Jumat, 20 April 2012

Tiga Hal Yang Mencelakakan


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Di dunia ini ada dua jalan yang terbentang yang diikuti oleh manusia, beruntunglah orang yang melalui jalan yang benar dengan tunttunan wahyu dari Allah dan rugilah orang yang menelusuri jalan yang salah dibawah komando syaithan. Jalan yang benar dibekali Allah dua pedoman yang harus diikuti kalau tidak mau tergelincir ke jurang kesusahan dan kecelakaan. Ingatlah kita semua kepada hadits Rasulullah dalam penutupan khutbatul wada’ antara lain; ”Aku wariskan kepada kamu dua perkata, jika kamu berpegang kepada keduanya, kamu tidak akan tersesat selamanya yaitu Kitabullah wa Sunnatu Nabiyih”.

Demikianlah kata Rasulullah sebagai pencakup risalah beliau selama dua puluh tiga tahun itu. Yang satu bernama Kitabullah yaitu Al Qur’anul Karim dan yang kedua Sunnah Rasulullah sebagai petunjuk untuk memahami Kitabullah itu. Dalam sejarah, kita menyaksikan sendiri, ummat islam sekalipun menghadapi bermacam-macam cobaan, dan terkadang sampai bercerai berai, tetapi ada seruan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang memanggil mereka kembali ke jalan yang benar. Demikian dahulu, begitu sekarang dan demikian pula masa yang akan datang.

Salah satu peringatan Rasulullah dalam haditsnya kepada ummat Islam yaitu tentang adanya tiga hal yang dapat membatalkan amal kebaikan, walaupun amal tersebut banyak jumlahnya tidak akan berarti bila melakukan tindakan ini, Rasulullah telah bersabda, ”Ada tiga hal yang dapat membatalkan amal kebaikan yaitu; menyekutukan Allah, menyakiti kedua orangtua dan lari dari medan perang” [HR. Thabrani].

Pertama, menyekutukan Allah; bila hal ini terjadi maka rusaklah amalannya, apalagi menyekutukan Allah dengan jalan lansung, melalui perantara berhala atau beramal bukan karena Allah tapi mengharapkan sebutan dari orang lain juga termasuk kepada syirik, firman Allah dalam surat An Nisa’ 4;48 dalam ayat ini tergambar bahwa Allah tidak akan mengampuni seorang hamba yang bertemu dengan-Nya di akherat dalam keadaan menyekutukannya. Adapun dosa-dosa yang selain dari dosa syirik ini ataupun maksiat-maksiat lain, itu semua atas jaminan Allah semata. Kalau Dia memberikan ampunan maka selamatlah hamba itu dan kalau Dia menghendaki siksa maka disiksalah [14;35].

Nabi Ibrahim berdo’a kepada Tuhannya supaya dia dan anak cucunya dijauhkan dari kesibukan terhadap apa saja yang dapat memalingkan beribadat kepada selain Allah, karena dia [Ibrahim] tahu bahwa amal perbuatan bagaimanapun baiknya kalau ditujukan kepada selain Allah, maka amal itu masuk di dalam kategori penyembahan berhala, Nabi bersabda, ”Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang palign kecil”, ketika Nabi Saw ditanya, ”Apa itu ?” nabi bersabda, ”Riya” [HR. Ahmad].

Maka barangsiapa yang beramal atau berbuat sesuatu untuk mendapat pujian manusia atau supaya populer maka lenyaplah nilai pahalanya itu. Syirik pusaka lama sudah kita contohkan, dan banyak sisanya kita lihat. Tetapi ada lagi syirik zaman modern yang sangat berbahaya kepada kemanusiaan, kepada perdamaian dan kerukunan hidup, menserikatkan Allah dengan tanah air, bekerja keras karena membela tanah air. Tanah air dinyanyikan, dipuja dijunjung tinggi ”Ibu Pertiwi”, ”Persadaku yang tercinta”, ”Tanah air yang paling indah di dunia ini adalah tanah airku ”, ”Bangsa yang tinggi adalah bangsaku”. Dia senantiasa dalam kebenaran, walaupun salah kata orang lain [Hamka, Pelajaran Agama Islam].

Bila ummat Islam menyekutukan Allah dengan jenis apapun dan apapun maka seluruh amalnya akan hilang atas perbuatan yang dilakukan, karena pengabdian dan aktivitas apapun yang dikerjakan harus ikhlas dengan mengharapkan hanya ridha Allah.

Kedua, menyakiti orangtua; jasa orangtua tidaklah terbalas karena dengan perantaraan dialah manusia ditaqdirkan Allah untuk lahir ke dunia, dibesarkan dengan kasih sayang sebagaimana pengakuannya, ”Kusuapi engkau dikala kecil dan kujamin engkau dikala besar, engkau kuberi minum dari hasilku. Jika malam engkau sakit, aku tidak dapat tidur karena sakitmu, aku tetap berjaga sepanjang malam. Seolah-olah aku sendiri yang terkena sakit bukan dirimu. Engkau terkena sakit, bukannya aku, tetapi airmataku berlinang, diriku takut engkau mati. Padahal aku mengerti bahwa mati itu adalah ajal yang telah ditentukan. Tetapi tatkala engkau telah cukup berumur dan dewasa yaitu sampai usia engkau menjadi harapanku. Engkau balas daku dengan kekasaran dan keras hati. Seolah-olah engkaulah yang berjasa dan aku berhutang budi kepadamu.” [Ahmad Isya Ashur, Kewajiban dan hak ibu, ayah dan anak, 1998].

Menghormati dan berbuat baik kepada orangtua bukanlah permintaan mereka tapi ajaran Allah yang harus diikuti dan sebaliknya menyakiti mereka berarti mengundang kemurkaan Allah [Al Isra’ 17;23]. Kategori menyakiti orangtua atau durhaka kepadanya ada dua bagian yaitu;

1. Kejahatan atau kedurhakaan yang lansung diperbuat terhadap orangtua yakni segala perbuatan, sikap dan ucapan yang dilarang Islam yang lansung ditujukan kepada orangtua, dan juga termasuk segala tingkah laku perbuatan dan ucapan dan sikap yang menurut adat istiadat dipandang jelek yang ditujukan kepada kedua orangtua. Walaupun laku dan sifat itu tidak seberapa menurut ukuran adat setempat, tetapi bila telah dilarang Islam, seperti mengerutkan kening kepada orangtua misalnya, ini juga termasuk laku durhaka.

2. Kedurhakaan dan kejahatan yang tidak lansung dilakukan di hadapan orangtua. Dalam hal ini adalah segala laku perbuatan dan tingkah laku anak dalam kejahatan yang akibat buruknya ikut ditanggung orangtuanya. Jelas perbuatan anak yang merugikan nama baik dan merusak kewibawaan orangtuanya dan asal keturunannya, seperti anak mencuri dan nakal di luar lingkungan keluarga atau memalukan orangtuanya. Ini juga termasuk anak yang durhaka kepada orangtuanya. Bila anak manusia menyakiti hati orangtuanya, baik lansung atau tidak maka cap durhaka lekat padanya lalu amal kebaikannya akan batal sebelum orangtuanya memaafkan.

Ketiga, lari dari perang; orang yang mati dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah dijuluki dengan syuhada’ yaitu mati syahid, kematian ini memiliki derajat yang tinggi bila berjuang demi mengharapkan ridha Allah bahkan Allah mengabarkan bahwa mereka tidaklah mati tapi tetap hidup dengan nikmat yang berlimpah [3;169-170]

Ibnu Atair [seorang ahli bahasa terkenal] telah menerangkan dalam An Niyahahnya, ”Al jihad ialah memerangi orang kafir dengan bersungguh-sungguh menghabiskan daya tenaga dalam menghadapi mereka baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dalam hadits Nabi diatas jihad yang dikehendaki adalah berperang sebagai pasukan di medan pertempuran. Walaupun Allah telah menjanjikan kenikmatan syurga bagi mereka yang gugur di jalan Allah, tapi ada orang yang lari dan mundur ke belakang dari peperangan. Bila hal ini terjadi maka segala kebaikan yang dilakukannya selama ini hilang lenyap tak berbekas, maka kerugianlah yang akan dijumpai baik di dunia maupun di akherat.

Peringatan Rasulullah dalam hadits beliau ini menjaga agar ummat Islam tetap konsisten, konsekwen dan istiqamah dalam keimanan, dalam amaliah ibadah supaya iman dan amal ibadah yang dilakukan berbuah manis walaupun mengumpulkannya terasa pahit, wallahu a’lam. [Harian Mimbar Minang Padang, 03112000].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar