Jumat, 20 April 2012

Arogansi Kekuasaan Timbulkan Bencana


Oleh Drs. Mukhlis Denros
Kita sering tidak habis fikir, bencana demi bencana terus mendera negeri ini. Dari ujung Barat sampai ujung Timur, sepertinya siang dan malam kita tak pernah sepi dari bencana. Setelah diguncang bencana alam dimana-mana, kini kita diguncang kesulitan lain dengan melambungnya harga-harga. Dimana-mana orang menjerit, hingga nyaris tidak punya suara. Mereka akhirnya menyadari bahwa semua harga memang harus naik, yang turun adalah harga diri kita sebagai bangsa.

Krisis multi dimensi negeri ini semakin hari semakin parah. Musibah justru bermunculan bak jamur dimusim hujan. Membuat daftar kesengsaraan bangsa ini semakin bertambah panjang. Negeri ini tidak kekurangan pakar. Para ilmuan dari berbagai bidang ilmu sudah mencoba mengamati dari berbagai sudut. Pakar politik berfikir bahwa bencana negeri ini berawal dari politik kotor. Para ekonom menyoroti dari sisi banyaknya utang yang membebani dan manajemen yang payah.

Semua pengamatan di atas adalah pengamatan yang bersifat fisik. Sesuatu yang tampak pada lahiriah, tetapi hal-hal batiniyah, ukhrawiyah, ghaib justru mendapat perhatian lebih. Sering kali pandangan manusia hanya melulu kepada hitungan matematis di atas kertas. Padaha lada unsur ruh dalam diri manusia yang sebenarnya malah memegang kendali kehidupannya.

Banjir bandang yang menenggelamkan negeri ini misalnya lebih banyak disebabkan oleh penggundulan hutan dan bermunculannya real estate di tempat serapan air. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, kalau tidak ada kemaksiatan yang dilakukan. Mulai dari rakusnya para pemegang izin penebangan hutan atau pencurian kayu. Sampai izin mendirikan bangunan yang terpaksa keluar karena uang haram, yang sebenarnya tidak boleh didirikan di tanah resapan air.

Ketika bencana air hadir kita hanya berkata, ”Ah, itukan gejala alam, bisa diselesaikan dengan teknologi yang kita buat, bisa diatasi dengan membuat ini dan itu” tanpa kita melihatnya dari sudut pandang religius.

Pernah terjadi gempa di zaman Thabi’in [generasi sesudah masa sahabat Rasulullah], Anas bin Malik bertanya kepada isteri Nabi, Aisyah, ”Wahai ummul mukminin, mengapa sampai ada gempa?”. Aisyah menjawab, ”Jika pelacuran sudah dianggap legal, minuman keras sudah merajalela dan masyarakat kita sudh gila dengan musik, maka gempa itu sebagai nasehat an rahmat untuk orang-orang berimanh, tetapi juga sebagai azab dan murka atas orang-orang yang kafir, fasik dan zhalim”.


Maka ketika bencana datang yang harus cepat dilakukan adalah bertanya kepada diri sendiri yang harus dijawab dengan jujur, kemaksiatan apa yang telah dilakukan oleh kita yang bernaung di daerah ini, kejahatan politik apa yang kita lakukan terhadap rakyat, uang haram apa yang sudah kita nikmati, siapa orang yang sudah kita zhalimi, rakyat mana yang tidak diperhatikan kebutuhan hidupnya, arogansi apa yang kita munculkan dikala kita berkuasa.

Sebuah ungkapan mengatakan, dikala seseorang punya jabatan yang paling rendah, dia hanya mampu berkata, ”Apa makan kita sekarang?”, sudah bisa memilih lauk pauk dan pangan untuk setiap makan, statusnya mulai diperhitungkan orang dengan posisi dan fasilitas yang dimiliki, diapun bertanya lain, ”Makan dimana kita sekarang ?”, tidak puas hanya menikmati masakan isteri tersayang, tapi rumah makan dan restoran silih berganti jadi langganannya, dia sudah bisa memilih rumah makan model apa yang harus dikunjungi untuk pejabat seperti dia.

Bukan itu saja, saat posisi itu betul-betul kuat, titelnya membuat orang takut, jabatannya membuat orang salud, diapun bertindah sewenang-wenang dengan mengatakan, ”Makan siapa kita sekarang?”, tidak masalah walaupun rakyat kecil yang didera oleh kesusahan dan kepedihan hidup jadi sasaran tembaknya. Itulah gambarannya arogansi kekuasaan yang tidak dikendalikan oleh iman, bangsa sendiri dimakan, bila perlu anak kemenakan sendiri ditelan demi kekuasaan, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 08082003].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar