Senin, 23 April 2012

Kembali ke Nagari Sebuah Momen


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Desa, maka daerah mempunyai peluang untuk melaksanakan pengaturan atau penetapan mengenai pemerintahan terendah, banyak hal positif yang dapat kita raih sebagai prestasi membangun daerah masing-masing seperti pemberdayaan potensi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya sosial sehingga Sumatera Barat melalui pemerintahan terendahnya yang disebut dengan Nagari dapat mengurus dirinya sendiri. Yang selama ini kehidupan sosial kita tercabik-cabik dan kotak-kotak desa yang mencerai beraikan kehidupan bersuku dan beradat sehingga banyak menimbulkan konflik dan permasalahan yang tidak kecil dan berkepanjangan.

Ketika Reformasi digulirkan dengan ditumbangkannya rezim Soeharato semua orang menuntut kemerdekaannya karena memang selama ini kemerdekaan hanya milik segelintir orang bahkan jutaan penduduk di negara yang makmur ini menanggung hutang sampai sekian generasi, sangat ironi dan menyedihkan. Tuntutan kemerdekaan itu datang dari berbagai daerah yang selama ini dizhalimi, dikebiri hak-hak mereka, dibelenggu kemerdekaannya, seperti Aceh, Riau,Maluku bahkan isu “Negara Sumatera” pun telah berhembus kencang.

Inilah konsekwensi dari reformasi, semua orang berhak untuk marah dan menuntut haknya yang selama ini diabaikan, bahkan nyaris beberapa Propinsi baru dan Kabupaten bahkan kecamatan barupun terujud karena tuntutan rakyat dengan alasan klasik, karena tidak diperhatikan oleh yang punya kekuasaan.

Momen Otonomi Daerah, Sumatera Barat mencanangkan pemerintahan terendah bukan lagi desa atau kelurahan tapi adalah nagari, kembali sebagaimana dahulu sebelum diberlakukannya pemerintahan desa, ide ini disambut baik oleh masyarakat Minang di seluruh daerah, terutama masyarakat yang tergabung dalam “Tunggu Tigo Sajarangan” yang terlibat didalamnya adalah ninik mamak, ulama dan cadiak pandai, karena pengakuan mereka bahwa Minangkabau ini adalah milik tiga kelompok ini yang ternaungi dalam kesatuan adat yang disebut nagari.

Disamping kegembiraan dan antusias dari masyarakat tentang program yang mencemaskan anak nagari adalah bila konsep kembali ke nagari ini hanya sebatas kepada pemerintahan terendah tidak jadi masalah, tapi seluruh aktivitas anak nagari mengacu kepada ada istiadat yang merupakan warisan nenek moyang akan melegalkan segala bentuk syirik, khurafat, tahayul dan penyelewengan aqidah dengan dalih mengatasnamakan “Adat Istiadat”. Bagi seorang muslim, Islam adalah segala-galanya, bentuk adat istiadat yang tidak sesuai dengan Islam harus disingkirkan dengan acuan syariat bukan hawa nafsu, ketika kita sudah mengucapkan syahadat makat disana tidak ada lagi adat istiadat yang bersumber dari manapun selain adat istiadat dari Islam.

Memang Minangkabau mempunyai falsafah, “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”, bila falsafah ini telah mengkristal, telah menyatu dalam pribadi seorang anak nagari maka insya Allah dalam bentuk apapun corak pemerintahan kita tidak jadi soal, namun sayang falsafah ini baru sekedar bahasa filosofis dan politis bahkan lebih jauh hanya sebagai lips service semata.

Yang selama ini kita ketahui bahwa orang-orang yang terdidik oleh adat istiadat Minangkabau lebih banyak memperjuangkan dan membicarakan masalah adat saja dan dianggap Islam telah menyatu didalamnya, bagi anak nagari yang dididik oleh ajaran Syariat Islam murni merasa prihatin dengan kondisi kita ini, adat berjalan sendiri yang dipelopori oleh ninik mamak dan pemangku adat sementara Islam sebagai agama universal juga berjalan sendiri yang dipandu oleh para ulama.

Buya Hamka dalam bukunya, “Islam dan Adat Minangkabau” mengupas dengan jelas dan tegas bahwa adat dan syara’ berjalan berseberangan, dia hanya sebatas bahasa politis untuk meredam konflik yang berkepanjangan ketika itu antara kaum adat dan kaum agama di Minangkabau yang dikenal dengan perjanjian Bukit Muarapalam.

Seorang sarjana tamatan Universitas Indonesia delapan tahun yang lalu diangat menjadi guru pada sebuah SMU di Sumatera Barat, sang sarjana ini di Pulau Jawa mendengar falsafah adat Minangkabau dengan agung dan bagusnya dia merasa senang, sebab selama di kampus sang guru bergelut dan berkutat dengan kajian-kajian Islam, dia membayankan betapa indahnya tinggal di Sumatera Barat, kehidupan yang Islami akan dijalani bersama masyarakatnya disana. Tapi alangkah kecewanya sang guru tadi setelah hadir di Sumatera Barat sebagai pendidik, di lingkungan sekolah saja sulit membedakan guru muslim dan non muslim, karena ciri khas muslim dan muslimah tidak nampak kecuali sedang shalat. Nilai-nilai Islam tidak tampak melekat pada dalam kehidupan sehari-hari baik dari tutur kata, pakaian ataupun tindak tanduk masyarakatnya, ironi dan menyedihkan memang antara idealita dan realita yang disaksikannya. Karena tugaslah guru tersebut mampu bertahan di Sumatera Barat.

Seorang tokoh adat yang kini Bupati Lima Puluh Kota [tahun 2002] yaitu dr.Marlis Marajo, dalam suatu kesempatan pernah penulis tanya tentang realitas filosofi adat Minang, beliau menjawab bahwa untuk mewujudkan falsafah itu dalam kehidupan seorang Minang mengalami proses, hingga detik ini masih dalam proses, wallahu a’lam, apa makna pendapat Bupati ini, masak sudah sekian tahun masih dalam proses juga, kapan terujudnhya ?

Amin Ras dalam sebuah tulisannya pernah menyatakan bahwa untuk mencetak insan kamil yaitu manusia sempurna dengan kata lain “Kaffah” tidak sedikit halangan yang harus disingkirkan diantaranya belenggu alam, belenggu masyarakat, belenggu ego dan belenggu adat istiadat, karena demikian banyaknya generasi ini terikat kuat dengan adat istiadat dan tradisi nenek moyang yang mengungkungnya untuk berbuat sesuai dengan syariat Islam.

Kalau saya pergi ke pasar membeli sebuah peci, ternyata peci itu kecil, apakah peci itu yang harus saya tukar atau kepala yang harus saya permak. Demikian pula Islam, ketika adat istiadat tidak sesuai dengan syariat Islam, mana yang harus bertoleransi, apakah kita tinggalkan adat demi tegaknya syariat Islam atau kita korbankan syariat Islm demi melanggengkan budaya dan tradisi nenek moyang yang kita kenal dengan adat istiadat walaupun falsafah kita tetap berbunyi demikian sekedar kamuflase, tidak bermakna selain basa basi.

Zainal Abadin Ahmad dalam bukunya tentang Pendidikan, menyatakan bahwa seorang muslim terhadap budaya manapun, baik inpor ataupun budaya peninggalan nenek moyang harus selektif dengan acuan ajaran Islam, ketika budaya tadi sesuai dengan Islam kita ambil dan lestarikan darimanapun asal dan datangnya dan sebaliknya saat budaya tersebut bertentangan dengan syariat Islam harus disingkirkan meskipun berasal dari nenek moyang kita sendiri.



Untuk meninggalkan adat nenek moyang bagi manusia fanatik terhadap adat ini memang sulit karena ajaran ini telah melekat dan menyatu dalam kehidupan mereka sehari-hari, Allah sendiripun menyatakan demikian dalam surat Al Baqarah 2;170, ketika disuruh meninggalkan adat nenek moyang, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab,”Tidak,bahkan kami telah mengikuti nenek moyang kami”, walaupun nenek moyang mereka itu tidak punya ilmu dan tidak dapat petunjuk”.

Ibrahim sendiri saat akan membersihkan tauhid ummatnya dengan meninggalkan berhala, mereka tahu bahwa berhala itu tidak dapat mendengar doa dan tidak layak dijadikan sebagai Tuhan, tapi budaya nenek moyang telah mengajarkan demikian apa boleh buat mereka harus taqlid buta.

Kita sambut inisiatif dari sekian Pemda untuk kembali ke Pemerintahan Nagari dengan menghidupkan nilai-nilai keagamaan melalui surau yang ada melibatkan peran ulama, ustadz dan da’i untuk menuntun anak nagari kepada pengejawantahan ABS SBK dengan mendirikan lembaga-lembaga kemasyarakatan semisal MUN yaitu Majelis Ulama Nagari yang kedudukannya setara dengan KAN yaitu Kerapatan Adat Nagari sehingga jangan sampai kehidupan dalam nagari didominasi oleh kaum adat dengan menyingkirkan peran ulama sehingga yang tegak tadi bersyara’ dan syara’ tidak terabaikan.

Kalau memang kita mengakui bahwa anak nagari adalah beragama Islam dengan tekad untuk mewujudkan ABS SBK kenapa tidak dimantapkan saja pemerintahan nagari tersebut menjalankan syariat Islam tanpa embel-embel adat, saya rasa tidak ada yang keberatan untuk memberlakukan syariat Islam kecuali orang-orang bodoh dan fobi terhadap Islam.

Momen kembali ke Nagari jangan hanya termotivasi untuk hidup berkaum dan berkorong dan terjalinnya persatuan dalam masyarakat dan tidak pula karena iming-iming DAUN [Dana Alokasi Umum Nagari] tapi untuk membenahi keislaman anak nagari yang selama ini tercabik-cabik oleh musuh-musuh Islam yang menggerogoti kita hingga rumah tangga kita tidak faham lagi dengan ajaran Islam, benar apa yang dikatakan oleh Samuel Zwemer, “Tidak perlu memasukkan ummat Islam keagama lain, tapi jadikan mereka tidak mengerti dengan keislamannya”, untuk mengantisipasi itu tiada lain “Kembali Ke Nagari Kembali Ke Syari’at Islam”, kenapa takut ? Wallahu a”lam [Tulisan ini pernah dimuat pada Buletin Suluah Nagari Koto Baru, Edisi nomor 2/ Maret 2002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar