Selasa, 17 April 2012

Profil Kepemimpinan Nabi Muhammad


Drs. St. Mukhlis Denros
“Sesungguhnya telah ada dalam pribadi Rasulullah itu contoh teladan yang baik bagimu” [QS Al Ahzab;21]

Bulan Rabi’ul Awal merupakan momen yang tepat untuk membicarakan sekilas kehidupan Rasulullah, karena bertepatan dengan hari kelahirannya. Nabi Muhammad bagi seorang muslim merupakan uswah yaitu sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai qudwah yaitu pimpinan dalam menuju kehidupan yang hasanah di dunia dan hasanah di akherat. Tidak ada pribadi yang lebih agung selain beliau dan memang dialah orang pilihan Allah sebagai pimpinan ummat ini hingga akhir zaman sebagaimana firman Allah dalam surat Saba’ ayat 28, “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan…”.

Untuk membicarakan profil kepemimpinan beliau dalam halaman yang sangat terbatas ini suatu hal mustahil karena komplek dan saratnya dengan gaya kepemimpinan seorang bernama Muhammad, namun sekilas dan pada sisi tertentu kita mengungkapkan kembali.

Sebelum beliau hadir di tengah ummat yang dipimpinnya, dahulu ketika masih muda remaja, Muhammad diamanatkan untuk menggembalakan beberapa ekor domba, dari usahanya itu dia memperoleh upah untuk memenuhi kehidupan sehari-hari walaupun dia tinggal bersama pamannya Abu Thalib, ini suatu gambaran walaupun Muhammad hidup bersama dengan pamannya, tapi dia tidak sekedar numpang disana, ada usaha yang dia lakukan, ada cucuran keringatnya untuk dinikmati, artinya seorang pemimpin tidak diharapkan menadahkan tangan mengharapkan sesuatu dari orang lain.

Disela-sela kesibukannya menggembalakan domba, terbetiklah dihatinya untuk menyaksikan sebuah pesta jahiliyah yang penuh dengan maksiat, dia titipkan dombanya kepada teman yang lain, maka diapun berangkat menuju lokasi, sesampai disana, sebelum acara digelar, Allah menidurkannya hingga pulas, sampai pagi hari baru terbangun sehingga dia tidak tahu adegan apa yang tampil di gelanggang ketika itu, dua sampai tiga kali keinginannya untuk menyaksikan pesta maksiat jahiliyah tapi tidak juga terlaksana karena Allah menidurkannya. Sehingga beliau mengharamkan untuk menyaksikan acara tersebut hingga akhir hayatnya, artinya seorang pemimpin harus bersih pandangannya dari tayangan-tayangan maksiat, dengan bersihnya pandangan maka hatipun akan bersih sehingga perjuangan yang akan dia gerakkan jauh dari unsur-unsur yang rusak.

Dimasa awal kerasulan beliau, Muhammad sering berada di gua Hira memikirkan kerusakan dan kehancuran ummat ketika itu, dia ingin menemukan jalan yang pas untuk memperbaiki sikap dan watak jahiliyah, akhirnya dalam waktu dua puluh tiga tahun lebih kurang dia mampu mengembalikan ummat jahiliyah ke alam yang penuh dengan nur islam. Sebagai pemimpin yang dia fikirkan ialah bagaimana rakyat bisa baik akhlak dan kepribadiannya, jauh sekali Muhammad memikirkan kepentingan keluarga dan pribadinya. Suatu ketika saat ummat Islam mampu menaklukkan suatu negeri, banyak ghanimah [harta rampasan perang] yang diperoleh, semua ghanimah itu selesai dia bagikan untuk kaum muslimin yang memerlukan, sedangkan anaknya, Fatimah ketika itu sangat membutuhkan seorang pembantu mengerjakan pekerjaan rumah, dengan pinta yang penuh pilu Fatimah mengajukan permohonannya, tapi Rasulullah menjawab bahwa semua telah dibagikan, tidak ada lagi untuk kita.

Diwaktu terjadi banjir, Hajar Aswad yang ada di Ka’bah jatuh dari tempatnya, semua kabilah beranggapan merekalah yang berhak meletakkan batu hitam itu, hampir terjadi pertempuran, maka datanglah Muhammad yang ketika itu masih muda sekali untuk menyelesaikannya, sehingga detik itu juga beliau dapat julukan Al Amin artinya orang yang dapat dipercaya.

Dari kisah diatas dapat ditarik pelajaran bahwa Rasulullah sebagai calon pemimpin siap bergaul dengan masyarakat, ikut terlibat dengan kegiatan ummat, dia tidak hidup dengan sikap individualis, keterlibatan Rasulpun terlihat ketika beliau ikut mendirikan masjid Quba dan Masjid Nabawi di Madinah, beliau ikut memanggul batu, ikut bergelimang debu bersama sahabatnya. Walaupun dia seorang pimpinan tapi tidak mau diistimewakan oleh rakyatnya, hal ini terlihat ketika dalam suatu perjalanan bersama sahabatnya, saat beristirahat seluruh sahabat bekerja menyiapkan makanan, ada yang mencari kayu bakar, ada yang menghidupkan api, ada yang memasak, maka Rasululah ikut mencari kayu bakar, sebagian sahabat berkata, “Ya Rasulullah, biarlah kami saja yang bekerja, tuan duduk sajalah, sebab tenaga kami sudah cukup untuk menyiapkan makanan”, lalu beliau berkata, “Aku tidak suka dengan kalian yang mengistimewakan aku”.

Ini pribadi agung, yang jarang sekali ditemukan dizaman sekarang, dan ini bukan basa-basi karena beliau seorang pemimpin tapi juga seorang pribadi agung yang bernama Muhammad. Begitu pula isteri beliau yang telah dikader dengan pengkadean yang cukup matang, siap mengorbankan harta yang dimilikinya demi tegaknya Islam yaitu ibunda Khadijah. Seorang isteri pemimpin ummat, tidak silau dengan kemewahan bahkan mengorbankan hartanya untuk perjuangan.

Suatu hari Rasulullahmelihat Khadijah sedang menangis disebuah kamar, maka Rasulullah mendatanginya dan berdialoq, ”Hai Khadijah, apakah engkau menangis karena hartamu habis aku pakai untuk menegakkan kalimat Allah, sehingga kesedihanmu demikian memuncak?” maka spontan Khadijah menjawab, ”Ya Rasulullah, hartaku habis karena perjuangan menegakkan Islam tidak masalah bagiku, Cuma yang aku sedihkan tidak ada lagi yang harus aku serahkan di jalan Allah, ya Rasulullah seandainya engkau memerlukan aku nanti dikala aku telah wafat untuk menyebarkan da’wah ini maka tolonglah engkau bongkar kuburku, lalu sambung-sambungkanlah tulangku sebagai jembatan bagimu”.

Demikian pula isteri-isteri yang lainnya, bahkan dalam sejarah dikabarkan seringkali dapur beliau tidak berasap karena kesederhanaannya. Ini artinya Rasulullah turut menderita atas penderitaan yang dirasakan oleh ummatnya, bahkan beliaulah orang yang pertama kali merasakan penderitaan itu.

Ketika ajal hampir datang, Rasul tidak mampu lagi memimpin shalat sehingga diserahkan kepada Abu Bakar, ini sebagai simbul bahwa kelak Abu Bakar yang akan memimpin ummat ini. Dengan berat hati Abu Bakar memimpin shalat berjamaah saat Rasulullah dalam keadaan sakit. Suatu ajaran kepada kita, bila sebagai pimpinan, pimpinan apa saja, bila sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugas, lebih banyak uzurnya dari pada hadirnya maka serahkanlah tugas itu kepada kader yang telah dipersiapkan, jangan dipaksakan, apalagi kita sebagai pimpinan sudah tidak disenangi lagi oleh bawahan, berikanlah kepada orang lain.

Ini sekelumit pola kepemimpinan Rasululah yang dicantumkan sejarah, semoga dengan memperingati hari kelahirannya itu, pola kepemimpinan beliau dapat menjadi ibrah/ pelajaran bagi kita semua, wallahu a’lam [Buletin Da’wah Al Furqan Kota Solok, nomor 132/ juli 1996].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar