Rabu, 25 April 2012

Qana'ah Sikap Pribadi Muttaqin


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Kehadiran manusia di dunia ini dalam rangka mengabdikan dirinya kepada Allah pada seluruh asfek kehidupan, yang kita kenal dengan ibadah. Salah satu makna dari kalimat La Ilaaha Illallah adalah Laa Ma’buda Illallah yaitu tidak ada yang disembah kecuali Allah, artinya seluruh rangkaian tugas kehidupan seorang mukmin harus bernuansa ibadah sampai kepada mencari rezeki dan menerima rezeki dari Allah dengan rasa qana’ah.

Qana’ah adalah sifat mulia seorang mukmin terhadap rezeki yang diberi Allah, dia menerima berapapun jumlahnya sambil terus berusaha memperbaiki nasibnya. Jangan sekali-kali tamak pada milik orang lain, tidak pula menginginkan sesuatu yang ada di tangan orang, jangan pula berhati loba untuk mencari harta itu dengan segala jalan yang ada tanpa melihat baik buruknya serta halal haramnya.

Semua manusia ingin memiliki harta yang berlimpah untuk kebutuhan hidupnya, untuk semua itu segala cara ditempuh. Dahulu ketika masih miskin, dia hanya berfikir, “Apa makan kita sekarang?’’, artinya untuk makan saja sulit. Sudah mulai maju penghasilannya dia berkata, ”Makan apa kita sekarang?’’. Maksudnya seseorang tadi sudah berfikir jenis makanan yang akan dikonsumsi. Semakin naik penghasilan dia akan berkata, ”Makan dimana kita sekarang?’’, dia sudah bosan kalau makan hanya di satu restoran saja sehingga untuk sarapan pagi di restoran A, makan siang di restoran B, dan makan malam di restoran C, tetapi setelah jadi pengusaha, pabrik sudah sekian jumlahnya, deposito selalu meningkat, rumah sudah cemerlang, kendaraan mahal selalu mengkilap, dia mulai berfikir, ” Makan siapa kita sekarang ?’’.

Itulah gambaran orang-orang yang tamak serta rakus dengan kehidupan dunia, sehingga sepak kiri terjang kanan, jilat atas injak bawah, sodok sana gosok sini, merupakan alat yang sah untuk mengeruk keuntungan. Memang benar bahwa setiap manusia itu mempunyai watak loba, tamak serta kurang qana’ahnya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, ”Andaikata seseorang itu sudah memiliki dua lembah dari emas, pastilah ia akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada itu” [HR. Bukhari dan Muslim].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Banyak sekali keinginan-keinginan tersembunyi dalam hati yang cukup merusak mahabbah dan ubudiyah kepada Allah serta keikhlasan beragama”. Kaab bin Malik meriwayatkan dari Nabi Saw. Ia bersabda, ”Tidak ada dua srigala lapar yang dilepaskan dari kandang kambing yang yang justru sangat berbahaya baginya, selain kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan bagi agamanya” [HR. Ahmad].

Rasulullah menerangkan bahwa kerakusan seperti ini, sebab, apabila hati telah dirasakan manisnya ubudiyah [beribadah] dan mahabbah [cinta] kepada Allah, tidak ada yang lebih dicintai selain ubudiyah dan mahabbah itu. Orang yang baik agamanya adalah orang yang mampu bersyukur menerima segala nikmat karunia Allah walaupun dalam jumlah sedikit, tapi dia tidak berputus asa untuk mencari karunia Allah dengan cara-cara yang benar.



Sifat qana’ah akan dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai aqidah yang mantap, dia yakin bahwasanya seluruh harta yang diberikan allah kepadanya merupakan amanah bukan hadiah, yang kelak harus dipertanggungjawabkan kehadapan Allah.

Dalam menerima rezeki sebenarnya yang penting bukan banyaknya tapi berkahnya, yaitu dengan harta itu dia bahagia sebab dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan harta itu pula dia harus berderma di jalan Allah, tidak gelisah dan tidak sesak nafasnya karena penghasilan yang dia terima, ini kriteria harta yang berkah. Betapa banyak orang yang memiliki harta melimpah tapi hidunya gelisah, resah, cemas, takut dan panik karena hartanya tidak berkah. Idealnya biarlah kita kaya tapi kita orang-orang yang shaleh diantara hamba-hamba-Nya yang shaleh.

Menurut Imam Al Ghazali ada lima hal untuk menghilangkan sifat loba, tamak dan rakus dalam kehidupan sehingga menjadi orang yang qana’ah yaitu;

Pertama, membiasakan diri hidup dalam keadaan sedang, sederhana dan tidak berlebih-lebihan, secukupnya saja dalam berbelanja dan menjauhi kemewahan.

Kedua, hendaklah seseorang itu meyakinkan dengan seyakin-yakinnya bahwa rezeki yang ditentukan untuknya itu pasti akan dicapai dan diperolehnya. Rezeki itu pasti akan datang sekalipun ia tidak berhati tamak dan loba untuk meraihnya.

Ketiga, hendaklah disadari bahwa dengan berbuat qana’ah itu seseorang akan memperoleh kemuliaan sebab tidak memerlukan atau mengharapkan pertolongan orang lain dan tidak sampai meminta-minta sesuatu untuk menutupi kebutuhannya, sedangkan bersifat loba dan tamak itu merupakan lambang kehinaan.

Keempat, hendaklah memperbanyak pemikirannya perihal kehikmatan yang dimiliki oleh golongan kaum kafir dan kurang akal, selanjutnya hendaknya melihat prihidup para Rasul, Nabi dan orang-orang shaleh sebelumnya tentang kehidupan.

Kelima, hendaknya disadari bahwa harta itu banyak sekali menyebabkan timbulnya bencana dan marabahaya.

Dengan melaksanakan hal-hal sebagaimana yang tersebut di atas, insya Allah seseorang itu akan dapat mengusahakan sifat qana’ah, menerima dengan apa yang ada disisinya, tetapi harus berusaha untuk memperbaiki nasibnya, juga tetap berpegang teguh pada sifat sabar dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya.

Alangkah mulianya munajab seorang Abu Bakar sehubungan dengan harta dan rezeki, ”Ya Allah letakkanlah harta itu di tanganku, jangan Engkau letakkan di hatiku”, artinya kalau Abu Bakar saja sangat berhati-hati atas harta yang dimilikinya, takut kalau dikendalikan oleh harta bukan mengendalikan harta yang akan merusak agamanya, apalagi kita yang tidak sekualitas, tidak sekaliber Abu Bakar.

Tanpa harta memang sulit untuk bahagia, tapi harta bukanlah jaminan untuk mencapai bahagia. Jika kita miliki juga harta itu maka bersyukurlah dengan menginfaqkan ke jalan Allah, bila hari ini kita dalam kekurangan, maka bersabarlah sekaligus berusaha, Allah tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang mencucurkan keringat, membanting tulang demi mencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya.

Jangan kita memandang bahwa orang yang serba punya lalu diridhai Allah, belum tentu, ridha Allah tidak terletak dari banyaknya harta dan jabatannya yang diraih. Izin Allah diberikan kepada siapa saja dalam mencari harta, tapi ridha Allah diberikan kepada orang yang mencari harta dan jabatan dengan cara yang halal walaupun jumlahnya sedikit dan kadangkala menemui kegagalan. [Harian Mimbar Minang Padang, 02062000].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar