Sabtu, 28 April 2012

Mencari tipe seorang guru


Oleh Drs. Mukhlis Denros


Di dunia ini terdapat manusia yang lebih dan manusia yang kurang dari berbagai sisi, baik nilai lebih yang terdapat pada harta maka harus dikeluarkan melalui zakat, nilai lebih dalam bidang tenaga dikerahkan dalam bentuk pertolongan dan nilai lebih dalam ilmu dilakukan melalui pengajaran dan pendidikan.

Pendidik ialah orang yang memikul tanggungjawab untuk mendidik. Pada umumnya jika kita mendengar istilah pendidik akan terbayang di depan kita seorang manusia dewasa. Dan sesungguhnya yang kita maksud dengan pendidik adalah hanya manusia dewasa yang akan melaksanakan kewajibannya tentang pendidikan siterdidik.

Kalau kita hanya berpegang kepada istilah membimbing atau menolong seperti disebutkan dalam definisi pendidikan, maka orang akan dapat berkata bahwa seorang anakpun dapat menjadi pendidik karena ia dapat menolong anak lainnya. Namun demikian kita harus mengingat pula bahwa pendidikan itu hanya menolong, tetapi menolong dengan sadar, dengan maksud menuju tujuan pendidikan.

Kalau seorang anak menolong anak lainnya, tidaklah ada intensi [maksud] pada si penolong untuk menghubungkan tindakannya itu dengan tujuan pendidikan. Sampai disini saja gugurlah julukan pendidik pada anak penolong tadi.

Kalau ditinjau dari segi pertanggungjawaban, maka orang dewasa yang mendidik memikul pertanggungjawaban terhadap anak didiknya, sedangkan sipenolong kecil itu belumlah demikian. Jelaslah kiranya bahwa si penolong kecil itu belum dapat disebut pendidik dalam arti sesungguhnya, jadi pendidik itu adalah orang dewasa.

Salah satu syarat guru profesional ialah sebagaimana yang diungkapkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara; Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso, tutwuri handayani, berarti keberadaannya pada semua sisi sangat diperlukan dalam rangka membawa manusia junior dengan bekal ilmu pengetahuan serta kepribadian yang luhur, sehingga akan tercetak manusia pintar lagi baik.

Untuk menjadi pintar sebagai sasaran sangatlah mudah yaitu suapi saja anak didik dengan berbagai ilmu pengetahuan, ini adalah bidang garap dari pengajaran, fokusny adalah otak. Sedangkan untuk menjadi manusia baik sangat sulit karena sasarannya adalah hati, bagian ini wewenang dari pendidikan. Anak yang pintar belum tentu baik karena dia tidak dididik, hatinya tidak diperhalus, keteladanan tidak diberikan. Anak yang baik bukan jaminan pula untuk pintar karena pengajaran yang diberikan kepadanya kurang.

Apalah artinya kepintaran kalau tidak baik karena akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan pola kehidupan. Pada satu sisi dia banyak mempunyai ilmu pengetahuan tapi pada sudut lain dia tidak dapat menghargai karya orang lain, meremehkan guru, tidak santun kepada orangtua atau tindakan lainnya.

Tugas guru bukan pada intelektualitasnya saja tetapi lebih jauh kepada kepribadiannya, baik dan pintar, otak dan hati sasarannya. Untuk menjadi pintar telah banyak usaha guru dikerahkan dalam bentuk transpormasi dan transfer ilmu pengetahuan, lugasnya pengalihan ilmu kepada murid berlansung dengan berbagai kegiatan formal sepanjang mengarah kepada otak atau keterampilan. Sudah banyak jasa guru dalam mencetak kader bangsa yang berkualitas, baik level daerah sampai tingkat internasional.

Dengan demikian berarti kehadiran guru yang berkualitas sangat diperlukan dalam mencetak kader bangsa disamping pintar juga baik. Dr. Zakiah Drajat sangat menekankan sekali agar seorang guru memiliki kepribadian. Faktor erpenting bagi seorang guru ialah kepribadiannya, kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia kembali menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, atau akan jadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.

Apa yang dimaksud dengan kepribadian ? dalam uraian kita tidak akan membicarakan arti atau batasan kepribadian secara teori, akan tetapi akan mencoba memahami berbagai unsur kepribadian yang dapat dilihat atau dipahami dengan mudah. Orang awam dengan mudah mengatakan bahwa seseorang itu punya kepribadian yang baik, kuat dan menyenangkan. Sedangkan ada pula orang lain dikatakan mempunyai kepribadian lemah atau buruk dan sebagainya.

Kepribadian sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan asfek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.

Guru yang goncang atau tidak stabil emosinya, misalnya mudah cemas, penakut, pemarah, penyedih dan pemurung. Anak didik akan terombang-ambing di bawah arus emosi guru yang goncang tersebut, tidak menyenangkan bagi anak didik, karena mereka seringkali merasa tidak dimengerti oleh guru. Kegoncangan perasaan anak didik itu akan menyebabkan kurangnya kemampuannya untuk menerima dan memahami pelajaran, sebab konsentrasi fikirannya diganggu oleh perasaannya yang goncang karena melihat atau menghadapi guru yang goncang tadi.

Guru yang pemarah atau keras, akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat tumbuh dan berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan derita atau ketegangan dalam hati anak, jika ia sering menderita oleh seorang guru, maka guru tersebut akan dijauhi agar dapat menghindari derita yang mungkin terjadi.



Tingkah laku atau moral guru pada umumnya merupakan penampilan lain dari kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orangtua yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku guru atau akhlaknya tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya. Atau dapat juga menemukan contoh yang berbeda atau berlawanan dengan contoh yang selama ini didapatkan di rumah orangtuanya.

Sikap guru terhadap agama juga merupakan salah satu penampilan kepribadian. Guru yang acuh tak acuh kepada agama akan menunjukkan sikap yang dapat menyebabkan anak didik terbawa pula kepada arus tersebu,bahkan kadang-kadang menyebabkan terganggunya jiwa anak didik. Cara guru berpakaian, berbicara, berjalan dan bergaul juga merupakan penampilan kepribadian lain yang juga mempunyai pengaruh terhadap anak didik.

Orang yang dipanggil sebagai guru memang geraknya sangat terbatas dan sempit untuk melakukan kesalahan apalagi kejahaan, bahkan nyaris tidak ada. Hal ini berari benteng diri bagi sang guru untuk tetap menjaga martabat, kualitas, kridibelitas serta loyalitasnya sebagai pengabdi, pahlawan tanpa janda jasa, digugu dan ditiru walaupun imbalan materi tidak seimbang dengan jasanya. Kehadirannya bukan hanya menyampaikan ilmu kepada anak didik juga memberi teladan; akhlak yang baik, moral yang halus kepada manusia muda. Akhirnya pendiidikan yang dihasilkan sesuai dengan sistim Pendidikan Nasional UU nomor 2 tahun 1989 diungkapkan bahwa Pendidikan Nasional mengusahakan pertama, pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri, dan kedua, pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terujud dalam ketahanan Nasional yang tangguh yang mengandung makna terujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan idiologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Untuk itu perlu dikembangkan cara pendidikan yang lansung sebagai obyek juga sebagai subyek dalam kegiatan, oleh Emil Salim Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup [waktu itu] dikatakan bahwa cara-cara pendidikan yang menjadikan peserta didik semata-mata sebagai obyek, yang sekedar mencatat uraian guru, atau menyalin tulisan di papan tulis, tidaklah cukup lagi. Lebih jauh Menteri menyebutkan bahwa beban pengembangan peserta didik lebih banyak tercurahkan kepada tenaga guru pendidik. Kepada sang gurulah terpulang kewajiban untuk bisa mengembangkan peserta didik dalam keadaan serba kurang [Merdeka, 5 Agustus 1989].

Dengan peralatan minim, dana seadanya guru diharapkan mampu membawa kader bangsa ke arah yang lebih baik dan memang dia lebih banyak berfikir untuk kemajuan bangsa daripada memikirkan dirinya sendiri. Namun demikian pemerintah akan tetap memperhatikannya dengan sedikit menaikkan gaji sebagai penghibur sementara masyarakatnya semakin kagum kepadanya; guru, digugu dan ditiru yang dianggap manusia sempurna sehingga tidak layak melakukan kesalahan walaupun kecil apalagi kejahatan.[Majalah Reformasi Jakarta No.07/ 1999]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar