Sabtu, 28 April 2012

Mencintai Rasulullah


Drs. St. Mukhlis Denros
Suatu hari Umar bin Khattab Radhiyalahu’anhu bersama Rasulullah saw, sebagaimana biasa beberapa hal menjadi pembicaraan Rasulullah dan para sahabat lainnya.”Ya Rasulullah, aku lebih mencintai engkau dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”, ucap Umar saat itu kepada Rasulullah. “Wahai Umar, cintamu itu belum bisa diterima, sampai engkau mencintai aku dari segala sesuatu termasuk dari dirimu sendiri”, sahut Rasululah.

Mendengar jawaban Rasulullah itu, seketika itu juga Umar bin Khattab mengatakan, “Ya Rasulullah kini aku mencintai engkau lebih dari mencintai diriku sendiri”, maka Rasululah menyambung, “Barulah sekarang benar wahai Umar”. Dari dialoq itu, Rasulullah lantas bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai baginya dari dirinya, orangtuanya, anak-anaknya dan semua manusia” [HR. Bukhari].

Mencintai Rasulullah adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukmin disamping kewajiban-kewajiban syariat Islam lainnya. Bahkan cinta kepada Rasululah serta mengikuti tuntunannya adalah bukti cinta kepada Allah Swt, Allah berfirman dalam surat At Taubah 9;24, “Katakan hai Muhammad, “Jika kalian mencintai Alah maka itulah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampungi dosa kalian”. Karenanya sejarah kehidupa para sahabat penuh dengan episode-episode Mahabbaturrasul dalam berbagai bentuknya.

Diawal sejarah Islam, seorang Abu Bakar disiksa oleh kafir Quraisy karena berani membaca ayat-ayat Al Qur’an dihadapan mereka, sampai babak belur dan pingsan. Begitu siuman, yang ditanyakan Abu Bakar adalah Rasulullah, “Bagaimana keadaan Muhammad Rasulullah?” .

Suatu hari Rasulullah mengirim empat orang da’i ke kabilah ‘Udhal dan Qarah, keempat da’i itu dikhianati dan dibunuh di tengah perjalanan. Salah seorang dari mereka bernama Zaid bin Datsinah. Menjelang beberapa saat hendak dibunuh, orang-orang kafir pengecut itu menawarkan sesuatu kepadanya, ”Bagaimana kalau kamu saat ini duduk dengan nyaman bersama keluargamu, sementara sebagai gantinya Muhammad yang ada di sini”, ”Demi Allah, sekejappun aku tidak rela jika sekarang ini Muhammad terkena duri sedikitpun sedang aku duduk bersenang-senang bersama keluaragaku”, jawab Zaid bin Datsinah dengan tegas.

Laksana petir, jawaban itu sungguh memerahkan telinga. Keheranan dan segala kebencian berbaur dalam hati mereka, sampai salah seorang dari mereka berucap, ”Tidak ada seseorang yang dicintai oleh para sahabatnya, sebagaimana cintanya sahabat Muhammad kepada Muhammad”.

Sementara itu usia perang Uhud yang melelahkan, kaum muslimin berkemas. Syahidnya sahabat-sahabat agu ng belum bisa begitu saja dilupakan dari benak mereka. Disatu sisi kebahagiaan tergambar, bahwa mereka yang syahid akan segera bertemu dengan para syuhada’ Badr di syurga. Tetapi disisi lain semua itu tidak begitu saja dapat menghapus rasa kehilangan yang mendalam.



Ditengah suasana itu, tampak seorang wanita yang sedang mencari-cari seseorang. Tak berapa lama ada orang membawa tandu yang isinya jenazah, ”Jenazah siapa itu ?” tanya wanita itu. ”Jenazah anakmu”, jawab yang membawa tandu. Tetapi wanita itu diam saja. Diapun berlalu dan berjumpa dengan jenazah suaminya. Dia tetap diam saja. Kemudian dia bertemu dengan orang yang membawa jenazah kakaknya sendiri, diapun diam saja, ”Biarlah semua keluargaku syahid dalam jihad ini, tapi bagaimana keadaan Rasulullah ? betulkah dia wafat? Sebelum bertemu beliau hatiku tidak akan tenang” kata wanita itu dengan rasa cemas.

Masih banyak kisah-kisah yang menggambarkan bagaimana kecintaan para sahabat kepada Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah dan pasukan kaum muslimin sampai di Tabuk, Abu Khaitsamah keluar dari barisan lalu pulang. Sesampainya di rumah rupanya sang isteri telah menyediakan makanan dan minuman lezat. Seketika terbayanglah olehnya wajah Rasulullah yang hari itu disengat matahari, bermandikan keringat, siap menyabung nyawa mempertahankan aqidah dan menyebarkan kalimatullah. Dengan penyesalan yang mendalam Abu Khaitsamah berkata dalam hati, ”Bagaimana aku ini, Rasulullah pergi ke medan perang, sedangkan aku bersenang-senang di rumah”. Segera ia memacu kudanya kembali untuk bergabung dengan kaum muslimin.

Ketika hijrah menelusuri perjalanan yang penuh bahaya, Abu Bakar dengan waspada kadang berjalan di depan Rasulullah, kadang di belakangnya, kadang kesamping kanan, sebentar kemudian lari pula ke samping kiri. Beliau khawatir kalau-kalau musuh akan menghantam Rasul dari berbagai posisi lain.

Karena kecintaan yang mendalam pulalah, ketika mendengar kabar bahwa Rasulullah wafat, Umar bin Khattab pada mulanya tidak percaya, ”Siapa yang mengatakan Muhammad telah wafat maka dia akan berhadapan dengan pedangku ini. Dia tidak wafat, tetapi menemui Allah sebagaimana Musa menemui Rabbnya” serunya dengan keras.

Kenyataan ini akhirnya harus diterima Umar bin Khattab, saat Abu Bakar menjelaskan, ”Barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Ia hidup dan tidak mati. Tetapi barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya ia telah mati”, lalu beliau membaca firman Allah, ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya para Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang [murtad]” [Ali Imran 3;144].

Rasulullah sendiri sangat mencintai ummatnya. Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah adalah orang yang terakhir meninggalkan Mekkah. Ketika sudah jelas bahwa ummatnya selamat semua di Madinah, barulah beliau meninggalkan Mekkah dalam bahaya yang sangat besar.

Sementara sesudah masa keemasan itu, sejarah kemudian mencatat bahwa tidak sedikit pemimpin yang tampaknya dicintai dan diagung-agungkan rakyatnya. Tetapi begitu lengser, ia dihujat, dicaci maki bahkan diseret ke pengadilan. Ironinya tidak sedikit dari para penghujat itu yang sebenarnya bekas penjilat pemimpin yang dihujat itu.

Adapun cinta seorang mukmin kepada Rasulullah sebagaimana dicontohkan para sahabat itu, adalah cinta imani. Bahkan cinta kepada Allah tidak sempurna bila belum lagi mencintai Rasul-Nya, ”Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq” [At Taubah;24], wallahu a’lam [Majalah Sabili Jakarta nomor 11/ Desember 1998].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar