Rabu, 25 April 2012

Problematika Remaja


Drs. St. Mukhlis Denros
Setiap manusia memiliki problema baik secara individu ataupun kelompok, demikian pula dengan remaja yaitu sekelompok manusia yang berada dalam persimpangan, tidak pantas lagi disebut sebagai anak dan belum mampu dikatakan dewasa. Masa ini disebu aqil baligh, berkisar antara 14-20 tahun, pada periode ini saatnya mencari identitas, mereka dihadapkan pada krisis-krisis yang belum terselesaikan dalam fase anak-anak. Ia diharuskan mengintegrasikan seluruh pola kepribadian yang lebih dengan kata lain ia harus mencoba membentk identitas kepribadiannya sendiri.

Sebelumnya remaja banyak mengalami pengalaman-pengalaman yang menyenangkan disamping yang mengecewakan. Ia juga banyak meniru berbagai prilaku seperti cara ibunya memaki tetangga, cara ayahnya berpakaian dan lain-lain. Didalam fase inilah remaja menentukan dirinya akan menjadi apa,meskipun ia menyadari bahwa ia telah banyak menguasai keterampilan, dapat menyelesaikan pekerjaan, namun ia juga menyadari kekurangannya dibandingkan dengan orang dewasa atau dengan kedua orangtuanya.

Dimasa ini seorang anak laki-laki mulai tertatik untuk berkencan dengan perempuan, seperti yang dilihatnya dari film, TV, komik dan bacaan-bacaan lainnya. Di dalam fikirannya, ia masih banyak dikuasai oleh khayalan semata, dunia seolah-olah begitu indah dan menyenangkan, semuanya begitu indah dan menyenangkan, semuanya begitu mudah, atau dapat pula terjadi sebaliknya, bagi remaja dunia ini begitu kelam menakutkan dan tidak bersahabat sesuai dengan alam fikirannya [D. Marjon Tanjung, Majalah Anda, Sep, 1983].

Terlalu banyak keindahan yang dikhayalkan remaja sehingga dia terlena dengan kemilauan alam ini sementara belajar dan bekerja terlupakan dengan alasan mumpung masih muda. Kalau yang diharapkan menemui kegagalan mereka cendrung mencari jalan keluar yang negatif seperti mabuk, terlibat narkotik dan perkelahian. Kalaulah dimasa kanak-kanak dia dapat dikatakan anak yang baik, sopan dan taat kepada perintah orangtua, tetapi setelah dewasa segala perbuatannya mulai menjurus kepada bahaya dan menjungkirbalikkan kebenaran yang diajarkan orangtua, mereka lebih banyak membantah dan mencari jawabannya sendiri atas persoalan yang mereka hadapi.

Dengan demikian seorang remaja tidak akan mau menurut atau percaya terhadap suatu hal yang membabi buta, tanpa ada alasan yang bisa diterima olehnya, juga termasuk kepercayaan dan agama yang diterima dimasa kecil, mulai dipertanyakan, membandingkan kepercayaannya dengan kepercayaan orang lain. Karena itulah mulai timbul keragu-raguan beragama. Remaja yang mengalami keraguan beragama ini bukan berarti menolak agama atau menjadi atheis, mereka hanya menolak mempercayai sesuatu tanpa dasar fikiran yang jelas. Remaja mengharapkan belajar agama dengan basis intelektualitas [Subandi, Majalah Anda, Nofember 1985].

Apalagi segala ajaran yang berbau kurafat, tahyul, bid’ah dan syirik nyata sekali mereka tolak minimal dipertanyakan, hal ini terjadi karena pemikiran mereka mulai berkembang, cakrawala pengetahuannya sedang mencari kebenaran. Dimasa inilah mereka akan bertanya, dan bertanya mengenai sesuatu yang diyakini orangtuanya, benar atau salah. Bila mereka tidak dapat bimbingan sekap ini berbahaya bagi mereka.

Karena kecerdasan mereka sudah mengalami perkembangan maka mereka sudah berfkir ke taraf abstrak, sehingga mereka suka memberikan kritikan karena merasa diri mampu, walaupun sebenarnya kemampuan masih terbatas. Sikapnya tidak menentu dan tidak mau diurus, kadang-kadang tidak mau disalahkan, dan kadang-kadang menentang, walaupun pada orangtuanya sendiri. Ia akan mengkritik dalam segala hal dan kejadian. Minatnya selama ini ditujukan kepada dunia luar sudah mulai diarahkan ke alam dirinya sendiri.

Sering terjadi kontradiksi antara sikap dan keinginan, disebabkan oleh sifatnya yang kontradiksi antara sikap dan keinginan, disebabkan oleh sifat sebentar-sebentar berubah, kadang-kadang mereka menginginkan kebebasan akan tetapi kadang-kadang pula mereka merasa membutuhkan bantuan, bimbingan dan kasih sayang dari orangtua.



Disamping itu mereka juga sangat mengahargai sikap yang tegas dari orang dewasa, akan tetapi sebaliknya, mereka akan mencela dan mengolok-olok orang yang tidak menentu pendiriannya. Mereka akan dengan senang hati menerima petunjuk-petunjuk dari orang yang disanjung,dikagumi dan orang yang dihormati [Drs. Ikhtar Sutriyanto, Majalah Anda, Agustuss 1985].

Remaja memang masa yang unik, penuh dengan gejolak, kadang membahayakan dirinya sendiri, di rumah dia mampu bersikap baik, kalem dan sopan, tetapi ketika berada di luar baru nampak bahwa mereka merasa telah lepas dari kungkungan orangtua apalagi orangtua yang terlalu ketat menjaganya. Di luar rumah mereka menentukan kebebasan,dan memang jiwa mereka ingin bebas dari segala himpitan, belenggu dan keterikatan. Jiwa yang ingin bebas ini akan tampak sekali pada masa remaja. Banyak contoh yang dapat kita lihat, bagaimanakah seorang remaja mohon izin kepada orangtuanya untuk pergi belajar kelompok katanya, eh... tahu-tahu tidak pergi belajar kelompok melainkan pergi pesiar atau nonton bioskop, ataupun seorang siswa mengajak teman siswinya untuk pesiar ke tempat-tempat hiburan pada jam-jam mereka seharusnya berada di dalam kelas dan lain sebagainya. Disaat seperti inilah, gejolak jiwa semakin membara, diperlukan upaya pengawasan yang intensif, serta pengarahan-pengarahan untuk menyadarkan mereka [Much, Rafiq, Majalah Anda, 1987].

Remaja memang makhluk manusia yang tidak bedanya dengan manusia lain tapi ada sisi unik di dalam dirinya, sulit sekali mendalami isi hati remaja kalau mereka tidak mau terbuka. Pengarahan-pengarahan yang berlebihanpun tidak baik bagi perkembangan karena akan bersifat masuk ke telinga kiri keluar telinga kanan. Mereka butuh teladan dari orang yang dikaguminya, dia lebih banyak membuka diri melalui teman pergaulan daripada orangtuanya. Seolah-olah orangtua mereka tidak memberikan jawaban yang tepat atas segala problematika yang mereka hadapi, tidak jarang pula terjadi prilaku yang tidak disukai oleh orangtua, memelihara remaja sama artinya memelihara mutiara berharga, ya harus berhati-hati, bila orangtua tidak dapat memeliharanya mereka akan dipelihara oleh orang lain.

Orangtua saling mengeluh karena anaknya menunjukkan prilaku emosional, mudah tersinggung, mudah marah, mudah putus asa, mudah terpengaruh yang pada dasarnya mencirikan pribadi atau ego yang belum matang. Salah satu ciri dari periode dari remaja adalah bahwa egonya berkembang, dan apabila berkembang tanpa terkendalikan maka remaja mudah mengalami frustasi dan penolakan-penolakan.

Barangkali disinilah perlunya kita memahami diri remaja agar dapat membimbing dan memberikan uluran tangan guna menghindarkan bentuk-bentuk pelarian yang bersifat merusak perkembangan selanjutnya [Deden Rukiat, Majalah Anda, Januari 1987].

Dalam rumah tangga orangtua harus mampu bukan berperan sebagai ayah atau ibu saja tetapi lebih itu yaitu sebagai sahabat yang dapat diajak berdiskusi, dan mau mendengarkan segala keluh kesah dari remaja, bila peran ini dapat terujud tidak perlu mereka mencari jalan lain sehingga lari dari rumah dan menjadikan rumah hanya sebagai terminal saja.

Remaja, dia adalah buah hati dari orangtua yang mendambakan kehadirannya, secara lahiriah dia memang anak sepasang suami isteri, pada hakekatnya dia juga manusia lain yang membutuhkan kebebasan sebagaimana sajak Khalil Ghibran, ”Anak-anakmu bukanlah milikmu, Mereka adalah putra putri kehidupan, yang merindukan kehidupan, mereka lahir melaluimu, tetapi bukan daripadamu, dan walaupun mereka bersamamu, mereka bukanlah kepunyaanmu...kau boleh melindungi tubuhnya...tapi jangan kau kekang jiwanya....[Harian Mimbar Minang Padang, 13 dan 20 Nopember 1999].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar