Jumat, 20 April 2012

Cinta Hamba Kepada Khaliqnya


Drs. St. Mukhlis Denros
Suatu ketika Rasulullah meramalkan bahwa ummat islam akan dikeroyok oleh ummat lain jusru dikala ummat islam berjumlah besar, disebabkan diserang oleh suatu penyakit yang disebut dengan ”Wahnun” yaitu penyakit ummat ”Hubbuddunya wakarahiyatul maut” yaitu tarlalu cinta kepada dunia dan terlalu takut dengan kematian.

Isi dunia ini dilengkapi tiga perhiasan yaitu harta dengan berbagai bentuknya, tahta dengan berbagai jenis dan jenjangnya dan wanita dari berbagai tipe dan kepeningannya. Jangankan ketiga hal di atas sedangkan salah satu dari tiga dimiliki manusia lalu dia dikuasai oleh yang dimilikinya itu, dalam arti kata dia terlalu cinta pasti dikuasai oleh yang dimilikinya itu lalu takut berpisah dengan apa yang dicintai tersebut apalagi kematian datang menghampiri tentu tidak dia harapkan, ”Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allahlah tempat kembali yang baik [syurga]” [Ali Imran 3;14[.

Bukan berarti ummat islam tidak boleh mencintai isi dunia, silahkan selama kecintaan tadi didasari cinta kepada Allah, sebagaimana kupasan Imam Al Gazali berikut ini dalam buku ”Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin”;

Kecintaan hakiki yang didasarkan karena Allah ialah apabila seseorang itu tidaklah mencintai orang lain karena pribadi [zat] nya orang itu, tetapi semata-mata karena mengingat keuntungan yang akan diperoleh untuk keakheratan dari sahabatnya iu. Misalnya seseorang yang mencintai gurunya, sebab dengan guru itu ia dapat memperoleh perantara guru menghasilkan ilmu pengetahuan dan amalan yang dilakukan itu hanyalah untuk keakheratan belaka untuk mencari keridhaan Allah.

Seorang yang mencintai muridnya, sebab pada muridnya itulah ia dapat mencurahkan isi pengetahuannya dan dengan perantara murid itu pula ia dapat memperoleh derajat atau tingkat sebagai pengajar atau guru, guru yang semacam inilah yang juga disebut mencintai orang lain untuk mencari keridhaan Allah.

Seseorang yang suka menyedekahkan hartanya karena Allah bukan karena pamer atau riya’, suka mengumpulkan tamu-tamunya lalu menjamu mereka dengan berbagai makanan yang lezat serta yang enak makanannya yang dilakukan semata-mata karena untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia suka kepada seorang pemasak karena ketelitian dan kebaikan cara memasaknya, maka orang inipun termasuk pula dalam golongan pencinta untuk mencari keridhaan Allah.

Seseorang yang mencintai kepada seseorang yang suka menyampaikan sedekah atau zakatnya kepada orang-orang yang hendak menerimanya. Jadi ia mencintainya juga karena Allah. Demikian pula seseorang yang mencintai kepada pelayannya yang membersihkan dirinya untuk mencuci pakaian, membersihkan lantai rumahnya atau memasakkan makanannya, kemudian dengan demikian tadi ia sendiri dapat penuh mencurahkan ilmu pengetahuan serta amalan shalehnya, sedang maksudnya menggunakan pelayan dengan pekerjaan tadi adalah untuk terus menerus dapat beribadah, itupun orang yang mencintai karena Allah juga.

Apabila seseorang itu menikahi seorang wanita yang shaleh, yang demikian itu dimaksudkan agar dirinya dapat terhindar dan terjaga dari godaan syaitan dan pula guna menjunjung agamanya atau agar nantinya dapat dikarunia oleh Allah seorang anak yang shaleh, seseorang mencintai isterinya karena karena isteri itulah yang merupakan perantara atau alat kepada tujuan-tujuan keagamaan, maka kedua macam orang itupun termasuk mencintai karena Allah.

Memang, bukan sekali-kali yang merupakan syarat mencintai Allah itu harus tidak mencintai harta dunia, sehingga bagiannya dari keduniaan itu ditinggalkannya sama sekali, itu tidak, sebab isi do’a yang diperintahkan oleh para nabi adalah mencakup antara kepentingan dunia dan akherat, sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an surat Al Baqarah 2;201, ”Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat dan peliharalah kami dari siksa neraka”, dalam sebuah hadis rasulullah berdo’a, ”Ya Allah sesungguhnya saya memohonkan kepada-Mu suatu kerahmatan yang datangnya itudapatlah saya memperoleh keselamatan, kemuliaan-Mu di dunia dan di akherat”.

Harta, tahta dan wanita yang dikaruniakan Allah dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah karena mencintai Allah bukan berarti hidup jauh di pengasingan dengan pakaian dan makanan yang sangat menyedihkan, sebagaimana layaknya seorang sufi, namun demikian tidak sedikit pula menusia yang jauh dari Allah karena memiliki fasilitas dunia yang menodai, dia terlalu cinta kepada dunia padahal tidak akan lama didiaminya dan terlalu takut dengan kematian, padahal mati merupakan awal kehidupan yang abadi.

Bila hal ini difahami, tidak akan kita temui orang yang memiliki harta tapi bakhil tetapi sebaliknya mereka adalah orang yang penyantun dengan mendermakan sebagian hartanya kepada yang berhak disantuni, tidak akan kita temui para pemilik kekuasaan yang menindas si lemah dan menekan si bodoh, namun para penguasa yang menegakkan kebenaran dan mengangkat silemah menjadi kuat, juga tidak akan kita temui orang yang melacurkan dirinya dengan perbuatan maksiat yang menjijikkan.

Seorang mukmin memang dituntut hanya mencintai Allah sebagai prioritas pertama, Allah memperingatkan kita, ”Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, usaha dan perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di dalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya, dan Allah tidak petunjuk kepada orang-orang fasiq” [At Taubah 9;24].

Bagi seorang mukmin prioritas cintanya adalah Allah, Rasul dan berjuang menegakkan kebenaran, setelah itu baru boleh menempati cinta yang lain, bila tidak berarti orang-orang yang fasiq, ”Dan orang-orang yang beriman itu amat sangat cintanya kepada Allah” [Al Baqarah 2;165].

Untuk itu berhati-hatilah menebar benih cinta, jangan sampai ditanamkan pada ladang yang terlarang agar hidup kita bermakna, cintailah isi dunia ini semuanya tapi harus diletakkan dibawah cinta pada Allah, Rasul dan Jihad, sehingga benar apa yang dikatakan Abu Bakar As Shiddiq, ”Ya Allah letakkan dunia ini di tanganku jangan di hatiku”, artinya bila dunia diletakkan di tangan berarti kita bebas untuk mengatur dan mendistribusikannya tapi bila diletakkan di hati kita berarti kita akan diatur oleh dunia ini, wallahu ’alam [Harian Mimbar Minang Padang, 21062002 dan 28062002].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar