Senin, 07 Mei 2012

Korupsi


MUKHLIS DENROS

Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah mencontohkan kepada ummatnya pentingnya mencari rezeki yang halal, sebab barang haram akan mempengaruhi mental dan kepribadian seseorang. Idealnya, biarlah kita kaya raya asal semua diperoleh dari yang halal, namun sangat rusak seseorang bila sedikit atau banyak hartanya bergelimang dengan haram, baik haram zatnya, cara memperolehnya atau membelanjakannya, Allah memperingatkan kita semuanya melalui nabinya;

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”[Al Baqarah 2;172]

Rezeki yang haram itu salah satunya dilakukan dengan cara korupsi, yaitu mengambil uang yang bukan miliknya, siapa saja bisa melakukan hal itu sejak dari tukang parkir, tukang sobek karcis di Bioskop apalagi pejabat yang memegang jabatan strategis semakin besar peluang untuk melakukan korupsi.
Setelah 13 tahun bendera reformasi dipancangkan, kehidupan demokrasi berlangsung secara cukup bergairah.Itu di antaranya ditandai dengan praksis pers bebas dan dijalankannya sistem politik multipartai yang diiringi pemilihan langsung.Dan, ekspektasi masyarakat juga cukup tinggi karena demokrasi diyakini dapat mengikis sedimen korupsi pemerintahan Soeharto.
Juga demokrasi dapat mendorong kebebasan pers dalam menyampaikan informasi.Dengan itu, segala hal yang buruk bisa diungkapkan sejak awal sehingga bisa diambil tindakan untuk mencegah terjadinya keadaan yang lebih buruk lagi.
Di samping itu, dengan kehidupan pers bebas segala kebobrokan dalam suatu tata kelola negara, seperti mewabahnya penyakit suap dan korupsi, dapat dicegah dan diberantas.Pemberantasan suap dan korupsi pun dapat berjalan maksimal.Bendera supremasi hukum dapat dipancangkan.Keadilan dapat tercipta dan kesejahteraan rakyat yang diimpikan dapat terwujud sesuai dengan cita-cita bernegara.
Tetapi, bagaimana dengan realitas pascademokrasi, dalam kaitannya dengan korupsi dan kesejahteraan rakyat?Pertanyaan tersebut perlu diadopsi, mengingat realitas kini menunjukkan korupsi justru tumbuh subur di tengah kian rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap akuntabilitas dan kinerja lembaga demokrasi, terutama parpol dan parlemen yang dilandasi penyakit korupsi.
Ancaman kemunduran demokrasi telah diperlihatkan oleh Freedom Barometer Asia 2010 dari Kantor Friedrich Nauman Stiftung Regional Asia Tenggara dan Timur. Indonesia ternyata ditempatkan pada peringkat ke-6 dengan total nilai 58,52, turun dibandingkan 2009 (63,47), akibat lemahnya penegakan hukum dan penanganan korupsi serta intervensi dari kekuasaan terhadap proses demokrasi.[Thomas Koten, Demokrasi Berbasis Korupsi, Republika.co.id. Jumat, 10 Juni 2011 pukul 09:47:0].
Dalam firman-Nya, Allah SWT melarang manusia memakan harta yang bukan haknya. "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat me makan sebagian dan pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 188).


Korupsi ternyata tak hanya kali ini saja terjadi, tetapi sudah belasan abad lamanya. Dalam surat Ali-Imran, kata "korupsi" disebut sebagai ghulul yang mengandung pengertian perbuatan yang mengkhianati sebuah amanat, seperti penyalahgunaan wewenang, pemanfaatan berbagai fasilitas yang ada untuk kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk dalam kategori korupsi ini.
Istilah korupsi juga dideskripsikan dengan istilah al-shut yang berarti menjadi perantara dalam menerima imbalan antara seseorang dan penguasa untuk sebuah kepentingan tertentu (al-Jashash, Ahkam Al Quran, 1405 H), yang dikuatkan dengan begitu banyaknya rujukan dalam hadis Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad menerangkan perbuatan korupsi dalam bentuknya yang komprehensif, yakni berkaitan dengan berbagai jenis korupsi seperti penyuapan (risywah), penggelapan, gratifikasi, dan sebagainya.[Yuyu Yuhannah, Hikmah: Mencegah Korupsi, Republika.co.id. Senin, 17 Januari 2011, 16:12 WIB].
Jauh sebelumnya Wakil Presiden RI pertama yaitu Dr. Muhammad Hatta telah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, mengakar dan sulit diberantas. Apalagi rezim yang berkuasa memberi peluang untuk itu dengan istilah-istilah indah, seperti; “kebocoran” ,atau “salah prosedur”. Sehingga orang tidak takut mengerjakan perbuatan itu, bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai “pekerjaan sampingan”,nauzibillahi minzalik.

Perbuatan suap menyuap pada ghalibnya beredar di kalangan pejabat-pejabat yang punya wewenang.Dengan alat wewenangnya itu diloloskannyalah apa-apa yang dihajatkan oleh si penyogok buat suatu kepentingan. Dengan harapan supaya di hasilkan apa yang dihajatkannya maka si penyuap memberikan apa-apa yang patut menggembirakan hati seorang pejabat. Bisa berupa uang, benda-benda berharga atau barang dan perhiasan serta makanan

Jadi suap menyuap itu terjadi dari dua pihak yang sama-sama ada kepeningan. Yakni kepentingan menerima ”uang sogok” di satu pihak dan kepentingan menerima “kelolosan hajat” di pihak lain. Perbuatan main suap dan menerima suap dilarang keras oleh Syara’ Agama Islam. Dihitung berdosa besar di sisi Allah SWT.

Menurut catatan sejarah pergaulan antar bangsa, bahwa perangai suka menyogok adalah perangai-perangai kaum Yahudi dan China perantauan. Asal mulanya dua bangsa ini di mana-mana tempat selalu diperlakukan semena-mena oleh yang berwajib. Dalam banyak hal mereka selalu menjumpai kesulitan dan ketidak-lancaran. Maka supaya lancar tiap urusan itu, dipergunakanlah uang buat melancarkannya, menyogok.

Setelah lama perangai itu berjalan mengalami proses meningkat, bukan hanya untuk ”melancarkan” tapi uang itu kemudian juga digunakan untuk ”membeli kelancaran”. Tiap-tiap uang yang diberikan bukan lagi dianggap sebagai hadiah, tapi sudah berubah arti menjadi ”penebus”. Lama-kelamaan perangai ini menyebar dan menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat, hingga sekarang.

Budaya suap menyuap itu adalah penyelewengan yang tidak kecil. Rasulullah mengatakan, ”Laknat Allah atas orang-orang yang memberi suap dan menerima suap”. Dalam hadits lainpun dikatakan, ”Dilaknat Allah orang-orang makan suap dan memberikan suap dan orang-orang yang menjadi perantaranya”.

Demikian ancaman disampaikan Rasulullah dan ajaran Islam terhadap perbuatan ini. Tinggal lagi mental ummat, apakah ini dianggap sebagai budaya, sudah zamannya, semua orang juga begitu, inikan hadiah bukan suap, balas jasa kok tidak boleh, dan seterusnya. Sebenarnya hati nurani yang bersih dari maksiat pasti menolaknya.

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab kedatangan tamu bernama Tartar An Nahar dari sebuah kerajaan tetangga. Diakhir kunjungan raja tersebut ia meninggalkan sebuah kalung emas yang diberikannya kepada isteri Umar. Dan isteri Umar senang hati menerima pemberian itu.

Tapi tidak bagi Umar. Dia mengatakan bahwa hadiah itu harus dimasukkan ke kas negara. Tapi sang isteri protes, katanya hadiah itu bukan untuk negara, melainkan untuk dirinya. Dengan arif Umar berkata, ”Begitu banyak wanita di Madinah ini, kenapa engkau saja yang mendapat hadiah sementara yang lain tidak? Bila aku tidak jadi Khalifah siapa yang mau memberimu ? ingat segala pemberian yang berkaitan dengan jabatan adalah suap”.

Dalam Islam kegiatan suap menyuap sangat tercela dan dilarang keras. Islam menyebut suap menyuap dengan Ar-Risywah, yang artinya secara singkat adalah pemberian apa saja kepada pihak lain untuk mendapat keputusan dengan cara batil. “Rasulullah SAW melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya,” (HR. Ahmad). Ditinjau dari prinsip ekonomi syariah, ar-risywah adalah salah satu kegiatan yang memperburuk perekonomian dan moral suatu bangsa.
Salah satu buruknya perekonomian ditandai dengan laju inflasi yang tinggi.Dan salah satu penyebab inflasi adalah human error atau kesalahan manusia, yang salah satunya diakibatkan oleh tindakan korupsi dan administrasi yang buruk, dimana suap menyuap termasuk di dalamnya. Tindakan suap menyuap akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi pada dunia usaha. Dunia usaha terpaksa menaikkan harga jual pada tingkat profit normal, disebabkan biaya produksi membengkak karena adanya uang siluman untuk menyuap. Harga akan mengalami distorsi karena adanya komponen biaya yang seharusnya tidak muncul, sehingga harga jual kepada konsumen pun tidak mencerminkan nilai sumber daya yang sebenarnya dari proses produksi. Adanya biaya suap menyebabkan alokasi sumber daya berjalan dengan tidak efisien, dan merusak tingkat produktivitas. Hingga pada akhirnya merusak perekonomian secara umum dan sangat merugikan masyarakat luas.[Any Setianingrum MESy, Suap Menyuap Vs Prinsip Ekonomi Syariah, Republika.co.id, Senin, 04 Juli 2011 13:21 WIB].
World Justice Project (WJP) mengeluarkan daftar terbaru terkait penegakkan korupsi di dunia. Indonesia bertengger di urutan ke-47 dalam daftar tersebut dan urutan kedua dari bawah dalam daftar yang sama untuk kategori regional.
Dalam pembahasannya tentang Indonesia, WJP menilai Indonesia punya kekuatan di sektor kebebasan mengeluarkan pendapat (urutan 23 global) dan keterbukaan pemerintah (urutan 29 global dan ketiga dalam grup negara berpendapatan menengah ke bawah."Warga Indonesia punya kesulitan mengakses informasi pemerintahan, namun mereka menikmati keterlibatan cukup tinggi dalam hal administrasi hukum ketimbang warga di negara Asia Timur dan Pasifik," demikian siaran pers WJP.
Menurut WJP, Indonesia memiliki sejumlah tantangan dalam memfungsikan komisi negara dan pengadilan untuk memberantas korupsi. Di Indonesia, kata WJP berdasarkan surveinya, korupsi sudah merembes ke mana-mana. Tingkat korupsi di Indonesia nomor dua dari bawah di regional Asia Timur-Pasifik dan nomor 47 global.Di regional, tingkat korupsi Indonesia hanya lebih baik ketimbang Kamboja."Pengadilan memang bebas dari intervensi pemerintah, tapi tidak bebas dari intervensi kepentingan kelompok yang sangat kuat dan korupsi," demikian WJP menanggapi situasi peradilan di Indonesia.
Dalam penilaiannya, sistem peradilan publik Indonesia masih terbelakang dan mendapat ranking 41 secara global.Warga Indonesia diklaim kesulitan mendapatkan bantuan hukum, penegakan hukum yang tidak efisien, dan lamanya penyelesaian per kasus.Ini ditambah masih terjadinya pelanggaran HAM oleh polisi dan di lembaga pemasyarakatan.
WJP adalah lembaga nirlaba yang didirikan oleh orang terkaya di dunia, Bill Gates.Lembaga ini mengadakan survei di sejumlah negara untuk mengetahui sejauh mana tingkat keadilan publik. Di Indonesia, survei WJP dilakukan oleh Synovate pada 2009. Mereka mensurvei 1.067 responden di tiga kota besar berpengaruh yaitu Jakarta, Surabaya, dan Bandung.[Survei Korupsi: Indonesia Urutan 47 Terkorup dari 66 Negara, Republika.co.id.Selasa, 14 Juni 2011 12:01 WIB].
Kita tidak menyanggah hasil survey yang menyatakan demikian, tapi faktanya mengatakan hal itu, secara kasat mata dapat dilihat dan didengar banyaknya pejabat yang berurusan dengan Polisi dan KPK yang berkaitan dengan kasus dugaan korupsi, nampaknya ini sebuah rezim koruptor.
Apa jadinya pemba-ngunan dan roda pemerintahan di daerah bila para rezimnya menjadi terdakwa korupsi? Mungkin kalau hanya satu dua kepala daerah tak masalah.Tapi kalau lebih dari 50 persen, kepala daerah terpilih kini memegang gelar 'terdakwa korupsi'?
Sebuah data terbaru meng-ungkapkan, sepanjang tahun 2010 ada 244 pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada).Dari jumlah tersebut, 148 kepala daerah di antaranya terlibat kasus korupsi.Angkanya berarti mencapai 60 persen.Tentu ini bukan angka sembarangan dan tak mungkin hanya faktor pribadi/individu.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui, kasus korupsi yang selama ini membelit kepala daerah tak lepas dari besarnya dana kampanye yang digelontorkan saat pemilu kada. Bayangkan, pemerintah sampai harus mengeluarkan uang se-besar Rp 55 trilyun untuk men-danai 244 pemilu kada tersebut.Itu belum termasuk uang yang dikeluarkan oleh masing-masing pasangan kandidat kepala da-erah.

Bahkan, salah satu bupati di daerah Jawa Tengah rela mengeluarkan puluhan milyar demi meraih kemenangan dalam pe-milu kada. Bupati terpilih Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, bah-kan mengakui dalam kampanye pemilu kada lalu ia menghabis-kan biaya sekitar Rp 5 milyar – Rp 10 milyar. Dana itu paling besar digunakan untuk tim sukses, pembuatan banner, dan iklan.
Sanggupkah itu ditutupi dari gaji yang mereka peroleh setelah menjabat?Gaji gubernur per bulannya hanya sekitar Rp 9 juta, sedangkan bupati atau walikota sekitar Rp 6 juta.Itu tentu tidak seimbang dengan jumlah pengeluaran mereka sebelum pemilu yang jumlahnya bisa mencapai ratusan milyar untuk pasangan calon gubernur-wakil gubernur. Inilah yang menurut Direktur Jenderal Kesa-tuan Bangsa dan Politik (Kes-bangpol) Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri) A Tanri-bali Lamo menjadi penyebab timbulnya tindakan-tindakan tidak terpuji, seperti korupsi.
Pengamat politik dari Uni-versitas Muhammadiyah Yog-yakarta Suswanta menyatakan, tidak mungkin para kepala daerah terpilih mampu me-ngembalikan biaya kampa-nyenya yang jumlahnya milyaran rupiah itu kalau tidak korupsi dan kolusi.“Jadi saya yakin bukan hanya 148 tetapi semuanya melakukan korupsi. Jadi inilah, awal dari cara rekrutmennya saja sudah salah, sudah mendorong orang untuk manipulatif, korup-tif, sehingga sangat wajar mem-buat banyak kepala daerah men-jadi tersangka,“ katanya kepada Media Umat.[mujiyanto, Rezim Para Koruptor, Media Ummat; Monday, 14 March 2011 08:1].
Nabi Muhammad pun telah mempunyai beberapa strategi untuk melakukan pemberantasan korupsi di masanya.Caranya adalah dengan melakukan pemeriksaan kepada para pejabat seusai melakukan tugas. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Rasulullah tak akan melindungi, menutupi, atau menyembunyikan para pelaku korupsi sehingga akan berdampak pada minimalnya perilaku korupsi karena merasa tak dilindungi oleh penguasa.
Memang dihubungkan dalam konteks kekinian, di mana perilaku korupsi telah terpolarisasi dalam beragam bentuknya sehingga makin menyulitkan dalam upaya pemberantasannya.Namun, bukan berarti masalah korupsi ini tak bisa dituntaskan. Kuncinya adalah kemauan dan penegakan hukum secara konsisten, transparan, dan tanpa pandang bulu menjadi instrumen penting negara jika ingin terbebas dari aktivitas korupsi dalam beragam bentuknya.[Yuyu Yuhannah, Hikmah: Mencegah Korupsi, Republika.co.id. Senin, 17 Januari 2011, 16:12 WIB].
Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan taq-wanya, seorang pemimpin me-laksanakan tugasnya dengan penuh amanah dan takut kepada Allah. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Hukuman berfungsi sebagai pencegah (zawajir), sehingga membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta'zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa dita-yangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Masyarakat dapat ber-peran menyuburkan atau meng-hilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cen-derung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masya-rakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerin-tahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyim-pang. Demi menumbuhkan ke-beranian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku me-nyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.[M Ismail Yusanto, Solusi Islam Berantas Korupsi ,Media Ummat; Monday, 14 March 2011 08:20].
Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah marah kepada saudaranya Aqil yang memintanya untuk mengambil uang kas negara demi melunasi utang-utangnya. "Saya sebetulnya sangat ingin membantumu, tapi tidak dengan uang kas negara," kata Ali tegas.Aqil tentu saja kecewa dan terus mendesak.
Hingga akhirnya Ali pun marah."Karena engkau terus mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku.Aku menyarankan sesuatu yang dapat melunasi hutangmu.Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi, ambil!"Aqil terkejut, lalu bertanya, "Mengapa engkau menyuruh aku mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?" Ali bin Abi Thalib lantas menjawab, "Lalu, bagaimana bisa engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh rakyat negeri ini?"[Ma'ruf Muttaqien, Menahan Syahwat Korupsi, Republika.co.id.Selasa, 10 Mei 2011 09:55 WIB].
Demikian gambaran yang disampaikan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, bahwa mencuri uang satu orang saja demikian menyusahkan pemiliknya apalagi mencuri uang milik rakyat dengan cara korupsi. Hal ini tidak dapat dibiarkan terus menerus karena akibat dari perbuatan ini selain merugikan rakyat, merusak ekonomi bangsa juga akan mendatangkan bencana bagi negeri ini dengan berbagai macam fitnah, walaupun sudah banyak kiat yang diungkapkan untuk memberantas korupsi tapi intinya pribadi-pribadi harus menahan nafsu untuk mencuri, jangan maling dan tidak korupsi.wallahu a’lam [Tabloid Sumbar Post No 169 Tanggal 21-27 Februari 2012, No. 170 Tanggal 28 Februari-05 Maret 2012 dan No.171 Tanggal 06-12 Maret 2012].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar