Sabtu, 28 April 2012

Masyarakat Kita Sebuah Renungan


Drs. St. Mukhlis Denros
Manusia pada umumnya tidak mau dan tidak mampu hidup sendiri atau menyendiri, melepaskan hidup dengan keterikatan bersama orang lain jelas tidak mungkin karena dia disebut makhluk sosial, individu yang memiliki tanggungjawab terhadap masyarakat dalam kehidupan di dunia, dari segi pendidikan seorang yang memiliki kelebihan serta kecakapan ilmu tidak boleh berpangku tangan atau menyembunyikan ilmunya sementara masyarakat dalam kebodohan. Faham sufi yang lari dari lingkungan masyarakat untuk semata-mata bertapa dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah bukanlah ajaran Islam. Islam membagi keseimbangan hidup di dunia dan akherat, kepentingan pribadi dan kepentingan umum, tanggungjawab kepada Allah sebagai Khaliq dengan hubungan vertikal serta tanggungjawab kepada manusia lainnya dengan hubungn horizontal; saling memperhatikan, memberi bantuan, melapangkan kesempitan orang lain, tepa selira, ibarat pepatah, ”Kita mendapat tapi orang tak merasa kehilangan, kita beruntung tapi orang tak merasa dirugikan, kita tertawa tapi orang tak menangis”.

Kehidupan di masyarakat tidak lepas dari beberapa persoalan yang membuat manusia tersebut ingin rasanya melepaskan diri dengan hidup nafsi-nafsi yang bersifat individu. Berkecimpung dalam masyarakat memang harus mampu menyeleksi nilai kebenaran yang harus diambil, karena itulah perlunya suatu pegangan dalam hal ini agama. Bila hidup dalam masyarakat tanpa iman,maka akan mudah terseret dan hanyut bersamanya, ibarat kita berenang di air yang deras, kalau tidak selamat akan hanyut dan tenggelam bersamanya.

Di masyarakat pulalah orang mampu mengangkat dirinya sebagai orang baik sehingga dipercaya dan masyarakat memberikan penghormatan kepadanya sebagaimana Nabi Muhammad yang diberi prediket Al Amin di tengah-tengah masyarakat jahiliyah, tidak sedikit pula yang tersingkir dari lingkungan masyarakat karena masyarakat dikecewakan, lunturnya kepercayaan orang banyak kepadanya, semua itu memang ulah pelaku sendiri yang tidak mampu hadir dan berbuat di masyarakatnya.

Di kota pada umumnya orang tidk terlalu pusing dengan masyarakat yang ada di lingkungannya, hidup lebih cendrung mementingkan diri sendiri, tidak mau tahu kepada kepentingan orang lain bahkan pagar rumahpun dibuat tinggi melebihi bubungan atapnya sehingga tetangga satu tidak mengenal rintihan penderitaan orang yang berada di sebelahnya, mereka lebih kenal dengan orang-orang jauh seprofesi daripada tetangga sendiri. Hal ini terjadi sebenarnya memang keadaan kota yang menghendaki demikian, kesibukan seseorang mampu memencilkannya dari tetangga yang sebenarnya tetanggalah yang lebih utama dan pertama memberikan bantuan dalam segala hal. Masyarakat kota tidak perduli dengan kesibukan orang lain, acuh tak acuh, lebih baik dia jangan diganggu demikian saja sudah cukup, rasa gotong royong telah hanyut bersama simpangsiurnya kehidupan dan deru mesin raksasa. Rond merupakan kewajiban setiap warga, hal itu dapat diganati dengan sekian rupiah daripada harus bertanggang mata mengawasi lingkungan.



Dalam lingkungan desa yang masih bersahaja, kegembiraan seorang warga kampung akan dirasakan oleh semuanya, saling memperhatikan masih tertanam dalam kehidupan, membela yang lemah, membantu yang miskin, ajaran lama yang masih dilanjutkan. Masyarakat desa tidak bisa menutup mulut terhadap kejelekan yang dialami warganya apalagi mencemari nama baik masyarakat, fitnahan dan gunjingan hal biasa yang dilakukan di kedai-kedai kopi menanti hari petang. Yang namanya masyarakat tidak bisa lepas dari segala kelebihan dan kekurangan, persaingan dan berpacu dalam segala hal terjadi sehingga ada sebahagian yang merelakan menginjak-injak norma demi tercapainya kemenangan,nampaknya yang terang-terangan berpijak pada aturan agama akan terpijak dan tertinggal.

Kehadiran manusia di alam ini dilengkapi dengan beberapa perangkat yang bersarang dalam dirinya, dia adalah sahabat, juga dapat sebagai musuh. Bila dapat dikendalikan, memperoleh keuntungan, tetapi bila dituruti dia akan membawa kepada kehancuran, dialah nafsu yang membawa manusia untuk berbuat jahat, ”Sesungguhnya nafsu itu menyuruh kepada kejahatan”[Yusuf;53], dalam surat As Shad;26 Allah berfirman, ”Jangan kamu turuti hawa nafsu, karena nanti ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”.

Ketika manusia masih dibawah dengan kerendahan hati dia akan memperjuangkan kebenaran, bertindak adil, bersih dalam segala administrasi, menjauhi korupsi dan manipulasi, tetapi setelah diatas, telah memiliki taring, semua orang akan dikunyahnya, ini sifat manusia yang telah diperkuda oleh nafsu, agama dijadikan nomor terakhir dalam hidupnya.
Motivasi menuntut ilmu, menyekolahkan anak bukan lagi didorong agar pintar, namun agar kelak hidup diatas angin, biar hidupnya kelak kaya raya, demikian pula dalam hal mencari teman sampai kepada memilih menantu, kaya dan memiliki fasilitas. Agama, keshalehan dijadikan nomor seratus sehingga tidak sedikit keluarga yang hancur karena yang dicari pada awalnya telah habis, bangkrut atau kehilangan.

Hidup tanpa pegangan, tanpa kendali akan diombang-ambingkan oleh masyarakat apalagi masyarakat tersebut telah mempunyai satu semboyan, ”Hal itu sudah lumrah di masyarakat kita, jadi pegawai kalau tidak menyuap pada zaman sekarang kita akan ketinggalan”, atau ”Mencari yang haram saja sulit apalagi yang halal”. Semboyan ini tidak berarti, tidak akan menggoyahkan hati orang-orang yang tetap dalam imannya. Hadits Thabrani mengabarkan, ”Seutama-utama jihad ialah orang yang berjihad terhadap nafsunya dalam berbakti kepada Allah yang mulia”.

Demikin dahsyatnya belenggu masyarakat, mampu menyeret orang-orang yang lemah imannya. Hidup di masyarakat harus mampu menahan telinga dari segala yang didengar, bisa menahan mata dari pandangan yang nampak, demi menjaga keselamatan hidup. Kemegahan tetangga memang sedang dimilikinya tidak perlu dicari sumbernya, peringatan dan penyuluhan agama memang diperlukan untuk mengendalikan dan mengarahkan mayarakat yang kian lama berada dalam jurang kehancuran. [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Semangat Padang, 28101999].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar