Senin, 07 Mei 2012

Guru masihkah di gugu dan ditiru


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Salah satu syarat guru profesional ialah sebagaimana yang diungkapkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara; Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso, tutwuri handayani, berarti keberadaannya pada semua sisi sangat diperlukan dalam rangka membawa manusia junior dengan bekal ilmu pengetahuan serta kepribadian yang luhur, sehingga akan tercetak manusia pintar lagi baik.

Untuk menjadi pintar sebagai sasaran sangatlah mudah yaitu suapi saja anak didik dengan berbagai ilmu pengetahuan, ini adalah bidang garap dari pengajaran, fokusny adalah otak. Sedangkan untuk menjadi manusia baik sangat sulit karena sasarannya adalah hati, bagian ini wewenang dari pendidikan. Anak yang pintar belum tentu baik karena dia tidak dididik, hatinya tidak diperhalus, keteladanan tidak diberikan. Anak yang baik bukan jaminan pula untuk pintar karena pengajaran yang diberikan kepadanya kurang.

Apalah artinya kepintaran kalau tidak baik karena akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan pola kehidupan. Pada satu sisi dia banyak mempunyai ilmu pengetahuan tapi pada sudut lain dia tidak dapat menghargai karya orang lain, meremehkan guru, tidak santun kepada orangtua atau tindakan lainnya.

Tugas guru bukan pada intelektualitasnya saja tetapi lebih jauh kepada kepribadiannya, baik dan pintar, otak dan hati sasarannya. Untuk menjadi pintar telah banyak usaha guru dikerahkan dalam bentuk transpormasi dan transfer ilmu pengetahuan, lugasnya pengalihan ilmu kepada murid berlansung dengan berbagai kegiatan formal sepanjang mengarah kepada otak atau keterampilan. Sudah banyak jasa guru dalam mencetak kader bangsa yang berkualitas, baik level daerah sampai tingkat internasional.

Peran guru di dunia ini sangat besar tapi pamornya semakin memudar, kehadirannya tidak lagi mengundang dan mengandung simpati, penampilannya dihiasi wibawa semu yang berbuntut kepada tidak tertariknya orang kepada cita-cita sebagai guru. Disamping gaji yang rendah yang tidak dapat hidup layak, juga terlalu banyak penderitaan batin yang sering dihadapi seperti menghadapi anak bodoh yang harus dinaikkan dengan nilai yang tinggi karena dia anak pejabat atau orang terpandang.

Puluhan tahun silam menjadi guru sangat sulit karena diukur dari kualitas dan prestasi, pengabdiannya dibanggakan, ilmunya diterima, akhirnya dijadikan sebagai teladan dalam hidup bermasyarakat. Tapi kini akibat terlalu banyaknya tampil guru-guruan dalam arti menyandang predikat guru bukan berangkat dari niat yang ikhlas serta minat yang mendasar lagi luhur. Hal ini menjadikan guru yang tidak terlibat didalamnya yaitu guru betul-betul guru dengan segala atributnya ikut tercemar.

Pameo lama,”Guru kencing berdiri murid kencing berlari” nampaknya masih sering dianut masyarakat kita, betapa tidak kalau murid melakukan adalahkesalahan dalam masyarakat orang akan berkata,”Pantas saja demikian karena gurunya juga begitu”. Sebenarnya hal ini ditujukan kepada salah seorang guru yang tidak disenangi, guru yang tidak berkualitas, guru yang tidak punya wibawa. Demikian kerasnya penilaian masyarakat kepada manusia yang disebut sebagai guru.

Guru, digugu dan ditiru, walaupun telah usang istilah ini masih relefan dengan dunia pendidikan sampai kapanpun, karena sebagai teladan lansung bagi murid, baik di kelas maupun dalam aktivitas masyarakat luas. Pamor itu akan pudar, julukan itu akan hambar di telinga kalau kita masih mendapati beberapa guru yang penampilannya tidak layak sebagai guru seperti berambut gondrong, ngebut di jalan, minum di kaki lima sambil berdiri pakai tangan kiri pula, berjudi, mabuk-mabukan, menggandeng gadis sembarangan atau gurau tawa dengan sesama teman yang menjurus kepada porno, minta rokok, atau boncengan dengan murid.

Nampaknya hal di atas adalah manusiawi dan wajar di lakukan oleh siapa pun tetapi masyarakat tidak menghendaki hal itu di lakukan oleh guru, karena dia adalah cerminan masyarakat yang harus di ikuti segala langkah nya.

Di mass media bila kekhilafan dilakukan oleh orang yang disebu guru maka akand dicetak dengan tulisan serta kecaman keji dan nampaknya berita di atas sengaja diangkat sebagai peringatan bagi guru lain agar jangan sampai terjadi hal yang demikian. Pembaca akan mengecam lalu merendahkan dengan tudingan yang menyakitkan bila ditemui berita; guru menggarap muridnya, guru kumpul kebo, guru menerima suap dan berita lainnya yang merendahkan eksistensi guru.

Orang yang dipanggil sebagai guru memang geraknya sangat terbatas dan sempit untuk melakukan kesalahan apalagi kejahaan, bahkan nyaris tidak ada. Hal ini berari benteng diri bagi sang guru untuk tetap menjaga martabat, kualitas, kridibelitas serta loyalitasnya sebagai pengabdi, pahlawan tanpa janda jasa, digugu dan ditiru walaupun imbalan materi tidak seimbang dengan jasanya. Kehadirannya bukan hanya menyampaikan ilmu kepada anak didik juga memberi teladan; akhlak yang baik, moral yang halus kepada manusia muda. Akhirnya pendiidikan yang dihasilkan sesuai dengan sistim Pendidikan Nasional UU nomor 2 tahun 1989 diungkapkan bahwa Pendidikan Nasional mengusahakan pertama, pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri, dan kedua, pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terujud dalam ketahanan Nasional yang tangguh yang mengandung makna terujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan idiologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Untuk itu perlu dikembangkan cara pendidikan yang lansung sebagai obyek juga sebagai subyek dalam kegiatan, oleh Emil Salim Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup [waktu itu] dikatakan bahwa cara-cara pendidikan yang menjadikan peserta didik semata-mata sebagai obyek, yang sekedar mencatat uraian guru, atau menyalin tulisan di papan tulis, tidaklah cukup lagi. Lebih jauh Menteri menyebutkan bahwa beban pengembangan peserta didik lebih banyak tercurahkan kepada tenaga guru pendidik. Kepada sang gurulah terpulang kewajiban untuk bisa mengembangkan peserta didik dalam keadaan serba kurang [Merdeka, 5 Agustus 1989].

Dengan peralatan minim, dana seadanya guru diharapkan mampu membawa kader bangsa ke arah yang lebih baik dan memang dia lebih banyak berfikir untuk kemajuan bangsa daripada memikirkan dirinya sendiri. Namun demikian pemerintah akan tetap memperhatikannya dengan sedikit menaikkan gaji sebagai penghibur sementara masyarakatnya semakin kagum kepadanya; guru, digugu dan ditiru yang dianggap manusia sempurna sehingga tidak layak melakukan kesalahan walaupun kecil apalagi kejahatan.[Mingguan Swadesi Jakarta, 17091989].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar