Jumat, 20 April 2012

Agama Warisan Nenek Moyang


Oleh Drs. Mukhlis Denros
Generasi hari ini adalah hasil pengkaderan generasi masa lalu, generasi masa lalu cetakan generasi yang lalunya lagi, terus ibarat perjalanan dari awal yang akan berakhir nantinya setelah manusia mengalami kehancuran.

Pada umumnya manusia tidak bisa lepas dari pengaruh generasi yang terdahulu baik dari segi pemikiran, pakaian sampai kepada keyakinan. Pendek kata dia terbelenggu oleh adat istiadat serta segala nilai warisan masa lalu.

Dalam hal keyakinan atau persembahan kepada Tuhanpun demikian, manusia; baik secara lansung atau tidak dipengaruhi keyakinan yang pernah dianut nenek moyang mereka. Bila ditinggalkan vonis dosa dan durhaka tertuju kepadanya sehingga wajar saja bila orang-orang yang telah berhasil meraih titel sarjana masih terkungkung dengan faham usang walaupun sebenarnya dia tahu tidak sesuai dengan Islam, akalpun menolak bahkan ilmu pengetahuan tidak menerima kebenarannya.

Pada surat Asy Syu’ara ayat 70 sampai 74 pernah terjadi dialoq antara Nabi Ibrahim dengan ayah dab kaumnya sebagai penyembah berhala, ”Ketika ia [Ibrahim] berkata kepada bapak dan kaumnya, ”Apa yang kalian sembah ? ” mereka menjawab, kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya, Ibrahim bertanya, apakah berhala itu mendengar do’amu ketika kamu berdo’a kepadanya ? atau mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat ? mereka menjawab, [Bukan karena itu] sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami tersebut demikian, Ibrahim berkata, ”Maka apakah kamu memperhatikan apa yang selalu kamu sembah?”

Dari dialoq tersebut pada satu sisi penyembah berhala tahu bahwa apa yang mereka sembah tiada manfaatnya sama sekali, tapi yang namanya ajaran nenek moyang sulit untuk dirombak atau tidak mengikutinya, tentu kita akan terkucil dan dikucilkan oleh lingkungan adat. Pada satu sisi Ibrahim menginginkan agar apa yang dilakukan apalagi penyembahan harus difikirkan terlebih dahulu, harus dipelajari dan dikaji sesuai dengan fikiran yang jernih. Dilain kalimat segala warisan dari nenek moyang jangan dilahap mentah-mentah. Kalau kita kembalikan kepada Islam pada masa Rasulullah, Islam harus digali serta dikaji, jangan diterima begitu saja tanpa pemikiran. Apalagi pada zaman sekarang Islam telah banyak dinodai oleh bid’ah, kurafat, syirik dan tahayul, bagi generasi hari ini harus betul-betul dipelajari dengan sungguh-sungguh ke akar-akarnya apakah Islam itu memang demikian sesuai dengan sumbernya.

Terhadap agama Islam sendiri kita harus mengadakan pengkajian untuk menemukan kebenaran dan mendapat hidayah dari Allah, itulah makanya sejak awal Allah memerintahkan ummat Islam untuk ”Iqra’” atau membaca, maka baca lebih luas adalah teliti, kaji, riset dan telaah, bahkan dalam surat Muhammad 47;19 Allah berfirman, ”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah...” Kata ”fa’lam” mengandung makna agar kita mengadakan pengkajian dan penelitian, penelaahan dan pemahaman terhadap kalimat syahadat, sehingga kita tidak menerima demikian saja, semua yang kita lakukan harus diilmui dahulu, tidak boleh taqlid.


Ummat Islam jangan puas menerima warisan Islam dari nenek moyangnya. Jangan menerima mentah-mentah segala bentuk warisan Islam yang lalu tanpa dipelajari lagi, kewaspadaan serta untuk meningkatkan mutu Islam sangat diperlukan. Anak muda sekarang tanpa belajar lagi karena beranggapan Islam dengan segala ajaran dari leluhurnya sudah dianggap memadai maka jadilah ia muslim yang pasif lagi statis sehingga ia menjadi Islam keturunan bukan keturunan Islam. Ya kalau apa yang diterima sesuai dengan ajaran Islam yang Ashalah [asli] dahulu sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, kalau telah dicampuri dan dikotori oleh tangan-tangan jahil maka jadilah ia sesat lagi menyesatkan.

Terhadap kebudayaan manapun, baik kebudayaan yang ditinggalkan nenek moyang atau Barat, ummat Islam harus mengambil sikap tengah yaitu menolak segala yang salah mengambil yang baik, tidak menolak keseluruhan juga tidak menerima secara keseluruhan, seselektif mungkin. Ibarat kita membeli peci, ketika dicoba di rumah ternyata peci tersebut sempit lalu apakah peci yang kita rombak atau kepala yang harus diperkecil. Bila peci yang diubah tidak banyak resikonya tapi kalau kepala yang harus diubah tentu besar resikonya dan mengalami kesulitan.

Demikian pula Islam dengan kebudayaan mana saja, bila Islam yang harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan maka Islam akan hancur dilapisi oleh segala macam kesesatan, tapi kebudayaan itulah yang harus menyesuaikan diri dengan Islam agar selamat hidup di dunia maupun sampai di akherat.

M. Amin Rais dalam buletin da’wah mengatakan bahwa tradisi, adat, warisan nenek moyang sulit sekali untuk dirombak, banyak tantangan dan rintangan sehingga tidak sedikit ummat Islam menjadikan adat sebagai ibadat dan ibadat seolah-olah adat. Inilah belenggu manusia untuk menenggelamkannya kepada Islam tradisional. Bila manusia terikat dan terbelenggu dengan adat dan tradisi yang tidak sesuai dengan Islam dia mustahil untuk bisa mencapai derajat insan Kamil yaitu manusia yang sempurna yang diharapkan Allah, bahwa tradisi itu sangat sulit dilepaskan dari hati dan kegiatan manusia.

”Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab, tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami, apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan mendapat petunjuk” [Al Baqarah 2;170].

Kalau kita ikuti ajaran kebanyakan manusia maka kebanyakan manusia itu tersesat dan menyesatkan, karena mengambil ajaran tersebut tanpa meneliti terlebih dahulu apalagi dengan segala kemauan pribadi yang didorong oleh hawa nafsu apalagi dalam menciptakan peraturan hidup di dunia ini bla tanpa bersandar kepada peraturan dari pencipta hidup ini tentu akan chaos [rusak], Allah memperingatkan, ”Janganlah kamu turuti hawa nafsu, karena nanti ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” [Ash Shad;26]

Ukuran baik seseorang dalam Islam disebut dengan shaleh atau shalehah dengan kriteria;
1. Salimul ’Aqidah; artinya aqidah yang selamat dari polusi syirik, munafiq, nifaq serta kekotoran aqidah lainnya.
2. Salamatul Fikrah; artinya fikiran yang selamat dari kontaminasi adat-istiadat yang tidak sesuai dengan Islam, pemikiran Yahudi, Nasrani, Orientalis dan Sekuler.
3. Shahihul Ibadah; artinya bersihnya ibadah dari pengaruh tradisi dan praktek yang tidak ada sandarannya, inilah yang disebut dengan bid’ah, ibadah bid’ah tidak akan diterima Allah bahkan balasannya neraka.
4. Matiinul Khalqi; yaitu akhlak yang solid, yang tampak dari praktek kehidupan sehari-hari.

Mudah-mudahan kita mampu menjadi orang yang meletakkan Islam diatas segala-galanya, dia lebih tinggi dari tradisi dan adat serta kebudayaan manapun, wallahu a’lam [Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Mimbar Minang Padang, 09082002].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar