Kamis, 12 April 2012

Pendangkalan Aqidah Ummat




Drs. St. Mukhlis Denros

Dalam mengatur tugas hidup ini, manusia sebagai Khalifah Allah di bumi senantiasa dihadapkan kepada pertarunan sengit, baik pertarungan tradisi, masyarakat, alam dan tekhnologi serta peradaban modern, maupun pertarungan dengan egonya sendiri [tuntutan nafsu sendiri]. Dalam mempertahankan keimanan pada zaman yang serba canggih ini, ummat islam harus berhadapan dengan kekuatan materialisme, zionisme dan sekulerisme yang berusaha menggerogoti keyakinan ummat, ibarat rayap yang hinggap pada sebuah pohon, bagaimanapun dan dimanapun sasaran yang jelas bagi mereka ialah ummat islam. Kalau ummat islam tidak dijadikan seorang kafir, mereka cukup puas kalau dapat menjadikan ummat islam tidak tahu apa-apa dengan ajarannya, baik masalah kecil apalagi sampai masalah besar.

Ada beberapa hal kecil yang nampaknya sepele, akan tetapi mampu mendangkalkan aqidah, islam hanya sekedar formalitas, tercatat pada lembaran sensus atau KTP saja. Jangan aktif melaksanakan keseluruhan perintah Allah, sedangkan sisi luar dari islam itu sendiri tidak pernah dinampakkan. Misalnya saja, masihkah terucap kalimat ”Astaghfirullah” dikala kita terkejut, atau ”Subhanallah” saat keindahan dan kekaguman menyeruak di kalbu. Masihkah terukir ucapan sanjungan ”Alhamdulillah” dikala kita menerima dan mereguk nikmat Allah ? Masih dapat dikatakan baik bila hanya diam daripada keluar ucapan yang mengandung dosa.

Ketika berjanji mampukah kita mengatakan, ”Insya Allah” [semoga Allah memperkenankan] atas keterbatasan dan ketidakmampuan manusia. Lebih baik tidak berjanji daripada hanya untuk mengingkari. Dalam situasi dan kondisi bagaimanapun relakah kita dengan lidah tanpa kendali mengucapkan ”Allah” atau akan kita alihkan dengan kalimat ”Tuhan Yang Maha Esa”. Tatkala mendengar kabar orang meninggal dunia, masihkah dengan kerendahan kita mengakui kebesaran Allah dengan mengucapkan, ”Inna lillahi wainna ilaihi raji’un”.

Memang hal di atas merupakan pekerjaan ringan, tetapi mampu menggeser kedudukan dan eksistensi iman, sementara kita berbaur dengan tradisi dan kemajuan zaman, ucapan Allah diperlakukan hanya dikala memohon do’a agar dapat kedudukan, setelah kedudukan diperoleh Allah dilupakan. Ucapan ”Assalamu’alaikum” telah diganti dengan kata-kata ”Merdeka” atau yang lebih sopan ”selamat siang” atau ”selamat malam”.

Dalam menyampaikan rasa gembira dan salud kepada teman-teman yang berhasil dalam prestasinya, tidak hanya sekedar berjabat tangan, adu pipi, kecup bibir didepan umum mulai dibudayakan. Islam dan iman telah ditelanjangi oleh bau farfum, kerlap kerlip lampu dan hingar bingarnya musik di gedung megah yang penuh dengan acara kemaksiatan, kontes mode, kontes ratu kecantikan sampai lomba ratu sejagat sengaja diadakan untuk mengalihkan perhatian umum, terutama pemuda untuk meninggalkan agamanya, kemudian terjun ke gelanggang menyaksikan dari satu kontes ke kontes lainnya, manusia telah asyik tenggelam bersama alkohol dengan aromanya sampai mereguk nikmatnya kulit-kulit mulus yang memang diperdagangkan.

Pendidikan nampaknya bukan lagi menjadikan manusia baik, penyantun kepada orangtua, pengabdi kepada khaliqnya, tetapi hanya sekedar berilmu dan pintar dengan harapan kelak menjadi orang kaya, berkedudukan dan beruang [punya duit]. Kalau sekedar hanya untuk pintar sangat mudah, suapi saja dengan berbagai ilmu. Tetapi untuk menjadikan manusia yang baik sangat sulit, dia harus dilatih dalam keluarga dengan dasar keimanan yang kuat, sehingga kehadirannya dalam keluarga menjadi ”Qurratu a’yunin” penyejuk mata dan penyenang hati, bukan musuh yang harus dipelototi serta dihardik dengan menampakkan kekasaran.Masyarakatpun merupakan tantangan yang harus dihadapi, dia mampu menyeret warganya ke lembah maksiat, nilai manusia dijunjung karena jabatan.

Sisi kecil dari islam, yaitu ucapan ”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” dikalangan pemuda masjid, Risma atau organsasi pemuda islam lainnya. Ucapan itu merupakan hal yang wajar dan memang harus dilestarikan, karena terseret budaya yang tidak islami banyak manusia yang tercetak menjadi algojo, orang-orang bejat, koruptor dan manipulator. Dalam keluarga mungkin telah maksimal orangtua memerankan diri untuk menanamkan keyakinan [aqidah] kepada anaknya, tetapi bisa kabur dan dangkal kembali bila lingkungan masyarakat tidak menunjang ke arah itu.

”Selamat siang dan selamat malam” lebih dipopulerkan, bahkan dalam pertemuan yang tidak diselenggarakan di masjid, ketika menyampaikan sambutan/ pidato ucapan ini menjadi tabu, seolah-olah hanya layak dipakai di masjid dikala berkhutbah saja, sedangkan islam itu luwes, dapat dipakai tanpa memperhatikan apakah ini siang, sore atau malam, di ujung pencakar langit atau di surau di ujung desa.

Salah satu yang mengilhami tulisan ini ialah ketika penulis menyimak siaran radio tengah malam, tanpa sengaja tuning tepat mengenai program siaran radio Malaisia saat menyampaikan siaran berita yang diawali dengan ucapan ”Assalamu’alaikum”, hati ini tersentuh, terpaut, seolah mereka dengan kita sangat dekat, sahabat akrab yang tidak dibatasi oleh wilayah negara dn tembok bangsa. Lama penulis terdiam setelah membalas salam tersebut ”Wa’alaikum salam”. Merenung sejenak, alangkah kuatnya getaran ucapan itu, sehingga mampu menggetarkan sendi-sendi perbedaan bangsa, ras dan negara, yang nampak hanya mereka sahabat kita, ikhwan kita ummat islam. Sehingga hati inipun rindu mendengarkan ucapan ”Assalamu’alaikum” lewat siaran Televisi dan Radio Republik Indonesia yang tercinta ini, bukan hanya dalam acara mimbar agama islam***. [Majalah Serial Khutbah Jum’at Jakarta no. 86/ Agustus 1988].

***Ketika tulisan ini dibuat Saat itu yang ada baru TVRI dan RRI yang mendominasi yang cendrung sekulerisme, beda di ero Reformasi ini, semua telah berubah 23092007]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar