Jumat, 11 Mei 2012

C i n t a


Oleh Mukhlis Denros

Seorang ibu rela bersimbah darah dan airmata demi menunaikan tugas sambil menanti kelahiran anaknya walaupun nyawa sebagai tebusannya, seorang ayah berpanas dan berhujan mengais rezeki untuk anak-anak dan isterinya, hal itu terjadi karena ada sesuatu yang dimilikinya yaitu rasa cinta. Kalaulah tidak ada rasa cinta mungkin ayah dan ibu sudah bersekongkol untuk mengakhiri kehidupan anaknya, apalagi bayangan susahnya mencari kehidupan, menghidupkan anak-anak yang belum tahu apakah akan menjadi orang atau malah menjadi sampah masyarakat.

Pada satu sisi cinta itu positif sebagai sarana penyaluran perasaan kasih dan sayang kepada sesuatu atau kepada seseorang yang dianjurkan oleh agama, dan pada sisi lain dia menimbulkan asfek negatif bila cinta itu tidak ditempatkan secara proporsional. Bentuk cinta itu ada dua yaitu, pertama cinta thabi’i atau tabiat yaitu cinta yang didorong oleh nafsu dan dikomandoi oleh syaitan. Nafsu tidak mengenal benar dan salah, halal dan haram, dia hanya mengenal kalah dan menang. Kemenangan harus diraih meskipun dengan menghalalkan segala cara, hal itu dinampakkan indah oleh Iblis/syaitan sehingga segala yang buruk yang dilakukan manusia, kelihatannya bagus, indah dan bermanfaat [15;39-40]. Kedua cinta syar’i, yaitu cinta syariat yang didorong oleh iman serta dimotivasi oleh mencari ridha Allah semata.

Lelaki senang kepada seorang wanita cantik, bila dia menikahi gadis tersebut sesuai dengan aturan islam, ini namanya cinta syar’i, tapi bila sebaliknya dengan cara zina, inilah yang disebut dengan cinta thabi’i yang dirintis oleh syaitan.

Suatu ketika Rasulullah meramalkan bahwa ummat islam akan dikeroyok oleh ummat lain jusru dikala ummat islam berjumlah besar, disebabkan diserang oleh suatu penyakit yang disebut dengan ”Wahnun” yaitu penyakit ummat ”Hubbuddunya wakarahiyatul maut” yaitu tarlalu cinta kepada dunia dan terlalu takut dengan kematian.

Isi dunia ini dilengkapi tiga perhiasan yaitu harta dengan berbagai bentuknya, tahta dengan berbagai jenis dan jenjangnya dan wanita dari berbagai tipe dan kepentingannya. Jangankan ketiga hal di atas sedangkan salah satu dari tiga dimiliki manusia lalu dia dikuasai oleh yang dimilikinya itu, dalam arti kata dia terlalu cinta pasti dikuasai oleh yang dimilikinya itu lalu takut berpisah dengan apa yang dicintai tersebut apalagi kematian datang menghampiri tentu tidak dia harapkan, ”Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allahlah tempat kembali yang baik [syurga]” [Ali Imran 3;14[.

Bukan berarti ummat islam tidak boleh mencintai isi dunia, silahkan selama kecintaan tadi didasari cinta kepada Allah, sebagaimana kupasan Imam Al Gazali berikut ini dalam buku ”Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin”;

Kecintaan hakiki yang didasarkan karena Allah ialah apabila seseorang itu tidaklah mencintai orang lain karena pribadi [zat] nya orang itu, tetapi semata-mata karena mengingat keuntungan yang akan diperoleh untuk keakheratan dari sahabatnya iu. Misalnya seseorang yang mencintai gurunya, sebab dengan guru itu ia dapat memperoleh perantara guru menghasilkan ilmu pengetahuan dan amalan yang dilakukan itu hanyalah untuk keakheratan belaka untuk mencari keridhaan Allah.

Seorang yang mencintai muridnya, sebab pada muridnya itulah ia dapat mencurahkan isi pengetahuannya dan dengan perantara murid itu pula ia dapat memperoleh derajat atau tingkat sebagai pengajar atau guru, guru yang semacam inilah yang juga disebut mencintai orang lain untuk mencari keridhaan Allah.

Seseorang yang suka menyedekahkan hartanya karena Allah bukan karena pamer atau riya’, suka mengumpulkan tamu-tamunya lalu menjamu mereka dengan berbagai makanan yang lezat serta yang enak makanannya yang dilakukan semata-mata karena untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia suka kepada seorang pemasak karena ketelitian dan kebaikan cara memasaknya, maka orang inipun termasuk pula dalam golongan pencinta untuk mencari keridhaan Allah.

Seseorang yang mencintai kepada seseorang yang suka menyampaikan sedekah atau zakatnya kepada orang-orang yang hendak menerimanya. Jadi ia mencintainya juga karena Allah. Demikian pula seseorang yang mencintai kepada pelayannya yang membersihkan dirinya untuk mencuci pakaian, membersihkan lantai rumahnya atau memasakkan makanannya, kemudian dengan demikian tadi ia sendiri dapat penuh mencurahkan ilmu pengetahuan serta amalan shalehnya, sedang maksudnya menggunakan pelayan dengan pekerjaan tadi adalah untuk terus menerus dapat beribadah, itupun orang yang mencintai karena Allah juga.

Apabila seseorang itu menikahi seorang wanita yang shaleh, yang demikian itu dimaksudkan agar dirinya dapat terhindar dan terjaga dari godaan syaitan dan pula guna menjunjung agamanya atau agar nantinya dapat dikarunia oleh Allah seorang anak yang shaleh, seseorang mencintai isterinya karena karena isteri itulah yang merupakan perantara atau alat kepada tujuan-tujuan keagamaan, maka kedua macam orang itupun termasuk mencintai karena Allah.

Memang, bukan sekali-kali yang merupakan syarat mencintai Allah itu harus tidak mencintai harta dunia, sehingga bagiannya dari keduniaan itu ditinggalkannya sama sekali, itu tidak, sebab isi do’a yang diperintahkan oleh para nabi adalah mencakup antara kepentingan dunia dan akherat, sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an surat Al Baqarah 2;201, ”Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat dan peliharalah kami dari siksa neraka”, dalam sebuah hadis rasulullah berdo’a, ”Ya Allah sesungguhnya saya memohonkan kepada-Mu suatu kerahmatan yang datangnya itudapatlah saya memperoleh keselamatan, kemuliaan-Mu di dunia dan di akherat”.

Harta, tahta dan wanita yang dikaruniakan Allah dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah karena mencintai Allah bukan berarti hidup jauh di pengasingan dengan pakaian dan makanan yang sangat menyedihkan, sebagaimana layaknya seorang sufi, namun demikian tidak sedikit pula menusia yang jauh dari Allah karena memiliki fasilitas dunia yang menodai, dia terlalu cinta kepada dunia padahal tidak akan lama didiaminya dan terlalu takut dengan kematian, padahal mati merupakan awal kehidupan yang abadi.

Bila hal ini difahami, tidak akan kita temui orang yang memiliki harta tapi bakhil tetapi sebaliknya mereka adalah orang yang penyantun dengan mendermakan sebagian hartanya kepada yang berhak disantuni, tidak akan kita temui para pemilik kekuasaan yang menindas si lemah dan menekan si bodoh, namun para penguasa yang menegakkan kebenaran dan mengangkat silemah menjadi kuat, juga tidak akan kita temui orang yang melacurkan dirinya dengan perbuatan maksiat yang menjijikkan.

Manusia adalah makhluk Allah yang punya hubungan istimewa yaitu hubungan cinta, hubungan kasih sayang antara hamba dengan Khaliqnya. Hubungan ini terujud karena nilai iman yang tinggi dan pemahaman tauhid yang benar, sehingga seorang mukmin meletakkan posisi cintanya sesuai dengan prioritas [9;24], bahkan Allah menggambarkan bagaimana seorang mukmin meletakkan dasar cintanya kepada Allah selain mencintai yang lain [2;165] ”Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

Kedua bentuk cinta tersebut memiliki ciri yang sama dan khas dan itu merupakan alat ukur cinta seseorang kepada orang yang dicintainya, baik cinta itu karena Allah atau karena syaitan, adapun standard cinta tersebut adalah;

Pertama, banyak menyebut nama orang yang dicintai. Dalam segala waktu dan kesempatan tidak pernah hilang dari ingatan untuk mengenang dan mengingat kekasihnya, siang hingga malam, dikala siang jadi angan-angan, waktu malam jadi impian, demikian pula cinta kepada Allah, dia telah menjadikan seluruh aktivitasnya untuk zikir hanya kepada Allah [8;2] ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.

Kedua, kagum kepada yang dicintai. Segala kebaikan dan keindahan yang ada pada yang dicintai menjadi sorotan pertama sehingga menutupi kekurangan kekasihnya. Seluruh penampilan dari kekasihnya menarik dan menyenangkan hati yang memandang, sejak dari kedipan mata, hidung yang mancung, bibir yang indah, body yang menarik, semuanya seolah-olah sempurna, jauh dari cacat dan cela [1;1]. ”Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

Ketiga, ridha terhadap orang yang dicintai. Apapun yang diperlakukan oleh kekasih tidak pernah merasa kesal, sedih ataupun membalas, bahkan perlakuan tadi harus diterima dengan senang hati, sabar dan tabah sebagai ujud cinta yang tulus [9;61] ”Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya." Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu." Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih.”

Keempat, siap berkurban untuk yang dicintai. Kurban apa saja akan dilakukan demi orang yang dicintai, baik waktu, tenaga, materi bahkan jiwa ragapun siap dikurbankan demi keutuhan cinta, bahkan pengurbanan merupakan salah satu indikator mutlak untuk menunjukkan ketulusan cinta[2;207] ”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”

Kelima, takut dengan ancaman orang yang dicintai. Hal ini membuat kekasih berprilaku yang sopan dan baik, takut bila sang kekasihnya murka apalagi memberikan ancaman sehingga dia rela berbuat apa saja demi menyenangkan hati kekasihnya [21;90] ”Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.”

Keenam, mengharapkan sesuatu dari orang yang dicintai. Baik berupa senyuman yang manis, tegur sapa yang menyenangkan hingga harapan yang melambung tinggi [21;90]

Ketujuh, taat kepada yang dicintai. Sehingga program apapun yang diberikan oleh kekasihnya tidak pernah ditolak bahkan membutuhkan program-program tertentu untuk meningkatkan kualitas cinta [ 24;51] ”Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Kedelapan, suka membaca surat kekasih. Sehingga tiada waktu yang tersisa semua digunakan untuk mengenang kisah kasih dengan orang yang dicintai, surat menyurat adalah komunikai yang efektif untuk menyambungkan tali kasih sayang [2;2-3] ”Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepadamereka.”

Kesembilan, suka menyendiri dengan yang dicintai. Ada hal yang sangat penting dibicarakan hanya untuk berdua saja, tidak perlu orang lain tahu, suasana begini yang amat diharapkan oleh orang yang sedang bercinta, larut malam, hujan gerimis, petir bersambar dan nyamukpun banyak bagi mereka bukan masalah bahkan menambah indahnya pertemuan.

Kesepuluh, suka datang ke tempat kekasih. Walaupun resiko yang dihadapi sangat berat . seperti orangtuanya marah, dianggap maling, dikejar polisi, kena hardikan anjing herder, bahkan perjalanan harus melewati kuburanpun akan dilewati, hanya satu tujuan dengan semboyan,”Lautan dalam akan diseberangi dan gunung tinggi akan didaki”

Kesebelas, mengakui kesalahan bila melakukannya. Hal ini dilakukan untuk mencari simpati serta jangan sampai kemarahan sang kekasih berlarut-larut.

Itulah sebelas standard cinta seseorang kepada kekasihnya, salah satu tidak ada apalagi semuanya tidak melekat maka diragukan cintanya, demikian pula cinta hamba kepada Khaliqnya harus terujud dengan banyak berzikir, kagum kepada Allah, ridha terhadap apapun yang diberikan Allah, siap untuk berkurban, takut dengan siksa-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, taat kepada Allah tanpa reserve, suka membaca Al Qur’an, menyendiri dengan tahajud dan munajad, datang memenuhi panggilan Allah dalam seluruh segala perintah serta tidak lupa bertaubat bila melakukan ma’siyat atau dosa dan kesalahan.

Cinta atau mahabbah kepada Allah adalah konsekwensi dari iman yang mendalam, dia harus mampu meletakkan segala cintanya kepada yang lain dibawah cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah merupakan akhir dan titik klimaks dari seluruh tingkatan dan tahapan dalam kehidupan orang yang menapaki jalan menuju Allah. Cinta adalah tingkatan yang paling tinggi, agung, bermanfaat dan wajib bagi manusia untuk selalu mencintai-Nya, karena-Nya kita telah menuhankan-Nya, yang kewajiban tadi tertumpu pula kepada hamba untuk mengabdikan dirinya dalam menjalankan segala asfek ibadah sesuai perintah-Nya dan menjauhi semua larangannya. Hakekat ibadah sendiri adalah totalitas rasa tunduk dan merendahkan diri di hadapan sang Khaliq, Allah berfirman dalam surat Al Maidah 5;54
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”

Cinta kepada Allah merupakan sari kehidupan bagi hati dan konsumsi pokok dari setiap jiwa insani. Tidak ada kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan dan kehidupan bagi hati kecuali dengan cinta itu. Apabila hati insan kehilangan cinta, maka ia merasakan sakit yang sangat, melebihi mata yang kehilangan korneanya, telinga yang kehilangan gendang pendengarannya, bahkan kerusakan hati. Apabila hati telah kosong dari cinta kepada Khaliq maka dapat dipastikan bahwa rusaknya hati lebih parah daripada rusaknya raga ketika terpisah dari rohnya. Hal semacam ini sulit dipercaya, kecuali oleh mereka yang hatinya memiliki nur hidayatullah, sebab orang yang meninggal tidak merasa sakit sekalipun dia dilukai.

Fattah Al Mushili berkata,”Orang yang memiliki mahabbah [cinta] baginya dunia ini bukan tempat mereguk semua kelezatan yang kekal, selalu mengingat Allah walau sekejap mata”.

Ulama Salaf berkata,”Orang yang bercinta, hatinya senantiasa melayang mencari-Nya, banyak menyebut-Nya, mencari keridhaan-Nya dengan segala cara yang ia mampu untuk melakukannya berupa amalan-amalan fardhu maupun sunnah dengan merasakan rindu hyang membara kepada-Nya”.

Seorang wanita dari kalangan Salaf memberi nasehat bagi putra-putranya,”Biasakanlah kamu mencintai dan taat kepada Allah, sebab orang-orang yang bertaqwa itu hatinya selalu tunduk kepada ketaatan, sehingga seluruh anggota tubuhnya merasa asing jika berbuat di luar hal itu…”

Disuatu malam Rasulullah dan Aisyah menunaikan shalat Isya berjama’ah, setelah selesai shalat maka Aisyah tidur, sedangkan Rasul melanjutkan shalatnya, di tengah malam Aisyah tersentak, dia melihat Rasul sedang shalat juga, lalu dia tunggu Rasul mengakhiri shalatnya dan bertanya,”Ya Rasulullah, bukankah syurga sudah pasti engkau masuki, dosa-dosamu yang lalu, hari ini dan yang akan datang dihapuskan Allah, kenapa shalatmu demikian banyak,” Rasul memberikan jawaban bahwa semua yang beliau lakukan itu lantaran cinta kepada Allah dan rasa syukur yang mendalam.

Seorang Sufi wanita bernama Rabi’ah al Adawiyah bermunaja kepada Tuhannya dengan penuh tawaddhu,”Ya Ilahi seandainya aku beribadah kepadamu karena takut dengan nerakamu maka masukkanlah aku ke dalam jahanam, bila aku beribadah kepada-Mu karena mengharapkan syurga-Mu maka jauhkanlah dia daripadaku, namun bila aku beribadah karena cinta kepada-Mu, maka janganlah aku Kau sia-siakan”.

Demikian pula ungkapan cinta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebuah kata-katanya, “Bila mereka mencampakkanku maka saatnya aku bertamasa bersama-Mu, bila mereka mengurungku, itulah saatnya aku berkhalwat dengan-Mu, seandainya mereka menggantungku, itulah saatnya aku cepat bertemu dengan Rabbku”.

Bila cinta hamba kepada Khaliqnya telah terjadi penyelewengan maka Allah akan menjatuhkan vonis kepadanya dengan cap fasiq serta akan diberikan siksa yang pedih, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah 9;24 “Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu sukai daripada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya”, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq”.

Untuk itulah kita harus menempatkan prioritas cinta itu pada posisi yang benar yaitu Allah, Rasul dan Jihad, setelah itu boleh yang lainnya agar cinta tadi tidak ternoda oleh kekafiran dan kemusyrikan. Mencintai Rasulullah adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukmin disamping kewajiban-kewajiban syariat Islam lainnya. Bahkan cinta kepada Rasululah serta mengikuti tuntunannya adalah bukti cinta kepada Allah Swt, Allah berfirman dalam surat At Taubah 9;24, “Katakan hai Muhammad, “Jika kalian mencintai Alah maka itulah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampungi dosa kalian”. Karenanya sejarah kehidupa para sahabat penuh dengan episode-episode Mahabbaturrasul dalam berbagai bentuknya.

Suatu hari Umar bin Khattab Radhiyalahu’anhu bersama Rasulullah saw, sebagaimana biasa beberapa hal menjadi pembicaraan Rasulullah dan para sahabat lainnya.”Ya Rasulullah, aku lebih mencintai engkau dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”, ucap Umar saat itu kepada Rasulullah. “Wahai Umar, cintamu itu belum bisa diterima, sampai engkau mencintai aku dari segala sesuatu termasuk dari dirimu sendiri”, sahut Rasululah.

Mendengar jawaban Rasulullah itu, seketika itu juga Umar bin Khattab mengatakan, “Ya Rasulullah kini aku mencintai engkau lebih dari mencintai diriku sendiri”, maka Rasululah menyambung, “Barulah sekarang benar wahai Umar”. Dari dialoq itu, Rasulullah lantas bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai baginya dari dirinya, orangtuanya, anak-anaknya dan semua manusia” [HR. Bukhari].

Diawal sejarah Islam, seorang Abu Bakar disiksa oleh kafir Quraisy karena berani membaca ayat-ayat Al Qur’an dihadapan mereka, sampai babak belur dan pingsan. Begitu siuman, yang ditanyakan Abu Bakar adalah Rasulullah, “Bagaimana keadaan Muhammad Rasulullah?” .

Suatu hari Rasulullah mengirim empat orang da’i ke kabilah ‘Udhal dan Qarah, keempat da’i itu dikhianati dan dibunuh di tengah perjalanan. Salah seorang dari mereka bernama Zaid bin Datsinah. Menjelang beberapa saat hendak dibunuh, orang-orang kafir pengecut itu menawarkan sesuatu kepadanya, ”Bagaimana kalau kamu saat ini duduk dengan nyaman bersama keluargamu, sementara sebagai gantinya Muhammad yang ada di sini”, ”Demi Allah, sekejappun aku tidak rela jika sekarang ini Muhammad terkena duri sedikitpun sedang aku duduk bersenang-senang bersama keluaragaku”, jawab Zaid bin Datsinah dengan tegas.

Laksana petir, jawaban itu sungguh memerahkan telinga. Keheranan dan segala kebencian berbaur dalam hati mereka, sampai salah seorang dari mereka berucap, ”Tidak ada seseorang yang dicintai oleh para sahabatnya, sebagaimana cintanya sahabat Muhammad kepada Muhammad”.

Sementara itu usia perang Uhud yang melelahkan, kaum muslimin berkemas. Syahidnya sahabat-sahabat agu ng belum bisa begitu saja dilupakan dari benak mereka. Disatu sisi kebahagiaan tergambar, bahwa mereka yang syahid akan segera bertemu dengan para syuhada’ Badr di syurga. Tetapi disisi lain semua itu tidak begitu saja dapat menghapus rasa kehilangan yang mendalam.

Ditengah suasana itu, tampak seorang wanita yang sedang mencari-cari seseorang. Tak berapa lama ada orang membawa tandu yang isinya jenazah, ”Jenazah siapa itu ?” tanya wanita itu. ”Jenazah anakmu”, jawab yang membawa tandu. Tetapi wanita itu diam saja. Diapun berlalu dan berjumpa dengan jenazah suaminya. Dia tetap diam saja. Kemudian dia bertemu dengan orang yang membawa jenazah kakaknya sendiri, diapun diam saja, ”Biarlah semua keluargaku syahid dalam jihad ini, tapi bagaimana keadaan Rasulullah ? betulkah dia wafat? Sebelum bertemu beliau hatiku tidak akan tenang” kata wanita itu dengan rasa cemas.

Masih banyak kisah-kisah yang menggambarkan bagaimana kecintaan para sahabat kepada Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah dan pasukan kaum muslimin sampai di Tabuk, Abu Khaitsamah keluar dari barisan lalu pulang. Sesampainya di rumah rupanya sang isteri telah menyediakan makanan dan minuman lezat. Seketika terbayanglah olehnya wajah Rasulullah yang hari itu disengat matahari, bermandikan keringat, siap menyabung nyawa mempertahankan aqidah dan menyebarkan kalimatullah. Dengan penyesalan yang mendalam Abu Khaitsamah berkata dalam hati, ”Bagaimana aku ini, Rasulullah pergi ke medan perang, sedangkan aku bersenang-senang di rumah”. Segera ia memacu kudanya kembali untuk bergabung dengan kaum muslimin.

Ketika hijrah menelusuri perjalanan yang penuh bahaya, Abu Bakar dengan waspada kadang berjalan di depan Rasulullah, kadang di belakangnya, kadang kesamping kanan, sebentar kemudian lari pula ke samping kiri. Beliau khawatir kalau-kalau musuh akan menghantam Rasul dari berbagai posisi lain.

Karena kecintaan yang mendalam pulalah, ketika mendengar kabar bahwa Rasulullah wafat, Umar bin Khattab pada mulanya tidak percaya, ”Siapa yang mengatakan Muhammad telah wafat maka dia akan berhadapan dengan pedangku ini. Dia tidak wafat, tetapi menemui Allah sebagaimana Musa menemui Rabbnya” serunya dengan keras.

Kenyataan ini akhirnya harus diterima Umar bin Khattab, saat Abu Bakar menjelaskan, ”Barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Ia hidup dan tidak mati. Tetapi barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya ia telah mati”, lalu beliau membaca firman Allah, ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya para Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang [murtad]” [Ali Imran 3;144].

Rasulullah sendiri sangat mencintai ummatnya. Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah adalah orang yang terakhir meninggalkan Mekkah. Ketika sudah jelas bahwa ummatnya selamat semua di Madinah, barulah beliau meninggalkan Mekkah dalam bahaya yang sangat besar.

Sementara sesudah masa keemasan itu, sejarah kemudian mencatat bahwa tidak sedikit pemimpin yang tampaknya dicintai dan diagung-agungkan rakyatnya. Tetapi begitu lengser, ia dihujat, dicaci maki bahkan diseret ke pengadilan. Ironinya tidak sedikit dari para penghujat itu yang sebenarnya bekas penjilat pemimpin yang dihujat itu.[Cubadak Solok, Ramadhan 1431.H/ Agustus 2010.M]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kabupaten Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar