Selasa, 17 April 2012

Memahami Kehidupan di Dunia

Drs. St. Mukhlis Denros

Dalam surat Al An’am; 32 Allah berifirman, “Dan tidaklah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akherat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa, maka tidakkah kamu memahaminya”

Memang kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sementara apabila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang abadi. Namun demikian dengan keras diingatkan agar kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan alasan untuk hidup dengan laku penuh penyesalan, jangan dijadikan penantian dengan mental yang senantiasa was-was dan was-was. Sama sekali tidak dibenarkan untuk mengartikan sebuah ungkapan bahwa ”dunia ini adalah bangkai dan barangsiapa yang berlaku asyik dengannya sama dengan anjing” dengan pengertian yang harfiah.

Allah memperingatkan, ”Carilah pada ada yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk kehidupan abadi kampung akhirat namun janganlah sekali-kali kamu melalaikan bahagianmu dari kenikmatan di dunia ini” [Al Qashash:77]. Secara awam ayat ini dapat diartikan:

a. Allah telah berkenan memberi anugerah yang banyak. Nah terimalah dan nikmatilah anugerah itu dengan pengertian janganlah lupa diri bahwa kita bakal mati.

b. Kehidupan yang lebih baik dan kekal adalah kehidupan di akherat. Berbuatlah untuk mencapai akhirat itu dengan penuh kesungguhan, namun tidak berarti manusia harus membelakangi kenyataan hidup di dunia ini.

Selama hidup di dunia manusia diharapkan dapat memanfaatkan waktunya untuk beramal atau beribadah kepada Allah dalam pengertian luas yaitu segala aktivitas kehidupan yang dilakukan dengan tidak melanggar ajaran Allah, sedangkan ibadah secara sempit terangkum dalam rukun islam. Amaliah ibadah yang dilakukan manusia di dunia ini bukan untuk Allah tetapi untuk kepentingan manusia. Seperti harta yang dimiliki manusia harus berfungsi sosial, yaitu untuk manusia lain yang lansung dapat dipetik dari harta yang diberikan sedangkan perbuatan ini diberi imbalan pahala sebagai amaliah ibadah.

Harta bukanlah harus menjadi tujuan pokok tetapi semata-mata harus dijadikan sebagai alat untuk memperturutkan kepentingan dan memenuhi kebutuhan. Barangsiapa yang menggunakan harta itu sebagai jalan yang diuraikan ini, maka adanya harta ditengahnya itu pasti akan membawa kebaikan untuk dirinya sendiri dan untuk masyarakat seluruhnya. Tetapi barangsiapa yang menggunakannya sebagai suatu tujuan, sebagai suatu kelezatan yang diimpi-impikan, maka fungsi harta itu telah beralih menjadi suatu syahwat yang menyebabkan pemiliknya akan mendapatkan kerusakan dan kebinasaan. Selain itu akan menyebabkan pula kehancuran bagi masyarakat dan membuka pintu kebinasaan bagi seluruh manusia.

Islam tidak membenarkan apabila harta itu hanya berputaran dalam satu kelompok kecil yang terbatas di kalangan masyarakat, sebab hal ini pasti akan menimbulkan bencana, kerusakan dan pemerasan tenaga manusia. Di dalam keharusan memberikan bagian dari harta rampasan kepada kaum fakir miskin. Allah menjelaskan, ”Agar harta itu tidak hanya menjadi perputaran antara golongan kaya-kaya diantara kamu saja” [Al Hasyr 59;7]

Itu satu contoh bahwa apa yang ada pada orang yang beriman dapat mendatangkan amal yang berarti mendapat ridha Allah sebagai imbalannya, karena amal tanpa landasan dari Allah mendatangkan kesia-siaan. Tujuan akhir dari seluruh ibadah yang dilakukan oleh seorang beriman haruslah untuk mencari keridhaan Allah. Ha ini ditegaskan-Nya dalam beberapa ayat dari Al Qur’an antara lain;
- Al Baqarah 2;273
”Dan tidak boleh kamu menafkahkan sesuatu melainkan untuk mencari keridhaan Allah”

- Al Hadid; 27
”Kami tidak mewajibkan itu atas mereka, melainkan untuk mencari keridhaan Allah”

Ayat-ayat tersebut diatas tegas sekali menyatakan bahwa ibadah-ibadah itu dilakukan haruslah untuk mencari keridhaan Allah. Kenapa kita mencari keridhaan Allah ? karena seperti telah difirmankan Allah dalam hadits qudsi-Nya, bahwa apabila Allah telah mencintai/meridhai seseorang maka seluruh sikap, gerak-gerik, tingkah laku dan amal perbuatan orang itu akan dibimbing Allah. Semua permintaannya akan dipenuhi Allah dan semua do’anya akan dikabulkan Allah.

Dapat kita umpamakan yaitu seorang anak agar dicintai orangtuanya lalu apa yang dimintanya terkabul maka dia harus patuh dengan melakukan perbuatan yang dicintai orangtuanya. Ini hanya sebagai umpama karena Allah tidak akan turun derajat-Nya dengan kafirnya manusia dan kehebatan Allah tidak akan naik dengan berimannya manusia sejagat ini, keberadaan Allah tanpa dapat digoyahkan oleh siapapun, ibadah yang dilakukan manusia adalah usahanya agar dapat dicintai Allah lalu termasuk dalam lingkaran ridha Allah.

Di dalam Al Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyatakan bahwa kecintaan dan keridhaan Allah itu hanyalah dapat dicapai dengan berbuat baik, bertaqwa dan beramal shaleh, dalam surat Al Baqarah ayat 195 Allah berfirman ”Dan hendaklah kamu berbuat baik, sesungghnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”, demikian pula dalam surat Ali Imran ayat 76, ”Barangsiapa yang menyempurnakan janjinya dan bertaqwa maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa”.

Ayat-ayat tersebut diatas tegas sekali menyatakan bahwa kecintaan/ keridhaan Allah hanyalah dapat dicapai dengan berbuat baik, taqwa dan beramal shaleh atau dengan kata lain dengan ibadah. Keridhaan Allah selain didapati di dunia dalam bentuk karunia dan kesenangan yang diberikan juga diberikan di akherat kelak sebagai balasan atas amal ibadah yang telah dilakukan sesuai dengan besar kecilnya amal ibadah yang dilakukan. [Buletin Da’wah Al Furqan Solok nomor 177/ Juni 1997].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar