Rabu, 25 April 2012

Otonomi Daerah dan Syari'at Islam


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Dengan menyebut “berkat rahmat Allah” kemerdekaan ini kita raih setelah sekian abad berada dalam cengkeraman pernjajahan Portugis, Belanda dan Jepang, segala penderitaan kita rasakan, posisi bangsa ini di bawah keakuasaan bangsa lain nyaris disebut sebagai bangsa budak melayani tuan-tuan Barat yang kedatangan mereka kemari dengan tiga tujuan Gold, Glory dan Gosvel yaitu mencari harta kekayaan dari sumber alam Indonesia yang dapat dikatakan jamrud di katulistiwa, Glory adalah tujuan kedua yaitu mencari kejayaan bangsa mereka di bawah penderitaan bangsa lain, mereka berbahagia di bawah penderitaan bangsa kita. Selain itu tujuan besar yang mereka gelar kepada bangsa ini adalah penyebaran Gosvel yaitu Injil dengan segala doktrinnya.

Walaupun kita merdeka yang diawali oleh rezim Soekarno, Soeharto, Habibi hingga Gusdur detik ini [2001], kita masih merasakan bagaimana bangsa ini terutama ummat Islam masih dijajah oleh rezim-rezim, dan siapa saja nampaknya yang berkuasa bersuara lantang untuk menentang kebijakan yang bernafaskan Islam, walaupun sebenarnya segala idiologi lain untuk membangun negara dan negeri ini dipakai dengan mengalami kegagalan.

Setiap daerah lantang menyatakan siap memasuki otonomi daerah tanpa ragu sedikitpun. Sejumlah kewenangan berada di tangan penguasa di daerah yang sebagian pakar meramalkan bila Otoda ini diberlakkan akan hadir raja-raja kecil di daerah yang akan menambah panjangnya usia penderitaan rakyat, ambisi terhadap inipun tidak dilatarbelakangi oleh kesiapan SDM dan SDA daerah tersebut tapi impian akan mengalirnhya sekian miliar dana dari pusat disamping dapat mengelola segala aset daerah yang selama ini dikuasai pusat.

Mayoritas bangsa ini beragama Islam. Kita sudah bosan dengan ucapan pesimis yang menyatakan, ”Kita bukan negara Islam, mana mungkin bisa menerapkan syariat Islam, apa yang diberikan falsafah Islam selama ini selain kesengsaraan yang dirasakan oleh masyarakat kecuali dikenyam oleh segelintir orang yang memang dekat dengan penguasa, masihkah kita akan bertahan dengan pendidikan sekuler yang hanya sebatas memberikan ilmu melalui fikir tanpa nilai-nilai kemanusiaan melalui zikir.

Tidakkah kita lihat bagaimana budaya bangsa kita telah berkarakter primitif dan permisiv karena terkontaminasi oleh budaya Yahudi dan Nasrani, dalam beragamapun kita cendrung berwatak sekuler dan sinkritis yang menganggap semua agama adalah sama baik dan benarnya yang menimbulkan toleransi yang dipaksakan yang akibatnya nampak sekarang di Ambon, Maluku dan Halmahera. Demoralisasi tidak tanggung-tanggung menjajah kita dengan segala aktivitas menghilangkan eksistensi kita sebagai bangsa yang beradat dan berbudaya, sehingga di zaman sekarang ini sulit kita untuk menentukan mana orang-orang yang shaleh dengan yang thaleh, wajah-wajah munafiq yang bertebaran, hingga politik bisa diperankan sesuai dengan apa yang mau hati nurani manusia tidak akan bercorak Machiavelis yang menghalalkan segala cara yang penting kursi dan jabatan serta tujuan dapat dicapai.

Inilah dahulu pengaruh falsafah yang kita anut dan kita ajarkan kepada generasi-generasi kita ajarkan kepada generasi-generasi kita hingga mendarah daging sehingga mereka tidak lagi kenal apa itu syariat Islam, undang-undang suci yang diperjuangkan oleh Rasulullah lima belas abad yang silam sehingga mampu membentuk sebuah negara yang aman dan penuh berkah Allah yaitu Madinah Al Munawarah.

Ketika da’wah Islam bekembang ke negara-negara lain Rasul-pun memberikan sinyal kepada penguasa tersebut untuk masuk Islam dengan memberikan kewenangan untuk mengelola negaranya tanpa ikut campur Rasulullah dengan syarat menerapkan Syari’at Islam, mungkin inilah Otoda yang perlu diterapkan di era gencar-gencarnya kata ”Otoda” sering kita dengar, apalagi sudah jelas Bupati, Gubernur, Walikota dan masyarakatnya mayoritas Islam, apa yang ditunggu lagi selain kesempatan masing-masing daerah untuk bertekad menerapkan mengembalikan falsafah Minangkabau yang selama ini hanya sebatas filosofi, hiasan bibir dan Buya Hamka menyebut sebagai ”bahasa politis” antara kaum adat dengan kaum agama.



Nampaknya inilah strategi pusat yang membatasi kewenangan daerah, tidak termasuk bidang agama, urusan agama tetap dipusat, inilah Otoda setengah hati, padahal sudah jelas mayoritas ummat ini menginginkan diterapkannya syariat Islam walaupun secara lokal atau regional setelah gagal ditetapkan dalam piagam Jakarta.

Tidak perlu daerah di Sumatera Barat ini terlalu terburu-buru mencanangkan dan menggaungkan kesiapan mereka menerapkan Otoda bila hanya sama saja, ibarat tukar baju namun esensialnya tidak berbeda. Jangan otoda tersebut hanya sebatas perubahan struktur dan postur pemerintahan daerah saja dengan menerima sekian kewenangan dan impian dana, tapi moral dan perbaikan kepribadian rakyatnya tidak terbenahi dengan baik sebagaimana ucapan Muhammad Abduh, ”Saya telah pergi ke negara Eropa, disana ada Islam tapi tidak ada ummatnya, sayapun telah pergi ke Timur Tengah, disana ada ummat Islam tapi tidak ada Islam”, artinya di negara yang bukan Islam dapat menerapkan nilai-nilai Islam sementara di negara Islam yang mayoritas penduduknya muslim tidak mampu menerapkan syariat Islam.

Bagi daerah yang telah mencanangkan siap berotonomi, ada peluang untuk menjadikan daerahnya sebagai negeri yang sering diucapkan oleh pejabat Orde Baru yaitu ”Baldatun thayiibatun Warabbun Ghafur” yang hanya sebatas hiasan bibir, jauh panggang dari api. Berkaitan dengan itu, kita membutuhkan kepala daerah yang punya nyali dan ghirah Islam yang tinggi agar semasa kemepimpinannya mampu menancapkan bingkai falsafah ABS-SBK [Adat Basabdi Syara’, Syara’ Basandi Kitabulah] walaupun secara bertahap melalui momentum”Kembali ke Nagari” lalu membuka peluang kepada nagari untuk menentukan sikapnya menerapkan Syariat Islam bersamaan pula dengan gaung kembali ke Surau.

Sebenarnya bagi seorang muslim, bentuk negara ini apapun, ragam falsafah negara tidak jadi soal asal dapat menerapkan syariat Allah didalamnya, segala persoalan di dunia ini bagi muslim bukanlah persoalan, yang jadi masalah bagi kita adalah tidak masuk syurga karena peluang di daerah untuk menerapkan Syari’at Islam tidak tersampaikan, wallahu a’lam [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Mimbar Minang Padang, 13032001].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com













Tidak ada komentar:

Posting Komentar