Jumat, 20 April 2012

Ulama Penyeret ke Neraka


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Di dunia ini dijadikan Allah berpasang-pasangan, ada laki-laki ada perempuan, siang berpasangan dengan malam, baik bergandengan dengan buruk. Seorang guru yang betul-betul melaksanakan tugasnya,disiplin, prilakunya dapat digugu dan ditiru bagi anak didik maupun masyarakat maka merekalah guru yang terpuji dan sebaliknya dapat dikatakan guru yang tercela bila mengabaikan tugasnya, indisipliner, tidak dapat digugu dan ditiru karena akhlaknya tidak terpuji.

Dimanapun di dunia akan ditemui pembela kebenaran disatu sisi dan pengkhianat di pihak lain, demikian pula dengan ulama pada satu sisi kita akan mengatakan dialah ulama pewaris para nabi dengan beberapa prinsip hidupnya yang nampak, sedangkan pada bagian lain kita akan menemukan ulama syu’ yaitu ulama jahat yang keluar dari garis permainan keulamaan artinya berada diluar jalur tuntuan Allah dan Rasul-Nya, nabi bersabda, ”Aku telah mewariskan kepada kamu dua perkara yang kamu tidak akan sesat selamanya bila berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitabullah dan SunnahNabi” [HR. Ibnu Abdil Bar].

Ulama sebagai pewaris nabi, dia akan berpegang teguh kepada warisan nabi lalu mengikuti peredaran kedua warisan itu, sedangkan ulama syu’ berada dalam peredaran lain dengan karakeristik sebagai berikut;

Pertama, ulama pemberi fatwa sesat; dia memberikan fatwa dengan memutarbalikkan ajaran islam tanpa sandaran yang benar, perintah wajib dikatakan sunnah, perbuatan halal diharamkan dan barang haram dihalalkan. Fatwanya keluar didorong oleh hawa nafsu dengan menafsirkan Al Qur’an sendiri, disamping fanatik kepada guru tanpa pertimbangan rasional dan ilmu yang benar, karena banyak program acara memakai sponsor maka fatwanyapun sesuai dengan pesan, hanya sekedar menyenangkan satu pihak yang memberi fasilitas kepadanya atau sekedar mengharapkan tepukan tangan dan julukan ”wah”

Kedua, ulama pembangun fanatisme buta, pengertian fanatik sering dipakai orang dalam bidang agama dengan arti berpedoman atau berpegang teguh kepada keyakinan, bagaimanapun cobaan datang bahkan nyawanyapun terancam maka dia tetap tidak melepaskan keyakinannya, sangat cinta kepada agama sebagai pandangan hidup yang harus dijaga, biarlah hidup terkungkung dalam penjara tapi kecintaannya kepada islam tidak akan luntur, bisa saja ketika mulutnya membenci islam karena penderitaan yang dirasakan tapi hatinya tetap mencintai islam. Sifat ini sangat diperlukan dalam beragama, orang yang tidak fanatik kepada agama yang dianutnya maka diragukan keagamaannya, orang yang tidak fanatik kepada islam sangat diragukan eksistensinya.

Lain halnya dengan fanatisme yaitu fanatik buta kepada agama, dia hanya cinta kepada fahamnya saja sehingga tidak mau mendengar apalagi menerima pendapat orang lain. Faham ini cendrung membentuk ajaran dan faham baru yang menjadi sempalan dalam islam yang menganggap orang lain yang berada diluar golongannya sesat. Ulama yang membentuk faham fanatisme ini bukan saja sesat tapi menyesatkan orang lain, tentu saja ajarannya diluar Al Qur’an dan Sunnah.

Ketiga, ulama penyebar fitnah; fitnah timbul karena terjadinya pertentangan faham yang membentuk golongan yang akhirnya benci kepada ulama yang tidak seide maka terjadilah saling menyalahkan, saling hasud dan fitnah sebagaimana peristiwa Muhammad Abduh, seorang ulama besar difitnah ketika dia meninggal lidahnya menjulur keluar satu hasta, setelah diselidiki rupanya ini adalah fitnah ulama yang tidak sefaham dengan dia.

Keempat, ulama tukang jilat; biasanya yang dijilat adalah atasan, penguasa dan sponsor, lalu dia tidak lagi bebas berfatwa, fatwanya sesuai dengan kemauan atasan, penguasa dan pesan sponsorlah sebagai ajakan yang disampaikan, sehingga nampak dan terdengar bahwa yang difatwakan tidak menyentuh karena karena lebih banyak sanjungan dan pujian kepada pihak tertentu, tidak bisa bicara sesuai dengan ajaran islam karena periuk nasinya bisa berantakan atau dapurnya tidak lagi berasap.

Kelima, ulama yang rusak moralnya; orang awam yang melakukan kekejian tidak begitu tertarik kita mendengarnya karena dapat dimaklumi mereka mempunyai akhlak yang ala kadarnya yang didukung oleh pendidikan dan penghayatan agama yang minim, tapi kalau tokoh yang disebut guru, pemuka adat, ustadz apalagi ulama yang berbuat tidak baik, mencerminkan akhlak yang rusak maka berita ini akan mudah tersebar walau tidak diekspos dalam media massa, disamping itu dapat merendahkan martabat islam dimata pemeluknya, minimal perasaan malu dan kecewa.

Salah satu yang menyebabkan orang tidak tertarik kepada ajaran agama karena tokoh agama sendiri yang melakukan kesalahan dan dosa, mereka beranggapan ulama yang dikatakan manusia suci tidak layak berbuat kesalahan apalagi dosa, nabi Muhammad bersabda sehubungan bertanyanya seorang sahabat kepada beliau, ”Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw, ”Ya Rasulullah,siapakah sejelek-jelek manusia ? nabi menjawab, ”Ya Allah ampunilah dosa kami, sejelek-jelek manusia itu adalah ulama apabila mereka itu rusak moralnya” [Ibnu Bathah].

Keenam, ulama yang tergelincir; bila ini terjadi akan diikutilah orang banyak karena dia panutan di tengah masyarakat, bila dia tersesat bukan dirinya saja yang terjerumus bahkan menyesatkan orang lain. Ulama yang tergelincir disebabkan ajaran yang salah tafsir diterima dari gurunya, sedangkan dia tidak tahu atas ketergelincirannya, dalam menyampaikan fatwa lalu dia mengemukakan kekeliruannya tapi malu untuk mengakui kekeliruan dengan mengadakan ralat, bila hal ini didiamkan dapat menyesatkan orang lain, disamping seorang ulama dapat tergelincir karena tuntutan pribadi yaitu ingin jadi ”Waliyullah” dengan membuat ajaran baru diluar garis islam, tuntutan lainnya karena jabatan, tidak berani berfatwa sesuai dengan kebenaran karena posisinya ibarat duduk di ujugn tanduk, lalu keluarlah fatwa sesuai dengan kehendak dan kemauan selera penguasa. Rasulullah telah memberikan peringatan kepada ummatnya sebagaimana hadits ini, ”Jangan kamu duduk disisi setiap alim [orang pintar] kecuali orang alim yang mengajak kamu dari yang lima kepada yang lima; dari keraguan kepada yakin, dari riya’ kepada ikhlas, dari tamak kepada sederhana, dari sombong kepada tawadhu dan dari permusuhan kepada kejujuran”.

Tegasnya dari hadits tersebut jangan diikuti ulama yang mengajak kepad keraguan, kepada riya’, kepada tamak, kepada sombong dan kepada permusuhan, karena hal itu bertentangan dengan ruh islam. Tulisan ini bukan mengecilkan arti ulama atau merendahkan martabatnya tapi sebagai kewaspadaan, bagi ulama sendiri maupun masyarakat agar tercipta tatanan masyarakat apik diayomi ulama pewaris para nabi bukan ulama jahat yang menyeret ke neraka, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 19052000].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar