Rabu, 25 April 2012

Mewaspadai karamnya kapal kehidupan


Oleh Drs. Mukhlis Denros


Perbaharuilah kapalmu, sebab lautan yang akan dilalui sangatlah dalamnya, perbanyaklah bekal karena perjalanan yang engkau tempuh sangatlah jauhnya, kurangilah beban karena jalanan menakutkan, ikhlaskan niat karena pengintai lebih tegas dan tajam pengamatannya…” [Hadits]

Kalimat diatas adalah wasiat Rasulullah kepada Mu’adz bin Jabbal ketika dia dilantik sebagai Gubernur Yaman. Pada awal wasiat Rasulullah tersebut dinyatakan; agar kapal diperbaharui, yang dimaksud dengan kapal adalah jiwa dan hati yang bersarang di dalamnya iman dan taqwa, Allah berfirman dalam surat Al Hadid 57;16, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun [kepada mereka] dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasiq”.

Lukmanul Hakim, seorang pakar pendidikan yang namanya terangkum indah dalam Al Qur’an memberikan pula nasehat kepada anaknya tentang kehidupan ini, “Sesungguhnya dunia ini lautan yang dalam dan manusia telah banyak karam di dalamnya, jadikanlah kapalmu berbakti kepada Allah dan muatannya iman dan layarnya tawakkal pada Allah, mudah-mudahan engkau selamat”.

Pada satu sisi manusia itu sendiri adalah kapal yang sedang berlayar, sedangkan disisi lain dikatakan oleh Hukama, manusia sedang berada dalam sebuah kapal yang sedang berlayar. Agar kapal sampai pada tujuan yang dikehendaki diperlukan kehati-hatian, jangan sampai persinggahan dijadikan sebagai tujuan.

Imam Al Ghazali mengibaratkan sebuah kapal yang sedang bergerak menuju pulau harapan, di dalamnya terdapat sekian jumlah penumpang, tapi dapat dikelompokkan pada tiga saja. Saat kapal sedang melaju, sang nakhoda berpesan bahwa sebentar lagi kapal akan berhenti pada sebuah pulau, dalam waktu singkat kapal akan berangkat lagi, artinya di pulau itu kita hanya sejenak, setelah semua penumpang turun, ketika kapal akan berlayar kembali, peluit kapal dibunyikan pertanda penumpang sudah berada di dalam kapal semuanya.

Penumpang kelompok pertama, tahu dengan pesan nakhoda sehingga ketika pluit berbunyi mereka sudah duduk dengan tenangnya di kursi empuk bagian vip, kelompok kedua, rupanya agak terlena dengan keindahan pulau sehingga segala keindahan pulau dinikmatinya, merekapun sibuk mengumpulkan bekal-bekal yang berserakan di pulau, sehingga mereka hanya menempati tempat duduk kelas dua, sesak dan sumpek, tapi Alhamdulillah keberangkatan masih menyertai mereka. Sedangkan kelompok ketiga , saat di pulau dia semakin jauh dari rombongan sehingga tidak tahu lagi jalan mana yang harus ditempuh menuju kapal, ketika kapal berangkat otomatis mereka tinggal di dalam pulau sebagai mangsa binatang buas. Kelompok ketiga ini bukan main ruginya, beranggapan pulau dunia ini sebagai tujuan sehingga menyesatkannya ke lembah kehinaan selama-lamanya.



Hidup manusia itu sendiri ibarat kapal yang sedang berlayar menuju kampung yang abadi yaitu akherat. Ada kapal yang berlayar sampai ke tujuan dengan selamat dan tidak sedikit kapal yang karam di tengah lautan, hal ini disebabkan oleh beberapa hal; sebuah kapal karam dikarenakan kapal tersebut tidak punya pedoman [kompas] tujuan mana yang harus dicapai, jalan mana yang harus dilalui. Kapal bisa pula karam bila di tengah lautan mengalami patah kemudi sehingga terombang-ambing kesana kemari. Karamnya sebuah kapal dikarenakan bocor dari dalam sehingga air masuk ke dalam kapal tanpa dapat dikendalikan. Atau nakhoda dan awak kapal itu menyimpang dari tujuan semula tanpa mengikuti peraturan yang telah ditentukan.

Manusia adalah ibarat sebuah kapal, dia bisa karam karena tanpa pedoman; pedoman yang tetap orisinil hingga akhir zaman ialah Al Qur’an dan Sunnah [2;2]. Manusia bisa karam dalam lautan kehidupan ini karena patah kemudi, yaitu iman dan taqwa tidak dimiliki [4;59]. Manusia bisa karam dalam kehidupan ini kalau kapal bocor dari dalam yaitu niat yang salah, bukan dimotivasi untuk mencari ridha Allah [2;165]. Kapal bisa juga karam bila nakhoda dan awak kapal menyimpang dari rel yang sebenarnya, artinya ulama dan jamaahnya melalui jalan yang sesat. Untuk itu hati-hatilah dalam mengarungi lautan kehidupan yang dahsyat ini, persiapkan kapal dan perbaharuilah.

Suatu ketika Rasulullah mengambil sebuah bilah, lalu beliau gariskan pada tanah, dibuatnya garis lurus lalu berkata, ”Haza syirathal mustaqim, ini adalah jalan yang lurus”, diantara jalan ini ada jalan yang salah, agar berhati-hati, jalan lurus yang dimaksud adalah Al Islam. Salah seorang bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang berjihad karena kekuatannya, karena membela sukunya dan karena mencari ridha Allah, manakah yang lebih baik hasilnya, maka Rasul mengatakan bahwa berjihad dengan mengharapkan ridha Allah itulah yang lebih baik.

Ulama adalah pewaris para nabi, demikin sabda Rasulullah tentang ulama ketika mereka mengarahkan, membimbing ummat ini ke jalan yang benar, bila keliru kata Rasulullah mereka adalah seburuk-buruk manusia.

Pemimpin peranannya sangat besar dalam menegakkan nilai-nilai da’wah, bila kekuasaan dan kepemimpinan digunakan untuk melindungi kemaksiatan berarti nakhoda telah menyimpang dari prinsip kepemimpinan.

Agar kapal tidak karam maka empat hal perlu dijaga yaitu pedoman hidup, niat yang ikhlas, pemimpin dan ulama yang memperhatikan rakyat dan ummatnya agar tetap dalam konsep kehidupan yang benar, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 21072000].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar