, manusia dan Allahpun salah, sehingga melahirkan prilaku yang salah pula. Prilaku yang salah melahirkan kebiasaan yang salah, maka akan melahirkan budaya yang salah. Budaya yang salah tentu akan menciptakan suasana yang keruh dan ketidak teraturan bagi naunsa kehidupan manusia, yang tentu tidak kondusif bagi aktualisasi fithrah diri”.

Toto Sugianto Bsc dengan makalahnya, ”Mengapa Bank Islam?” memberi harapan akan terbentuknya Bank Islam di Indonesia dengan melihat fakta yang telah terujud di malaisia, New York, China dan negara lainnya, bahkan di Bandungpun telah nampak dengan berdirinya ”Koperasi Islam”. Gagasan Bank tanpa bunga didasarkan pada konsep hukum Islam Syirkah [Persekutuan], Mudharabah [bagi hasil] dan adanya larangan yang keras atas diperkenankannya riba. Modal Bank tanpa bunga dapat dibentuk dengan hasil pengumpulan zakat, modal saham, tabungan-tabungan sedangkan usahanya sama seperti bank-bank lainnya, seperti pemberian modal kepada yang membutuhkan, pelayanan simpan pinjam, garansi bank, serta membuka rekening-rekeni ng lancar lainnya, yang kesemuanya berdasarkan kepada sistem Mudharabah. Para wiraswastawan yang memperoleh modal dari Bank Islam ini harus membagi labanya dengan Bank Islam, dengan presentase yang telah disepakati bersama.

Lebih jauh beliau mengatakan, ”Kewajiban untuk menanggung kerugian dibebankan kepada Bank. Apabila tidak ada laba, bank hanya dapat menagih sejumlah yang dapat mereka tagih atau diberikan persen. Kerugian tersebut dianggap suatu pengikisan harta kekayaan atau modal sendiri dan bank mendapatkan kembali jumlah yang tersisa saja, adanya penggantian bunga dengan bagi hasil, tingkat keuntungan modal yang dipinjamkan bank dan pelunasannya sepenuhnya bergantung kepada produktivitas perusahaan yang diusahakan, sehingga bank sangat hati-hati untuk menguji dan menetapkan produktifitas proyek tersebut”.

Sementara itu Samijo Jarot dalam menyampaikan makalah yang berjudul, ”Kemiskinan sebuah agenda ketimpangan sosial dan ekonomi”, mengetengahkan, ”Penyebab kemiskinan dan kelaparan tidak ada kaitannya dengan kepadatan penduduk, dan kemiskinan tidaklah berdiri sendiri, kemiskinan selalu bergandengan dengan kemewahan sekelompok kaum elit yang menghabiskan uangnya untuk mengkonsumsi barang-barang merah”.

Hal ini beliau paparkan dengan fakta yang dapat diambil : di Karachi, anda akan melihat perkampungan pensiun militer dengan gedung-gedung besar dan kolam bunga yang gemerlap, tidak jauh dari situ ratusan penduduk antri untuk memperoleh satu dirijen air minum.

Di Ethipia, ketika jutaan orang berebut mencari sesuap makan dari bantuan asing yang sampai, penguasa negeri itu menghabiskan dua milyar dolar untuk membeli senjata.

Di Banglades tahun 1974, ketika negeri itu ditimpa kelaparan, diperkirakan ditimbun lebih dari empat juta ton beras karena kebanyakan rakyat tidak sanggup membelinya, sementara itu pemilik sawah, tanah yang kaya berbaris sepanjang malam di kantor agraria untuk membeli tanah yang akan dijual oleh petani-petani kecil yang kelaparan sebagai upaya mereka yang terakhir.

Kemudian Samijo Jarot sebagai penyampai makalah terakhir mengambil suatu tesis, ”Kekurangan pangan, kekeringan, kepadatan penduduk, budaya kemiskinan dikalangan orang miskin, belum bisa dijadikan alasan penyebab terjadinya kemiskinan. Penyebab utama ialah adanya ketimpangan sosial dan ekonomi. Adanya orang miskin karena situasi lingkungannya yang membuat dia miskin, dengan mengambil contoh seorang buruh yang rajin, ia akan tetap miskin karena upah yang rendah, hingga mempersulit posisinya untuk tawar menawar, sementara orang yang kaya, yang memiliki modal dapat membayar buruh dengan upah yang amat rendah”, inilah yang dimaksud Adi Sasono sebagai kemiskinan struktural.

Seharian penuh peserta seminar diajak untuk mengkaji tentang Ekonomi Islam, yang akhirnya oleh team perumus dapat disimpulkan:
1. Di dalam menjalankan sarwa kehidupan, dan interaksi antar manusia, Islam selalu memakai azas solidaritas dan keseimbangan, untuk mewujudkan harmoni antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
2. Setiap bentuk aktifitas manusia, harus merujuk pada nilai-nilai pengabdian. Dan aktivitas manusia akan menjadi pengabdian bila mendasarkan diri pada pencarian ridha Allah. Sedang berekonomi adalah salah satu bentuk kegiatan manusia memunculkan nilai-nilai Ilahiah. Tentang pemunculan proses nilai-nilai Ilahiah di dalam prilaku ekonomi oleh ummat Islam, memerlukan proses yang panjang yang dapat dihindari kemungkinan akan berbenturan dengan nilai-nilai lain.
3. Sistem perekonomian yang dihadapi oleh ummat Islam pada saat ini adalah sistem perekonomian yang mengarah kepada makin melebarnya ketimpangan-ketimpangan sosial di dalam masyarakat.
4. Salah satu prangkat yang kiranya layak untuk diangkat sebagai sarana yang dapat memecahkan problem ketimpangan sosial di dalam masyarakat adalah bank tanpa bunga.
5. Proses awal untuk tegaknya nilai-nilai Ilahiah dalam perekonomian adalah penyadaran ummat tentang perlunya aktualisasi nilai-nilai Ilahiah dalam diri masing-masing, kemudian untuk dilembagakan dalam kehidupan masyarakat bersama dengan asfek-asfek yang lain. [Mukhlis Denros, Majalah SKJ Jakarta Nomor 81/ Maret 1988].



Tidak ada komentar:

Posting Komentar