Sabtu, 21 April 2012

Citra Sebuah Masjid


Oleh Drs. Mukhlis Denros

Kita semua pasti tahu apa yang dimaksud dengan mesjid yaitu tempat ibadah ummat Islam yang awal pendiriannya dalam sejarah di daerah Quba. Ketika Rasulullah melaksanakan hijrah setelah selama tiga belas tahun mengkader ummat dengan tersistim. Di Indonesia bangunan ini tidak asing lagi karena memang mayoritas ummat Islam di negara ini apalagi di Kabupaten Solok, tidak sulit kita menemukan masjid bahkan desa tersedia sarana ibadah ini, selain itu juga banyak kita temui mushalla selainnya fungsinya untuk shalat juga menuntut ilmu.

Ummat Islam tidak sulit mengumpulkan dana untuk pembangunan sebuah masjid, bahkan ada sebuah masjid didirikan dari kantong pribadi seorang saja, seperti Mesjid Sulit Air dan Mesjid Jamaludin Tamban Batu Tupang Koto Baru. Motivasi ini berangkat dari hadits Rasululah yang menyatakan, “Barangsiapa yang membangun sebuah masjid di dunia maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di syurga”.

Ketika bangunan masjid dibiayai sendiri oleh seorang dermawan, cepat sekali selesainya sehingga masyarakat tinggal pakai saja lagi, tidak sibuk membuat kepanitiaan, mengangkat batu dan bata, tidak ada goro disini selain diajak untuk ramai-ramai memakmurkannya. Tetapi psikologisnya masyarakat tidak merasa memiliki, tidak terpanggil untuk memakmurkan apalagi memeliharanya. Banyak contoh kita lihar, bagaimana masjid yang didirikan oleh Yayasan Muslimin Pancasila di masa Orde Baru, sedikit sekali orang yang mau memasukinya sehingga terkesan lengang, kumuh dan mati dari aktivitas. Atau masjid di Casablanca Marokko yang didirikan oleh Raja Hasan II, tinggi menaranya sama dengan tinggi menara Eifil di Perancis, malam hari dari menara tersebut terpancar sinar laser langsung ke Ka’bah. Udara panas datang, seketika lotengnya akan terbuka secara otomatis mengundang hawa sejuk, bila kita shalat di tingkat tiga seolah-olah shalat dihamparan lautan, karena memang di depannya terdapat lautan luas membentang.

Tapi masjid ini kosong dari kegiatan, hanya sebatas monumen untuk mengenang ayahanda Raja Hasan II. Itulah sebabnya sejak awal Buya Natsir menyatakan,”Jadikanlah masjid itu mengakar ke bumi dan jangan tergantung ke langit”. Maknanya apapun yang diperoleh dari hadiah dan berupa pemberian, bukan hasil perasan keringat dan tetesan darah, mudah sekali hilangnya.

Lain halnya bila barang itu hasil cucuran peluh dan bantingan tulang akan dipelihara dengan baik oleh pemiliknya. Lihatlah bagaimana semangat masyarakat mencari dana untuk pembangunan masjid, sejak dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor bahkan siap temput di pinggir jalan menghadang kendaraan yang lewat tanpa mempedulikan keselamatan dan kemacetan jalan raya.

Secara umum memang benar, bila masjid di bangun dengan dana bersama, bergotongroyong lama sekali selesainya, bahkan tidak ada ceritanya pembangunan masjid selesai, sudah dikeramik semuanya, yang terfikir berikutnya menara, setelah menara, ruang parkir lalu perombakan kamar mandi, ruang pustaa, keinginan untuk ditingkatkan sehingga ummat ini disibukkan oleh pembangunan. Tapi yang dimaksud dengan pembangunan masjid itu bukanlah yang fisik saja, bagaimana MDA, Risma, Majelis Ta’lim, Pengkaderan Mubaligh seharusnya juga diselaraskan dengan pembangunan menara yang sedang terbengkalai.

Ironinya panitia pembangunan dan pengurus masjid tidak pernah tampak shalat di masjid yang mereka usahakan sendiri, dimana shalat subuhnya, kapan zhuhur dan bila maghribnya. Kita tidak menuduh kalau panitia pembangunan dan pengurus masjid itu tidak shalat, tapi demikian fenomena yang tampak di tengah masyarakat. Bahkan kalau saja seluruh pengurus masjid minimal shalat subuh dan maghrib mereka datang untuk shalat jamaah sudah dapat menjamin ramai dan makmurnya masjid tersebut. Demikian pula halnya andaikata para ustadz , guru agama, pegawai Departemen Agama yang tinggal dekat masjid saja shalat berjamaah, maka sudah ramai masjid tersebut.

Tapi jarang sekali pengurus masjid bahkan para ustadz walaupun rumahnya dekat masjid, mereka tidak ditemukan shalat berjamaah, baik pada waktu maghrib apalagi waktu subuh, tentu saja tidak ada juga pada waktu shalat yang lain.

Ironisnya pengurus mesjid tersebut berpantang datang ke mesjid dalam kegiatan apa saja, apalagi shalat berjamaah bila dia tidak terlibat dalam kepengurusan lagi, kecuali ketika hari kurban dan pembagian zakat fitrah di bulan Ramadhan.

Kembali ke surau atau ke masjid hanyalah sebuah wacana bagaimana anak nagari kembali mengamalkan islam dan meramaikan mushalla dengan berbagai kegiatan, tapi setelah berada di surau mereka bingung, mau apa dan harus bagaimana, sebab kehadiran sebuah surau perlu adanya seorang guru minimal, yaitu ustadz yang dapat membimbing dan mengarahkan mereka, mana mungkin seorang ustadz akan datang walaupun diundang bila amplop yang disediakan tidak memadai dibandingkan dengan masjid lain yang lebih ”basah”, sehingga citra mubalighpun untuk masa sekarang dipertanyakan sehingga julukan ustadz amplop, ustadz lilin, ustadz bisnis sudah melekat pada setiap mubaligh yang berda’wah dengan motivasi dunia.

Seorang teman saya karena ikut sebagai kandidat calon wali kota pada sebuah kota di Sumatera Barat ini, dia seorang da’i, waktunya habis untuk berda’wah, shalat berjamaah senantiasa dilakukan, shalat dhuha dan tahajud memang menjadi programnya tiap minggu, tilawatil qur’an wajib dia baca setengah juz setiap hari, puas minimal 3 hari dalam setiap bulan, serta wirid dan aktivitas ibadah lain, sarat dipenuhi oleh kesibukannya, dia punya cita-cita bila terpilih nanti sebagai wakil wali kota, maka shalat subuh akan dipergilirkan pada setiap masjid dan mushalla di Rt dan kecamatan pada kota tersebut, Alhamdulllah rupanya anggota dewan tidak memilihnya sebagai wali kota karena memang masih banyak dari anggota dewan yang jangankan shalat berjamaah di masjid . masih banyak yang tidak shalat , tidak percaya, silahkan cek ke kantor rakyat itu di Kabupaten atau kota manapun di Indonesia ini keadaannya hampir sama.


Masjid dikatakan makmur bukan terlihat dari tinggi menara, lantai dan dinding keramik yang mengkilat, loteng dengan rancangan gipsun tingkat lima, luasnya dapat menampung ribuan jamaah, halamannya untuk parkir mobil mewah atau aksesoris lainnya, bukan berarti tidak boleh kita punya masjid begitu. Demikian pula orang yang datang ke mesjid tadi tidak dilihat tidak dilihat dari atribut pangkat dan jabatannya, gelar dan sebutan apapun tidaklah jaminan mereka itu disebut pemakmur masjid. Bukan tidak boleh seorang Bupati, Ketua dan Anggota DPRD, Kapolres, Dandim, Kepala Dinas, Kepala Bagian, Asisten ataupun apalah jabatannya memasuki masjid.

Allah menjelaskan krieria orang yang dimasukkan dalam pemakmur masjid yang dapat membawa dampak positif pada citra sebuah masjid, surat At Taubah ayat 18 menyatakan;

”Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Membangun sebuah masjid memang sulit, yang lebih sulit dari itu adalah menjaga dan memakmurkannya. Tetapi bila membangun saja kita yang bisa tanpa diiringi dengan mengisi dan memakmurkannya maka perbuatan ini dapat disebut mubazir, ingat orang yang mubazir itu teman dekatnya adalah syaitan.

Bila tidak mau disebutkan teman syaitan maka ayo kita ramaikan masjid dengan shalat berjamaah, pengajian dan majelis ta’lim, mabit, i’tikaf atau kegiatan positif lainnya, wallahu a’lam [Harian Mimbar Minang Padang, 10102003].

Penulis Drs. St. Mukhlis Denros
Ketua Yayasan Garda Anak Nagari Sumatera Barat
Anggota DPRD Kab. Solok 1999-2009
Hak Cipta Dilindungi Allah Subhanahu Wata’ala
Tidak Dilarang Keras Mengkopi dan Menyebarkan Materi ini
dengan menyebutkan sumbernya; http://mukhlisdenros,blogspot.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar