Rabu, 09 Mei 2012

A k h l a k


Oleh Mukhlis Denros

Kita sering menyamaratakan satu istilah yang berlaku di masyarakat, sehingga menganggap antara istilah satu dengan istilah lainnya tidak ada perbedaan, baik dari segi penggunaan maupun waktu dalam menggunakannya. Hal ini dapat mengaburkan atau menghilangkan maksud yang terkandung dari kata yang disebutkan atau yang diungkapkan.

Bila ummat islam menyebutkan sembahyang maka tanpa difikir lagi kata tersebut adalah shalat. Samakah shalat dengan sembahyang dari maksud makna keduanya itu ? Terjemahan bahasa satu ke dalam bahasa lain tidak semuanya sama atau sesuai dengan apa yang dimaksudkan dari kata itu, atau mungkin tidak ada terjemahannya ke dalam bahasa lain.

Dalam kehidupan sehari-hari kita selaku makhluk sosial tidak lepas dari istilah-istilah yang sebenarnya tidak sesuai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mungkin saja istilah tersebut dari bahasa asing atau bahasa daerah. Selama ini kita mengartikan ”Addin” dengan ”Agama”, ”Allah” dengan ”Tuhan”, ”Shalat” dengan ”Sembahyang”, ”Shiam ” dengan ”Puasa” dan ”Moral” dengan ”Akhlaq”. Padahal terjemahan tersebut tidaklah bersinggungan, apalagi untuk tepat benar. Dalam tulisan ini dicoba membuka ketakserasian istilah ”Moral” yang diterjemahkan dengan ”Akhlaq” dengan maksud agar kita dapat menempatkan istilah ini tepat pada tempat yang sepantasnya atau untuk menggali dan menghidupkan istilah-istilah yang islami.

Moral berasal dari bahasa Latin, yang aratinya ”adat kebiasaan seseorang dalam hidupnya”. Istilah ini serasi dengan Etika, yang berasal dari bahaya Yunani. Moral adalah kesanggupan orang untuk memilih perbuatan baik dari perbuatan yang buruk. Baik dan buruk ini menurut pandangan manusia, yang dirumuskan oleh manusia berdasarkan kesepakatan.

Moral tidak menghunjam dalam dada pengikutnya, sebab sifatnya sementara dan lokal, hanya berlaku dalam satu wilayah tertentu, maka sifatnyapun relatif menurut situasi, kondisi dan tempat saja. Dalam pandangan moral, yang lebih diutamakan adalah toleransi antara sesama manusia dan saling tenggang rasa. Seseorang bisa melepaskan moralnya untuk menghargai moral orang lain dalam pergaulan, takut orang lain tersinggung atas moralnya, sebab ada pertentangan antara moralnya dengan moral orang lain.

Adapun sumber moral berasal dari tokoh-tokoh manusia yang tunduk kepada hukum yuridis yang tidak ada panutan atau teladan yang pantas diikuti sebagai standard dalam bertindak menjalankan moral tersebut di masyarakat, dan sangsinya adalah tercela dipandangan manusia.

Istilah lain juga disebut dengan "Etika". Secara istilah, etika adalah usaha manusia agar kehidupan mereka berada dalam aturan yang baik, beredar sesuai dengan naluri kemanusiaan. Usaha itu diwujudkan dengan membentuk suatu tata aturan kehidupan yang baik lalu dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Persepsi berbagai agama tentang etika bermacam-macam. Budha Gautama yang melihat ketimpangan dalam etika Hindu [kasta] mencoba mengeluarkan etika baru yang meliputi delapan perkara; melakukan kebaikan, bersifat kasih sayang, suka menolong, mencintai orang lain, suka memaafkan orang, ringan tangan dalam kebaikan, mencabut diri sendiri dari sekalian kepentingan yang penting-penting dan berkorban untuk orang lain.

Demikian juga halnya dengan Lao Tse dan Kong Fu Tse. Dua tokoh Tiongkok ini juga berusaha memperbaiki tingkah dan etika manusia pada zamannya dengan berbagai ajaran kebaikan, demi keselamatan tatanan kehidupan manusia. Banyak lagi tokoh seperti Socrates, Antintenus, Plato, Aristoteles dan lainnya bermunculan mengemukakan konsep dan teorinya, bagaimana agar manusia bertingkahlaku baik, menjauhkan kerusakan dan kebinasaan pribadi maupun orang lain.

Aturan yang mereka buat hanya didasarkan kepada pendapat orang-orang sesuai dengan fikiran dan perasaannya. Tentu saja pendapat yang satu berbeda dengan yang lain. Bahkan, bisa saja pendapat kemaren dibantah dengan munculnya pendapat baru. ”Kebenaran” seorang tokoh akan ditolak dengan ditemukannhya kebenaran orang sesudahnya.

Sekitar abad ketiga sebelum Masehi, muncul aliran dalam hal etika yang dikenal dengan aliran Naturalisme; aliran yang diprakarsai Zeno [340-264 SM] itu berpendapat bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia adalah manakala manusia itu secara natural mengikuti akalnya dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Jadi menurut pendapat ini hidup manusia harus mengikuti petunjuk akal, dengan mengikuti petunjuk akal berarti telah memiliki etika tinggi.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Epikuros [341-270 SM] berpendapata bahwa ukuran baik buruk terletak pada kelezatan sesuatu dan itu merupakan tujuan hidup manusia. Bila perbuatan manusia menimbulkan suatu kenikmatan dialah orang yang mempunyai moral dan etika yang tinggi. Pendapat ini dinamakan Hedonisme. Pada awal-awal abad kedelapanbelas, J.S. Mill memperkenalkan teori yang baru. Agaknya ada sedikit kemajuan. Teori ini dikenal dengan Utilitarisme. Mill mengemukakan bahwa ukuran baik dan buruknya sesuatu didasarkan atas besar kecilnya manfaat yang ditimbulkan bagi manusia. Dengan pendapat ini ia menghendaki agar manusia menemukan kebahagiaan di tengah orang banyak dengan memanfaatkan diri dan pengorbanannya.

Ada lagi aliran Idealisme. Aliran ini tidak bicara definisi, tapi apa yang ada dibalik etika tersebut. Tokohnya Immanuel Kant [1725-1804]. Ia berpendapat bahwa seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan oleh orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri [atau rasa kewajiban]. Perbuatan baik akan dilakukan juga walaupun diancam atau dicela orang lain karena terpanggil oleh kewajiban.

Sedangkan aliran etika Vitalisme mengukur baik buruknya perbuatan manusia dengan ada tidaknya daya hidup maksimum yang mengendalikan perbuatan itu. Maka, yang dianggap baik ialah orang yang kuat dan dapat memaksakan kehendaknya serta mampu menjadikan dirinya selalu ditaati. Pencetus aliran ini ialah Freedrich Witzche [1844-1900]. Filsafat dalam aliran ini adalah Atheistis. Karenanya Witzche juga berjuang menentang gereja di Eropa.

Itulah beberapa kisah tentang usaha manusia mencari rumusan etika. Semua konsepnya semu, semua ajarannya tidak ada yang menghunjam dalam hati nurani. Lebih jauh, tak sedikit dari konsep etika di atas yang salah. Akibatnya, bukannya terjadi kehidupan manusia yang beretika. Justru sebaliknya terjadi berbagai kehancuran di muka bumi.

Etika yang benar adalah etika yang bersandar kepada kebenaran wahyu. Dalam terminologi etika, etika ini dikenal dengan aliran Theologis. Aliran ini berpendapat bahwa baik buruk perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan yang dibawa para Nabi kepada ummatnya. Etika Theologis inilah yang dalam Islam disebut dengan Akhlak. Ia bersumber dari sang Khaliq.

Sedangkan akhlaq berasal dari bahasa Arab, yaitu ”Khuluqun” yang berarti ”Budi pekerti”, yang menentukan batas antara baik dan buruk, yang terpuji dan tercela, tentang perkataan dan perbuatan manusia dalam pergaulannya.

Akhlaq adalah sejumlah kumpulan prilaku berdasarkan teladan Rasulullah Saw dimasa hidupnya, didalam kehidupan sehari-hari yang dituntun oleh Risalah Nubuwah [Kenabian] dalam Al Ahzab;21 Allah berfirman,”Sungguh di dalam diri Rasulullah itu ada contoh teladan yang baik”. Dalam sebuah haditspun Rasulullah menyabdakan, ”Aku diutus kemuka bumi ini tiada lain untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Akhlaq menghunjam di dada dan memotivasi diri untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar, dengan mengharapkan semata-mata ridha dari Allah Swt.

Dalam Islam perhatian terhadap akhlak sangatlah besar. Selain akan mendampingi ketaqwaan dalam memperbanyak amal di akherat, akhlak juga menjadi perisai bagi eksistensi suatu bangsa. Selain itu, kebutuhan seorang muslim akan akhlak juga untuk penopang iman. Sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah, ”Sesempurna-sempurna iman seseorang mukmin ialah yang lebih baik akhlaknya”. Dalam Islam, batasan antara akhlak yang baik dan akhlak yang buruk sangat jelas. Bahkan dengan penggambaran-penggambaran yang vulgar. Lihatlah bagaimana Al Qur’an mengumpamakan orang-orang yang tak berakhlak seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang.

Sebaliknya, Islam memberikan ruang lingkup akhlak yang baik dengan sangat luas. Tidak saja terpaku kepada amal-amal yang kelihatannya sepele. Seperti menyingkirkan duri dari jalanan, menyapa dengan mengucapkan salam ketika bertemu sesama muslim, mendo’akan saudara, dan amal-amal lain yang sangat luas dalam Islam.

Akhlak Islam juga mengajarkan bagaimana seorang rakyat harus bersikap, bagaimana seorang pemimpin harus memimpin, bagaimana seorang ulama harus memberi fatwa. Semua ada aturannya, apakah orang itu pedagang, pekerja, pengarang dan pengusaha, harus berakhlak sesuai dengan profesinya. Buya Hamka mengucapkan, ”Diribut runduk padi, dicupak Datuk Tumenggung, Hidup kalau tidak berbudi, duduk tegak kemari canggung, tegak rumah karena sendr, runtuh budi rumah binasa, sendi bangsa adalah budi, runtuh budi runtuhlah bangsa”.

Akhlak memegang peranan penting dalam segi kehidupan maka dapat dijadikan ukuran sampai dimana tinggi rendahnya pribadi seseorang, sehingga pembinaan akhlak penting bagi kehidupan manusia, Rasulullah bersabda, ”Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” [HR. Ahmad].

Bahkan status bangsapun ditentukan oleh akhlak rakyatnya sebagaimana syair yang digubah oleh Sauqi Bey, “Satu bangsa terkenal lantaran budinya, kalau budinya tidak ada lagi, nama bangsa itupun hilanglah”. Dalam ajaran Islam bila seseorang berakhlak tercela bukan saja dibenci dan merugikan orang lain tapi menanggung dosa dan kesalahan, sebab timbulnya dosa dan kesalahan salah satunya sempitnya lapangan hidup sehingga dia tidak melihat orang lain melainkan mementingkan dirinya saja, inilah yang disebut dengan egoistis, tidak diperhatikan kalau akhlaknya itu [tercela] merugikan orang lain.

Orang-orang yang berakhlak tinggipun kadangkala membuat kesalahan, bukan kepada orang lain tapi kepada dirinya sendiri, dia berusaha memperbaiki akhlak masyarakat namun melupakan keselamatan dan kesehatan pribadi sebagai mana Socrates yang terkenal itu, terlalu banyak memikirkan dan memperbaiki manusia kearah yang lebih manusiawi lalu dia mengurus diri sendiri. Sayid Jamaluddin Al Afghani lantaran hendak memperbaiki ummat Islam seluruh dunia ini, dia lupa memikirkan kepentingan dirinya sehingga tidak sempat mendirikan rumah tangganya karena tidak menikah hingga akhir hayatnya.

Akhlak diperlukan oleh semua ummat Islam dalam rangka hidup bermasyarakat dengan landasan syariat agama dengan contoh teladan Nabi Muhammad Saw, dia bukan diperlukn oleh para ulama dan orang terkemuka saja tapi siapapun, jabatan apapun disandangnya, baik sebagai pemegang dan pengendali roda pemerintahan. Bila mereka berakhlak mulia tentu rakyat tentram, tidak akan terjadi penyelewengan kekuasaan yang merugikan bangsa.

Pengusaha yang berakhlak akan memperlakukan karyawannya dengan baik, usahanya bergerak bukan sekedar mencari keuntungan saja tapi berwawasan lingkungan, memperhitungkan baik buruk, untung dan rugi yang diderita masyarakat karena perusahaannya, udara, bumi dan polusi suara yang mendatangkan pencemaran pada lingkungan.

Seorang saudagar bila mempunyai akhlak akan mencari laba sesuai dengan ajaran Islam, tidak akan mempermainkan harga dan tidak akan mengicuh dalam timbangan, takaran dan sukatan. Dalam profesi apapun, sejak dari guru, dokter, pengacara dan pengarang harus memiliki akhlak, dia menjalankan profesi bukan sekedar rutinitas dalam gerak kehidupan untuk memenuhi tuntutan duniawi tapi mengandung ibadah kepada Allah, karena ibadah secara luas artinya segala aktivitas hamba demi mencari keridhaan Allah dan jalan banyak untuk menggapai ridha itu. Sungguh terlalu banyak jenis pekerjaan yang dapat dilakukan manusia, tidaklah ada pekerjaan yang hina asal halal, tiap-tiap pekerjaan ada gunanya selama membawa faedah kepada dirinya sendiri, memberi faedah pula kepada masyarakat lalu berpahala asal didukung oleh akhlak yang luhur dengan landasan iman.

Akhlak memiliki standard dan teladan yang dapat dijadikan sebagai ukuran dan contoh dalam kehidupan tapi moral, etika dan sebangsanya sulit mencari ukuran dan figur yang layak diikuti karena dibuat oleh manusia, bersifat lokal dan teoritis lebih banyak dari pada praktis, namun akhlak bagi seorang muslim mempunyai standard dan figur yang dapat dijadikan teladan dalam kehidupan yaitu pribadi Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya. Manusia lain dapat dan boleh ditiru dalam kebaikan tentu saja ada kekurangannya pasa satu sisi lain tercela tidak ada manusia yang sempurna karena dia memang tempat dosa dan kesalahan tapi pribadi Nabi Muhammad segala asfek gerak hidupnya terjaga dari kesalahan dan dosa, inilah pribadi agung yang dikirim Allah untuk manusia dari pengawasan wahyu yang disampaikan bukan melalui teori dan pendapat manusia.

Dengan Tarbiyyah Islamiyyah [Pendidikan Islam] shahihah [yang benar] dan mustamirah [ berkelanjutan] akan melahirkan pribadi-pribdi yang memiliki akhlak mulia. Untuk menumbuhkan dan melatih ruh, akal dan amal seorang mukmin hendaknya melandasi penampilan mereka sehari-hari dengan tujuh syiar akhlak yaitu;

1.Ikhlas adalah mabda' [dasar] hidup
Akhlak seorang muslim dalam melakukan amal perbuatan Islam menuntut yang dilakukan karena mengharapkan ridha Allah, bila dilakukan dengan ikhlas maka Allah akan menghitung dan memperhitungkannya dan sebaliknya; [Al Baqarah 2;284]. Sifat riya’ oleh Rasulullah dikatakan syirik kecil, sahabat bertanya, ”Apa itu syirik kecil ?” maka Nabi menjawab yaitu manusia datang untuk meminta balasan atas amal perbuatan yang mereka lakukan lalu Allah berkata kepada mereka, ”Pergilah kamu temui orang-orang yang karena mereka kamu beramal di dunia, niscaya kamu akan sadar bahwa apakah kamu memperoleh balasan kebaikan dari mereka”.
Amal yang dikerjakan dengan mengharapkan ridha Allah yang akan memperoleh balasan yang layak kelak di akherat, baik pengorbanan itu kecil apalagi besar, tapi bila amal dikerjakan tidak mencari ridha Allah maka amal besar akan kecil maknanya; [2;207, 98;5]

2.Islam adalah pedoman hidup
Akhlak seorang muslim, adalah orang yang telah mengakui islam dan memilih sikap hidup beriman kepada Allah, konsekwen dan konsisten dengan mengamalkan ajaran Islam dan mengamalkan islam secara utuh [2;208]

Gambaran kehidupan pribadi dan masyarakat muslim jauh berbeda dengan kehidupan orang kafir karena pandangan hidup yang tidak sama pula. Dalam masyarakat islam tidak terdapat pemuda-pemudi yang berbaju minim atau bertelanjang, wanita-wanita yang suka menggoda orang lain atau digoda yang berkeliaran disetiap tempat, menyebarkan fitnah dan kekacauan dan semuanya itu untuk keuntungan syaitan.

Bagaimanapun kondisi yang dialami seorang muslim; sakit atau senang, bahagia atau sengsara bahkan dikala diuji dengan segala yang melenakan hidupnya agar berpaling dari islam maka semakin kokoh keimanannya hingga ajal menjemputnya kelak. Kekonsistenannya terhadap islam nampak dalam kehidupan sehari-hari melalui pribadi, keluarga dan bermasyarakat [6;153]

3.Taqwa merupakan bekal hidup
Bagi orang yang beriman, taqwa merupakan bekal hidupnya, yang menjadikan kehidupan dunia adalah kehidupan sementara sedangkan kehidupan akherat adalah tujuan akhir, sehingga dunia dijadikan sebagai pulau persinggahan. Hidup bagi orang yang bertaqwa bukanlah disini dan ini saja yang hanya sebentar, tapi hidup yang abadi ada di akherat sehingga perlu bekal dan persiapan untuk menuju kesana dengan iman yang bersih dari syirik dan ibadah yang bersih dari riya'. [2;19, 4;77, 28;77 ]
Rasulullah bersabda,; "Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kalian berada dan ikutilah perbuatan yang buruk itu dengan perbuatan yang baik, nanti dia akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik" [HR. Muslim]

4.Taat merupakan ciri khas
Akhlak seorang muslim adalah mendengar dan mentaati segala tuntutan Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang sebelum islam, dibawah bimbingan wahyu yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi-nabi sebelumnya, karakter ummat mereka bila diperintahkan untuk melaksanakan hukum Allah mereka menjawab,”Sami’na wa ashoina” artinya kami mendengar tapi kami lalai. Sedangkan jawaban orang-orang yang benar imannya adalah bagaimana yang tergambar dalam surat An Nur 24;51 ‘’ Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.’’

5.Yakin dan sabar merupakan kekuatan
Akhlak seorang mukmin dituntut untuk menerapkan sabar dalam seluruh asfek kehidupannya dengan tidak menghilangkan ketegasan serta keberanian, keyakinan dan kesabaran merupakan kekuatan baginya untuk mengarungi kehidupan ini, secara prinsip kesabaran itu diletakkan pada;

Ash Shabru ’indal musyibah, artinya kesabaran itu ditempatkan saat menerima musibah. Umumnya kehidupan manusia ini dihiasi oleh dinamika ujian dan ujian, baik berupa kesenangan maupun kesengsaraan, keberhasilan ataupun kegagalan,bahkan Allah menjadikan musibah ini sebagai sunnatullah dalam kehidupan.

Ash Shabru ’anil ma’siyat, artinya kesabaran itu harus terujud saat berhadapan dengan maksiat. Yang dimaksud adalah segala maksiat yang ada di hadapan seorang mukmin,dia harus berupaya untuk menghindarinya sekaligus untuk menyingkirkan maksiyat itu dengan penuh hati-hati, tidak boleh secara prontal dan emosional, Ibnu Taimiyah berkata,”Jangan menghilangkan maksiat dengan emosional yang akhirnya akan mendatangkan maksiat yang lebih besar”.

Ash Shabru ilat Tha’ah, artinya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah haruslah mengujudkan kesabaran, karena terlalu banyak rintangan dan rongrongan yang datang kepada seorang mukmin ketika dia akan mematuhi segala suruhan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Rasul melihat Asma binti Abu Bakar mengikatkan pinggangnya pada sebuah tiang dalam masjid, beliau bertanya,”Kenapa demikian ya Asma”, anak Abu Bakar itu menjawab bahwa dia akan menunaikan shalat tahajud sepanjang malam tapi tidak mampu sehingga untuk menjaga rasa kantuknya dia harus menahan dengan tali ditubuhnya itu, rasul mengatakan,”Kerjakan tajahud itu semampumu, saat mengantuk tidurlah dahulu, lalu bangun lagi dan kerjakan shalat....”

Ash Shabru ilad Da’wah artinya untuk menggelar da’wah perlu adanya kesabaran, tidak serampangan dan buru-buru dengan melupakan manhaj da’wah yang diajarkan oleh Rasululah. Terlalu banyak halangan dan rintangan sehingga wajar kalau seorang Hasan Al Banna mengatakan bahwa da’wah itu bukanlah hamparan permadani dan bukan pula kalungan bunga melati tapi hamparan onak dan duri serta kalung gantungan kematian. Sejak da’wah ini digelar oleh para nabi dan rasul senantiasa hadir berbagai ujian, tanpa kesabaran dalam berda’wah terlalu banyak mungkin kerugian yang akan diderita oleh da’wah itu sendiri sehingga terjadilah perbenturan dengan pihak penguasa, kafir dan zhalim ketika kekuatan belum ada tentu saja gerakan da’wah ini mudah saja untuk diberangus oleh musuh-musuh islam [3;146]

6.Tsabat [keteguhan] merupakan sikap hidup
Pribadi muslim itu adalah pribadi yang menjadikan Tsabat atau keteguhan sebagai sikap hidupnya, dengan keimanan yang dimiliki menjamin jiwa orang yang beriman akan stabil dalam kondisi apapun walaupun kondisi itu akan meneteskan air mata atau akan menggenangkan darah maka semua itu dihadapi dengan jiwa yang stabil, Rasulullah bersabda,"Sungguh ajaib sikap orang-orang mukmin itu, kalau diberi nikmat dia bersyukur dan itu lebih baik baginya, dan kalau ditimpa musibah diapun bersabar dan itu lebih baik baginya"

Ibnu Taimiyah saat berhadapan dengan pemerintahan yang zhalim yang akan mencelakakan dirinya maka dia bermunajad kepada Allah yang menggambarkan kestabilan jiwanya menghadapio segala teror itu, "Ya Allah seandainya mereka mencampakkan aku maka waktu itu adalah saat yang tepat bagiku untuk bertamasa bersamaMu, kalau mereka mengurungku maka saat itu adalah waktu yang tepat bagiku untuk bersunyi diri bersamaMu, walaupun sekiranya mereka menggantungku maka itu adalah waktu yang tepat agar aku bisa cepat bertemu dengan-Mu".

7.Ukhuwah islamiyyah adalah pengikat hati
Pribadi Muslim adalah pribadi yang menjadikan ukhuwah islamiyyah sebagai pengikat hati, andaikata terjadi perpecahan dan perselisihan, maka kewajiban bagi mukmin lainnya untuk mendamaikan, bukan malah menyiramkan minyak di tengah api yang tengah berkobar. Allah sangat keras ancamannya kepada orang-orang yang berpecah belah dan bermusuhan [3;10, 49;10].

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”

Dengan tujuh syiar akhlak yang menjadikan kepribadian muslim akan mengangkat muslim tadi jadi ummat yang dicintai Allah, disayangi sesamanya dan ditakuti oleh musuh-musuhnya, wallahu a'lam [Cubadak Solok, Ramadhan 1431.H/ Agustus 2010.M]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar