Senin, 23 April 2012

Komitmen Da'i di Kursi Dewan


Oleh Drs. Mukhis Denros

Era Reformasi membuka peluang bagi ummat Islam untuk terjun ke kancah politik dalam rangka menyuarakan kebenaran dan menyerukan keadilan bagi masyarakat yang diwakilinya.

Zaman kekuasaan rezim Soeharto yang kita kenal dengan orde baru peluang ini tersumber sehingga umat Islam hanya digunakan untuk kepentingan politik partai yang berkuasa pada saat itu. Hal ini tidak beda dengan zaman Soekarno dengan sebutan lain orde lama. Walaupun pada saat itu ada politisi Islam yang konsen memperjuangkan tegaknya Kalimah Allah di bumi ini, dengan bukti terukirnya tujuh kata ’tuah’ pada Piagam Jakarta. Mantan Menteri Agama RI Alamsyah Ratu Perwira Negara dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa Pancasila itu adalah ruh ajaran Islam yang termaktub didalamnya dan hasil perjuangan ummat yang perlu dijaga.

Walaupun pada masa itu sudah ada para da’i dan ulama yang hadir di gedung dewan melalui partai islam tapi mereka tidak bebas memperjuangkan kebenaran, sebab kebenaran itu menurut kehendak penguasa sehingga dapat dikatakan saat itu da’wah parlemen tidak efektif. Walaupun ada dari partai Nasionalis yang nota bene adalah ulama dan da’i, tapi mereka dalah da’i yang telah terkoptasi oleh landasan idiologi partai yang diikutinya. Sehingga suara yang tampil dikala disuarakan terdengara sumbang. Lain di hati lain pula diucapkannya, mungkin layak disebut ulama nifaq.

Dengan tampilnya sekian partai ke permukaan bangsa ini, termasuk sekian partai Islam siap bersaing di pentas politik sejak tahun 1999 hingga mendekati pemilu kedua era Reformasi yaitu 5 April 2004, menghadirkan beberapa ulama dan da’i yang membawa aroma lain di dewan, padahal dunia politik adalah dunia bergetah. Bila orang yang bersih memasukinya maka dia akan kena getahnya, bila tidak hati-hati selain masih banyaknya politisi yang berlepotan dari getah masa lalunya.

Tugas seorang buya atau da’i dimanapun dia berada harus berda’wah walaupun di dewan. Tentu dengan cara dan sistim yang berbeda dari sebelumnya. Semboyan da’i menyatakan,”Kami adalah da’i sebelum jadi apa-apa”, artinya, walaupun hari ini mereka sebagai anggota dewan tapi sejak dahulu tugas mulia yang diembannya sebagai da’i tidak bisa dilupakan. Boleh saja sang da’i berhenti di dewan tapi tugas dakwahnya tidak boleh berhenti.

Mimbar dewan sangat efektif untuk menyuarakan hati nurani rakyat melalui pandangan umum anggota atau penyampaian pendapat akhir fraksi, sidang-sidang komisi, gabungan komisi, kunjungan kerja menjadi sebuah peluang untuk menyampaikan kebenaran secara universal. Bagaimana anggota dewan bisa meminimalisir bahkan menyetop pengeluaran dana untuk kepentingan yang tidak/belum bermanfaat karena banyak kebutuhan yang belum terperhatikan yang semuanya membutuhkan biaya.

Pendistribusian dana untuk kepentingan umat dapat terarah dengan baik jika anggota dewan resfon terhadap kepentingan masyarakatnya seperti pendidikan yang membutuhkan dana tidak sedikit sementara mutunya anjlok. Begitu juga untuk biaya kesehatan menghindari ancaman kematian bayi dan ibu hamil, penghayatan dan pengamalan ajaran agama di tengah masyarakat dan sejuta problematika masyarakat yang sulit dilukiskan.

Da’i yang komitmen dengan nilai-nilai dakwah yang dia bawa, maka kehadirannya di dewan yang utama adalah dakwah, baik melalui ucapan atau tingkah laku. Prilaku moralis dan agamis yang ditampilkan oleh seorang anggota dewan membuat orang simpati dengan partai yang dia tumpangi. Sebaliknya demikian pula seorang da’i yang bertentangan cara berfikir, bertindak dan ucapannya di tengah masyarakat akan merugikan dakwah dan partai.

Hal yang sangat sensitif di dewan itu adalah masalah uang dan main uang, umumnya pada saat pemilihan Kepala Daerah dan Laporan Pertanggung Jawaban [LPJ] Kepala Daerah. Mengingat pembahasannya menyangkut uang, sang Kepala Daerah setelah menyerahkan uang untuk menggolkan maksudnya dia harus mencari kembali proyek yang bisa mengembalikan uang hilangnya itu. Sayangnya juga mengimbas pada anggota dewan yang identitasnya adalah da’i atau ulama yang selama ini dia berteriak bahwa money politic itu haram, tapi nyatanya dikala dia kebagian tidak terdengar suaranya lagi.

Artinya banyak da’i yang telah menghalalkan uang riba di Bank, membolehkan sogok menyogok, manipulasi kwitansi dianggap wajar dan segudang kerusakan moral lainnya. Hal itu terjadi ketika sang da’i atau ulama ada di dewan. Lalu mana lagi yang akan diikuti oleh ummat kalau tokoh agamanya sendiri saja sudah rusak begitu ? Komitmen keislaman sang da’i diuji ketika duduk dimana saja sama apalagi tempat yang rawan terjadi gelimang uang dan harta, mungkin sebagai anggota legislatif, eksekutif atau yudikatif. Karena memang ujian dunia itu selain kekuasaan, wanita dan juga harta.

Namun dari sekian banyak prilaku negatif anggota dewan yang berstatus da’i, masih ada di antara mereka yang tidak larut di dalamnya. Bahkan ada yang sejak berada di dewan, dia telah mengkampanyekan bahwa money politic itu sebuah pembodohan terhadap rakyat dan bertentangan dengan hati nurani, adat dan agama sehingga dalam pemilihan Kepala Daerah dan setiap pembahasan LPJ Kepala Daerah tidak mengeluarkan sepeserpun uang untuk itu. Sementara di tempat lain ada informasi dua orang anggota dewan di Jawa Barat ketika diketahui rekeningnya sudah membengkak masing-masing dengan tambahan setengah miliar rupiah, lalu uang itu dibagikan pada masyarakat yang membutuhkan.

Di Metro Lampung saat Wali Kota membagi-bagikan uang kepada anggota dewan, semuanya masing-masing menerima tujuh juta rupiah. Tapi sang da’i menyerahkan kembali uang itu kepada Wali Kota. Sayang sekali penyerahan itu tidak di ekspose media massa sehingga masyarakat tidak tahu kejadian yang sebenarnya dan menganggap semua anggota dewan sama saja.

Di Provinsi Jambi pernah seorang anggota dewan disekap pada sebuah kamar bahkan disiksa oleh oknum gerombolan bakal calon Bupati karena dia tidak mau menerima uang sogokan dan masih banyak lagi realita lapangan yang menunjukkan kepada kita bahwa walaupun banyak da’i bahkan ulama yang sudah rusak oleh getah kekuasaan, percayalah juga ada yang masih komit dengan tugas dakwahnya. Jabatan dan uang tidak mampu melalaikannya dari menyerukan kalimat kebenaran.

Menjelang Pemilu 2004 ini semakin banyak partai, tentu banyak pula para ustadz, mubaligh hingga ulama yang berkiprah di dalamnya sebagai calon anggota legislatif. Sehubungan dengan itu berhati-hatilah anda dan saya untuk memilih partai yang bersih dari kontaminasi orde lama dan orde baru. Silahkan para da’i tampil menggunakan peluang untuk dipilih oleh publik dalam Pemilu 2004. Tapi saya tidak sembarangan memilih partai dan tidak sembarangan memilih da’i yang caleg, saya akan pelajari siapa da’i yang caleg itu sebenarnya, karena banyak sekali da’i yang bagus pernyataannya tapi tidak nampak kenyataannya. Tidak sedikit di kalangan mereka yang mengaku sebagai da’i tapi belum lagi membuktikan dalam tingkah lakunya. Tegasnya, pengakuannya belum lagi jadi kelakuan yang layak diteladani ummat.

Di sebuah desa di Madua, ketika Pemilu tahun 1999 semakin dekat, banyak masuk partai Islam ke desa itu. Masyarakat bingung untuk menentukan pilihan karena semuanya baik. Mereka bertekad memilih partai yang berazaskan Islam saja. Masyarakat setempat membicarakannya dengan kepala desanya, partai mana yang layak dimenangkan di desa itu. Sang kepala desa hanya menyarankan kepada warganya agar mengumpulkan foto isteri para tokoh partai itu. Bila isterinya menjalankan syariat Islam dengan memakai busana muslimah atau jilbab maka pilihlah partainya, karena partai itulah yang layak dimenangkan.

Bagaimana seorang politisi Islam akan memperjuangkan Piagam Jakarta atau menegakkan syariat Islam di negara yang sekuler ini bila isterinya saja tidak memakai pakaian yang halal menurut Islam dalam arti menurup auratnya. Bagaimana mungkin seorang tokoh Islam akan meninggalkan perbuatan dosa lainnya sedangkan merokok saja tidak mampu dia tinggalkan ? bagaimana ia akan memperjuangkan nasib ummat Islam bila dia sendiri tidak shalat ? bagaimana politiisi Islam akan membentuk negara Baldatun Thayibatun Warabbun Ghaffur bila rumah tangganya saja kacau balau. Justru itu marilah kita pilih da’i yang komitmen terhadap nilai-nilai Islam sebelum, sedang dan sesudah menjadi anggota dewan, kalau tidak saya tentu andalah orangnya, wallahu a’lam [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Mimbar Minang Padang, 12092003].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar