Rabu, 09 Mei 2012

Arogansi Kekuasaan


Oleh Mukhlis Denros

Ketika pintu demokrasi dibuka selebar-lebarnya maka banyak peluang bagi anak bangsa ini untuk muncul sebagai penguasa melalui partai politik yang akhirnya akan mengikuti pemilu dan pilkada yang ujung-ujungnya punya kekuasaan di lembaga terhormat yaitu parlemen dan pemerintahan, baik tingkat kabupaten/ kota hingga sebagai penguasa di level nasional, hal itu mudah sekali untuk meraihnya bila suara rakyat mau untuk memenuhi selera calon pemimpin itu, bahkan untuk mencapai itu karena ambisius yang luar biasa sehingga semua anggaran untuk kebutuhan itu akan diusahakan dengan pendapat, toh nanti bila sudah duduk juga bisa mengembalikan dana itu dari hasil yang diperoleh karena sebagai penguasa, intinya mengumbar dana untuk pemilu dan pilkada walaupun harus menjual sawah ladang, hutang sana hutang sini tidak jadi masalah dengan target "Biar tekor asal kesohor".

Sebuah pengakuan yang dikeluarkan oleh seorang anggota DPRD melalui sidang paripurna pada pandangan umumnya sungguh membuat terkejut para pendengarnya tapi hal itu sebuah realita yang ada pada temperamen para penguasa, pengakuan itu menyatakan;

Kalau tidak ada halangan kita akan melaksanakan Pemilihan Umum tanggal 9 April 2009 sesuai hasil keputusan Komisi Pemilihan Umum, artinya sejak awal ini para kandidat sudah mulai mempromosikan dirinya untuk dipilih oleh rakyat melalui pendekatan kepada ketua partai agar diletakkan pada nomor yang strategis dilanjutkan dengan sosialisasi diri ke tengah masyarakat hingga berlansungnya kampanye dan pencoblosan di bilik suara, akhirnya duduk manis di kursi dewan menjadi orang terhormat sebagaimana yang sedang kita alami sejak dilantik sebagai anggota dewan tanggal 13 Agustus 2004 hingga detik ini.

Waktu lima tahun bagi kandidat yang tidak duduk sebagai anggota dewan periode yang lalu, atau orang yang memandang kinerja saya selama ini di dewan yang tidak baik, atau masyarakat yang menilai saya tidak aspiratif menyuarakan denyut nadi mereka merasakan betapa lamanya jabatan itu sehingga caci maki sumpah serapah bermunculan dimana-mana, yang intinya saya anggota dewan yang tidak layak dipilih lagi.

Sedangkan saya merasakan waktu lima tahun, sepuluh tahun bahkan lima belas tahun di dewan adalah waktu yang sangat singkat sekali dan tidak mau meninggalkan kursi dewan yang terhormat ini selamanya, sehingga bila saya tidak dicalonkan oleh partai saya yang kemarin maka saya akan berusaha dengan semaksimal mungkin mendekatkan diri ke partai lain dengan memberikan keyakinan bahwa saya adalah tokoh yang punya potensi dengan dukungan suara tidak diragukan lagi, intinya bagaimana saya bisa duduk lagi di dewan periode mendatang.

Dahulu, agar masyarakat memilih dan percaya penuh kepada saya, maka siang dan malam bahkan berkali-kali saya menemui tokoh itu agar saya ditempatkan pada posisi penting pada daftar caleg dengan kasak kusuk kian kemari, kalau tidak ada rotan akarpun jadi, seluruh perhatian dan konsentrasi saya hanya satu supaya tokoh itu menempatkan saya pada daftar caleg jadi sampai jadi caleg beneran.

Masapun berlalu saya sudah berkantor di gedung dewan yang sejuk dan sudah sejak lama saya dambakan dengan banyak kesibukan melaksanakan agenda kedewanan, sayapun sudah lupa siapa dahulu orang yang merekrut dan memperkenalkan kepada saya tentang partai yang hari ini saya menjadi anggota dewan, saya juga tidak mau tahu lagi bagaimana tokoh itu mati-matian memperjuangkan agar nama saya ditempatkan pada nomor urut yang pasti duduk di dewan, bahkan saya berusaha untuk menyingkirkan orang itu dari kepengurusan partai karena mereka tokoh-tokoh tua yang tidak layak lagi sibuk di partai dengan tekad, biar kami yang muda-muda tampil ke depan....

Saya sudah terbiasa dengan pakaian safari, jas yang dilengkapi dasi bergaya seorang legislatif muda, dan itu tidak terlarang karena memang sudah diatur dalam tata tertib dan protokoler dprd, karena posisi saya penting banget di dewan sehingga kemana-mana saya harus dengan mobil dinas yang menaikkan gengsi di tengah masyarakat, dan itu benar karena sudah diatur dalam tata tertib sesuai dengan program dan anggaran, saya sudah lupa daerah mana saja yang telah saya kunjungi di Indonesia ini dan semua itu penting guna melaksanakan program kedewanan untuk kepentingan dan kemajuan daerah kita , itu cocok benar dengan keputusan rapat, agenda dewan dan anggaran yang sudah diplot untuk itu, tapi saya tahu persis beberapa kabupaten dan provinsi di Indonesia yang belum saya kunjungi, itu semua saya lakukan karena saya anggota dewan terhormat dan posisi itu tidak dimiliki oleh orang lain yang bukan anggota dewan.

Dahulu saya orang yang ramah, santun, penyabar dan baik hati. Selalu mengembangkan senyum kepada semua orang karena saya tahu itu merupakan sikap terpuji ketika tampil di tengah masyarakat, namun dikala kekuasaan sudah saya miliki sebagai anggota dewan terhormat ditambah lagi dengan serenceng jabatan penting yang melambungkan saya jauh ke angkasa, saya merasakan tidak berjalan lagi di darat tapi seolah-olah di angkasa, tinggi sekali, yang tidak mungkin dijangkau oleh orang lain. Kini saya menjadi orang yang mudah tersinggung, emosi, arogan dan sok, saya berfikir tidak memerlukan lagi orang lain karena memang dahulu saya duduk di dewan berkat usaha saya sendiri yang optimal tanpa ikut campur tangan dari siapapun.

Saya beranggapan bahwa kehormatan bisa diperoleh hanya sebagai anggota dewan saja dan saya yakin saya tidak bisa hidup bila tidak sebagai anggota dewan sehingga berbagai cara saya harus duduk lagi sebagai anggota dewan dengan menyingkirkan orang lain walaupun mereka sudah antri bertahun-tahun menunggu daftar pasti juga sebagai anggota dewan, dengan dalih saya adalah wakil rakyat yang merakyat, saya adalah wakil rakyat bukan paduan suara, saya adalah wakil rakyat yang tidak tidur waktu sidang soal rakyat, sehingga layak kalau saya dipilih lagi oleh rakyat dan duduk kembali di gedung rakyat, demikian sekilas perjalanan hidup sebagai anggota dewan yang penuh dengan romantikanya, karena ini hanya sebuah sketsa kehidupan manusia dalam perjalanan panjang yang ditempuhnya, apalagi ambisius kekuasaan telah menguasai hidupnya, maka jabatan yang dirasakan sekarang belumlah memadai.

Dikala seseorang sebagai Caleg, yang tergambar adalah enaknya jadi anggota dewan sehingga diupayakan semua potensi untuk meraihnya, setelah duduk di dewan menjelang Pilkada yang tergambar adalah enak juga kalau jadi Wakil Bupati sehingga keperluan untuk itu dimaksimalkan, dua tahun jadi wakil Bupati mulai berfikir agar Pilkada mendatang enak juga kalau jadi Bupati sehingga semua kekuatan, jaringan dan kader dikerahkan agar kedudukan itu di raih.

Setelah jadi Bupati dengan seonggok tugas-tugas dan jauhnya perjalanan dinas yang dilengkapi pasilitas hidup, berfikir lagi bagaimana kalau Pilkada mendatang jadi Bupati lagi sehingga kekuatan disusun kembali, jaringan dibenahi dan dana dikumpulkan untuk itu. Itulah sifat manusia yang manusiawi, tidak puas dengan yang telah ada, ambisi untuk meraih segala-galanya, hal ini tidak dilarang tapi jangan sampai sikut kanan dan sepak kiri, jangan sampai injak bawah dan jilat atas.
Dengan akan berakhirnya jabatan kepala daerah, baik Gubernur, Bupati/ Wali kota berarti rakyat siap menyeleksi figur yang tepat untuk itu, bakal calon hingga menjadi calon bukanlah sembarang orang, jangan sampai kita membeli kucing dalam karung, artinya harus orang yang mempunyai kapasitas untuk itu serta orang yang layak jual dalam bursa pencalonan.

Salah satu kriteria bakal calon kepala daerah adalah sehat jasmani dan rohani, artinya secara fisik dia tidak terganggu kesehatannya dalam rangka menjalankan tugas amanat yang dibebankan kepundaknya.

Bila kita membicarakan dari kesehatan fisik terlalu banyak orang yang mampu untuk itu, karena penampilan fisik jasmani adalah penampilan lahiriah; gagah, sehat, subur, tidak terserang penyakit menahun dan tidak terganggu akalnya yang disertai keterangan dokter.

Akan tetapi kesehatan rohani sangat sulit untuk dideteksi namun nampak dalam aplikasi di lapangan. Orang yang sehat rohani insya Allah akan sehat jasmaninya, tapi yang sehat jasmani belum tentu sehat rohaninya; pencoleng, koruptor, pencopet serta bentuk kejahatan lainnya, umumnya dilakukan oleh mereka-mereka yang memiliki kesehatan jasmani.

Seorang mukminpun dituntut untuk menjaga kesehatan jasmani sebab bila sakit datang berarti banyak tugas-tugas agama yang terbengkalai, bahkan lebih jelas Rasulullah mengatakan, ”Jaga sehatmu sebelum datang masa sakitmu”, orang yang merasakan kalau sehat itu sebuah nikmat bilamana sakit datang menimpanya, jangankan sakit yang datang, sedangkan dalam masa sehat saja terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dari waktu yang tersedia, benar yang diserukan seorang ulama Mesir yang bernama Hasan Al Banna agar setiap pribadi muslim apalagi da’i, agar mengecek kesehatannya paling tidak sekali dalam tiga bulan.

Pada diri manusia itu ada tiga unsur yang penting untuk diselamatkan; diberi makanan, dijaga kesehatannya jangan sampai cidera. Unsur pertama adalah akal; agar diberi konsumsi ilmu pengetahuan sehingga keberadaannya di tengah masyarakat dapat dimanfaatkan dari segi ilmu, Rasulullah bersabda bahwa orang yang paling baik adalah mereka yang berdayaguna di tengah masyarakat. Unsur kedua adalah jasmani, yang harus dijaga jangan sampai terabaikan, itulah makanya Islam melarang ummatnya untuk minum khamar, narkoba dan barang-barang yang dapat merusak jasmani manusia.

Rohani adalah unsur yang penting untuk dipelihara disamping yang dua diatas, salah satu tidak terjaga maka kehidupan manusia tidak tawazun [seimbang]. Rohani tidak terlepas dari iman dan taqwa yang diiringi dengan amal shaleh, bila rohani tidak terpelihara dengan baik maka kehancuran akan menimpa diri pribadi, masyarakat dan bangsa, inilah yang disebut dengan sikap mental/ moral.

Seorang Profesor di Amsterdam yang bernama Fahrenfest diketahui melakukan bunuh diri setelah membunuh anakna sendiri, padahal apa yang kurang dari profesor ini; hartanya banyak, dia guru besar pada sebuah Universitas, jabatannya tinggi, pergaulannya luas, orang terpandang, kesehatan fisiknya lumayan. Rupanya sebelum membunuh diri, dia telah menulis surat kepada temannya Profesor Konstant yang isinya, ”Iman itu perlu, agama penting, ibadah sangat penting, tapi hati saya tidak bisa menerima iman”.

Salah satu sikap mental bagi seorang calon kepala daerah yang harus dimiliki menurut versi Islam adalah mereka yang meraih jabatan tersebut tidak dengan ambisius, artinya dia calonkan dirinya dengan kapasitas dan kelayakannya, dia ingin jabatan tersebut diperoleh dengan cara benar, tidak melalui bau kemenyan atau perdukunan, tidak melalui menjegal teman, main sikut dan sikat, bila kekalahan atau belum saatnya dapat diraih dia tidak akan merasa kecewa dan sebaliknya bila jabatan itu diberikan kepadanya dia tidak terlalu gembira dengan pesta ria dan hura-hura, karena jabatan itu baginya bukanlah prestise atau kebanggaan, dan bukan pula hadiah, tapi jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan di akherat.

Kepala daerah yang sehat rohaninya adalah mereka yang menggunakan fasilitas dan jabatan sebagai sarana untuk memperbaiki ummat, kesempatan baginya untuk memupuk pahala di sisi Allah melalui kekuasaan sebagaimana Rasul menyerukan, ”Bila kamu menyaksikan kemungkaran maka ubahlah dengan kekuasaan, bila tidak mampu ubahlah dengan lisan, tidak mampu juga maka ubahlah dengan hati, namun itu semua serendah-rendahnya iman”. Rasulullah, melalui jabatan yang dia emban, baik sebagai Nabi dan Kepala Daerah di Madinah bahkan sebagai seorang Presiden mampu menata kehidupan rakyatnya sebaik-baiknya sesuai dengan kehendak Allah, bahkan Abu Bakar Ash Shiddiq memerangi siapa saja dari kaum muslimin yang mampu tapi tidak mau membayar zakat, sehingga ketika Umar berkata kepadanya, ”Ya Khalifah Abu Bakar, tidak usahlah mereka diperangi, nantikan mereka akan sadar juga...” ketika itu Abu Bakar marah mendengar permintaan sahabatnya, ”Hai Umar, kenapa engkau demikian lemahnya padahal engkau adalah orang yang kuat, seandainya engkau tidak mau ikut aku, biarlah aku sendiri yang memerangi mereka...”

Kenapa krisis multi dimensi negeri ini semakin hari semakin parah. Musibah justru bermunculan bak jamur dimusim hujan. Membuat daftar kesengsaraan bangsa ini semakin bertambah panjang. Negeri ini tidak kekurangan pakar. Para ilmuan dari berbagai bidang ilmu sudah mencoba mengamati dari berbagai sudut. Pakar politik berfikir bahwa bencana negeri ini berawal dari politik kotor. Para ekonom menyoroti dari sisi banyaknya utang yang membebani dan manajemen yang payah.

Semua pengamatan di atas adalah pengamatan yang bersifat fisik. Sesuatu yang tampak pada lahiriah, tetapi hal-hal batiniyah, ukhrawiyah, ghaib justru mendapat perhatian lebih. Sering kali pandangan manusia hanya melulu kepada hitungan matematis di atas kertas. Padaha lada unsur ruh dalam diri manusia yang sebenarnya malah memegang kendali kehidupannya.

Banjir bandang yang menenggelamkan negeri ini misalnya lebih banyak disebabkan oleh penggundulan hutan dan bermunculannya real estate di tempat serapan air. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, kalau tidak ada kemaksiatan yang dilakukan. Mulai dari rakusnya para pemegang izin penebangan hutan atau pencurian kayu. Sampai izin mendirikan bangunan yang terpaksa keluar karena uang haram, yang sebenarnya tidak boleh didirikan di tanah resapan air.

Ketika bencana air hadir kita hanya berkata, ”Ah, itukan gejala alam, bisa diselesaikan dengan teknologi yang kita buat, bisa diatasi dengan membuat ini dan itu” tanpa kita melihatnya dari sudut pandang religius.

Pernah terjadi gempa di zaman Thabi’in [generasi sesudah masa sahabat Rasulullah], Anas bin Malik bertanya kepada isteri Nabi, Aisyah, ”Wahai ummul mukminin, mengapa sampai ada gempa?”. Aisyah menjawab, ”Jika pelacuran sudah dianggap legal, minuman keras sudah merajalela dan masyarakat kita sudh gila dengan musik, maka gempa itu sebagai nasehat an rahmat untuk orang-orang berimanh, tetapi juga sebagai azab dan murka atas orang-orang yang kafir, fasik dan zhalim”.

Maka ketika bencana datang yang harus cepat dilakukan adalah bertanya kepada diri sendiri yang harus dijawab dengan jujur, kemaksiatan apa yang telah dilakukan oleh kita yang bernaung di daerah ini, kejahatan politik apa yang kita lakukan terhadap rakyat, uang haram apa yang sudah kita nikmati, siapa orang yang sudah kita zhalimi, rakyat mana yang tidak diperhatikan kebutuhan hidupnya, arogansi apa yang kita munculkan dikala kita berkuasa.
Hadirnya seorang penguasa pada level apasaja seharus membawa perubahan ke arah yang lebih baik pada semua sektor kehidupan karena perubahan adalah sunnatullah dalam kehidupan. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Mencintai perubahan sudah menjadi fithrah manusia. Kaidah umum menyebutkan, manusia menyukai perubahan. Dalam banyak hal.

Manusia menyukai Matahari karena selalu ada perubahan. Mungkin secara substansial Matahati tak berubah, tapi secara kasat mata, raja siang itu selalu berubah. Pagi hari di Timur, tengah hari di tengah kepala, sorenya di ufuk Barat. Malam hati dia menghilang, bersemanyam di peraduannya. Dapat dibayangkan jika posisi matahari tidak berubah, seperti terjadi di sebahagian kecil belahan bumi. Manusia tentu merasa bosan dan boleh jadi justru membencinya. Begitulah ala mini. Ia melanggengkan diri dengan melakukan perubahan. Diam berarti mati.

Kaidah ini harus benar-benar difahami oleh para pemimpin jika ingin kepemimpinan terus berlansung. Persis seperti alam yang mengajarkan perubahan. Pemimpin sejati tidak pernah takut melakukan perubahan. Jsutru ia berharap selalu ada perubahan.

Jika ada pemimpin yang tak menginginkan perubahan, mesti ada sesuatu yang melatarinya. Bisa jadi, karena khawatir kepentingannya terganggu, takut kursinya tergeser, kemapanannya terusik, atau kepentingan lainnya.

Sikap pemimpin yang tidak mau berubah bisa jadi karena keberadaan orang-orang disekitarnya. Mungkin jika terjadi perubahan, sang pemimpin tak merasa terancam. Tapi lantaran kungkungn para pendukungnya yang justru khawatir jabatannya hilang dan posisinya terancam, sang pemimpin menafikan perubahan.

Perubahan itu harus dilakukan ketika sebuah tatanan kepemimpinan tak lagi sehat. Persis seperti tukang bengkel yang harus mengganti onderdil mesin yang tidak bisa lagi digunakan. Begitulah pemimpin. Ia harus berani mengganti dan merubah segala hal yang tak sesuai dengan mesin kepemimpinannya. Jika tidak, mesin akan rusak dan berakibat pada alat-alat lainnya.

Perubahan itu tidak boleh ditunda. Menunda perubahan ketika tatanan kepemimpinan sedang sakit, sama halnya dengan mempercepat kedatangan ajal kepemimpinan itu sendiri. Memperlambat perubahan ketika roda kepemimpinan tak lagi berputar normal, sama halnya dengan mempercepat laju henti roda itu sendiri.

Perubahan itu tidak boleh ditunda meski harus menelan korban. Persis seperti tukang bengkel yang harus mencongkel, memutar dan membongkar paksa mesin yang harus diganti. Perubahan harus dipaksa, kadang. Perubahan tak bisa berubah sendiri.

Pemimpin sejati benar-benar memahami kaidah ini. Jika ia tetap tak mau berubah, maka dirinya akan diganti. Sebab, perubahan tidak boleh diganggu. Ia harus digerakkan. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri”. [Ar Ra’du;11] [Sabili no.1/27 Juli 2006].

Kita mendambakan penguasa yang shaleh dalam kehidupannya. Yang dikatakan shaleh bukanlah mereka yang hanya bisa shalat, setiap yang shaleh pasti shalat, tapi yang shalat belum tentu shaleh. Adapun kriteria shaleh menurut para ulama adalah;
-Salamatul Fikrah; yaitu fikiran-fikiran yang selamat dari kontaminasi orientalis, liberal dan sekuler atau idiologi lain yang memusuhi Islam, ide-ide yang keluar dari otaknya adalah ide cemerlang yang berguna bagi kehidupan dan kemaslahatan ummat dan rakyat yang mengacu kepada standard abadi yaitu Al Qur’an dan Sunnah.

-Shahihul Ibadah; artinya ibadah yang shaheh, bertumpu kepada ibadah yang dilakukan oleh Rasulullah, terjauh dari bid’ah, khurafat, syirik dan tahayul, penampilannya sebagai ’abid [ahli ibadah] beranjak dari ittiba’ [mengikut sistim Rasul] bukan taqlid [ikut pendapat orang dengan cara membebek].

-Shahibul Ibadah; artinya kepala daerah yang kita harapkan adalah orang yang selalu mengisi kesibukan dirinya dengan peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah kepada Allah, bahkan keberhasilannya sebagai kepala daerah didukung oleh kedekatannya beribadah kepada Allah bukan kepala daerah yang hanyut dengan kesibukan dunia tanpa disadarinya melupakan akherat.

-Salimul Aqidah; artinya aqidah yang hanya mentauhidkan Allah semata; jabatan, harta, keluarga baginya kecil dibandingkan kepentingan Allah, sebagaimana ucapan Abu Bakar, ”Ya Allah, letakkanlah dunia ini di tanganku sehingga aku bisa mendistribusikannya, jangan engkua letakkan di hatiku sehingga aku diaturnya”.

-Mathinul Khaliq ; artinya seorang kepala negara, kepala daerah yang kita harapkan adalah mereka yang memiliki akhlak yang solid, dia terpandang bukan karena jabatannya tapi karena akhlaknya, melalui akhlak dia mampu memikat orang lain sehingga mendukung segala program yang dicanangkan.

Itulah kriteria shaleh menurut ukuran Al Qur’an dan Sunnah Rasul sehingga bila kita memiliki pemimpin yang demikian sungguh besar harapan kita kepadanya untuk menyelamatkan rakyat dan ummat ini dari kehancuran, jangan sampai nanti rakyat/ ummat menuntutnya di dunia sementara mereka berlepas diri atas orang yang dipimpinnya di akherat, sebagaimana penjelasan Allah dalam ayat dibawah ini ” Dan ingatlah ketika mereka berbantah-bantahan dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri,”Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab neraka ? ”. Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab, ”Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hambamu” [40;47-48].

Jabatan apapun yang diemban oleh seorang hamba Allah, disana ada peluang untuk berbuat dosa; manipulasi, korupsi, kolusi bahkan tukang robek karcis di bioskoppun ada peluang untuk itu, apalagi Wali Nagari/ Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Anggota Dewan, Menteri sampai Presiden, ini berpulang kepada pribadi manusianya. Siapa yang tidak suka harta, semua orang suka bahkan Islam menyuruh kita mencarinya, tapi raihlah dengan cara yang halal.

Kami sebagai rakyat kecil, orang awam di negeri ini mengharapkan kepada semua pihak, siapapun calonnya, dari golongan manapun, bagi kami tidak jadi soal, tapi satu permintaan kami kepada penguasa yang terpilih adalah orang yang memiliki citra diri yang baik dengan visi untuk mensejahterakan rakyatnya, bila tidak maka kekuasaan itu akan direnggutkan kembali oleh Allah melalui tangan-tangan manusia, wallahu a'lam [Cubadak Solok, Ramadhan 1431.H/ Agustus 2010.M]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar