Rabu, 25 April 2012

Memaafkan ketika mampu membalas


Oleh Drs. Mukhlis Denros


Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa orang yang mampu menguasi diri di saat marah itulah orang yang perkasa. Jadi bukan terletak kepada kemampuan memperturutkan kemarahan. Lain lagi pendapat Imam Al Gazali bahwa marah ibarat air yang dipanaskan dalam periuk, selama periuk dibiarkan terjerang di tungku selama itu pula air tetap menggelegak sampai air habis lalu periuk meledak. Hasbi As Siddiqi pun berpendapat bahwa marah itu adalah berontak jiwa tatkala tertimpa suatu bencana yang tidak disukai, ucapan yang keluar ketika mengalami kegagalan, kehancuran atau melihat sesuatu yang tidak disenangi.

Manusia, siapa pun orangnya pasti pernah marah dan memang perbuatan/ sikap yang satu ini manusiawi, tapi marah memiliki tingkatan-tingkatan, menurut ukuran yang wajar atau berlebihan. Marah disebut wajar kalau untuk membela kehormatan, membela agama, harta dan keluarga.Tidaklah bijaksana seorang diam saja saat keluarganya diganggu orang lain. Orang yang diam saja dengan kejadian itu disebut apatis, tidak punya izzah/harga diri, penakut. Jenis prilaku ini disebut marah di bawah normal. Lain lagi marah yang melampaui batas. Asal marah saja, tidak diperhitungkan bahkan sampai memukul walaupun peristiwa yang dialami tidak berarti.

Dalam masyarakat terdapat suatu kebiasaan bahwa yang namanya bos atau ’kepala’ wajib marah kepada bawahannya sehingga kalau ada bawahan kena marah dia menerima saja karena wajar. Toh dia hanya bawahan, tidak mampu berbuat apa-apa. Begitu akan menghadap maka mental diperkuat dulu agar siap menerima kemarahan sang majikan padahal yang dimarahi sebenarnya tidak berarti. Biasanya memang demikian kedudukan dijadikan sebagai alasan untuk marah dan boleh marah walaupun kesalahan yang terjadi tidak pantas untuk dimarahi. Dalam hadits Qudsi Rasulullah bersabda :
”Nabi Musa bertanya kepada Allah, ”Ya Rabbi, siapakah diantara hamba-Mu yang lebih mulia menurut pandangan-Mu? ”Allah berfirman ; ”Ialah orang yang apabila berkuasa dapat segera memaafkan”.

Hamba yang mulia menurut ukuran hadits tersebut yaitu ketika berkuasa tapi tidak mudah marah, dia berlapang dada, bersikap toleran, memaafkan padahal dia mampu untuk berlaku kasar. Padahal saat dia jadi bawahan mungkin saja cacimaki, hinaan ditujukan kepadanya dari sang majikan, setelah dia jadi atasan tidak ada dendam kepada orang lain baik yang telah menghina atau anak buahnya, padahal dia berkuasa saat itu dan mampu untuk membalas dendam.

Kemarahan timbul bisa karena beberapa sebab, seperti memang sudah tabiatnya sehingga tidak bisa tersinggung, begitu terkena ucapan atau tindakan yang tidak enak langsung saja marah. Prilaku ini dilandasi oleh faktor pendidikan, kelurga atau pergaulan. Senda gurau yang berlebihan dapat menimbulkan kemarahan apabila diiringi caci-maki, karena perdebatan yang tidak sehat yaitu saling adu pendapat lalu tidak ada yang mau mengalah, merasa diri sendiri yang hebat sehingga tidak bisa disepelekan membuat orang sombong inipun cepat marah, sebab lain dapat dilihat karena terjerumus atau tergeser kedudukan dan gagal mencapai suatu tujuan.
Teladan yang baik dijadikan sebagai figur ialah nabi Muhammad SAW, yang mudah sekali memberi maaf, tidak mudah marah apalagi dendam yang berkepanjangan, dapat kita lihat dari kisah dibawah ini:
Dalam perang Uhud, Nabi Muhammad mendapat luka pada muka dan patah beberapa giginya. Berkata salah seorang sahabat; ”cobalah tuan doakan kepada Allah agar mereka celaka”.Nabi menjawab; ”Aku sekali-kali tidak diutus untuk melaknat seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan”. Lalu beliau berdoa; Ya Allah, ampunilah kaumku,karena mereka tidak tahu”.

Dalam perang Uhud, paman beliau yang bernama Hamzah terbunuh oleh seorang budak utusan Hindun, bernama Wahsyi,kemudian dia masuk Islam dan menyerahkan diri kepada Nabi, tapi beliau tidak membalas dendam.

Ketika Nabi Muhammad sedang istirahat dibawah sebatang pohon tanpa diduga dikejutkan dengan kedatangan Du’tsur dengan pedang terhunus, ”Hai Muhammad, siapakah yang dapat membelamu dari pedangku ini?”.Rasul menjawab; ”Allahlah yang membelaku”,mendengar kata ”Allah”, Du’tsur gemetar sehingga pedang itu terjatuh, segera diambil oleh Nabi. Lalu mengacungkan pedang itu kepadanya, ”Hai Da’tsur siapa pula yang dapat membelamu daripadaku?”. dengan rasa takut dia menjawab, ”Tak seorangpun”, lalu Da’tsur dimaafkan, dia pulang ke desanya lalu mengajak kaumnya masuk Islam.

Di Mekkah setiap Nabi melewati sebuah jalan, selalu dia menerima ejekan bahkan ludahan dari seseorang. Suatu kali beliau tidak menerima lemparan dan ludahan, setelah diketahui bahwa orang tersebut sedang sakit maka Nabi menjenguknya. Orang itu berkata, ”Hai Muhammad, sedangkan teman saya saja tidak datang melihat saya, tapi anda musuh saya, begitu mengetahui saya sakit anda datang lebih dahulu, maafkan saya dan saya menyatakan diri sebagai muslim”.

Saat Nabi Muhammad dapat menaklukkan Mekkah kembali setelah sekian tahun hijrah di Madinah, maka orang Mekkah lari ketakutan, mereka menganggap Nabi akan membalas dendam atas perlakuan yang mereka lakukan kepada Nabi selama di Mekkah dahulu, dengan wajah ditundukkan beliau memasuki kota Mekkah dan bersabda,”Aku berkata sebagaimana yang dikatakan saudaraku Yusuf As, mulai hati ini, tidak ada cerca dan nista atas perbuatan kalian lakukan. Allah mengampuni kalian, Dia Maha Pengasih lagi Penyayang”.



Marah sangat perlu ketika mempertahankan harga diri, tapi dengan marah juga dapat membuat kehidupan tidak serasi dengan orang lain bahkan cendrung dipencilkan, untuk itulah marah harus dikendalikan dengan baik, yaitu bersifat pemaaf, menyadari manusia suka khilaf dan salah, berfikir positif. Andaikata ditabrak becak atau tersandung orang, dipositifkan bahwa mungkin orang tersebut terburu-buru karena keluarganya sedang sakit.

Orang yang rendah hati dan toleran dipakai dalam pergaulan karena dia mudah memahami sifat orang lain, berfikir bahwa orang yang marah itu buruk; tidak percaya coba lihat wajah kita di cermin ketika kita sedang marah, akibat marah dapat menjadi permusuhan, hubungan tidak lagi harmonis, jalan lain untuk mengendalikan marah yaitu Tauhidullah dan dekatkan diri kepada Allah, terakhir ambillah air wudhu begita marah datang, setelah wudhu marah datang juga lalu shalatlah dua rakaat, setelah shalat masih juga marah berarti syaitan sudah bersatu dengan jiwa anda.

Orang yang beriman bijaksana sekali karena dapat menempatkan marah pada posisi yang benar. Imam Al Ghazali menempatkan kelompok manusia pada empata bagian dalam bidang marah yaitu;
1. Orang yang mudah marah tapi juga mudah hilangnya.
2. Orang yang mudah marah tapi sulit hilangnya.
3. Orang yang sulit marah dan mudah hilangnya.
4. Orang yang sulit marah tapi sulit pula hilangnya.

Yang paling baik dari empat kriteria tersebut yaitu sulit marah tapi mudah hilangnya dan siap untuk memaafkan walaupun dia mampu dan kuasa untuk membalas dendam, Rasulullah bersabda, ”Ada tiga hal yang apabila dilakukan akan dilindungi Allah, dalam pemeliharaanNya dan diberiNya rahmat dan dimasukkan ke syurga-Nya yaitu; bila diberi ia bersyukur, bila berkuasa ia suka memaafkan, dan bila ia marah menahan diri”.

Lantaran marah yang tidak pada tempatnya ; tidak sedikit rumah tangga hancur berantakan, masyarakat porak poranda, kampung halaman diabaikan, bahkan sebuah bangsa bisa perang, yang ujung-ujungnya adalah kesengsaraan rakyat sendiri. Marah penting tapi tempatkan pada posisi yang tepat, Rasul bersabda, ”Ajarkan anakmu shalat pada usia 7 tahun, pada usia 10 tahun tidak shalat juga maka pukullah”, ini salah satu marah yang benar, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 30082002].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar