Senin, 23 April 2012

Lidah senjata makan tuan


Oleh Drs. Mukhlis Denros



Ketika Rasulullah sedang duduk-duduk dengan para sahabat memberikan beberapa wejangan sebagai bekal dalam hidup yang dijadikan Allah dunia sebagai jembatan menyeberangi tempat yang kekal lagi mulia, yaitu akherat. Rasulullah mengangkat suatu persoalan di tengah para sahabatnya dengan sabda,”Sebentar lagi akan lewat seorang manusia yang telah ditetapkan Allah sebagai ahli syurga kelak”.

Para sahabat penasaran, siapa gerangan yang dimaksud itu. Semua sama-sama menanti ingin tahu. Salah seorang sahabat beliau yang bernama Abuzar Al Ghifari semakin penasaran setelah ditunjuki orang tersebut yang memang lewat didepan mereka. Karena penasarannya maka diikutilah tokoh yang dimaksud dengan menyempatkan diri menginap di rumahnya. Dia ingin tahu amalan apa saja yang dilakukan sehingga dikatakan oleh Rasululah sebagai calon penduduk syurga.

Setelah mendapat persetujuan dari tuan rumah, Abuzar diizinkan menginap untuk beberapa malam. Tetapi selama dia berada di rumah itu tidak nampak olehnya amalan yang luar biasa; puasa sunnah juga tidak rutin. Waktu shalat dilakukannya seperti biasa, sedekahpun demikian sesuai dengan kemampuan, bahkan shalat tahajudnyapun tidak setiap malam.

Pemandangan inilah yang disaksikan oleh Abuzar, seolah-olah Rasululah salah terka terhadap orang yang dimaksud karena tidaklah berlebihan dalam beribadah. Rasa penasarannya semakin besar setelah meliha sendiri, sehingga sebelum pamit dengan memberanikan diri dia tanyakan langsung prihal yang pernah dikatakan Rasulullah Saw. Tuan rumah tidak banyak komentar, dia mengatakan, ”Hanya satu perbuatan saya yang dapat melindungi amalan saya yang lain yaitu mampu menahan lidah, tidak sebarangan berucap yang mengakibatkan orang lain tersinggung atau sakit hati, juga tidak mudah mempergunjingkan orang lain dalam situasi apapun”. Itulah pengakuan tuan rumah bahwa lidahnya terpelihara dengan menjaga kemaksiatan, lidahnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik saja sesuai dengan perintah Allah.

Lidah adalah senjata manusia untuk berbicara menyampaikan maksud dalam bentuk bahasa, dengan kemahiran lisah seseorang dapat terangkat derajatnya di masyarakat, karena mampu menyalurkan maksud serta jeritan hati umat, dengan lidah da’wah dapat dilakukan sampai kepada propaganda dan obral barang di pasar. Efek positif memang banyak, tetapi banyak pula segi negatifnya, karena lidah ada orang terlempar jauh dari masyarakat sampai terbenam ke penjara.

Ajaran Islam sangat menekankan pemeliharaan lidah, ucapan yang keluar tanpa kontrol akan mengakibatkan kerugian dalam melaksanakan ibadah, seperti halnya dalam berpuasa, bila tidak mampu menahan kata-kata akan dapat mengurangi nilai ibadah puasa, bahkan ibadah puasa tersebut sia-sia. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,”Orang yang tidak meninggalkan kata-kata bohong dan senantiasa berdusta, tidak ada faedahnya ia menahan diri dari makan dan minum”.

Puasa yang tidak menjauhkan manusia dari ucapan dan perbuatan yang tidak baik, tidak ada manfaat puasanya. Orang yang demikian tidak perlu menahan diri dari makan dan minum, karena puasanya tidak berguna. Hadits lainpun menyebutkan, ”Puasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi puasa adalah menahan diri dari kata-kata yang sia-sia dan kata-kata yang tidak sopan”. Suatu kerugian besar, ibadah yang dilakukan yang mengeluarkan segala penderitaan lapar, haus maupun menahan larangan lainnya, tetapi batal hanya karena tidak mampu menahan ucapan kotor dan tidak dapat mengendalikan lidah.

Demikian pula halnya ibadah Haji, sewaktu mengerjakan ibadah haji orang tidak boleh mengeluarkan ucapan tidak senonoh, tidak boleh berbuat hal-hal tidak baik dan tidak boleh bertengkar, ”Haji, bulan-bulannya diketahui, dan siapa telah memutuskan melakukan haji, maka pada waktu itu tidak ada lagi kata-kata tidak sopan, cacian dan pertengkaran” [At Taubah 9;103].

Dalam ibadah lainpun seperti shalat, yang salah satu asfek harus dicapai ialah melepaskan diri dari perbuatan keji dan mungkar, siapa yang tidak melepaskan diri dari perbuatan keji dan mungkar yang termasuk di dalamnya melepaskan perkataan yang tidak berfaedah, bahkan memfungsikan lidah untuk menggunjing maka amalan shalat, puasa dan hajinya tidak dipandang suatu amalan yang baik, Rasulullah bersabda, ”Shalat yang tidak menjauhkan pelakunya dari kelakuan tidak senonoh dan perbuatan jahil bukanlah shalat”.


Artinya shalat yang tidak mencegah seseorang dari perbuatan jahat bukanlah sebenarnya shalat. Shalat demikian tidak ada artinya dan membuat orang bertambah jauh dari Allah. Demikian pula halnya ucapan lidah mempengaruhi nilai ibadah yang lain seperti sedekah. Allah melarang hamba-Nya memberikanh sedekah yang diiringi dengan caci maki dan mengungkit-ungkit segala pemberian tersebut. Lebih jauh dalam surat Ibrahim ayat 24-26 Allah memberikan suatu perumpamaan tentang kata-kata yang baik dan keji, ”Tidakkah engkau lihat Allah mengumpamakan kata baik dengan pohon yang subur yang akarnya kokoh, cabangnya meninggi ke langit dan senantiasa menghasilkan buah dengan izin Allah. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan kepda manusia semoga mereka ingat. Dan kata keji serupa dengan pohon busuk yang tercabut diatas bumi dan tidak mempunyai dasar”.

Kata-kata baik serupa dengan pohon subur yang akarnya teguh dan rantingnya meninggi ke langit, dan kata-kata buruk serupa dengan pohon yang dekat mati dan akan tercabut dari tanah karena tidak mempunyai dasar. Lidah memang tidak bertulang, demikian sebuah pepatah yang sering kita dengar ditujukan kepada orang-orang yang mudah memutarbalik kata, perayu dengan segala basa-basinya sehingga orang tertarik, segala ucapan yang tidak ada faktanya, dengan segala kemampuan lidahpun dapat mencerai beraikan ukhuwah islamiyah yang telah lama terjalin melalui fitnah, mentertawakan orang atau memanggil seseorang dengan panggilan yang buruk.

Rasulullah memberikan teladan, beliau tidak pernah memberikan panggilan yang jelek kepada para sahabatnya, selalu dengan panggilan yang menyenangkan dan menyejukkan hati seperti As Siddik kepada Abu Bakar, Al Faruq kepada Umar bin Khattab, Saifullah kepada Hamzah dan Khumairah kepada isterinya Siti Aisyah serta lainnya yang mengangkat derajat manusia dimata manusia lainnya meskipun melalui panggilan.

Bukan sebaliknya yang sering kita dengar di masyarakat dengan panggilan si Buncit, si Pincang, si Picek hal ini ditujukan kepada manusia yang dalam kekurangan. Betapa sakitnya orang yang dalam kekurangan dipanggil pula dengan panggilan yang tidak menyenangkan. Demikian hebatnya senjata ini sehingga mampu mengantarkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi dengan segala kesenangan dan keselamaan baik di dunia maupun sampai ke akherat kelak.

Dan sebaliknya diapun dapat melepaskan manusia ke lembah hina sampai jurang yang sangat dalam yaitu neraka, benar kata petuah orangtua dahulu, ”Mulutmu harimaumu yang akan menerkam dirimu sendiri”. Semua ibadah yang dilakukan tanpa dapat mengendalikan lidah, akan hilang sirna segala ibadahnya seperti debu diatas batu licin lalu diguyur hujan lebat, maka hilanglah semuanya tanpa meninggalkan bekas. [Harian Mimbar Minang Padang, 19111999].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar