Senin, 23 April 2012

Keluarga Obyek Dakwah Terberat


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Berangkat dari Surat At Tahrim ayat 6 Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu”. Maka kewajiban pribadi muslim ialah agar dia menjaga dirinya jangan sampai tenggelam ke kancah neraka, kewajiban itu berlanjut setelah pribadi ialah keluarga yang tercakup didalamnya secara mikro anak dan isteri serta orang yang berada di bawah tanggungjawab kita. Sedangkan secara makro yaitu seluruh kerabat yang ada pertalian darah sampai kepada pertalian famili.

Sehubungan dengan ayat di atas Umar bin Khattab pernah bertanya kepada baginda Rasul, ”Ya Rasulullah secara pribadi kami bisa menjaga diri kami jangan sampai masuk neraka, tapi bagaimana cara menjaga keluarga, apakah selalu diawasi terus menerus kemana dia pergi ?” Nabi Muhammad memberikan jawaban yang padat, ”Engkau tunjukkan kepada mereka perbuatan yang diperintahkan Allah, lalu engkau terangkan pula apa yang dilarang Allah, yang diperintahkan Allah dilaksanakan sedangkan yang dilarang-Nya ditinggalkan”.

Obyek pertama dari da’wah ialah rumah tangga sebagaimana Nabi mempraktekkan kepada isteri dan anaknya serta kepada budak dan orang yang dibawah tanggungjawabnya. Setelah itu baru tingakat lebih tinggi yaitu kerabat dekat atau masyarakat. Dalam menyampaikan da’wah kepada keluarga banyak mengalami kesulitan baik itu isteri atau anak sendiri sehingga banyak da’i yang mundur dari gelanggang da’wah di tengah masyarakat karena dia tidak mampu membina serta mengarahkan keluarganya, apalah artinya keberhasilan da’wah di masyarakat sementara keluarga terbengkalai, sang da’i ini mengalami tekanan psikologis, sementara anak dan isteri sebagai penentang utama sebagaimana yang dialami Nabi Nuh yang ditentang anaknya sendiri, Nabi Luth tidak diikuti oleh isterinya, Nabi Muhammad yang ditentang pamannya.

Da’wah yang paling berat yaitu di rumah tangga, mampukah seorang ayah mengajak anak dan isterinya untuk menciptakan keluarga muslim atau isteri membawa suami dan anaknya menjalankan perintah Allah atau anak dengan ilmu yang dimilikinya meluruskan langkah orangtuanya. Bila usaha ini telah dilakukan dengan sungguh-sungguh sebenarnya telah terlepaslah kewajiban perorangan di hadapan Allah dalam menjalankan amar ma’ruf nahyi mungkar.

Akan tetapi dalam masyarakat kita rasa jemu ini telah menjalar, sekali dua kali ucapan ayah tidak diladeni isteri dan anaknya dia biarkan saja lagi, sudah sekian kali isteri mengajak suami dan anaknya untuk melakukan amaliah ibadah akhirnya luntur tidak pernah terdengar lagi, dengan nada keras anakpun mempropagandakan syurga kepada orangtuanya tapi tetap diacuhkan. Semua peristiwa diatas akhirnya mengalami kebosanan pada masing-masing pribadi, akhirnya anak, isteri atau suami melakukan perbuatan tercela tidak lagi digubris, karena dianggap segala nasehat telah cukup.

Seorang da’i yang demikian, mudah putus asa, jiwanya pesimis maka tidaklah berhasil da’wahnya, sebenarnya Allahpun tidaklah melihat hasil yang diperoleh tapi kesungguhan dalam usaha. Bila betul-betul dengan kesungguhan serta kemampuan telah dikerahkan, tanpa ada rasa bosan mengajak walaupun gagal maka Allah tidak akan mencela bahkan dicatat sebagai amal yang patut dipuji, karena masalah hdiayah dan kesadaran agama disamping diusahakan juga karena hidayah dan kuasa Allah.

Seorang anak baru saja tamat dari perguruan Islam dengan bekal ilmu agama yang cukup mapan ditambah pula dengan ilmu pengetahuan umum lainnya. Problem utama yang akan dihadapi adalah keluarganya. Tentu saja ilmu yang telah diterimanya akan diterapkan dalam keluarga yang keislamannya masih dilapisi oleh khurafat, tahyul, bid’wah dan syirik. Ketegasan si anak dalam hal ini tetap akan ditentang oleh orangtuanya karena di hati orangtua telah berkarat ajaran yang dilapisi tradisi berhala. Ketika anak berkata kepada orangtuanya tentang islam yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Hadits akan ditolak dengan ucapan, ”Nak ini ajaran nenek moyang kita dahulu, kamu belum tahu karena masih kecil, kan baru kemaren tamat sekolah”, pasti tantangan pertama adalah keluraga.

Dalam menyampaikan kebenaran pada kelompok ramai atau masyarakat tidaklah begitu sulit dan sedikit resiko atau beban mentalnya tetapi untuk keluarga sendiri terlalu banyak kendala apalagi merombak suatu tradisi, memang bicara kebenaran dalam keluarga akan ditentang oleh anak dan isteri. Orang lain mudah tersentuh dengan dalil dan ajakan dari seseorang, tapi untuk menyentuh hati anak dan isteri terlalu sulit sebagaimana sebuah riwayat yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab dan hal ini memang terjadi pada diri beliau sendiri.



Pada suatu hari seorang sahabat ingin datang kepada Umar mengadukan peristiwa dia dengan keluarganya yaitu sang isteri yang tidak bisa dibentuk atau diarahkan ke jalan yang benar, pertengkaran selalu terjadi dalam rumah tangga. Kalaulah satu minggu ada tujuh hari, hanya satu hari saja adanya gencatan senjata [damai]. Dia datang dengan maksud minta nasehat Umar, bagaimana atau resep apa yang bagus untuk mengatasi hal itu.

Baru saja dia sampai di pintu gerbang rumah Umar, dia dikejutkan oleh keributan dalam rumah tersebut. Jelas betul bahwa keributan itu dialami oleh Umar dan isterinya, dia perhatikan agak lama akhirnya mengambil kesimpulan untuk mengurungkan niatnya kembali saja pulang. Rupanya Umar melihat tamu di luar yang akan pulang, dipanggilnya tamu itu dipersilahkan masuk serta terjadilah dialoq, ”Maksud kedatangan saya yaitu ingin minta nasehat Amirul Mukminin untuk keluarga kami, saya begitu sulit memberikan kebenaran dan menunjukkan isteri saya, sehingga sering dalam rumah terjadi pertikaian pendapat yang diakhiri dengan pertengkaran. Tapi setelah sampai disini saya melihat dalam rumah khalifah seperti apa yang saya alami, sehingga saya batalkan maksud saya”.

Mendengar keluhan sahabatnya itu Umar menjawab, ”Saya memang orang yan ditakuti dalam masyarakat, orang segan kepada saya, tetapi setelah berada di rumah maka saya adalah orang yang lemah, keluarga saya terutama isteri tidak akut dan segan kepada saya, kita senasib ya sahabat”.

Itulah sebuah gambaran bahwa keperkasaan seorang suami, kehebatannya di masyarakat belum tentu perkasa dan hebat dalam rumah tangga untuk menyampaikan misi da’wahnya. Tantangan ini selalu hadir dan dihadapi oleh da’i atau mubaligh, penentang misinya kebanyakan adalah orang yang dicintainya serta lebih dekat dengannya. Apakah seorang da’i tersebut akan tetap berda’wah atau mundur karena dia tidak mampu membina keluarganya. Tidaklah demikian sebagaimana dengan nabi Nuh bersama kaumnya walaupun anaknya sendiri menentang, bagaimana nabi Ibrahim meskipun dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan bagaimana dengan nabi Muhammad yang selalu dikejar bahkan nyaris dibunuh oleh Abu Lahab seorang pamannya, orang yang dekat denganya yang seharusnya menerima dukungan dan pembelaan, wallahu a’lam [Majalah Al Muslimun Bangil No. 232].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar