Selasa, 17 April 2012

Allah Menyertai Makhluk-Nya


Drs. St. Mukhlis Denros
Ma’iyatullah artinya adalah Allah selalu menyertai dan bersama makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga, ini adalah pengawasan yang efektif untuk menjaga kontinuitas amal dan istiqamahnya iman, keyakinan ini akan menjauhkan seorang mukmin dari praktek kotor dalam seluruh asfek kehidupannya.

Ma’iyatullah terbagi dua yaitu;
Pertama, secara umum artinya pengetahuan Allah meliputi seluruh makhluk-Nya, tak satupn luput dari pengawasan dan pengetahuan-Nya bahkan daun yang gugur di hutan lebatpun Allah mengetahui hingga detak jantung dan isi hati nurani manusia Allah tahu [6;59].

Kedua, secara khusus artinya dukungan dan pertolongan Allah khusus untuk orang-orang yang beriman, yang dekat kepada-Nya dalam seluruh asfek aktivitasnya [2;153], Ma’iyatullah memberikan pengaruh bagi seorang mukmin diantaranya;

a. Akan menimbulkan perasaan selalu diawasi Allah, dimanapun dia berada selalu yakin kalau Allah menyertai dan mengintai aktivitasnya baik ada orang yang melihat ataupun dia sendirian, keyakinan ini berangkat dari aqidah yang mantap dan istiqamah, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
Suatu ketika Umar bin Khattab bertemu dengan seorang remaja yang sedang menggembalakan kambing tuannya, maka terjadilah dialog antara Umar dengan remaja itu,”Jual sajalah kambingmu ini, dan katakan kepada majikanmu kalau kambing itu dimakan srigala, engkau dapat uang dariku dan aman”, sang remaja menjawab,”Bila tuan ingin kambingku ini silahkan beli kepada majikan saya, seandainya saya berdusta pasti dia percaya karena selama ini saya belum pernah demikian, tapi bagaimana dengan Allah ?” Umar dengan terharu dia syukuri bahwa masih ada remaja seperti itu dizaman kekuasaannya, masih melekat ma’iyatullahnya.

Suatu malam Umarpun pergi keliling kampung, dia mendengar percakapan seorang putri dengan ibunya,”Nak kita campur saja susu ini, biar kita mendapat keuntungan yang banyak”, sang putri menjawab,”Jangan ibu, nanti Khalifah tahu bagaimana?” sang ibu menyanggah,”Mana ada Khalifah yang berkeliaran tengah malam ini, enaklah dia istirahat di istananya”, sang gadis lansung menyela pembicaraan ibunya,”Wahai ibu, mungkin saja khalifah Umar tidak tahu apa yang kita lakukan tapi bagaimana Allah, bukankah Dia juga tahu apa yang kita lakukan?” mendengar itu Umar tidak kuasa, lansung dia pulang, pagi harinya dia utus seseorang untuk menjemput tuan putri lalu dinikahkan dengan anaknya yang bernama Aslam, dari pernikahan inilah maka lahir generasi terbaik pada abadnya yaitu Umar bin Abdul Azis yang kelak jadi khalifah juga.

Masih kisah dimasa Umar bin Khattab, dalam perjalanannya dimalam hari dia mendengar seorang ibu sedang membaca sebuah saja yang menggambarkan kerinduannya terhadap suami yang sudah empat bulan meninggalkannya untuk berjihad, sajaknya berbunyi:
Malam lama berlalu gelap semakin pekat, aku masih terjaga tak ada kekasih yang mencumbu, demi Allah andaikata tak ada Allah yang ditakuti siksa-Nya niscaya ranjang ini akan bergoyang

Mendengar sajak yang disenandungkan ini, lalu Umar bertanya kepada anaknya yang bernama Hafsah,”Berapa lamakah seorang isteri bisa bersabar menunggu suaminya pulang?” Hasah menjawab,”Empat bulan ya ayahanda”, selanjutnya Umar mengirim utusan agar menemput suami wanita itu dan setiap pasukan dipergilirkan setiap empat bulan.

Suatu ketika Imam Syafi’i memerintahkan kepada muridnya untuk membawa sebilah pisah dan seekor ayam, mereka beranggapan akan ada penilaian tentang praktek penyembelihan hewan, setelah berkumpul semua muridnya dengan perlengkapan tadi, diperintahkanlah untuk menyembelih hewan di tempat yang tidak bisa dilihat oleh siapapun. Semua murid melakukannya, tapi ada seorang murid yang tidak melaksanakan sebagaimana yang dikerjakan oleh teman-temannya sehingga dia ditanya oleh Imam Syafi’I, dengan nada optimis dan tegas dia berkata,”Ketika tuan guru memerintahkan saya untuk menyembelih hewan ini di tempat yang tidak dilihat oleh siapapun, maka saya pergi ke sebuah rumah, gua, ke semak-semak belukar dan ke dalam hutan, tapi tak sanggup saya melakukannya karena dimana saja saya mau melakukannya maka disana pula Allah ada menyaksikan sehingga gagal saya untuk menyembelih hewan ini, mohon maaf tuan guru”, justru anak inilah yang mendapat pujian dan dinyatakan lulus karena rasa ma’iyatullahnya yang cukup dalam.

b. Membangkitkan sifat ihsan dalam seluruh aktivitas, baik ada orang ataupun tidak ada orang yang melihatnya. Kualitas kerja dan kedisiplinan tidak terpengaruh oleh orang lain hatta pimpinan sekalipun karena pemimpin yang tertinggi selalu melihat dan memantaunya.

c. Membangkitkan perasaan tabah dan sabar dalam berda’wah dan yakin bahwa Allah selalu bersamanya. Himpitan dan deraan ujian dalam da’wah dan hidup ini demikian dahsyatnya, bila tidak ada sifat ini tidak sedikit para da’i yang berguguran di medan da’wah,”Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”[2;153]
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang diatas dan Allahpun beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala dan amal-amalmu” [47;35]

d. Teguh dalam memegang kebenaran sebab ia yakin Allah akan menolongnya walaupun penderitaan bertubi-tubi menghantamnya. Sikap istiqamah tidak semua orang memilikinya, apalagi zaman sekarang mudah sekali iman seseorang luntur dan lentur terpengaruh oleh pergantian waktu, desakan kebutuhanlah dan serenceng alasan lainnya.

Ketika Sayyid Qutb dihadapkan ke tiang gantungan untuk mengakhiri kehidupannya oleh rezim Gamal Abdul Naser, detik-detik kematiannya didatangi oleh seorang ulama yang pro pemerintah,”Hai tuan, jika anda mau menanda tangani surat ini, mengakui kebaikan Presiden maka tuan akan dibebaskan dari hukuman lalu diberi fasilitas dan jabatan sebagai menteri”, ketika itu Sayyid Qutb menjawab,”Rupanya engkau ulama yang bersekongkol dengan rezim ini, aku tidak akan menerimanya, lakukan eksekusi ini, agar aku dapat menemui Allah dengan cepat”
“Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi [kiamat] [40;51].

Bila sifat ma’iyatullah ini terhunjam di hati ummat Islam pada khususnya akan dapat menghapus segala bentuk kecurangan, penyelewengan jabatan dan kemaksiatan lainnya, kita membutuhkan metode canggih untuk menyelamatkan ummat ini agar mengakui keberadaan Allah dalam situasi bagaimanapun juga, bila hal ini terjadi menjadi negeri yang aman dan sejahtera Indonesia ini.
Pendidikan, penataran yang digelar selama ini lebih banyak berorentasi kepada otak dan rasio dengan mengabaikan hati dan iman sehingga wajar ummat ini hancur berantakan karena hatinya tidak ditanami dengan iman tapi otaknya saja yang diurus, wallahu a’lam.[Media Rakyat Sumatera Barat Edisi 10 tahun II Januari 2005]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar