Senin, 23 April 2012

Kiat agar hidup dicintai ummat


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Sebagai makhluk sosial kita wajib berintegrasi dengan orang lain tanpa membedakan status sosial. Semua sama dalam pandangan Islam, yang melebihkan mereka hanya karena iman dan amalnya, ” Allah tidak melihat fisik dan wajahmu, akan tetapi yang dilihat adalah hati dan amalnya”, demikian disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw kepada ummatnya, bahkan Allahpun menegaskan dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa” [Al Hujurat 49;13].

Ujud interaksi itu bisa kita ujudkan pada sekup kecil yaitu tetangga kita dan melebar di tengah masyarakat. Yang dimaksud tetangga adalah orang yang rumahnya memiliki radius 40 rumah dari rumah kita, ada beberapa hak mereka yang perlu kita tunaikan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan syari’at yang disampaikan Rasulullah.

Kehadiran seseorang di tengah masyarakat tidak selamanya mengenakkan, bahkan banyak sekali kesulitannya, tidak sedikit orang yang dianggap mulia karena punya pangkat, banyak kekayaan tapi saat hadir di tengah masyarakat justru dihinakan bahkan tidak dihitung kehadirannya selain membawa mudharat saja. Islam sebagai agama rahmat memberikan beberapa resep agar hidup kita diterima oleh ummat bahkan dicintainya, obatnya tiada lain adalah menunjukkan akhlak yang baik. Salah satu penopang keberhasilan da’wah Rasulullah dalam menyampaikan risalah kebenaran ini ialah akhlaqul karimah atau bahasa kitanya adalah da’wah bil hal.

Seorang penulis yang sering menulis tentang da’wah bernama Abdul Rabbani memberikan resep itu kepada kita dalam bukunya yang telah diterjemahkan bertajuk ”Aktivis Harakah Dambaan Ummat” sebagian besar tulisan ini diilhami dari buah fikiran beliau yang patut kita resapi, apalagi seorang da’i, pimpinan masyarakat, tokoh politik atau apa sajalah status kita;

1. Meningkatkan Akhlak Pribadi dan Keluarga
Sebelum terjun atau saat memasuki kehidupan masyarakat kita harus memperbaiki akhlak pribadi dan keluarga kita, sebab bagaimanapun juga baiknya akhlak kita, bila keluarga terabaikan, maka tudingan akan datang, ”Tuh lihat saja keluarganya tidak terurus, anak dan isterinya saja jauh dari akhlak terpuji”

Bagaimanapun juga keberhasilan seseorang pasti dipengaruhi oleh keluaganya. Allah saja mengungkapkan kepada kita, tidak cukup hanya menyelamatkan diri sendiri lalu mengabaikan keluarga, ”Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” [At Tahrim 66;6].

Bukan hanya anak dan isteri, termasuk juga kepada kerabat kita, ”Dan berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” [26;214]. Apalagi anak kita sendiri janganlah dilalaikan untuk membina mereka dengan aqidah, akhlak dan ibadah, sebagai konsekwensi kita sebagai muslim, ”Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya” [20;132].

Dengan akhlak yang mulia baik pribadi maupun keluarga maka figur tersebut akan diterima oleh masyarakat bahkan dicintai mereka, apalagi untuk zaman sekarang sangat sulit mencari sosok dengan akhlak yang baik, walaupun ada tapi keluarganya tidak layak diteladani. Kerap kali gagalnya da’wah seorang da’i karena isteri dan anaknya tidak terbina dengan baik.

2. Mendahulukan Kepentingan Orang Lain
Agar tampilnya kita di tengah masyarakat disukai mereka bahkan dicintai bila mampu kita berlaku itsar yaitu mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi dan golongan. Dalam perang Yarmuk, empat orang mujahid dalam menghadapi syahidnya memerlukan pertolongan [minum], ketika diberikan minum kepada yang pertama, dia tidak mau minum karena terdengar rintihan haus dari saudaranya yang kedua, begitu diberikan minum, yang kedua inipun menolak sebab terdengar rintihan ketiga hingga empat orang sahabat ketika itu syahid. Semuanya tidak jadi minum karena mementingkan temannya.

Dikala Rasulullah wafat, kedua kubu Anshor dan Muhajirin menyatakan berhak memegang setafet pemerintahan Islam, hampir saja terjadi baku hantam, akhirnya dapat diredam dengan datangnya Abu Bakar dan Umar. Keduanya maju kehadapan orang ramai, semua yang hadir mempercayakan kepada mereka berdua untuk menyelesaikan masalah itu, ”Ulurkan tanganmu, aku akan membaiatmu”, pinta Umar kepada Abu Bakar, ”Engkau lebih utama daripadaku” tukas Umar, ”Engkau lebih kuat daripadaku”, jawab Abu Bakar, ”Kekuatan untukmu bergabung dengan kekuatanku”, Umar menutup dialoq [Tarbawi 22/2001].

Bagaimana mereka berdua saling mendahulukan saudaranya dari pada diri sendiri, itulah akhlak islam yang diajarkan kepada kita. Bila hal ini terujud maka figur kita di tengah masyarakat akan disenangi, jauh dari ambisius pribadi yang banyak merugikan kemaslahatan orang lain.

3. Senantiasa Siap Menolong
Ketika kita dicintai ummat bila ringan tangan memberikan bantuan kepada siapa saja yang layak dibantu apalagi ketika ada musibah di daerah tersebut, berupa banjir, kebakaran, kelaparan yang menyusahkan masyarakat. Maka dengan kejadian ini mereka mencari sang pahlawan yang siap memberikan bantuan untuk meringankan beban penderitaan berupa sandang, obat-obatan ataupun pangan yang lansung dapat mereka rasakan. Biasanya disaat beginilah tampil pahlawan-pahlawan untuk menarik simpati rakyat terlepas apapun motivasinya yang penting sebuah kebajikan telah terujud, ”Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah bertolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [5;2]

”Barangsiapa yang melepaskan kesulitan untuk seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat, barangsiapa memudahkan kesukaran seseorang maka Allah akan memudahkan baginya di dunia dan di akherat. Allah selalu menolong hamba-Nya yang selalu menolong saudaranya” [HR. Muslim].

Kurang layak bila kita mengumpulkan harta untuk menunaikan ibadah haji bahkan yang kesekian kalinya sementara tetangga kita merintih tidak punya bahan makanan, kemenakan kita putus sekolah karena tidak ada biaya. Masjid kita bangun dengan dana jutaan rupiah bahkan zakat mal dan zakat fithrah disedot untuk pembangunan masjid sementara tetangga di dekat masjid tidak makan sekian hari, mana empati atau kepedulian kita terhadap ummat ini, sehingga wajar bila Rasulpun menyabdakan, ”Barangsiapa yang tidak peduli dengan ummat Islam maka dia bukanlah ummatku”.

4. Menyebarkan Salam Dan Mendo’akan
Salam yang kita ucapkan ke tengah masyarakat bukanlah sebatas penghormatan saja tapi mengandung nilai-nilai ibadah sekaligus isyarat agar kita senentiasa menebarkan keselamatan kepada orang lain. Paling tidak janganlah mereka merasa terzhalimi oleh kita, karena lisan, tangan dan prilaku lainnya. Rasul menyatakan bahwa yang dikatakan ummat Islam itu adalah orang yang dapat menyelamatkan tetangganya dari aniayanya. Lebih jelas beliau memberikan arahan kepada kita dalam dua hadits berikut ini; ”Belumkah aku tunjukkan sesuatu yang bila dilaksanakan maka kamu akan kasih mengasihi ? ucapkan salam diantara sesama” [HR. Muslim]. ”Apabila dua orang muslim berjumpa, lalu keduanya berjabatan tangan, mengucaplan ’Alhamdulillah’ dan beristighfar maka Allah mengampuni mereka” [HR. Abu Daud].

Salah satu hikmat kalimat salam yang kita ucapkan di akhir shalat ke kanan dan ke kiri adalah, disaat kita menyelesaikan shalat, apakah tetangga kita yang sebelah kanan dan kiri radius empatpuluh rumah kita sudah selamat dari kelaparan, kebodohan dan keterbelakangan lainnya ? Paling tidak patah-patah do’a yang kita sanjungkan kepada Allah menyiratkan rasa empati kita, agar mereka selamat di dunia maupun di akherat.

5. Memenuhi Janji Dan Amanah
Pepatah menyatakan bahwa sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tidak percaya lagi, agaknya benar. Dikala janji dan amanah telah diabaikan siapapun sulit untuk diraih simpatinya, rakyat kita sudah kenyang dengan janji-janji yang tidak ada buktinya dari pemimpin yang tidak bertanggungjawab. Lebih baik tidak berjanji kalau hanya untuk diingkari. Sedangkan Rasulullah saja figur yang diberi gelar Al Amin artinya orang yang dapat dipercaya, masih juga beliau ditentang oleh masyarakat Quraisy, apalagi hanya kita. Untuk itu raihlah simpati khalayak untuk menepati janji, sebab janji itu adalah hutang. Amanah itu harus ditunaikan kepada ahlinya bukan diselewengkan. Keruntuhan rezim-rezim terdahulu karena mereka mengingkari amanat kepemimpinan yang diberikan kepada mereka, bukan untuk mengentaskan kemiskinan tapi menetaskan kemiskinan, ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian itu” [5;11]. ’’Dan patuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya” [17;34].

6. Bersikap Toleransi
Agar kita bisa diterima oleh masyarakat dalam sebuah komunitas perlu menerapkan sikap tasamuh yaitu toleransi dan tidak otoriter yang cendrung kaku serta menyudutkan masyarakat. Kita boleh bertegas-tegas hanya berkaitan dengan prinsip hidup yaitu aqidah, bidang ini hanya bicara hitam dan putih, halal dan haram, tauhid dan syirik. Tapi dalam bidang akhlak kita perlu bersikap moderat. Suatu ketika Rasulullah mengutus untuk menyerang Bani Quraidzhah, lalu beliau berpesan, ”janganlah kalian shalat Ashar kecuali di Quraidzhah”. Karena mereka belum juga sampai di tujuan sedangkan waktu shalat ashar telah masuk. Sebagian ada yang shalat ashar sebelum sampai tujuan, sebagian yang lain mereka shalat ashar disana walaupun terlambat sedikit. Ketika hal itu ditanyakan kepada Rasulullah, beliau tidak menyalahkan siapapun, kedua sikap itu adalah benar.

Da’i yang shahid oleh peluru penguasa tiran negara Mesir, Gamal Abdul Nasher yaitu Syaikh Hasan Al Banna, saat ditanya oleh seorang wanita dalam sebuah pengajian tentang hukum memakai jilbab sedangkan ibu itu belum memakai jilbab, maka beliau menjawab dengan memberikan toleransi untuk sang ibu, ”Jawaban ibu belum bisa saya jawab sekarang, tapi Insya Allah duapuluha kali pertemuan pengajian ini akan terjawab ”, kenapa tidak dijawab lansung oleh beliau ? Bila beliau mengatakan memakai jilbab itu wajib sementara sang ibu belum terbina dengan baik, maka bagi dia memakai jilbab adalah beban berat bukan kebutuhan dan kewajiban sebagai muslimah.



Rasulpun memberikan toleransi kepada pemuda Arab Baduy yang ingin masuk Islam tapi mereka tetap boleh berbuat dosa apa saja, hanya diberikan bekal ”jangan bohong” inilah strategi da’wah yang diajarkan beliau, janganlah da’i menyamaratakan mad’unya tanpa memberikan toleransi yang seharusnya mereka peroleh.

7. Ceria, Mudah Bergaul, namun memelihara diri
Seseorang akan mudah diterima oleh masyarakat bila penampilannya penuh dengan keceriaan, tidak kusut dan kaku tapi luwes sehingga mudah bergaul dengan siapapun, namun demikian tetap menjaga diri dengan adab-adab islam, kehadirannya disana boleh beda tapi istimewa dibandingkan yang lain, sebagaimana pendapat lama, bila masuk ke kandang kambing mengembek, jangan ketika masuk ke kandang kambing jadi kambing atau masuk ke kandang kerbau jadi kerbau, ibarat orang orang memancing, tukang pancing yang dilarikan ikan, Rasulullah bersabda, ”Janganlah kamu menganggap hina sedikitpun dari suatu kebaikan, meskipun hanya dengan menjumpai saudaramu dengan muka manis” [HR. Muslim]. ”Hamba-hamba Allah itu adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil mengganggu mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan” [25;6].

Seorang muslim harus bergaul dan berbaur dengan lingkungannya, tapi tidak larut dengan budaya yang buruk, Rasulullah menyatakan dalam haditsnya, ”Seorang mukmin yang bergaul dan sabar terhadap gangguan orang lain, lebih besar pahalanya dari yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menerima gangguan mereka” [HR. Ahmad].

Bagaimanapun sibuknya kita maka interaksi dengan tetangga dan lingkungan harus diusahakan apalagi kita berada di rantau sebab selain sunnah Rasul, maka kemalangan yang kita rasakan mereka dahulu yang memberikan perhatian dan pertolongan kepada kita bukan orang yang ada di kampung kita. Apalagi seorang da’i kewajibannya untuk menyebarkan da’wah ini yang lebih efektif adalah dalam pergaulan sehari-hari melalui teladan yang baik sebagaimana pendapat ada yang mengatakan, ”Seribu instruksi tidaklah efektif dibandingkan satu keteladanan”, keberhasilan da’wah Rasul karena beliau lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai lapisan ummat, wahai da’i mari kita raih simpati mad’u [obyek da’wah] dengan akhlak mulia, bukan hanya dengan retorika dan hiasan kata-kata yang kosong dari aplikasinya.

Seorang sufi ternama yaitu Hasan Al Bisyri ketika didatangi oleh para budak untuk menyampaikan pembebasan mereka melalui khutbah ulama, beliau menyetujui, tetapi penyampaian materi khutbah itu berselang satu tahun sehingga para budak menanya beliau, ”Kenapa tuan tunda penyampaian khutbah tentang pembebasan budak itu, padahal kami sudah lama menantikannya, ”. Dijawab oleh beliau, ”Waktu itu saya belum punya uang untuk itu, maka saya kumpulkan dahulu rupiah demi rupiah, sen demi sen, sampailah tadi pagi saya bisa membeli seorang budak lalu saya merdekakan”, inilah sebuah keteladanan, kita butuh pemimpin, ulama dan siapa saja orangnya agar diterima oleh manusia di sekitarnya dengan menebarkan keteladanan melalui prilaku yang islami yaitu akhlaqul karimah, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 04042003 dan 11042003]

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar